Anda di halaman 1dari 3

MATERI KE 3

DALIL KE 3 : IJMA’

Bahasan ini memuat : Pengertian, Unsur-unsur Ijma’, Kehujjahan Ijma’, Kemungkinan


Pembentukan Ijma’, Pembentukan Ijma’ dengan Perbuatan, dan Macam-macam Ijma’

1. Pegertian Ijma’
Ijma’ ialah kesepakatan para mujtahid pada suatu masa setelah wafatnya Rasul terhadap
suatu masalah atau kejadian. Ijma’ Hanya bisa terjadi setelah wafatnya Rasul karena pada
masa Rasul jika ada masalah maka beliaulah yang menetapkan perkara tersebut.
Beliaulah sebagai satu-satunya mujtahid saat itu.

2. Unsur-unsur Ijma’
Unsur-unsur Ijma’ meliputi :
a. Para mujtahid yang bersepakat terhadap suatu masalah;
b. Ada kesepakatan seluruh mujtahid terhadap masalah yang terjadi;
c. Kesepakatan tersebut disampaikan dalam bentuk perkataan (qauly) atau perbuatan
(fi’ly), dan ;
d. Ada hokum sebagai hasil hasil kesepakatan mujtahid.

3. Kehujjahan Ijma’
Hukum yang dihasilkan melalui Ijma’ yang memenuhi empat unsur di atas mempunyai
daya laku sebagai hokum syara’ yang harus diterima dan mengikat serta harus dijalankan
oleh semua kaum muslimin.
Para mujtahid bisa disebut sebagai ulul-amri dalam bidang keagamaan. Allah
memerintahkan kaum muslimin untuk menaati Allah, Rasul-Nya, dan Ulul Amri. (Lihat
QS. An-Nisa’ ayat 59, 83, 115).
Tidak mungkin para mujtahid akan bersepakat terhadap hokum yang bertentangan
dengan Alquran dan As-Sunnah. Sabda Rasul menyatakan :
“Umatku tidak akan bersepakat melakukan kesalahan”
“Allah tidak akan mengumpulkan umatku berbuat kesalahan”
“Apa-apa yang menurut padangan umat Islam itu baik, maka menurut Allah hal itu juga
baik”
Para mujtahid bersepakat terhadap hokum suatu masalah itu pasti ada landasannya, yakni
prinsip-prinsip yang dibangun oleh hokum Islam, di antaranya untuk mewujudkan
kemaslahatan umat manusia.

4. Kemungkinan terjadinya Ijma’


Menurut An-Nazhzham, seorang ulama terkenal, ijma’ yang bisa memenuhi empat unsur
sebagaimana disebutkan di atas tidak mungkin terjadi zaman kini karena sulit untuk
memilih kriteria seorang mujtahid yang sudah tersebar di dunia Islam. Ijma’ tidak bisa
dihasilkan hanya dengan suara mayoritas, tetapi semua mujtahid harus sependapat. Jika
masih ada kelompok minoritas yang tidak setuju, maka ijma’ tidak bisa terwujud.

5. Ijma’ dengan Perbuatan


Ijma’ sebagaimana pengertian di atas tidak bisa terjadi. Hanya saja, para ulama di suatu
tempat bermusyawarah terhadap suatu masalah yang mereka hadapi lalu mereka
memutuskan hukumnya. Hukum itu kemudian dilaksanakan dalam bentuk perbuatan.

6. Macam-macam Ijma’
Dilihat dari cara melakukan, Ijma’ dibedakan menjadi dua macam :
a. Ijma’ qauly yaitu ijma’ yang secara jelas para mujtahid menyatakan pendapatnya atau
persetujuannya atas hokum suatu masalah;
b. Ijma sukuty yaitu ijma dimana mujtahid tidak menyatakan pendapatnya secara jelas,
tetapi mereka diam saja. Diamnya mujtahid terhadap hokum yang telah ditetapkan
oleh mujtahid lain dianggap sebagai bentuk persetujuan.

DALIL KE-4 AL-QIYAS


Ada 3 hal yang penting dibahas dalam Qiyas, yaitu Pengertian, kehujjahan, dan rukun qiyas.
1. Pengertian
Qiyas berarti menyamakan hokum atas perkara yang tidak ada ketentuannya dalam nash
terhadap hokum atas perkara ada ketentuannya dalam nash karena ada kesamaan ‘illat
(alasan hokum).
Contoh : Khamar adalah minuman yang diharamkan berdasar surat Al-Maidah ayat 90.
Keharaman itu didasarkan atas alasan memabukkan. Jadi, memabukkan adalah ‘illat
(alasan hokum) diharamkannya khamar. Oleh karena itu, semua minuman yang
memabukkan hukumnya haram. Menentukan hokum atas dasar persamaan ‘illat ini
disebut qiyas.
Contoh lain, dalam surat al-Jum’ah ayat 9 Allah memerintahkan agar orang beriman
meninggalkan jual beli jika sudah terdengar azan Jum’at. Alasannya (illatnya) karena jual
beli bisa melalaikan salat. Maka berdasarkan qiyas, semua kegiatan yang dilakukan
setelah terdengar azan Jum’at adalah terlarang karena bisa melalaikan salat.
2. Kehujjahan Qiyas
Jumhur ulama berpendapat bahwa Qiyas adalah cara yang dibenarkan oleh syari’at untuk
menetapkan hokum. Oleh karena itu, hokum yang diperoleh melalui jalan qiyas memiliki
daya ikat yang sama dengan hokum yang ditetapkan oleh dalil asalnya. Umat Islam
berkeharusan untuk mengamalkan perintah atau meninggalkan larangan yang ditunjuki
oleh hokum yang diperoleh dengan cara qiyas.
Di dalam Alquran banyak didapati ayat-ayat yang mendorong manusia untuk
menggunakan akal guna memikirkan segala sesuatu, termasuk memikirkan hokum atas
peristiwa yang tidak di dapati dalam Alquran. Tidak semua kejadian dan perkara-perkara
yang ada di dunia ini ada ketentuan hukumnya dalam Alquran. Melalui metode qiyas
seorang mujtahid bisa menentukan status hokum suatu perkara yang tidak ada
keterangannya dalam Alquran.
Di antara ayat-ayat Alquran yang mendorong manusia untuk menalar adalah surat An-
Nisa’ ayat 59, Al-Hasyr ayat 2, Yasin ayat 79 dll.

3. Rukun Qiyas
Rukun qiyas ada 4 macam :
a. Al-Ashl ialah sesuatu yang sudah ditetapkan hukumnya dalam nash.
Al-Ashl disebut juga dengan Maqis Alaih (yang dijadikan ukuran), Mahmul ‘alaihi
(yang dipakai sebagai tanggungan), atau Musyabbah Bihi (yang dipakai sebagai
penyerupaan);
b. Al-Far’u ialah sesuatu yang tidak ada hukumnya di dalam nash, dan hukumnya
disamakan dengan al-Ashl.
Al-Far’u disebut juga dengan al-Maqis (yang diukur), atau al-Mahmul (yang
dibawa), atau al-Musyabbah (yang disamakan);
c. Hukumul Ashl, ialah hokum asal yang disebut di dalam nash dan dijadikan sebagai
hokum pada cabang (al-Far’u), dan ;
d. ‘Illat ialah keadaan tertentu yang dijadikan alasan bagi hokum asal. Karena adanya
kesamaan alasan itu pada cabang, maka hokumnya disamakan dengan hokum asal.
Syarat ‘Illat ialah bahwa ia merupakan sifat nyata dan pasti yang bisa dijangkau oleh
pancaindera, sehingga dengan demikian ‘illah itu bisa dipakai untuk mengukur adanya kesamaan
yang terjadi pada cabang seperti yang ada atau terjadi pada asal.

Sekian !
Baca baik-baik, semoga paham.

Anda mungkin juga menyukai