0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
19 tayangan71 halaman
1. Metode kias dan istihsan merupakan metode ijtihad yang digunakan oleh ulama untuk menetapkan hukum Islam pada kasus-kasus yang tidak terdapat dalam nas secara eksplisit. Kedua metode ini mempertimbangkan kemaslahatan umat manusia.
1. Metode kias dan istihsan merupakan metode ijtihad yang digunakan oleh ulama untuk menetapkan hukum Islam pada kasus-kasus yang tidak terdapat dalam nas secara eksplisit. Kedua metode ini mempertimbangkan kemaslahatan umat manusia.
1. Metode kias dan istihsan merupakan metode ijtihad yang digunakan oleh ulama untuk menetapkan hukum Islam pada kasus-kasus yang tidak terdapat dalam nas secara eksplisit. Kedua metode ini mempertimbangkan kemaslahatan umat manusia.
sesuatu, membandingkan, atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Al-qiyas: salah satu metode dalam meng- istinbat-kan (menetapkan kesimpulan) hukum Islam yang banyak dipergunakan ulama usul fikih ketika hukum suatu kasus tidak dijumpai dalam nas (ayat Al-Quran atau hadis) Imam al-Amidi: mempersamakan ilat (sebab, motivasi hukum) yang ada pada furuk dengan ilat yang ada pada asal yang diistinbatkan dari hukum asal. Wahbah az-Zuhaili: menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nas dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nas, disebabkan kesatuan ilat hukum antara keduanya. 1. Al-asl: objek yang telah ditetapkan hukumnya oleh ayat Al-Quran, hadis Rasulullah, atau ijmak. 2. Al-far’: objek yang akan ditentukan hukumnya, yang tidak ada nas atau ijmak yang tegas dalam menentukan hukumnya. 3. Ilat: sifat yang menjadi motivasi dalam menentukan hukum. 4. Hukum al-asl: hukum syarak yang ditentukan oleh nas atau ijmak yang akan diberlakukan kepada al-far’. 1. Hukum al-asl itu berisi hukum yang telah tetap dan tidak mengandung kemungkinan dinasakhkan (dibatalkan). 2. Al-asl ditetapkan berdasarkan syarak. 3. Al-asl bukan merupakan al-far’ dari al-asl lainnya. 4. Dalil yang menetapkan ilat pada al-asl itu adalah dalil khusus, tidak bersifat umum. 5. Al-asl tidak berubah setelah dilakukan kias. 1. Tidak bersifat khusus; dalam artian tidak bisa dikembangkan kepada al-far’. Misalnya, dalam sebuah riwayat dikatakan, “Kesaksian Khuzaimah sendirian sudah cukup” (HR. Abu Dawud, Ahmad, al-Hakim, at-Tirmizi, dan an-Nasa’i). 2. Hukum al-asl tidak keluar dari ketentuan kias. Hal ini bisa terjadi dalam dua hal, yaitu: a) Hukum yang ditetapkan itu tidak bisa dinalar. b) Hukum itu merupakan hukum pengecualian yang disyariatkan sejak semula.
3. Tidak ada nas yang menjelaskan hukum al-
far’ yang akan ditentukan hukumnya. 4. Hukum al-asl itu lebih dulu disyariatkan dari al-far’. 1. Ilatnya sama dengan ilat yang ada pada al-asl, baik pada zatnya maupun pada jenisnya. Zatnya sama: wiski dan khamar. Jenisnya sama: wajib kisas atas perbuatan sewenang-wenang terhadap anggota badan dikiaskan pada kisas pembunuhan. 2. Hukum al-asl tidak berubah setelah dilakukan kias. Misal, tidak boleh mengiaskan hukum menzihar wanita zimmi kepada menzihar wanita muslimah dalam keharaman melakukan hubungan suami istri. 3. Al-far’ tidak mengandung hukum yang mendahului hukum al-asl. 4. Tidak ada nas atau ijmak yang menjelaskan hukum al-far’ itu. 1. Ilat merupakan sifat yang sesuai dengan hukum. 2. Ilat itu jelas dan nyata (bisa ditangkap indera manusia), karena ilat merupakan pertanda adanya hukum. 3. Ilat merupakan sifat yang dapat diukur untuk setiap orang. Contoh, pembunuhan merupakan ilat yang menghalangi pembunuh mendapatkan harta warisan. 4. Ilat bisa diterapkan pada al-far’, bukan terbatas untuk al-asl saja. Jumhur: kias dapat dijadikan sebagai metode untuk mengistinbatkan hukum syarak. Muktazilah: kias wajib diamalkan dalam dua hal saja. (a) Ilatnya mansus (disebutkan dalam nas), baik secara nyata maupun melalui isyarat. Contoh, sabda Nabi, “Sesungguhnya saya menyuruh kamu untuk tidak mengeluarkan daging kurban, disebabkan datangnya sekelompok orang yang mencari nafkah (daging kurban)” (HR. al-Bukhari, Muslim). (b) Hukum al-far’ harus lebih utama daripada hukum al- asl. Contoh, berkata “ah” kepada orang tua. 1. Firman Allah dalam al-Hujurat ayat 1, al-Isra’ ayat 36, an-Najm ayat 28. 2. Riwayat: “Sesungguhnya Allah swt menentukan berbagai ketentuan, maka jangan kamu abaikan; menentukan beberapa batasan, jangan kamu langgar; Dia haramkan sesuatu, maka jangan kamu langgar larangan itu; dan Dia juga mendiamkan hukum sesuatu sebagai rahmat bagi kamu, tanpa unsur kelupaan, maka janganlah kamu bahas hal itu” (HR. Daruqutni). 3. Adanya sikap sebagian sahabat yang mencela kias, meskipun sebagian sahabat lainnya bersikap diam atas celaan tersebut. 1. QS. al-Hasyr ayat 2. Mengambil pelajaran dari satu peristiwa, menurut Jumhur, termasuk kias. 2. Riwayat dari Mu’az bin Jabal yang amat populer. 3. Ijmak para sahabat. 4. Adanya kesamaan ilat berupa kemaslahatan dalam hukum.[] Ar.: memandang dan meyakini baiknya sesuatu. Istihsan adalah salah satu metode ijtihad yang dikembangkan ulama Mazhab Hanafi, ketika hukum yang dikandung metode kias atau kaidah umum tidak cocok diterapkan pada suatu kasus. Imam al-Bazdawi: berpaling dari kehendak kias (biasa) kepada kias yang lebih kuat atau pengkhususan kias berdasarkan dalil yang lebih kuat. 1. Al-istihsan bi an-nass (istihsan berdasarkan ayat atau hadis). Misal, masalah wasiat. Menurut ketentuan umum atau kias, wasiat tidak boleh karena pelaksanaan dilakukan setelah pewasiat wafat. Kaidah ini dikecualikan melalui QS. an-Nisa’ ayat 11 & 12. 2. Al-istihsan bi al-ijma’ (istihsan yang didasarkan pada ijmak). Misal, kasus pemandian umum. 3. Al-istihsan bi al-qiyas al-khafi (istihsan berdasarkan kias yang tersembunyi). Misalnya, masalah wakaf lahan pertanian. 4. Al-istihsan bi al-maslahah (istihsan berdasarkan kemaslahatan). Contohnya, kebolehan dokter melihat aurat wanita dalam berobat. 5. Al-istihsan bi al-’urf (istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum). Contohnya , pemandian umum. 6. Al-istihsan bi ad-darurah (istihsan berdasarkan keadaan darurat). Misal, sumur yang kemasukan najis. 1. Ayat-ayat yang mengacu kepada menghilangkan kesulitan dan kesempitan dari umat manusia. 2. Sabda Nabi, “Sesuatu yang dipandang baik oleh umat Islam, maka ia juga di hadapan Allah adalah baik” (HR. Ahmad bin Hanbal). 3. Hasil induksi dari berbagai ayat dan hadis terhadap berbagai permasalahan parsial menunjukkan bahwa memberlakukan hukum sesuai dengan kaidah umum dan kias adakalanya membawa kesulitan bagi umat manusia, sedangkan syariat Islam ditujukan untuk menghasilkan dan mencapai kemaslahatan manusia.[] Kemaslahatan yang tidak didukung oleh dalil syarak secara rinci, tetapi didukung oleh makna sejumlah nas. 1. Mazhab Hanafi: menerima sebagai dalil dalam menetapkan hukum, dengan syarat sifat kemaslahatan itu terdapat dalam nas atau ijmak dan jenis sifat kemaslahatan itu sama dengan jenis sifat yang didukung oleh nas atau ijmak. Penerapan konsep al-maslahah al-mursalah di kalangan mereka terlihat secara luas dalam metode istihsan. 2. Mazhab Maliki dan Hanbali: menerima sebagai dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fikih yang paling banyak dan luas menerapkan konsep ini. Menurut mereka, al-maslahah al-mursalah merupakan induksi dari logika sekumpulan nas, bukan dari nas yang parsial seperti yang berlaku dalam teori kias. Contohnya, kasus penetapan harga pasar oleh pemerintah. Dalam hal al-maslahah al-mursalah, Mazhab kedua menetapkan 3 syarat, yaitu: (a) Sejalan dengan kehendak syarak dan termasuk dalam jenis kemaslahatan yang didukung nas secara umum. (b) Kemaslahatan bersifat rasional dan pasti. (c) Menyangkut kepentingan orang banyak. 3. Mazhab Syafi’i: pada dasarnya juga menjadikan maslahat sebagai salah satu dalil syarak. Akan tetapi, Imam Syafi’i memasukkannya dalam kias. Contoh, ia mengiaskan hukuman bagi peminum minuman keras kepada hukuman orang yang menuduh zina yaitu dera 80 kali, karena orang yang mabuk akan mengigau dan dalam igauannya diduga keras akan menuduh orang lain berzina. 1. Hasil induksi terhadap ayat atau hadis menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi umat manusia. 2. Kemaslahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan zaman, tempat, dan lingkungan mereka sendiri. 3. Beberapa perbuatan sahabat, seperti Umar yang tidak memberi bagian zakat kepada para mualaf karena kemaslahatan orang banyak menuntut untuk hal itu.[] Az-Zari’ah. (Ar. = jalan yang menuju pada sesuatu). Sesuatu yang membawa pada sesuatu yang dilarang karena mengandung kemudaratan. Imam asy-Syatibi (ahli fikih mazhab Maliki) mendefiniskan sadd az-zari’ah: menutup jalan/melakukan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan untuk menuju suatu kemafsadatan. Artinya, melarang seseorang melakukan suatu pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan karena mengandung suatu kemaslahatan tetapi tujuan yang dicapainya akan berakhir pada suatu kemafsadatan. Contohnya, al-bay’ al-ajal (jual beli → kredit → dijual kembali ke penjual barang tadi di bawah harga pembelian tadi). Contoh lain, masalah zakat (wajib) → haul → hibah (sunah). Imam Syatibi mengemukakan 3 syarat yang harus ada sehingga perbuatan itu dilarang, yaitu: (a) Perbuatan yang boleh dilakukan membawa pada kemafsadatan, (b) Kemafsadatan itu lebih kuat dari kemaslahatan pekerjaan yang dibolehkan itu, (c) Unsur kemafsadatannya lebih banyak. 1) Perbuatan itu dibolehkan tetapi apabila dilakukan dalam situasi tertentu akan mengakibatkan timbulnya kemafsadatan secara pasti. Misal, menggali sumur di depan pintu orang lain di malam hari dan pemilik rumah itu tidak mengetahuinya. Perbuatan seperti ini dilarang. 2) Perbuatan itu apabila dikerjakan dapat membawa kemafsadatan tetapi jarang sekali terjadi. Misal, membangun sumur di tempat yang biasanya tidak memberi mudarat kepada orang lain. Perbuatan ini tidak dilarang. 3) Perbuatan yang boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan tetapi biasanya membawa kemafsadatan. Misal, menjual senjata kepada musuh atau menjual anggur kepada produsen miras. Perbuatan seperti ini dilarang. 4) Perbuatan yang boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan tetapi pada umumnya perbuatan itu membawa kemafsadatan. Misal, bay’ al-ajal. 1. Mazhab Hanafi dan Syafi’i: tidak dilarang karena terjadinya kemafsadatan masih bersifat kemungkinan (tidak bisa dikatakan bahwa di antara kedua jual beli ada niat untuk menghalalkan riba). 2. Mazhab Maliki dan Hanbali: jual beli yang membawa kemafsadatan (diduga keras). 1. Ulama mazhab Maliki & Hanbali: menerima sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syarak. Alasannya, QS. al-An’am ayat 108. Alasan dari hadis, larangan mencaci maki orang tua orang lain (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud). Menurut Ibnu Taimiyah (ahli fikih mazhab Hanbali), hadis yang menjadi dasar itu menunjukkan bahwa sadd az-zari’ah termasuk salah satu alasan untuk menetapkan hukum syarak. 2.Ulama mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Syiah: dapat menerima sadd az-zari’ah sebagai dalil dalam masalah-masalah tertentu dan menolaknya dalam kasus-kasus lain. Imam Syafi’i membolehkan seseorang yang karena uzur (sakit dan musafir) meninggalkan salat Jumat dan menggantinya dengan salat Zuhur. Ulama mazhab Hanafi mengatakan bahwa orang yang melaksanakan puasa yaum asy- syakk sebaiknya melakukannya secara diam- diam, apalagi kalau ia seorang mufti.[] Persoalan yang dibahas ulama usul fikih dalam masalah ini adalah sebagai berikut. 1. Apakah Rasul saw sebelum diutus menjadi rasul terikat dengan hukum-hukum syariat sebelum Islam? Jumhur Mutakallimin & sebagian ulama mazhab Maliki: tidak terikat. Alasannya, tidak ada dalil yang menunjukkan hal itu. Ulama mazhab Hanafi, Hanbali, Ibnu Hajib, dan Imam al- Baidawi: terikat dengan syariat sebelum Islam. Alasannya, (1) Setiap rasul Allah diseru untuk mengikuti syariat rasul-rasul sebelumnya. (2) Banyak riwayat menunjukkan bahwa Muhammad sebelum menjadi rasul telah melakukan perbuatan yang sumbernya bukan akal semata, seperti melaksanakan salat, haji, umrah, mengagungkan Ka’bah dan tawaf di sekelilingnya, dan menyembelih binatang. 2. Apakah syariat sebelum Islam mengikat bagi Rasul saw setelah menjadi rasul dan mengikat juga bagi umat Islam? Dalam masalah akidah, ulama sepakat syariat Islam tidak membatalkannya. Demikian juga dalam masalah hukuman pencurian, perzinaan, pembunuhan, dan kekafiran. Hukum-hukum syariat sebelum Islam yang tidak terdapat dalam Al-Quran dan sunah tidak menjadi syariat bagi Rasul dan umatnya. Pun sebaliknya. Terhadap hukum-hukum yang tercantum dalam Al-Quran tetapi tidak ada ketegasan berlakunya bagi umat Muhammad, namun diketahui secara pasti bahwa hukum itu berlaku bagi umat sebelum Islam dan tidak ada pembatalan dari Al-Quran dan sunah seperti persoalan kisas dalam syariatYahudi yang dipaparkan dalam QS. al-Ma’idah ayat 45. Jumhur ulama: umat Islam terikat dengan hukum itu, dengan syarat tidak ada nas yang menolaknya. Alasannya, (1) Syariat sebelum syariat Islam itu juga syariat yang diturunkan Allah dan tidak ada indikasi yang menunjukkan pembatalan syariat tersebut. Sejalan dengan QS. 6:90; QS. 16:123; QS. 42:13; QS. 5:44-45. (2) Hadis Rasul, “Siapa yang tertidur dan lupa untuk salat, maka kerjakanlah salat itu ketika ia ingat/bangun, kemudian beliau membacakan ayat, ‘Kerjakanlah salat itu untuk mengingat-Ku’” (HR. Bukhari, Muslim). Ayat tadi merupakan syariat Nabi Musa as. Ulama Asy’ariyah, Muktazilah, Syiah, sebagian ulama mazhab Syafi’i, dan salah satu pendapat Imam Ahmad bin Hanbal: syariat sebelum Islam tidak menjadi syariat bagi Rasul dan umatnya. Alasannya, (1) Hadis tentang diutusnya Mu’az bin Jabal. (2) QS. 5:48. (3) Hadis, “Para nabi diutus khusus untuk kaumnya dan saya diutus untuk seluruh umat manusia” (HR. Bukhari, Muslim, an-Nasa’i).[] Ar.: pendapat para sahabat Rasulullah saw. Pendapat para sahabat tentang suatu kasus yang dinukil ulama, baik yang berupa fatwa maupun ketetapan hukum di pengadilan, sedangkan ayat atau hadis tidak menjelaskan hukum terhadap kasus yang dihadapi sahabat tersebut di samping tidak ada pula ijmak para sahabat yang menetapkan hukum tersebut. Sahabat: seseorang yang bertemu dengan Rasulullah saw dan beriman kepadanya serta mengikuti dan hidup bersamanya dalam waktu yang panjang, dijadikan rujukan oleh generasi sesudahnya dan mempunyai hubungan khusus dengan Rasulullah saw. Persoalan yang menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah pendapat para sahabat yang berdasarkan ijtihad semata-mata, yakni apakah menjadi hujah bagi generasi sesudahnya? 1. Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal: dapat menjadi hujah, dan apabila pendapat para sahabat bertentangan dengan kias, maka pendapat sahabat didahulukan. Alasannya: QS. 3:110. Ayat ini ditujukan kepada sahabat. QS. 9:100. Allah secara jelas memuji para sahabat. Hadis: “Sahabatku ibarat bintang, siapa pun yang kamu ikuti, kamu akan mendapat petunjuk” (HR. Abu Dawud); “Hendaklah kamu berpegang dengan sunahku dan sunah khalifah yang empat sesudah saya” (HR. Abu Dawud dan Ahmad bin Hanbal). Sangat mungkin apa yang dilakukan dan dikatakan para sahabat itu datangnya dari Rasulullah saw, bahkan tidak sedikit pendapat mereka yang didasarkan kepada petunjuk Rasulullah saw. Apabila orang awam dibolehkan mengikuti pendapat para mujtahid, maka mengikuti pendapat para sahabat tentu akan lebih boleh lagi. 2. Sebagian ulama Mazhab Syafi’i: tidak dapat dijadikan hujah karena ijtihad mereka sama saja dengan ijtihad ulama lainnya yang tidak wajib diikuti oleh mujtahid lain. Alasannya: QS. 59:2. Dalam ayat ini Allah memerintahkan orang-orang yang memiliki pengetahuan untuk melakukan iktibar, yaitu ijtihad, untuk tidak bertaklid. QS. 4:59. Rujukan persoalan yang diperselisihkan adalah Al-Quran dan sunah. Dalam penelusuran terhadap pendapat para sahabat ditemukan bahwa sebagian pendapat mereka didasarkan pada ijtihad mereka, dan terjadinya kesalahan dalam ijtihad itu bukanlah suatu yang mustahil. Menurut Mustafa al-Buga (ahli usul fikih Suriah) mengatakan bahwa Imam Syafi’i banyak mengambil pendapat para sahabat, bahkan ijmak yang diterimanya sebagai dalil dalam menetapkan hukum adalah ijmak yang dilakukan para sahabat. Contohnya, pendapat Ibnu Abbas tentang tertolaknya kesaksian anak kecil dan pendapat Usman bin Affan tentang tidak adanya kewajiban salat Jumat bagi penduduk desa apabila Idul Fitri atau Idul Adha bertepatan pada hari Jumat. 3. Ulama Mazhab Hanafi: membedakan 3 hal: Pendapat para sahabat yang sama sekali bukan permasalahan ijtihadiyyah dan tidak diketahui adanya sahabat lain yang menolaknya. Pendapat para sahabat yang populer/tersebar luas dan tidak diketahui adanya sahabat lain yang menolak pendapat tersebut. Pendapat para sahabat yang didasarkan pada ijtihad mereka dan pendapat itu tidak populer. 1) Dapat diterima sebagai hujah dalam menetapkan hukum syarak. Alasan mereka, para sahabat tidak mungkin melakukan ijtihad terhadap permasalahan tersebut dan dapat diduga keras bahwa pendapat itu muncul dari petunjuk atau sikap Rasul (sunah taqriri). 2) Dapat dijadikan hujah dalam menetapkan hukum. Menurut mereka, kategori ini sama statusnya dengan ijmak sukuti. Contoh, pendapat Abu Bakar tentang bagian warisan nenek sebanyak seperenam harta. 3) Tidak menjadikannya sebagai hujah. Bahkan seluruh ulama usul fikih sepakat untuk menolaknya.[] (Ar. = yang baik) Kebiasaan mayoritas umat dalam penilaian suatu perkataan atau perbuatan. Merupakan salah satu dalil dalam menetapkan hukum syarak. ‘Urf merupakan bagian dari adat karena adat lebih umum daripada ‘urf. 1.Dari segi objek, terdiri dari ‘urf lafzi atau ‘urf qauli dan ‘urf ‘amali. ‘Urf lafzi: kebiasaan masyarakat dalam menggunakan lafal/ungkapan tertentu untuk mengungkapkan sesuatu sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami masyarakat. Misalnya, ungkapan daging yang diartikan daging sapi. ‘Urf amali: kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalah keperdataan. Perbuatan biasa: perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain seperti kebiasaan masyarakat tertentu memakan makanan khusus. Muamalah perdata: kebiasaan masyarakat dalam melakukan akad atau transaksi dengan cara tertentu, contoh belanja di supermarket. 2.Dari segi cakupan: ‘urf ‘amm dan ‘urf khass. ‘Urf ‘amm: kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan di seluruh daerah. Misalnya, dalam jual mobil, maka seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil termasuk dalam harga jual, tanpa akad sendiri. ‘Urf khass: kebiasaan yang berlaku di daerah tertentu dan dalam masyarakat tertentu. Misalnya, kebiasaan yang berlaku di kalangan para pedagang apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang dijual, maka barang itu dapat dikembalikan konsumen. 3.Dari segi keabsahan dalam pandangan syarak: ‘urf sahih dan ‘urf fasid. ‘Urf sahih: kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat yang tidak bertentangan dengan nas, tidak menghilangkan kemaslahatan, dan tidak pula membawa kemudaratan. Misalnya, dalam masa pertunangan, pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak wanita, tetapi hadiah itu tidak dianggap sebagai mahar. ‘Urf fasid: kebiasaan yang bertentangan dengan dalil syarak dan kaidah dasar yang ada dalam syarak. Contoh, sogok-menyogok, menghalalkan riba. Ulama usul fikih sepakat bahwa ‘urf yang tidak bertentangan dengan syarak, baik itu ‘amm dan khass maupun lafzi dan ‘amali dapat dijadikan hujah dalam menetapkan hukum syarak. Dikatakan, seluruh ulama mazhab menerima dan menjadikan ‘urf sebagai dalil syarak dalam menetapkan hukum apabila tidak ada nas yang menjelaskan hukum suatu masalah yang dihadapi. 1. ‘Urf itu, baik yang bersifat khusus dan umum maupun yang bersifat perbuatan dan ucapan, berlaku secara umum. 2. ‘Urf itu telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya itu muncul. 3. ‘Urf tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas. 4. ‘Urf diterima apabila tidak ada nas yang mengandung hukum dari permasalahan yang dihadapi. َ ا َ ْلعَا َدةُ ُم ح َّك َمة “Adat kebiasaan itu bisa menjadi landasan hukum.” ََاْأل َ ْم ِكنَ ِة الَيُ ْن َك ُر تَغَيُّ ُر اْأل َ ْح َك ِام ِبت َغَيُّ ِر اْأل َ ْْ ِمنَ ِة “Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat.” ِ َِّبالن ِّ ِ ف َكالثَّا ِب ت ُ اَلثَّا ِب ِ ت ِبا ْلعُ ْر “Yang ditetapkan melalui ‘urf itu sama dengan yang ditetapkan melalui nas (ayat dan/atau hadis.”[] (Ar. = minta sahabat atau membandingkan sesuatu dan mendekatkannya). Salah satu metode yang digunakan ulama usul fikih dalam menetapkan hukum Islam. Imam al-Gazali (ahli usul fikih Mazhab Syafi’i): berpegang pada dalil akal atau syarak, bukan karena tidak adanya dalil, melainkan karena hasil pembahasan dan penelitian yang cermat menyatakan bahwa tidak ada dalil yang mengubah hukum yang telah ada. Contoh, seseorang membeli seekor kuda pacuan yang menurut penjualnya kuda tersebut sudah terlatih untuk berpacu dan sering ikut pacuan. Akan tetapi, setelah dibeli ternyata kuda tersebut belum terlatih untuk berpacu dan belum pernah ikut pacuan. 1. Istishab hukm al-ibahah al-asliyyah. Maksudnya, menetapkan bahwa hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh, selama belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Contoh, seluruh pepehonan yang ada di hutan merupakan milik bersama umat manusia dan setiap orang berhak menebang dan memanfaatkan pohon dan buahnya, sampai ada bukti kepemilikan seseorang. Hal ini berdasarkan QS. 2:29; QS. 7:32. 2. Istishab yang menurut akal dan syarak hukumnya tetap dan berlangsung terus. Ibnu Qayyim al-Jauziah (ahli usul fikih Mazhab Hanbali) menyebutnya dengan al-wasf as-sabit li al-hukm hatta yusbita khilafuh (sifat yang melekat pada suatu hukum, sampai ditetapkan hukum yang berbeda dengan itu). Misal, hak milik pada suatu benda adalah tetap dan berlangsung terus, disebabkan adanya transaksi pemilikan, yaitu akad, sampai adanya sebab lain yang menyebabkan hak milik itu berpindah tangan kepada orang lain. 3. Istishab terhadap dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yang mengkhususkannya dan istishab dengan nas selama tidak ada dalil yang menasakhkan. Contoh, QS. 2:267. Kalimat “nafkah”, “hasil usaha”, dan “hasil eksploitasi” bersifat umum. 4. Istishab terhadap hukum asal sampai datangnya hukum syariat. Contoh, apabila seseorang menggugat orang lain bahwa yang disebut terakhir ini berutang pada penggugat sejumlah uang, maka ia berkewajiban untuk mengemukakan alat-alat bukti utang tersebut. Apabila ia tidak sanggup mengemukakan alat bukti, maka orang tersebut bebas dari tuntutan dan ia dinyatakan tidak pernah berutang pada penggugat. 5. Istishab terhadap hukum yang ditetapkan berdasarkan ijmak. Misal, ulama fikih menetapkan berdasarkan ijmak bahwa tatkala air tidak ada seseorang boleh bertayamum dan apabila salatnya selesai ia kerjakan, maka salatnya dinyatakan sah. 1. Mayoritas mutakalimin: istishab tidak bisa dijadikan dalil karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau juga menghendaki adanya dalil. Hal itu berlaku juga untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan yang akan datang. Alasan mereka adalah dasar hukum pada istishab merupakan penetapan hukum tanpa dalil. 2. Mayoritas ulama Mazhab Hanafi: bisa menjadi hujah untuk menetapkan hukum pada kasus yang telah ada dan menganggap hukum itu tetap berlaku pada masa yang akan datang, tetapi tidak bisa dijadikan hukum pada kasus yang belum ada. Gambarannya dapat dilihat pada istishab dalam bentuk kedua dan keempat di atas. 3. Ulama Mazhab Maliki, Syafi’i, Hanbali, az- Zahiri, dan Syiah: bisa menjadi hujah secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama belum ada dalil yang mengubahnya. 1. َان َحتَّى يُثْ ِبت َ علَى َما َك ْ َ ِإ َّن اْأل َ ص َل بَقَا ُء َما َك َ ان َما يُغَ ِي ُر ُه Maksudnya, pada dasarnya seluruh hukum yang sudah ada dianggap berlaku terus sampai ditemukan dalil yang menunjukkan hukum itu tidak berlaku lagi. Contohnya adalah kasus mafqud. 2. ُاء اْ ِإلبَا َحة ْ َ ص ُل فِى اْأل ِ َشي ْ َ ا َ ْأل Maksudnya, pada dasarnya dalam hal-hal yang sifatnya bermanfaat bagi manusia hukumnya adalah boleh dimanfaatkan. Contohnya, seluruh akad/transaksi dianggap sah, selama tidak ada dalil yang menunjukkan hukumnya batal. 3. ا َ ْليَ ِق ْي ُن الَ يُ َزا ُل ِبالش َِّك Maksudnya, suatu keyakinan tidak bisa dibatalkan oleh sesuatu yang diragukan. Contohnya, seseorang yang telah berwudu, apabila merasa ragu akan wudunya itu apakah telah batal atau belum, maka ia berpegang pada keyakinannya bahwa ia sudah berwudu dan wudunya itu tetap sah. 4. ق ِ و ْ ُ ق ح ُ ْ ل اََ ِ ِ ي ْ ل ِ ا َ ك َّ تال َ ن م ِ ُ ةءَ ارَ َ بلْ ا ة ِ م َّ ذ ِ ال ى ف ِ ل ُ ص ْ َ ا َ ْأل Maksudnya, pada dasarnya seseorang tidak dibebani tanggung jawab sebelum adanya dalil yang menetapkan tanggung jawab seseorang. Contoh, seorang tergugat dalam kasus apa pun tidak bisa dinyatakan bersalah sebelum adanya pembuktian yang kuat dan meyakinkan bahwa ia bersalah.[]