Anda di halaman 1dari 71

 Ar.

: al-qiyas = ukuran, mengetahui ukuran


sesuatu, membandingkan, atau
menyamakan sesuatu dengan yang lain.
 Al-qiyas: salah satu metode dalam meng-
istinbat-kan (menetapkan kesimpulan)
hukum Islam yang banyak dipergunakan
ulama usul fikih ketika hukum suatu kasus
tidak dijumpai dalam nas (ayat Al-Quran atau
hadis)
 Imam al-Amidi: mempersamakan ilat (sebab,
motivasi hukum) yang ada pada furuk dengan
ilat yang ada pada asal yang diistinbatkan
dari hukum asal.
 Wahbah az-Zuhaili: menyatukan sesuatu
yang tidak disebutkan hukumnya dalam nas
dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya
oleh nas, disebabkan kesatuan ilat hukum
antara keduanya.
1. Al-asl: objek yang telah ditetapkan hukumnya
oleh ayat Al-Quran, hadis Rasulullah, atau
ijmak.
2. Al-far’: objek yang akan ditentukan hukumnya,
yang tidak ada nas atau ijmak yang tegas
dalam menentukan hukumnya.
3. Ilat: sifat yang menjadi motivasi dalam
menentukan hukum.
4. Hukum al-asl: hukum syarak yang ditentukan
oleh nas atau ijmak yang akan diberlakukan
kepada al-far’.
1. Hukum al-asl itu berisi hukum yang telah
tetap dan tidak mengandung kemungkinan
dinasakhkan (dibatalkan).
2. Al-asl ditetapkan berdasarkan syarak.
3. Al-asl bukan merupakan al-far’ dari al-asl
lainnya.
4. Dalil yang menetapkan ilat pada al-asl itu
adalah dalil khusus, tidak bersifat umum.
5. Al-asl tidak berubah setelah dilakukan kias.
1. Tidak bersifat khusus; dalam artian tidak
bisa dikembangkan kepada al-far’. Misalnya,
dalam sebuah riwayat dikatakan, “Kesaksian
Khuzaimah sendirian sudah cukup” (HR. Abu
Dawud, Ahmad, al-Hakim, at-Tirmizi, dan
an-Nasa’i).
2. Hukum al-asl tidak keluar dari ketentuan
kias. Hal ini bisa terjadi dalam dua hal, yaitu:
a) Hukum yang ditetapkan itu tidak bisa
dinalar.
b) Hukum itu merupakan hukum pengecualian
yang disyariatkan sejak semula.

3. Tidak ada nas yang menjelaskan hukum al-


far’ yang akan ditentukan hukumnya.
4. Hukum al-asl itu lebih dulu disyariatkan dari
al-far’.
1. Ilatnya sama dengan ilat yang ada pada al-asl,
baik pada zatnya maupun pada jenisnya.
Zatnya sama: wiski dan khamar.
Jenisnya sama: wajib kisas atas perbuatan
sewenang-wenang terhadap anggota badan
dikiaskan pada kisas pembunuhan.
2. Hukum al-asl tidak berubah setelah dilakukan
kias. Misal, tidak boleh mengiaskan hukum
menzihar wanita zimmi kepada menzihar
wanita muslimah dalam keharaman melakukan
hubungan suami istri.
3. Al-far’ tidak mengandung hukum yang
mendahului hukum al-asl.
4. Tidak ada nas atau ijmak yang menjelaskan
hukum al-far’ itu.
1. Ilat merupakan sifat yang sesuai dengan
hukum.
2. Ilat itu jelas dan nyata (bisa ditangkap indera
manusia), karena ilat merupakan pertanda
adanya hukum.
3. Ilat merupakan sifat yang dapat diukur untuk
setiap orang. Contoh, pembunuhan merupakan
ilat yang menghalangi pembunuh
mendapatkan harta warisan.
4. Ilat bisa diterapkan pada al-far’, bukan terbatas
untuk al-asl saja.
 Jumhur: kias dapat dijadikan sebagai metode untuk
mengistinbatkan hukum syarak.
 Muktazilah: kias wajib diamalkan dalam dua hal saja.
(a) Ilatnya mansus (disebutkan dalam nas), baik secara
nyata maupun melalui isyarat. Contoh, sabda Nabi,
“Sesungguhnya saya menyuruh kamu untuk tidak
mengeluarkan daging kurban, disebabkan datangnya
sekelompok orang yang mencari nafkah (daging
kurban)” (HR. al-Bukhari, Muslim).
(b) Hukum al-far’ harus lebih utama daripada hukum al-
asl. Contoh, berkata “ah” kepada orang tua.
1. Firman Allah dalam al-Hujurat ayat 1, al-Isra’
ayat 36, an-Najm ayat 28.
2. Riwayat: “Sesungguhnya Allah swt menentukan
berbagai ketentuan, maka jangan kamu abaikan;
menentukan beberapa batasan, jangan kamu
langgar; Dia haramkan sesuatu, maka jangan
kamu langgar larangan itu; dan Dia juga
mendiamkan hukum sesuatu sebagai rahmat
bagi kamu, tanpa unsur kelupaan, maka
janganlah kamu bahas hal itu” (HR. Daruqutni).
3. Adanya sikap sebagian sahabat yang
mencela kias, meskipun sebagian sahabat
lainnya bersikap diam atas celaan tersebut.
1. QS. al-Hasyr ayat 2. Mengambil pelajaran
dari satu peristiwa, menurut Jumhur,
termasuk kias.
2. Riwayat dari Mu’az bin Jabal yang amat
populer.
3. Ijmak para sahabat.
4. Adanya kesamaan ilat berupa kemaslahatan
dalam hukum.[]
Ar.: memandang dan meyakini baiknya
sesuatu.
Istihsan adalah salah satu metode ijtihad yang
dikembangkan ulama Mazhab Hanafi, ketika
hukum yang dikandung metode kias atau
kaidah umum tidak cocok diterapkan pada
suatu kasus.
Imam al-Bazdawi: berpaling dari kehendak kias
(biasa) kepada kias yang lebih kuat atau
pengkhususan kias berdasarkan dalil yang
lebih kuat.
1. Al-istihsan bi an-nass (istihsan berdasarkan
ayat atau hadis). Misal, masalah wasiat.
Menurut ketentuan umum atau kias, wasiat
tidak boleh karena pelaksanaan dilakukan
setelah pewasiat wafat. Kaidah ini
dikecualikan melalui QS. an-Nisa’ ayat 11 &
12.
2. Al-istihsan bi al-ijma’ (istihsan yang
didasarkan pada ijmak). Misal, kasus
pemandian umum.
3. Al-istihsan bi al-qiyas al-khafi (istihsan berdasarkan
kias yang tersembunyi). Misalnya, masalah wakaf
lahan pertanian.
4. Al-istihsan bi al-maslahah (istihsan berdasarkan
kemaslahatan). Contohnya, kebolehan dokter
melihat aurat wanita dalam berobat.
5. Al-istihsan bi al-’urf (istihsan berdasarkan adat
kebiasaan yang berlaku umum). Contohnya ,
pemandian umum.
6. Al-istihsan bi ad-darurah (istihsan berdasarkan
keadaan darurat). Misal, sumur yang kemasukan
najis.
1. Ayat-ayat yang mengacu kepada menghilangkan
kesulitan dan kesempitan dari umat manusia.
2. Sabda Nabi, “Sesuatu yang dipandang baik oleh umat
Islam, maka ia juga di hadapan Allah adalah baik”
(HR. Ahmad bin Hanbal).
3. Hasil induksi dari berbagai ayat dan hadis terhadap
berbagai permasalahan parsial menunjukkan bahwa
memberlakukan hukum sesuai dengan kaidah
umum dan kias adakalanya membawa kesulitan bagi
umat manusia, sedangkan syariat Islam ditujukan
untuk menghasilkan dan mencapai kemaslahatan
manusia.[]
 Kemaslahatan yang tidak didukung oleh dalil
syarak secara rinci, tetapi didukung oleh
makna sejumlah nas.
1. Mazhab Hanafi: menerima sebagai dalil
dalam menetapkan hukum, dengan syarat
sifat kemaslahatan itu terdapat dalam nas
atau ijmak dan jenis sifat kemaslahatan itu
sama dengan jenis sifat yang didukung oleh
nas atau ijmak.
Penerapan konsep al-maslahah al-mursalah
di kalangan mereka terlihat secara luas
dalam metode istihsan.
2. Mazhab Maliki dan Hanbali: menerima
sebagai dalil dalam menetapkan hukum,
bahkan mereka dianggap sebagai ulama
fikih yang paling banyak dan luas
menerapkan konsep ini. Menurut mereka,
al-maslahah al-mursalah merupakan induksi
dari logika sekumpulan nas, bukan dari nas
yang parsial seperti yang berlaku dalam
teori kias. Contohnya, kasus penetapan
harga pasar oleh pemerintah.
Dalam hal al-maslahah al-mursalah, Mazhab
kedua menetapkan 3 syarat, yaitu:
(a) Sejalan dengan kehendak syarak dan
termasuk dalam jenis kemaslahatan yang
didukung nas secara umum.
(b) Kemaslahatan bersifat rasional dan pasti.
(c) Menyangkut kepentingan orang banyak.
3. Mazhab Syafi’i: pada dasarnya juga
menjadikan maslahat sebagai salah satu
dalil syarak. Akan tetapi, Imam Syafi’i
memasukkannya dalam kias. Contoh, ia
mengiaskan hukuman bagi peminum
minuman keras kepada hukuman orang
yang menuduh zina yaitu dera 80 kali,
karena orang yang mabuk akan mengigau
dan dalam igauannya diduga keras akan
menuduh orang lain berzina.
1. Hasil induksi terhadap ayat atau hadis
menunjukkan bahwa setiap hukum
mengandung kemaslahatan bagi umat
manusia.
2. Kemaslahatan manusia akan senantiasa
dipengaruhi perkembangan zaman, tempat,
dan lingkungan mereka sendiri.
3. Beberapa perbuatan sahabat, seperti Umar
yang tidak memberi bagian zakat kepada para
mualaf karena kemaslahatan orang banyak
menuntut untuk hal itu.[]
 Az-Zari’ah. (Ar. = jalan yang menuju pada
sesuatu). Sesuatu yang membawa pada
sesuatu yang dilarang karena mengandung
kemudaratan.
 Imam asy-Syatibi (ahli fikih mazhab Maliki)
mendefiniskan sadd az-zari’ah: menutup
jalan/melakukan suatu pekerjaan yang
semula mengandung kemaslahatan untuk
menuju suatu kemafsadatan.
 Artinya, melarang seseorang melakukan suatu
pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan karena
mengandung suatu kemaslahatan tetapi tujuan
yang dicapainya akan berakhir pada suatu
kemafsadatan.
 Contohnya, al-bay’ al-ajal (jual beli → kredit →
dijual kembali ke penjual barang tadi di bawah
harga pembelian tadi).
 Contoh lain, masalah zakat (wajib) → haul → hibah
(sunah).
 Imam Syatibi mengemukakan 3 syarat yang
harus ada sehingga perbuatan itu dilarang,
yaitu:
(a) Perbuatan yang boleh dilakukan membawa
pada kemafsadatan,
(b) Kemafsadatan itu lebih kuat dari
kemaslahatan pekerjaan yang dibolehkan
itu,
(c) Unsur kemafsadatannya lebih banyak.
1) Perbuatan itu dibolehkan tetapi apabila
dilakukan dalam situasi tertentu akan
mengakibatkan timbulnya kemafsadatan
secara pasti. Misal, menggali sumur di depan
pintu orang lain di malam hari dan pemilik
rumah itu tidak mengetahuinya. Perbuatan
seperti ini dilarang.
2) Perbuatan itu apabila dikerjakan dapat
membawa kemafsadatan tetapi jarang sekali
terjadi. Misal, membangun sumur di tempat
yang biasanya tidak memberi mudarat kepada
orang lain. Perbuatan ini tidak dilarang.
3) Perbuatan yang boleh dilakukan karena
mengandung kemaslahatan tetapi biasanya
membawa kemafsadatan. Misal, menjual
senjata kepada musuh atau menjual anggur
kepada produsen miras. Perbuatan seperti
ini dilarang.
4) Perbuatan yang boleh dilakukan karena
mengandung kemaslahatan tetapi pada
umumnya perbuatan itu membawa
kemafsadatan. Misal, bay’ al-ajal.
1. Mazhab Hanafi dan Syafi’i: tidak dilarang
karena terjadinya kemafsadatan masih
bersifat kemungkinan (tidak bisa dikatakan
bahwa di antara kedua jual beli ada niat
untuk menghalalkan riba).
2. Mazhab Maliki dan Hanbali: jual beli yang
membawa kemafsadatan (diduga keras).
1. Ulama mazhab Maliki & Hanbali: menerima
sebagai salah satu dalil dalam menetapkan
hukum syarak. Alasannya, QS. al-An’am ayat
108. Alasan dari hadis, larangan mencaci maki
orang tua orang lain (HR. Bukhari, Muslim, Abu
Dawud).
Menurut Ibnu Taimiyah (ahli fikih mazhab
Hanbali), hadis yang menjadi dasar itu
menunjukkan bahwa sadd az-zari’ah termasuk
salah satu alasan untuk menetapkan hukum
syarak.
2.Ulama mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Syiah: dapat
menerima sadd az-zari’ah sebagai dalil dalam
masalah-masalah tertentu dan menolaknya
dalam kasus-kasus lain.
 Imam Syafi’i membolehkan seseorang yang
karena uzur (sakit dan musafir) meninggalkan
salat Jumat dan menggantinya dengan salat
Zuhur.
 Ulama mazhab Hanafi mengatakan bahwa
orang yang melaksanakan puasa yaum asy-
syakk sebaiknya melakukannya secara diam-
diam, apalagi kalau ia seorang mufti.[]
Persoalan yang dibahas ulama usul fikih dalam masalah ini adalah
sebagai berikut.
1. Apakah Rasul saw sebelum diutus menjadi rasul terikat dengan
hukum-hukum syariat sebelum Islam?
 Jumhur Mutakallimin & sebagian ulama mazhab Maliki: tidak
terikat. Alasannya, tidak ada dalil yang menunjukkan hal itu.
 Ulama mazhab Hanafi, Hanbali, Ibnu Hajib, dan Imam al-
Baidawi: terikat dengan syariat sebelum Islam. Alasannya, (1)
Setiap rasul Allah diseru untuk mengikuti syariat rasul-rasul
sebelumnya. (2) Banyak riwayat menunjukkan bahwa
Muhammad sebelum menjadi rasul telah melakukan perbuatan
yang sumbernya bukan akal semata, seperti melaksanakan salat,
haji, umrah, mengagungkan Ka’bah dan tawaf di sekelilingnya,
dan menyembelih binatang.
2. Apakah syariat sebelum Islam mengikat bagi
Rasul saw setelah menjadi rasul dan mengikat
juga bagi umat Islam?
 Dalam masalah akidah, ulama sepakat syariat
Islam tidak membatalkannya. Demikian juga
dalam masalah hukuman pencurian, perzinaan,
pembunuhan, dan kekafiran.
 Hukum-hukum syariat sebelum Islam yang
tidak terdapat dalam Al-Quran dan sunah tidak
menjadi syariat bagi Rasul dan umatnya. Pun
sebaliknya.
 Terhadap hukum-hukum yang tercantum
dalam Al-Quran tetapi tidak ada ketegasan
berlakunya bagi umat Muhammad, namun
diketahui secara pasti bahwa hukum itu
berlaku bagi umat sebelum Islam dan tidak
ada pembatalan dari Al-Quran dan sunah
seperti persoalan kisas dalam syariatYahudi
yang dipaparkan dalam QS. al-Ma’idah ayat
45.
 Jumhur ulama: umat Islam terikat dengan hukum itu,
dengan syarat tidak ada nas yang menolaknya.
Alasannya, (1) Syariat sebelum syariat Islam itu juga
syariat yang diturunkan Allah dan tidak ada indikasi
yang menunjukkan pembatalan syariat tersebut.
Sejalan dengan QS. 6:90; QS. 16:123; QS. 42:13; QS.
5:44-45. (2) Hadis Rasul, “Siapa yang tertidur dan lupa
untuk salat, maka kerjakanlah salat itu ketika ia
ingat/bangun, kemudian beliau membacakan ayat,
‘Kerjakanlah salat itu untuk mengingat-Ku’” (HR.
Bukhari, Muslim). Ayat tadi merupakan syariat Nabi
Musa as.
 Ulama Asy’ariyah, Muktazilah, Syiah,
sebagian ulama mazhab Syafi’i, dan salah
satu pendapat Imam Ahmad bin Hanbal:
syariat sebelum Islam tidak menjadi syariat
bagi Rasul dan umatnya. Alasannya, (1) Hadis
tentang diutusnya Mu’az bin Jabal. (2) QS.
5:48. (3) Hadis, “Para nabi diutus khusus untuk
kaumnya dan saya diutus untuk seluruh umat
manusia” (HR. Bukhari, Muslim, an-Nasa’i).[]
 Ar.: pendapat para sahabat Rasulullah saw.
 Pendapat para sahabat tentang suatu kasus
yang dinukil ulama, baik yang berupa fatwa
maupun ketetapan hukum di pengadilan,
sedangkan ayat atau hadis tidak menjelaskan
hukum terhadap kasus yang dihadapi
sahabat tersebut di samping tidak ada pula
ijmak para sahabat yang menetapkan hukum
tersebut.
 Sahabat: seseorang yang bertemu dengan
Rasulullah saw dan beriman kepadanya serta
mengikuti dan hidup bersamanya dalam
waktu yang panjang, dijadikan rujukan oleh
generasi sesudahnya dan mempunyai
hubungan khusus dengan Rasulullah saw.
Persoalan yang menimbulkan perbedaan
pendapat di kalangan ulama adalah pendapat
para sahabat yang berdasarkan ijtihad
semata-mata, yakni apakah menjadi hujah
bagi generasi sesudahnya?
1. Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal:
dapat menjadi hujah, dan apabila pendapat
para sahabat bertentangan dengan kias,
maka pendapat sahabat didahulukan.
Alasannya:
 QS. 3:110. Ayat ini ditujukan kepada sahabat.
 QS. 9:100. Allah secara jelas memuji para
sahabat.
 Hadis: “Sahabatku ibarat bintang, siapa pun
yang kamu ikuti, kamu akan mendapat
petunjuk” (HR. Abu Dawud); “Hendaklah
kamu berpegang dengan sunahku dan sunah
khalifah yang empat sesudah saya” (HR. Abu
Dawud dan Ahmad bin Hanbal).
 Sangat mungkin apa yang dilakukan dan
dikatakan para sahabat itu datangnya dari
Rasulullah saw, bahkan tidak sedikit
pendapat mereka yang didasarkan kepada
petunjuk Rasulullah saw.
 Apabila orang awam dibolehkan mengikuti
pendapat para mujtahid, maka mengikuti
pendapat para sahabat tentu akan lebih
boleh lagi.
2. Sebagian ulama Mazhab Syafi’i: tidak dapat
dijadikan hujah karena ijtihad mereka sama
saja dengan ijtihad ulama lainnya yang tidak
wajib diikuti oleh mujtahid lain.
Alasannya:
 QS. 59:2. Dalam ayat ini Allah memerintahkan
orang-orang yang memiliki pengetahuan untuk
melakukan iktibar, yaitu ijtihad, untuk tidak
bertaklid.
 QS. 4:59. Rujukan persoalan yang
diperselisihkan adalah Al-Quran dan sunah.
 Dalam penelusuran terhadap pendapat para sahabat
ditemukan bahwa sebagian pendapat mereka didasarkan
pada ijtihad mereka, dan terjadinya kesalahan dalam
ijtihad itu bukanlah suatu yang mustahil.
 Menurut Mustafa al-Buga (ahli usul fikih Suriah)
mengatakan bahwa Imam Syafi’i banyak mengambil
pendapat para sahabat, bahkan ijmak yang diterimanya
sebagai dalil dalam menetapkan hukum adalah ijmak yang
dilakukan para sahabat. Contohnya, pendapat Ibnu Abbas
tentang tertolaknya kesaksian anak kecil dan pendapat
Usman bin Affan tentang tidak adanya kewajiban salat
Jumat bagi penduduk desa apabila Idul Fitri atau Idul Adha
bertepatan pada hari Jumat.
3. Ulama Mazhab Hanafi: membedakan 3 hal:
 Pendapat para sahabat yang sama sekali bukan
permasalahan ijtihadiyyah dan tidak diketahui
adanya sahabat lain yang menolaknya.
 Pendapat para sahabat yang populer/tersebar
luas dan tidak diketahui adanya sahabat lain
yang menolak pendapat tersebut.
 Pendapat para sahabat yang didasarkan pada
ijtihad mereka dan pendapat itu tidak populer.
1) Dapat diterima sebagai hujah dalam
menetapkan hukum syarak. Alasan mereka,
para sahabat tidak mungkin melakukan ijtihad
terhadap permasalahan tersebut dan dapat
diduga keras bahwa pendapat itu muncul dari
petunjuk atau sikap Rasul (sunah taqriri).
2) Dapat dijadikan hujah dalam menetapkan
hukum. Menurut mereka, kategori ini sama
statusnya dengan ijmak sukuti. Contoh,
pendapat Abu Bakar tentang bagian warisan
nenek sebanyak seperenam harta.
3) Tidak menjadikannya sebagai hujah. Bahkan
seluruh ulama usul fikih sepakat untuk
menolaknya.[]
 (Ar. = yang baik)
 Kebiasaan mayoritas umat dalam penilaian
suatu perkataan atau perbuatan.
 Merupakan salah satu dalil dalam
menetapkan hukum syarak.
 ‘Urf merupakan bagian dari adat karena adat
lebih umum daripada ‘urf.
1.Dari segi objek, terdiri dari ‘urf lafzi atau ‘urf
qauli dan ‘urf ‘amali.
 ‘Urf lafzi: kebiasaan masyarakat dalam
menggunakan lafal/ungkapan tertentu untuk
mengungkapkan sesuatu sehingga makna
ungkapan itulah yang dipahami masyarakat.
Misalnya, ungkapan daging yang diartikan
daging sapi.
 ‘Urf amali: kebiasaan masyarakat yang
berkaitan dengan perbuatan biasa atau
muamalah keperdataan.
 Perbuatan biasa: perbuatan masyarakat
dalam masalah kehidupan mereka yang tidak
terkait dengan kepentingan orang lain seperti
kebiasaan masyarakat tertentu memakan
makanan khusus.
 Muamalah perdata: kebiasaan masyarakat
dalam melakukan akad atau transaksi dengan
cara tertentu, contoh belanja di supermarket.
2.Dari segi cakupan: ‘urf ‘amm dan ‘urf khass.
 ‘Urf ‘amm: kebiasaan tertentu yang berlaku secara
luas di seluruh masyarakat dan di seluruh daerah.
Misalnya, dalam jual mobil, maka seluruh alat yang
diperlukan untuk memperbaiki mobil termasuk
dalam harga jual, tanpa akad sendiri.
 ‘Urf khass: kebiasaan yang berlaku di daerah
tertentu dan dalam masyarakat tertentu. Misalnya,
kebiasaan yang berlaku di kalangan para pedagang
apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang
dijual, maka barang itu dapat dikembalikan
konsumen.
3.Dari segi keabsahan dalam pandangan syarak: ‘urf
sahih dan ‘urf fasid.
 ‘Urf sahih: kebiasaan yang berlaku dalam
masyarakat yang tidak bertentangan dengan nas,
tidak menghilangkan kemaslahatan, dan tidak pula
membawa kemudaratan. Misalnya, dalam masa
pertunangan, pihak laki-laki memberikan hadiah
kepada pihak wanita, tetapi hadiah itu tidak
dianggap sebagai mahar.
 ‘Urf fasid: kebiasaan yang bertentangan dengan
dalil syarak dan kaidah dasar yang ada dalam syarak.
Contoh, sogok-menyogok, menghalalkan riba.
 Ulama usul fikih sepakat bahwa ‘urf yang
tidak bertentangan dengan syarak, baik itu
‘amm dan khass maupun lafzi dan ‘amali
dapat dijadikan hujah dalam menetapkan
hukum syarak.
 Dikatakan, seluruh ulama mazhab menerima
dan menjadikan ‘urf sebagai dalil syarak
dalam menetapkan hukum apabila tidak ada
nas yang menjelaskan hukum suatu masalah
yang dihadapi.
1. ‘Urf itu, baik yang bersifat khusus dan umum
maupun yang bersifat perbuatan dan ucapan,
berlaku secara umum.
2. ‘Urf itu telah memasyarakat ketika persoalan
yang akan ditetapkan hukumnya itu muncul.
3. ‘Urf tidak bertentangan dengan yang
diungkapkan secara jelas.
4. ‘Urf diterima apabila tidak ada nas yang
mengandung hukum dari permasalahan yang
dihadapi.
َ ‫ا َ ْلعَا َدةُ ُم‬
‫ح َّك َمة‬
“Adat kebiasaan itu bisa menjadi landasan
hukum.”
‫ََاْأل َ ْم ِكنَ ِة‬ ‫الَيُ ْن َك ُر تَغَيُّ ُر اْأل َ ْح َك ِام ِبت َغَيُّ ِر اْأل َ ْْ ِمنَ ِة‬
“Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan
perubahan zaman dan tempat.”
ِ َّ‫ِبالن‬
ِّ ِ ‫ف َكالثَّا ِب‬
‫ت‬ ُ ‫اَلثَّا ِب‬
ِ ‫ت ِبا ْلعُ ْر‬
“Yang ditetapkan melalui ‘urf itu sama dengan
yang ditetapkan melalui nas (ayat dan/atau
hadis.”[]
 (Ar. = minta sahabat atau membandingkan
sesuatu dan mendekatkannya).
 Salah satu metode yang digunakan ulama
usul fikih dalam menetapkan hukum Islam.
 Imam al-Gazali (ahli usul fikih Mazhab Syafi’i):
berpegang pada dalil akal atau syarak, bukan
karena tidak adanya dalil, melainkan karena
hasil pembahasan dan penelitian yang cermat
menyatakan bahwa tidak ada dalil yang
mengubah hukum yang telah ada.
 Contoh, seseorang membeli seekor kuda pacuan
yang menurut penjualnya kuda tersebut sudah
terlatih untuk berpacu dan sering ikut pacuan.
Akan tetapi, setelah dibeli ternyata kuda
tersebut belum terlatih untuk berpacu dan
belum pernah ikut pacuan.
1. Istishab hukm al-ibahah al-asliyyah.
Maksudnya, menetapkan bahwa hukum
sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah
boleh, selama belum ada dalil yang
menunjukkan keharamannya.
Contoh, seluruh pepehonan yang ada di hutan
merupakan milik bersama umat manusia dan
setiap orang berhak menebang dan
memanfaatkan pohon dan buahnya, sampai
ada bukti kepemilikan seseorang. Hal ini
berdasarkan QS. 2:29; QS. 7:32.
2. Istishab yang menurut akal dan syarak
hukumnya tetap dan berlangsung terus. Ibnu
Qayyim al-Jauziah (ahli usul fikih Mazhab
Hanbali) menyebutnya dengan al-wasf as-sabit
li al-hukm hatta yusbita khilafuh (sifat yang
melekat pada suatu hukum, sampai ditetapkan
hukum yang berbeda dengan itu). Misal, hak
milik pada suatu benda adalah tetap dan
berlangsung terus, disebabkan adanya
transaksi pemilikan, yaitu akad, sampai adanya
sebab lain yang menyebabkan hak milik itu
berpindah tangan kepada orang lain.
3. Istishab terhadap dalil yang bersifat umum
sebelum datangnya dalil yang
mengkhususkannya dan istishab dengan nas
selama tidak ada dalil yang menasakhkan.
Contoh, QS. 2:267. Kalimat “nafkah”, “hasil
usaha”, dan “hasil eksploitasi” bersifat
umum.
4. Istishab terhadap hukum asal sampai
datangnya hukum syariat.
Contoh, apabila seseorang menggugat orang
lain bahwa yang disebut terakhir ini berutang
pada penggugat sejumlah uang, maka ia
berkewajiban untuk mengemukakan alat-alat
bukti utang tersebut. Apabila ia tidak sanggup
mengemukakan alat bukti, maka orang
tersebut bebas dari tuntutan dan ia dinyatakan
tidak pernah berutang pada penggugat.
5. Istishab terhadap hukum yang ditetapkan
berdasarkan ijmak.
Misal, ulama fikih menetapkan berdasarkan
ijmak bahwa tatkala air tidak ada seseorang
boleh bertayamum dan apabila salatnya
selesai ia kerjakan, maka salatnya
dinyatakan sah.
1. Mayoritas mutakalimin: istishab tidak bisa
dijadikan dalil karena hukum yang
ditetapkan pada masa lampau juga
menghendaki adanya dalil. Hal itu berlaku
juga untuk menetapkan hukum yang sama
pada masa sekarang dan yang akan datang.
Alasan mereka adalah dasar hukum pada
istishab merupakan penetapan hukum
tanpa dalil.
2. Mayoritas ulama Mazhab Hanafi: bisa
menjadi hujah untuk menetapkan hukum
pada kasus yang telah ada dan
menganggap hukum itu tetap berlaku pada
masa yang akan datang, tetapi tidak bisa
dijadikan hukum pada kasus yang belum
ada.
Gambarannya dapat dilihat pada istishab
dalam bentuk kedua dan keempat di atas.
3. Ulama Mazhab Maliki, Syafi’i, Hanbali, az-
Zahiri, dan Syiah: bisa menjadi hujah secara
mutlak untuk menetapkan hukum yang
sudah ada, selama belum ada dalil yang
mengubahnya.
1. َ‫ان َحتَّى يُثْ ِبت‬
َ ‫علَى َما َك‬ ْ َ ‫ِإ َّن اْأل‬
َ ‫ص َل بَقَا ُء َما َك‬
َ ‫ان‬
‫َما يُغَ ِي ُر ُه‬
Maksudnya, pada dasarnya seluruh hukum
yang sudah ada dianggap berlaku terus
sampai ditemukan dalil yang menunjukkan
hukum itu tidak berlaku lagi. Contohnya
adalah kasus mafqud.
2. ُ‫اء اْ ِإلبَا َحة‬ ْ َ ‫ص ُل فِى اْأل‬
ِ َ‫شي‬ ْ َ ‫ا َ ْأل‬
Maksudnya, pada dasarnya dalam hal-hal
yang sifatnya bermanfaat bagi manusia
hukumnya adalah boleh dimanfaatkan.
Contohnya, seluruh akad/transaksi dianggap
sah, selama tidak ada dalil yang
menunjukkan hukumnya batal.
3. ‫ا َ ْليَ ِق ْي ُن الَ يُ َزا ُل ِبالش َِّك‬
Maksudnya, suatu keyakinan tidak bisa
dibatalkan oleh sesuatu yang diragukan.
Contohnya, seseorang yang telah berwudu,
apabila merasa ragu akan wudunya itu
apakah telah batal atau belum, maka ia
berpegang pada keyakinannya bahwa ia
sudah berwudu dan wudunya itu tetap sah.
4. ‫ق‬
ِ ‫و‬
ْ ُ ‫ق‬ ‫ح‬
ُ ْ
‫ل‬ ‫ا‬ََ ِ
ِ ‫ي‬
ْ ‫ل‬
ِ ‫ا‬ َ
‫ك‬ َّ ‫ت‬‫ال‬ َ
‫ن‬ ‫م‬
ِ ُ ‫ة‬‫ء‬َ ‫ا‬‫ر‬َ َ ‫ب‬‫ل‬ْ ‫ا‬ ‫ة‬
ِ ‫م‬
َّ ‫ذ‬
ِ ‫ال‬ ‫ى‬ ‫ف‬
ِ ‫ل‬
ُ ‫ص‬
ْ َ ‫ا َ ْأل‬
Maksudnya, pada dasarnya seseorang tidak
dibebani tanggung jawab sebelum adanya
dalil yang menetapkan tanggung jawab
seseorang.
Contoh, seorang tergugat dalam kasus apa
pun tidak bisa dinyatakan bersalah sebelum
adanya pembuktian yang kuat dan
meyakinkan bahwa ia bersalah.[]

Anda mungkin juga menyukai