Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hukum sering disebut sebagai produk yang lahir dari dinamika kehidupan
manusia “Dimana ada masyarakat disitu ada hukum”. Oleh karena itu, sektor hukum harus
selalu mengikuti irama perkembangan masyarakat artinya dalam masyarakat yang maju dan
modern harus memiliki hukum yang maju dan modern pula.
Namun demikian, harus diakui bahwa hukum adalah benda mati tidak berwujud yang
menjadi bagian dari karya dan karsa manusia. Artinya, karena hukum bukan sumber hidup
dan tidak pada posisi untuk mengubah dirinya, dalam arti apabila hukum tidak diubah dan
dimodernisasi maka hukum tidak akan pernah modern. Dalam hukum Islam terdapat dua
ketentuan sumber hukum atau dalil yaitu sumber hukum yang disepakati dan dan sumber
hukum yang tidak disepakati. Menurut ‘Abd al Majid Muhammad Al Khafawi bahwa sumber
hukum yang disepakti ulama tersebut yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.
Sedang dalam sumber hukum atau dalil yang tidak diesepakati atau terjadi ikhtilaf ada
7 secara umum yaitu Istishab, Maslahah Mursalah, Urf, Syar’u Man Qablana, Mazhab
Shahaby..
Adapun dalam makalah ini akan membahas sumber hukum yang tidak disepakati oleh
mayoritas ulama, sehingga terjadi perbedaan (ikhtilaf) dalam penggunaanya.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka penulis merumuskan
masalah sebagai berikut:
1. Apa definisi hukum?
2. Apa saja sumber hukum Islam yang tidak disepakati?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari rumusan masalah tersebut yaitu:
1. Untuk mengetahui definisi hukum
2. Untuk mengetahui sumber hukum Islam yang tidak disepakati

1
BAB II
PEMBAHASAN
SUMBER HUKUM ISLAM YANG TIDAK DISEPAKATI
1) ISTIHSAN (‫)استحسان‬
Istihsan adalah sumber hukum yang banyak dipakai dalam terminologi dan istinbath
hukum oleh dua Imam Madzhab, yaitu Imam Malik dan Imam Abu Hanifah. Bahkan Imam
Malik menilai, pemakaian istihsan menambah 90% dari seluruh ilmu (fiqh). Sementara itu,
murid-murid Abu Hanifah, seperti diceritakan Imam Muhammad bin Hasan, tidak sejalan
dengan gurunya. Istihsan dipandang tidak jelas kriterianya. Apabila Abu Hanifah berkata:
“pakailah istihsan”, maka tak seorangpun murid-muridnya yang menuruti perintahnya. Pada
dasarnya Imam Abu Hanifah masih tetap menggunakan dalil qiyas, selama masih dipandang
tepat. Namun jika pemakaian dalil itu pada situasi tertentu dinilai kurang pas, maka ia beralih
kepada dalil istihsan. Lalu, apa sesungguhnya yang dimaksud dengan istihsan yang banyak
dipaki oleh dua Imam Mazhab itu?.
Imam Abu al-Hasan al-Karkhi mengemukakan definisi, bahwa istihsan ialah:
“penetapan hukum dari seorang mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang dari
ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang
lebih kuat yang menghendaki dilakukannya penyimpangan itu”.
Ibnul Araby membuat definisi yang hampir mendekati definisi dari golongan Hanafi.
Ia mengatakan : “istihsan ialah memilih meninggalkan dalil, dan mengambil rukhsah dengan
hukum sebaliknya, karena dalil itu berlawanan dengan dalil lain pada sebagian kasus
tertentu”. Ia membagi istihsan kepada empat macam, yaitu :
1. Meninggalkan dalil karena ‘urf
2. Meninggalkan dalil karena ijma’
3. Meninggalkan dalil karena maslahat, dan
4. Meninggalkan dalil karena untuk meringankan dan menghindarkan masyaqat.

Dari beberapa definisi yang dikemukakan para ulama di atas, dapat disimpulkan
bahwa istihsan ialah penggunaan maslahat juziyyah pada suatu kasus tertentu yang
berlawanan dengan qiyas ‘am. Dalam hal ini, para ulama memberikan contoh, yaitu:
“Menurut qiyas, saksi-saksi pada setiap kasus yang diajukan ke depan pengadilan
haruslah orang-orang yang adil. Sebab dengan sifat adil itulah seseorang dapat dinilai
jujur atau tidaknya sehingga kesaksiannya dapat dijadikan landasan keputusan hakim.

2
Akan tetapi seandainya dalam suatu negara, seorang hakim/qadhi tidak menemukan
orang yang adil, maka ia wajib menerima kesaksian orang yang secara umum
dipandang dapat dipercaya ucapannya, sehingga dengan demikian dapat dicegah
timbulnya kejahatan-kejahatan, baik terhadap hartabenda maupun manusia/individu.”

Contoh istihsan yang pada intinya berkisar pada pencegahan pemakaian qiyas secara
berlebihan yang menjurus ke arah yang tidak proporsional (qabih). Oleh karena itu, Imam
Malik berkata : “Sesungguhnya orang yang berlebihan menggunakan dalil qiyas, ia nyaris
meninggalkan Sunnah”.
Golongan Hanafi membagi istihsan menjadi dua macam, yaitu :
1. Istihsan Qiyas
Istihsan Qiyas` ialah apabila di dalam suatu masalah terdapat dua sifat
yang menuntut diterapkan dua qiyas yang saling bertentangan. Sifat yang
pertama: jelas (zhahir) lagi mudah dipahami, dan inilah yang disebut Qiyas
Istilahy. Sedang sifat yang kedua: samar (khafi) yang harus dihubungkan
dengan sumber hukum (ashl) yang lain, dan ini kemudian yang dinamakan
isthihsan. Artinya, seorang ahli fiqh ketika melakukan analisa untuk
menentukan diktum hukumnya, dihadapkan pada dua ilhaq(acuan) yang zhahir,
yang biasa dipakai sebagai dasar dalam menetapkan hukum terhadap masalah-
masalah yang sejenis dengan masalah ini. Di lain pihak, ia dihadapkan pada
ilhaq (acuan) dan khafy (samar) yang dipandang lebih kuat pengaruhnya
terhadap masalah ini dibanding ilhaqyang zhahir. Oleh karena itu, dalam
masalah ini segala ketetapan pada amsalah yang sejenis tidak berlaku. Imam
Syamsul A’immah asy-Syarkhasy karenanya berkata: “Istihsanpada hakekatnya
adalah dua qiyas.Qiyas yang pertama adalah: Jaly (jelas) tapi dha’if (lemah)
pengaruhnya. Inilah yang disebut dengan qiyas.
Sedangkan yang kedua adalah: khafy (samar) tapi kuat pengaruhnya.
Ini yang kemudian dinamakan istihsan, yakni Qiyas Mustahsan. Maka di sini
yang diutamakan adalah pengaruhnya (atsarnya), bukan samar atau jelas
sifatnya.
Di antar contoh-contoh istihsan macam pertama ini (istihsan Qiyas), ialah:
Seluruh anggota tubuh wanita adalah aurat (dari ujung rambut sampai ujung
kaki). Akan tetapi kemudian diperbolehkan melihat sebagian anggota badan
tertentu karena ada hajat, seperti karena untuk kepentingan pemeriksaan oleh

3
seorang dokter kepada pasiennya. Di sini terdapay pertentangan kaedah,
bahwa seorang wanita adalah aurat, karena memandang wanita akan
mendatangkan fitnah. Kedua, adanya suatu sifat yang kemungkinan besar akan
mendatangkan kesulitan (masyaqat) dalam kondisi-kondisi tertentu, sepeeti
ketika dalam pengobatan. Dalam hal ini dipakai illat: at-taysir (memudahkan).

2. Istihsan yang disebabkan oleh adanya kontradiksi antara qiyas dan dalil-dalil
syar’i yang lain.
Istihsan yang faktor mendorongnya bukannya illat khafy yang lebih kuat
pengaruhnya dari illat zhahir, akan tetapi ada faktor pendorong lain. Dengan
ungkapan lain, pertentangan di sini bukannya pertentangan antara dua illat,
yakni, illat zhahir di satu pihak, dan illat khafy di lain pihak, akan tetapi
pertentangan antara illat qiyas dan dalil lain selain qiyas.
Di lihat dari segi mu’aridhnya (dalil lain yang bertentangan), istihsan
ini terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
1. Istihsan Sunnah
Istihsan Sunnah ialah: istihsanyang disebabkan oleh adanya
ketetapan Sunnah yang mengharuskan meninggalkan dalil qiyas pada
kasus yang bersangkutan. Contoh : Hadits tentang sahnya puasa orang
yang makan dan minum di siang hari karena lupa. Padahal menurut
qiyas, puasa itu semestinya batal. Akan tetapi karena terdapat hadits
yang menetapkan sahnya puasa tersebut, maka golongan Hanafi
meninggalkan dalil qiyas dalam permasalahan tersebut.
2. Istihsan Ijma’
Istihsan Ijma`I ialah: istihsan yang meninggalkan penggunaan
dalil qiyas karena adanya ijma` ulama yang menetapkan hukum yang
berbeda dari tuntutan qiyas. Sebagai contoh : ketetapan ijma` tentang
sahnya akad Istihsna` (perburuhan/pesanan). Menurut qiyas,
semestinya akad itu batal. Sebab sasaran (obyek) akad tidak ada ketika
akad itu dilangsungkan. Akan tetapi, karena model itu telah dikenal
dan sah sepanjang zaman, maka hal itu dipandang sebagai ijma` atau
`urf `am (tradisi) yang dapat mengalahkan dalil qiyas. Yang demikian
ini, berarti merupakan perpindahan dari suatu dalil ke dalil lain yang
lebih kuat.

4
3. Istihsan Dharurat.
Istihsan Dharurat ialah: “istihsanyang disebabkan oleh adanya
keadaan dhlarurat(terpaksa) dala suatu masalah yang mendorong
seorang mujtahid untuk meninggalkan dalil qiyas.” Contohnya seperti
mensucikan kolam atau sumur yang tidak mungkin dilakukan jika tetap
berpegang pada dalil qiyas.
Imam Syafi’i membatalakn dalil istihsan. Karena itu ia menguraikannya dalam pasal
tersendiri dalam kitabnya Al-Umm dengan judul “Ibthalul istihsan” (pembatalan dalil
istihsan. Dari sebagaimana dikemukakannya dalam beberapa tempat secara terpencar dalam
kitab Ar-Risalah dankitab Al-Umm dalam pasal “Ibthalul Istihsan”, sebagai berikut:
1. Syari’ah adalah nash dan kandungan nash (acuan kepada nash) melalui qiyas.
Bagaimana dengan istihsan? Apakah termasuk salah satu dari dua macam syari’at itu
atau berada di luar itu? Jika memang termasuk ke dalam salah satunya, maka tidak
perlu dibicarakan lagi. Tetapi jika berada di luar ketentuan itu, maka berarti Allah
SWT meninggalkan persoalan tanpa ada ketentuan hukumnya. Hal ini bertentangan
dengan firman-Nya:
‫أَيَحْ َسبُ اإْل ِ ْن َسانُ أَ ْن يُ ْت َركَ ُسدًى‬
Artinya: “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja”.
[Surat Al-Qiyamah: 36]
Dengan demikian, istihsan yang ternyata bukan merupakan qiyas atau penerapan
nash, bertentangan dengan ayat tersebut.

2. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan agar taat kepada Allah dan Rasul-
Nya; melarang mengikuti hawa nafsu; dan memerintahkan kepada kita ketika terjadi
pertentangan agar kembali kepada Kitabullah. Allah SWT berfirman:
‫ازعْ ُت ْم فِي َشيْ ٍء َف ُر ُّدوه‬ َ ‫َفإِنْ َت َن‬
‫ون ِباهَّلل ِ َو ْال َي ْو ِم اآلخ ِِر‬ ِ ‫إِلَى هَّللا ِ َوالرَّ س‬
َ ‫ُول إِنْ ُك ْن ُت ْم ُت ْؤ ِم ُن‬

Artinya: “Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka


kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman
kepada Allah dan hari kemudian”.
Sementara istihsan tidak termasuk Kitab (Al-Qur’an) atau Sunnah, tidak pula
merujuk kepada Kitab dan Sunnah, akan tetapi berada di luar itu. Oleh karena itu, ia

5
tidak bisa diterima sebagai sumber hukum kecuali jika didukung dengan adanya dalil
dari Al-Qur’an dan Sunnah yang menunjukkan dapat diterimanya dalil ini. Sedang
tidak terdapat satu dalil pun yang menunjukkan hal itu.

3. Nabi Muhammad SAW tidak pernah memberi fatwa dengan menggunakan istihsan.
Beliau tidak pernah berpendapat berdasarkan hawa nafsunya. Ketika ditanya tentang
seorang lelaki yang berkata kepada istrinya: “kamu bagiku mirip punggung ibuku”,
beliau tidak memberikan fatwa berdasarkan istihsan, akan tetapi menunggu sampai
turun ayat tentang Zhihar beserta kafaratnya. Dan ketika ditanya tentang seorang
lelaki yang mendapati istrinya bersama lelaki lain dan menuduhnya berbuat serong,
beliau menunggu sampai turun ayat tentang li’an. Demikian pula ketika ditanya
tentang seseorang yang tidak mengakui nasab anaknya karena warna kulitnya tidak
sama dengan warna kulit kedua orang tuanya, beliau menunggu sampai datangnya
hukum li’an juga.
Jikalau ada seseorang yang memberi fatwa dengan kedalaman perasaan
fiqhnya atau dengan istihsan, maka pasti yang pertama melakukannya adalah
Muhammad SAW, sayyidul mursalin. Akan tetapi ia tidak melakukannya. Atas dasar
inilah, kita wajib menghindarkan diri menggunakan istihsan tanpa adanya topangan
dari nash. Sebab Rasulullah adalah panutan yang baik (uswatun hasanah) bagi kita.

4. Nabi Muhammad SAW tidak berkenan terhadap para sahabat yang pergi ke daerah
lain dan memberi fatwa dengan istihsan.Beliau mencela perbuatan sebagian para
sahabat yang membakar seorang musyrikyang berlindung di bawah sebuah pohon.
Begitu juga, beliau memandang tolol perbuatan Usamah yang membunuh seorang
laki-laki yang mengucapkan kalimat: “‫ه اال هللا‬bb‫ ”ال ال‬karena kalimat itu diucapkan di
bawah ancaman pedang yang terhunus. Seandainya penggunaan istihsan
diperbolehkan, niscaya Nabi mencela perbuatan para sahabat tersebut.

5. Istihsan tidak mempunyai batasan yang jelas; tidak pula memiliki kriteria-kriteria
yang bisa dijadikan standar untuk membedakan antara yang haq dan yang bathil,
sebagaimana halnya qiyas. Jika setiap hakim, mufti, atau mujtahid diperkenankan
menggunakan dalil istihsan dengan tanpa adanya batasan, niscaya persoalannya akan
membias. Dan dalam satu masalah baru yang muncul akan mendapat jawaban hukum

6
yang beragam sesuia dengan kecenderungan dan kemampuan masing-masing mufti
dalam menangkap da menerapkan dalil istihsan.
Oleh karena itu, bukan tidak mungkin terhadap satu masalah terdapat
bermacam-maca, fatwa tanpa adanya pengunggulan (tarjih) selama asasnya adalah
istihsan.

6. Seandainya istihsan boleh dipakai oleh seorang mujtahid, sementara ia tidak


berpegang pada nash atau mengacu pada kemampuan akal semata, niscaya istihsan
boleh dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai pengetahuan tentang al-Kitab (Al-
Qur’an) dan Sunnah. Sebab akal bagi selain ulama Al-Qur’an dan Sunna h
mendapatkan kedudukan yang istimewa. Bahkan kadang-kadang di antara mereka,
ada yang memiliki kemampuan intelektual dan penalaran melebihi ulama Al-Qur’an
dan hadits. Dalam hal ini Imam Syafi’I berkata: : “Jika kamu berkata bahwa mereka
tidak menguasai ilmu dibidang ushul (Al-Qur’an dan hadits), maka kamu akan balik
ditanya: apa pendapat-pendapatmu juga tidak didasarkan pada ashl (nash) atau qiyas
kepada ashl. Apakah kekhawatiranmu terhadap kelompok nasionalis berlebihan
lantaran mereka tidak mengerti ilmu ushul sehingga mereka dipandang tidak mampu
melakukan qiyas. Dan, apakah penguasaanmu tentang ushul (Al-Qur’an dan hadits)
mengharuskan kamu melakukan qiyas kepada ushulatau boleh meninggalkannya. Jika
kamu diperbolehkan meninggalkan ushul, maka tentunya mereka mempunyai hak
yang smaa denganmu dalam mengeluarkan pendapatnya (tanpa berdasarkan ashl atau
qiyas)”.

Alasan-alasan yang dikemukakan Imam Syafi’i di atas tidak menyangkut istihsan


yang diperkenalkan Madzhab Hanafy, kecuali yang berhubungan dengan Istihsan ‘Urf.
Memang dimasukkannya ‘urf ke dalam salah satu sumber untuk istinbath hukum masih
diperselisihkan di antar ulama-ulama dari Madzhab Syafi’I dan Madzhab Hanafy.
Sehubungan dengan itu, selain Istihsan ‘Urf, semua macam istihsan yang ditawarkan
Madzhab Hanafy tidak mendapatkan penolakan dari Imam Syafi’i, karena didasarkan pada
sumber-sumber yang dapat ditolerir oleh Imam Syafi’i. sebab di antara bentuk istihsan itu,
ada kalanya yang berupa qiyas dan ada kalanya yang berupa pada nash, ijma’ atau dharurat.
Sedang berdasarkan ijma’ulama, kondisi dharurat memperbolehkan hal-hal yang dilarang.
Jadi dharurat merupakan suatu kondisi yang harus dijadikan bahan pertimbangan. Bila
ketentuan nash saja dapat dirubah dengan dharurat, apalagi qiyas.

7
Dalam istihsan Madzhab Maliky, alasan-alasan itu lebih bnayak tertuju kepada
Istihsan Maslahat. Dan memang istihsan inilah yang menjadi sasaran keberatan dari Imam
Syafi’i. Tentu saja dengan catatan apakah maslahat yang dianggap oleh Imam Malik,
bertentangan dengan ushul atau tidak.

2) ISTISHAB (‫)استصحاب‬
Istishhab dalam bahasa berasal dari kata shuhbah, artinya “menemani atau
menyertai”, dalam arti menuntut kebersamaan atau “terus-menerusnya bersama”,
sebagaimana yang lazim dipakai oleh para ahli bahasa dengan mengatakan “Segala sesuatu
yang menetapi pada sesuatu, maka ia menemani dan menyertainya.
Sedangkan menurut istilah, ditemukan beberapa redaksi dari para ahli yang
mendefinisikannya, di antaranya adalah :
1. Imam al-Asnawiy
Istishhab adalah melanjutkan berlakunya hukum yang sudah ada dan sudah
ditetapkan ketetapan hukumnya, lantaran sesuatu dalil sampai ditemukan dalil lain
yang mengubah ketentuan hukum tersebut.
2. Imam Ibnu Qayyim
Istishhab adalah menetapkan berlakunya hukum yang telah ada atau
meniadakan segala perkara yang memang tidak ditemukan adanya dalil yang bisa
merubah kedudukan berlakunya ketetapan hukum tersebut.

Dari definisi tersebut dapat diambil pemahaman bahwa istishhab adalah menetapkan
sesuatu berdasarkan keadaan yang sudah berlaku sebelumnya, sampai ditemukan dalil yang
menunjukkan perubahan keadaan itu atau menetapkan hukum yang telah ditetapkan pada
masa lalu berdasarkan keadaan, sampai terdapat dalil yang menunjukkan adanya perubahan.
Oleh karena itu, istishhab adalah pemberian hukum tentang ada tidaknya sesuatu dimasa
sekarang atau akan datang, berdasarkan ada tidaknya pada masa lampau, lantaran tidak
adanya dalil yang menenjukkan indkasi perubahan.
Oleh sebab itu, jika seorang mujtahid berhadapan dengan kasus kontrak atau
pemeliharaan yang status hukumnya tidak ditemukan didalam nash, baik al-Qur’an maupun
Hadis atau tidak ditemukan dalil syara’ yang hukumnya bersifat mutlak, maka kontrak atau
pemeliharaan tersebut hukumnya boleh (mubah). Begitu juga semua ciptaan Allah yang ada

8
didunia. Oleh karena itu, bila tidak ada dalil yang menunjukkan adanya perubahan, maka
sesuatu tersebut hukumnya boleh (mubah) sesuai dengan sifat kebolehan yang ada padanya
sejak awal. Hal ini berdasarkan teori/kaidah:
‫األصل في األشياء اإلباحة‬
Artinya: Asal segala sesuatu itu adalah kebolehan.
Akan tetapi jika seorang mujtahid menghadapi kasus hukum suatu binatang, benda-
benda, tumbuh-tumbuhan, makanan, minuman, atau perbuatan, sedang dia tidak menemukan
status hukumnya didalam nash, maka status hukumnya adalah boleh, sebab asal dari segala
sesuatu hukumnya mubah atau boleh, selama tidak ada dalil yang memalingkannya pada
perubahan. Dengan demikian, asal dari segala sesuatu adalah mubah (boleh). Hal ini
berdasarkan firman Allah:
‫هو الذي خلق لكم ما في األرض جميعا‬
Artinya: Dia adalah Dzat yang menjadikan segala yang ada dibumi ini untuk kamu
sekalian. (QS.Al-Baqarah: 29)
Dengan demikian, istishab adalah tetap memberlakukan ketetapan hukum yang telah
ditetapkan atau yang telah ada sejak awal, sampai ditemukan hukum lain mengubahnya,
sebab istishab merupakan jalan keluar terakhir dalam berfatwa, karena seorang mutfi jika
ditanya tentang suatu kasus yang terjadi, maka dia diharuskan untuk memberikan putusan
dengan menggunakan al-Qur’an, Hadis, ijma’, dan qiyas. Jika ternyata tidak ditemukan, maka
dia dituntut untuk memberikan putusan dengan menggunakan teori istishab, baik dalam
masalah meniadakan atau menetapkan. Jika masih ada keraguan dalam meniadakan dan
menetapkan, maka prinsip dasarnya adalah tetapnya hukum, jika keraguan itu terdapat pada
tetapnya hukum, maka prinsip dasarnya adalah tidak adanya ketetapan hukum.
Klasifikasi Istishhab
Para ahli ushul menyatakan bahwa istishhab dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bentuk,
diantaranya adalah:
1. ‫(إستصحاب حكم ثابت باإلجم**اع في مح**ل الخالف بين العلم*اء‬Istishab Hukmin Tsabitin bi al-
Ijma’ fi Mahalli al-Khilaf bain al-‘ulama’)
Yaitu istishab terhadap hukum yang dihasilkan dari Ijma’ dalam kasus-kasus yang
dalam perkembangannya memicu terjadinya perselisihan pendapat.

Contoh:

9
i. Kasus orang bertayamum dan dalam pertengahan shalat melihat air.
Menurut ijma’ ditetapkan shalatnya tidak batal, karena keabsahan shalat
itu ditentukan sebelum melihat air. Hal ini menunjukkan pula pada
keberlanjutan ketetapan hukum, sampai ditemukan adanya dalil yang
menunjukkan batalnya penetapan tersebut, sebagaimana kaidah ushul
sebagai berikut:
‫األصل بقاء ما كان على ما كان حتى يثبت ما يغيره‬
Artinya: Asal sesuatu itu merupakan suatu ketetapan terhadap sesuatu
yang sudah ada berdasarkan keadaan semula, sampai ditemukan adanya
ketetapan lain yang merubahnya.

ii. Kasus pengaduan suami tentang status istrinya yang tidak gadis lagi
setelah dia menggaulinya.
Dalam kasus seperti ini, pengaduan suami tersebut tidak dapat diterima,
kecuali dia bisa menunjukkan bukti yang konkrit, sebab status kegadisan
seorang wanita itu merupakan bentuk asal yang tetap ia bawa sampai ia
besar. Hal ini berarti kegadisannya di istishhabkan kepadanya sampai ia
digauli oleh suaminya. Pengistishaban seperti ini sesuai dengan kaidah
seperti kasus bertayamum diatas.

iii. Kasus orang yang pada awalnya memiliki wudlu, lalu ragu-ragu.
Dalam kasus ini, hendaknya dia menetapkan hukum yang semula, yaitu
wudlu, sebab keragu-raguan atas batalnya wudlu tidak dapat merubah
hukum yang ada sejak awal, yaitu berwudlu.368 Hal ini sesuai dengan
kaidah:
‫ما ثبت باليقين ال يزول بالشك‬
Artinya: Apa yang sudah tetap berdasarkan keyakinan, tidak akan hilang
karena keragu-raguan.

2. ‫ (إستصحاب عدم األصلي المعلوم بالعقل في األحكام الش**رعية‬Istishab ‘Adam al-Ashly al-
Ma’lum bi al-‘Aqli fi al-Ahkam al-Sya’iyyah)

10
Yaitu: kontinuitas hukum dasar ketiadaan berdasarkan argumentasi rasio dalam
konteks hukum-hukum syar’iy. Maksudnya memberlakukan keberlanjutan status
ketiadaan suatu dengan adanya peniadaan yang dibuat oleh akal lantaran tidak
adanya dalil syar’iy yang menjelaskannya.
Contoh:
- Kasus tuduhan A kepada B bahwa B mempunyai hutang kepada A, tetapi A
tidak memiliki bukti konkrit.
Penyelesaian kasus seperti ini, harus dikembalikan kepada dasar awal, dimana
B tidak mempunyai hutang kepada A, sebab dasar yang bisa memperkuat
bahwa B mempunyai hutang kepada A tidak ada. Keputusan ini sesuai dengan
teori:
‫األصل في اإلنسان البراءة‬
Artinya: Asal yang ada pada manusia itu adalah kebebasan.
‫األصل براءة الذمة‬
Artinya: Hukum asal adalah terlepas dari tanggung jawab.

3. ‫(إستصحاب حكم إباحة األشياء لألشياء‬Istishab Hukm Ibahah al-Asyya’li al-Asyya’li al-
Asyya’)
Yaitu: menetapkan berlakunya hukum asal atas segala sesuatu.
Contoh:
Hukum kebolehan mengkonsumsi semua jenis makanan dan minuman, selama
tidak ada ketentuan hukum secra pasti dari syari’. Hal ini sesuai dengan teori:
‫األصل في األشياء اإلباحة‬
Artinya: Asal sesuatu adalah mubah atau boleh.

4. ‫( إستصحاب المقلوب‬Istishab Maqlub/Pembalikan)


Yaitu: Istishab terhadap kondisi sekarang dalam menentukan status hukum pada
masa lampau, sebab istishab pada bentuk-bentuk sebelumnya merupakan
penetapan sesuatu pada masa kedua berdasarkan ketetapannya pada masa pertama
lantaran tidak ditemukannya dalil secara spesifik.

Contoh:

11
- Kasus seseorang yang sedang dihadapkan pada pertanyaan: Apakah si Fulan
kemarin berada ditempat ini? Padahal kemarin dia benar-benar melihat si
Fulan disini. Lalu dia menjawab: Benar dia berada disini kemarin.
Berdasarkan hasil pengklasifikasian istishab seperti itu, dapatlah ditetapkan
bahwa dasar pijakan hukum dari teori istishab adalah sebagai berikut:
‫األصل بقاء ما كان على ما كان حتى يثبت ما يغيره‬
Artinya: Asal sesuatu itu merupakan ketetapan terhadap sesuatu yang sudah
ada berdasarkan keadaan semula, sampai ditemukan adanya ketetapan lain
yang merubahnya.
‫ما ثبت باليقين ال يزول بالشك‬
Artinya: apa yang sudah tetap bedasarkan keyakinan, tidak akan hilang karena
keragu-raguan.
‫األصل في األشياء اإلباحة‬
Artinya: Asal segala sesuatu itu adalah kebolehan.
‫األصل في اإلنسان البراءة‬
Artinya: Asal yang ada pada manusia itu adalah kebebasan.
‫األصل براءة الذمة‬
Artinya: Hukum asal adalah terlepas dari tanggung jawab.
Dalam menggapi persoalan boleh dan tidaknya teori istishhab, dijadikan hujjah dalam
ber-istinbathil hukm al-syar’iy, para ahli hukum Islam berbeda-beda dalam memberikan
tanggapan:
1. Mayoritas ulama mutakallimin, seperti Hasan al-Bashriy, berpendapat bahwa
Istishhab secara mutlak tidak dapat dijadikan hujjah dalam beristinbathil hukm al-
syar’iyII, sebab menentukan kepastian ada dan tidaknya hukum terdahulu harus
bisa dibuktikan keberadaannya dengan suatu dalil.
2. Mayoritas ulama dari kalangan Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanbaliyyah, dan
Dzahiriyyah berpendapat bahwa teori istishhab secara mutlak dapat dijadikan
hujjah dalam ber-istinbathil hukm al-syar’iy, selama belum ada dasar lain yang
merubahnya.
3. Sebagian besar ulama mutaakhirin dari sebagian kelompok Hanafiyyah
berpendapat bahwa teori Istishhab bukan merupakan hujjah dalam menetapkan
sesuatu yang tidak tetap, tetapi hanya melestarikan, sebab istishhab hanya
merupakan hujjah dari ketetapan yang sudah ada berdasarkan keadaan semula.

12
Dari ketiga pandangan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa teori istishhab tetap
saja dapat dijadikan sebagai hujjah dalam ber-istinbathil hukm al-syar’iy, baik yang
berhubungan dengan peribadatan, mu’amalah, adat, dan lain-lain yang ada hubungannya
dengan kemanusiaan, sebab dengan diperbolehkannya teori istishhab sebagai hujjah ber-
istinbathil hukm al-syar’iy, akan memberikan peluang yang sangat baik bagi para praktisi
hukum dalam mengeluarkan atau menetapkan fatwa-fatwa mereka secara mudah.

3) MASLAHAH MURSALAH (‫)مصلحة مرسلة‬


Mashalahan adalah kalimat isim yang berbentuk mashdar dan artinya sama dengan
kata al-shulhu yang artinya sinonim dengan kata al-manfa’at, yaitu kenikmatan atau sesuatu
yang akan mengantarkan kepada kenikmatan. Sedangkan menurut istilah, para ahli ushul
berbeda-beda dalam mendefinisikannya, di antaranya adalah:
a. pada dasarnnya mashlahan adalah meraih kemanfaatan atau menulak kemadlaratan;
b. Mashlahah adalah bentuk perbuatan yang bermanfaat yang telah di perintahkan oleh
syar’i (Allah) kepada hamba-Nya untuk memelihara agama, jiwa,akal, keturunan, dan
harta benda merek;
c. Mashalahah adalah memelihara tujuan syara’ dengan cara menolak segala sesuatu
yang dapat merusakkan makhluk.
Dari ketiga definisi tersebut dapat di pahami bahwa ketiganya memiliki tujuan yang
sama, yaitu memelihara tercapainnya tujuan syara’, yaitu menolak madlarat dan meraih
mashlahah.
Jadi, mashlalah mursalah adalah kemaslahatan yang tidak memiliki dasar sebagai
dalilnya dan juga tidak ada dasar sebagai dalil yang membenarkannya. Oleh sebab itu jika di
temukan kasus yang ketentuan hukumnya tidak ada dan tidak ada pula ‘illat yang dapat di
keluarkan dari syara’ yang menentukan kepastian hukum dari kasus tersebut, lalu di temukan
sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’ , dalam arti ketentuan hukum yang berdasarkan
pada pemeliharaan ke adlaratan atau menyatakan bahwa sesuatu itu bermanfa’at, maka kasus
seperti itu di kenal dengan sebutan maslahah mursalah.
Imam Malik adalah Imam madzhab yang menggunakan dalil maslahat mursalah.
Untuk menerapkan daliil ini, yang dapat di pahami melalui definisi ia mengajukan tiga syarat
yaitu :

13
a. Adanya persesuaian antara maslahat yang di pandang sebagai sumber dalil yang
berdiri sendiri dengan tujuan-tujuan syari’at (maqashid as-syari’ah). Dengan adanya
persyaratan ini, berarti maslahat tidak boleh menegasikan sumber dalil yang lain, atau
bertentangan dengan dalil yang qat’iy. Akan tetapi harus sesuai dengan maslahat-
maslahat yang memang ingin diwujudkan oleh syari’. Misalnya, jenis maslahat itu
tidak asing, meskipun tidak di perkuat dengan adanya dalil khas.
b. Maslahat itu harus masuk akal (rationable), mempunyai sifat-sifat yang sesuai dengan
pemikiran yang rasional, dimana seandainnya diajukan kepada kelompok rasionalis
akan dapat di terima.
c. Penggunaan dalil maslahat ini adalah dalam rangka menghilangkan kesulitan yang
mesti terjadi (raf`u haraj lazim) dalam pengertian, seandainya maslahat yang dapat
diterima akal itu tidak diambil, niscaya manusia akan mengalami kesulitan. Allah
berfirman :
‫َما َج َع َل َعلَي ُكم في الدين من َح َرج‬
Artinya : “Dan dia tidak sekali-kali menjadikana nak untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan”
[Surat AL-Hajj: 78]
Syarat-syarat di atas adalah syarat-syarat yang masuk akal yang dapat mencegah
penggunaan sumber dalil ini (maslahat mursalah) tercerabut dari akarnya (menyimpang daro
essensinya) serta mencegah dari menjadikan nash –nash tunduk kepada huukm-hukum yang
di pengaruhi hawa nafsu dan syahwat dengan mursalah.

Klasisifikasi maslahah
Para ahli ushul bersepakat untuk mengatakan bahwa “maslahah” dapat di bagi
menjadi beberapa bagian, baik dari sisi eksistensi maupun subtansinya :
1. Dari sisi eksistensinya, mashlahah terbagi menjadi tiga :
a) Maslahah mu’tabarah
Maslahah mu’tabarah yaitu maslahah yang keberadaanya di perhitungkan
oleh syara’ seperti maslahah yang terkandung dalam masalah pensyari’an hukum
qishas bagi pembunuhan sengaja, sebagai simbol pemeliharaan jiwa manusia.
Bentuk maslahah ini oleh sebagian ulama di masukkan kedalam kategori
qiyas (analogi), misalnnya hukum keharaman semua bentuk minuman yang

14
memabukkan dengan dianalogikan kepada khamr yang keharamannya di tegaskan
oleh nash al-Quran.
b) Maslahah Mulghah
Maslahah Mulghah yaitu maslahah yang di buang lantaran bertentangan
dengan syara’ atau berarti maslahah yang lemah dan bertentangan dengan maslahah
yang lebih utama. Bentuk ini lazimnya bersifat kontradiktif terhadap bunyi nash, baik
Al-Qur’an maupun hadist, seperti:

a. Maslahah yang terkandung dalam hak istri untuk menjatuhkan talak kepada
suami, tetapi hal ini tidak di akui oleh syara’, sebab hak menjatuhkan talak
hanya dimiliki oleh suami dan ini dimungkinkan karena pertimbangan
psikologis kemanusiaan.
b. Putusan seorang raja tentang “denda kafarah” berpuasa dua bulan berturut-turut
sebagai ganti dari denda memerdekakan budak bagi mereka yang melakukan
hubungan seks dengan istrinya di siang hari bulang ramadhan. Bentuk mashalah
disini, seorang raja dengan mudah akan dapat membayarnya, yaitu berpuasa dua
bulan berturut-turut.
c) Maslahah Mursalah
Maslahah Mursalah yaitu mashalah yang didiamkan oleh syara’ dalam wujud
tidak adanya pengakuan maupun pembatalan secara eksplisit atau kemaslahatan yang
keberadaannya tidak disinggung-singgung oleh syara’ atau didiamkan. Seperti
pembukuan al-Qur’an menjadi satu mushhaf, sistem penjara bagi pelaku tindak
pidana, pengadaan mata uang dengan sistem sirkulasinya, dan lain sebagainya.
2. Dari segi substansinya, maslahah di bagi menjadi tiga :
a. Mashlahah dharuriyyah (kepentingan primer)
Mashlahah dharuriyyah (kepentingan primer) yaitu maslahah yang berkaitan
dengan penegakan atau kepentingan agama dan dunia, dimana tanpa kedatangannya
akan menimbulkan cacat dan cela. Ini merupakan dasar utama bagi beberapa
maslahah lain.
b. Mashlahah hajiyyah (kepentingan skunder)
Mashlahah hajiyyah (kepentingan skunder) yaitu yang di butuhkan untuk
menghilangkan kesukaran dalam kehidupan dan memberikan kelonggaran. Ini
merupakan penyangga dan penyempurna bagi kepentingan primer.
c. Mashlahah tahsiniyyah (kepentingan pelengkap)

15
Mashlahah tahsiniyyah (/kepentingan pelengkap) yaitu mengambil apa-apa
yang sesuai dengan apa yang terbaik dari kebiasaan dan menghindari cara-cara
yang tidak di senangi oleh orang baik dan bijak . ini merupakan salah satu
penopang bagi kepentingan hajiyyah.
Ketigannya membentuk satu struktur yang saling berhubungan satu dengan yang lain.
Artinya, pertimbangan unsur skunder (hajiyyah) tidak boleh membatalkan tujuan asal atau
primer (dharuriyyah). Oleh sebab itu, pelengkap (tahsiniyyah) merupaka unsur penyempurna
bagi kepentingan skunder (hajiyyah) dan kepentingan skunder adalah pelengkap dan
penopang kepentingan primer. Inilah yang membuat tercetusnya rumusan lima ketentuan,
yaitu :
 Maslahah dharuriyyah merupakan asal bagi semua kepentingan yang lain.
 Kerusakan pada kepentingan primer berarti kerusaka bagi kepentingan yang lain
secara mutlak.
 Kerusakan pada kepentingan yang lain tidak harus berarti merusak kepentingan
primer.
 dalam kasus –kasusu tertentu, kerusakan pada kepentingan sekunder atau pelengkap
dapat berakibat pada rusaknya kepentingan primer.
 Perlindungan terhadap kepentingan skunder dan pelengkap, harus dilakukan untuk
mencapai kepentingan primer.346

Akan tetapi, jika dilihat dari sisi watak akomodasinya terhadap kondisi lingkungan
dan sosial, mahlahah terbagi menjadi 2:
1. Maslahah yang dapat beradaptasi dengan perubahan ruang, waktu, dan lingkungan
sosial, sebab banyak obyek utamanya adalah mu’amalah (masalah sosial
kemasyarakatan) dan hukum-hukum kebiasaan (adat).
2. Masalah yang berwatak konstan. Hal ini tidak dapat di rubah hanya karena
perubahan lingkungan, sebab ini berkaitan dengan persoalan-persoalan ibadah
mahdlah atau ritus keagaman.

Kehujjahan Maslahah Mursalah


Tentang kehujjahan maslahah mursalah, para ahli hukum islam berbeda pendapat :
Kelompok Syafi’iyyah, sebagian malikiyyah (seperti ibnu hajib), dankelompok Al-
Fhahiriy berpendapat bahwa mashlahah hukm al-syar’iy.

16
Sebagian kelompok malikiyyah dan syafi’iyah berpendapat bahwa mashlahah
mersalah dapat di jadikan sebagai hujjah dengan syarat harus memiliki semua
persyaratan yang sudah di tentukan oleh para ahli hukum islam, seperti Imam Malik
sendiri, dengan alasan tujuan Allah mengutus seorang Rasul adalah untuk
membimbing umat kepada kemaslahatan. Karena itu, mashalahah merupakan salah
satu yang pada hakikatnya di kehendaki oleh syara’ atau agama, sebab tujuan utama
di adakannya hukum oleh allah hanyalah untuk kepentingan ummat, baik dunia
maupun akhirat.

Dari kedua pandangan tersebut, al-qarafiy berpendapat bahwa pada dasarnya semua
mahzab telah berhujjah dengan menggunakan teori mashlahah murasalah, sebab mereka
sudah mengaplikasikan teori qiyas, bahkan mereka sudah melakukan pembedaan antara satu
dengan yang lain lantaran adanya ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat.

4) `URF (‫)عرف‬
`Urf secara bahasa artinya kebiasaan baik, sedangkan menurut istilah adalah suatu
perbuatan atau perkataan dimana jiwa merasakan suatu ketenangan dalam mengerjakannya
karna sudah sejalan dengan logika dan dapat diterima oleh karakter kemanusiaan. Oleh
karena itu, ia dapat dijadikan sebagai hujjah, karena ia lebih cepat dipahami. Atau sesuatu
yang telah diketahui oleh publik dan dikerjakan oleh mereka, baik dari perkataan, perbuatan
atau sesuatu yang ditinggalkan. Ini biasa disebut juga “adat”. Adapun dasarnya adalah al-
qur`an dan hadist sebagai berikut :
bِ ْ‫َو ْأ ُمرْ بِ ْالعُر‬
َ‫ف َوأَ ْع ِرضْ َع ِن ْال َجا ِهلِين‬
Artinya : “Menyuruhlah kepada kebaikan, serta berpalinglah dari orang-orang bodoh."
[Surat Al-A'raf: 199]

ِ ‫َو َمتِّعُوه َُّن َعلَى ْٱل ُمو ِس ِع قَ َد ُرهۥُ َو َعلَى ْٱل ُم ْقتِ ِر قَ َد ُرهۥُ َم ٰتَ ۢ ًعا بِ ْٱل َم ْعر‬
‫ُوف‬

Artinya : “Dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang
yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya
(pula), yaitu pemberian menurut yang patut.”
[Surat Al-Baqarah: 236]

17
ٌ ِّ‫ َو َما َرآهُ ْال ُم ْسلِ ُموْ نَ َسيِّئاً؛ فَه َُو ِع ْن َد هللاِ َسي‬،‫َما َرآهُ ْال ُم ْسلِ ُموْ نَ َح َسناً؛ فَهُ َو ِع ْن َد هللاِ َح َس ٌن‬
‫ئ‬

Artinya : “Apa saja yang dipandang kaum muslimin merupakan kebaikan maka ia di sisi
Allah juga merupakan kebaikan. Dan apa saja yang dipandang kaum muslimin merupakan
keburukan maka ia di sisi Allah juga merupakan keburukan”.
[HR. Ahmad]

Contoh :
 Syara` menetapkan alat tertentu seperti mud, sha`, rithl dan sebagainya untuk
mendapatkan ukuran gandum, kurma dan garam yang mau dijual-belikan. Kemudian
adat kebiasaan atau `urf berubah dalam menetapkan ukurannya dengan timbangan
yang lain.
 Pada awal islam, para guru al-Qur`an menerima hadiah dari masyarakat yang
besarnya lumayan, lalu Abu Hanifah dan kedua muridnya (Muhammad dan Yusuf)
tidak membolehkan mengajar al-Qur`an dengan memungut upah. Akan tetapi, setelah
keadaan berubah dimana para guru sudah tidak dapat lagi menerima hadiah atas
amalnya, maka para ulama bersepakat untuk memberikan fatwa boleh memberi upah
atas pekerjaan guru karna adat sudah berubah.
 Tata cara berpakaian dan makan masyarakat, dimana saat dahulu makan dengan
sendok, garpu atau berpakaian jas lengkap dengan dasinya bisa dianggap tasyabbuh
dengan orang kafir sehingga hukumnya haram; akan tetapi sekarang adat sudah
berubah sehingga tidak lagi haram.
Dari dasar al-Qur`an dan Hadist tersebut, adat seringkali disebut-sebut sebagai `urf.
Sekalipun mayoritas ulama membedakan keduanya, mereka tetap bersepakat untuk
menyatakan bahwa adat atau `urf bisa diterima sebagai salah satu patokan hukum jika
memenuhi syarat-syaratnya sebagai berikut :
1. Tidak bertentangan dengan syara`.
2. Tidak menyebabkan kemafsadahan dan menghilangkan kemaslahatan.
3. Tidak berlaku umum dikalangan kaum muslim.
4. Tidak berlaku dalam ibadah mahdhah
5. `Urf tersebut sudah memasyarakat saat akan ditetapkan sebagai salah satu patokan
hukum.

18
6. Tidak bertentangan dengan sesuatu perkara yang telah diungkapkan dengan jelas,
sebab dalam teori lain dinyatakan bahwa :
‫العرف في الشارع له إعتبار؛ العرف شريعة محكمة‬
Artinya : `urf pada syara` mempunyai penghargaan (nilai hujjah) dan teori `urf
merupakan dasar hukum yang dibakukan (sebagai ketetapan hukum).

Macam-macam `urf
Para ahli ushul fiqih bersepakat untuk membaginya menjadi 2 macam, yaitu :
a. `Urf yang benar (‫)العرف الصحيح‬
`Urf yang benar adalah kebiasaan yang tidak menyalahi nash, misalnya
menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, seperti memberikan
kado kepada pengantin pada malam resepsi pernikahan.
b. `Urf yang salah (‫)العرف الفاسد‬
`Urf yang salah yaitu kebiasaan yang bertentangan dengan syara` atau hal-hal
yang bisa membawa kepada keburukan. Misalnya menghalalkan sesuatu yang
diharamkan atau mengharamkan sesuatu yang dihalalkan, seperti kebiasaan
berbuat perbuatan ribawiy (membiasakan makan makanan riba), membiasakan
minum minuman yang memabukkan, membuka aurat dan menghalangi
perjuangan agama dan sebagainya.

Menanggapi masalah kehujjahan `urf dalam ber-istinbath al-hukm asy syar`i, para ahli
hukum berpendapat :
1. Kelompok Hanafiyyah dan Malikiyyah berpendapat bahwa teori `urf dapat
dijadikan hujjah untuk menetapkan hukum atau ber-istinbath al-hukm asy-syar`i.
Dasarnya adalah :
ِ ْ‫ُخ ِذ ْال َع ْف َو َو ْأ ُمرْ بِ ْالعُر‬
َ‫ف َوأَ ْع ِرضْ َع ِن ْال َجا ِهلِين‬
Artinya : Jadilah engkau pemaaf dan menyuruhlah kepada kebaikan, serta
berpalinglah dari orang-orang bodoh."
[Surat Al-A'raf: 199]
ٌ ِّ‫ َو َما َرآهُ ْال ُم ْسلِ ُموْ نَ َسيِّئاً؛ فَه َُو ِع ْن َد هللاِ َسي‬،‫َما َرآهُ ْال ُم ْسلِ ُموْ نَ َح َسناً؛ فَهُ َو ِع ْن َد هللاِ َح َس ٌن‬
‫ئ‬
Artinya : “Apa saja yang dipandang kaum muslimin merupakan kebaikan maka ia di sisi
Allah juga merupakan kebaikan. Dan apa saja yang dipandang kaum muslimin merupakan
keburukan maka ia di sisi Allah juga merupakan keburukan”.

19
[HR. Ahmad]

2. Kelompok Syafi`iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa teori `Urf tidak bisa
dijadikan hujjah untuk menetapkan hukum.
Adapun untuk mengetahui kedudukan `urf sebagai salah satu patokan hukum, para
ahli beragam dalam memeganginya sebagai dalil hukum, yaitu :
a. Abu Hanifah
Al-qur`an, Sunnah, Ijma`, Qiyas, Istihsan, dan `urf masyarakat.
b. Imam Malik
Al-qur`an, Sunnah, Ijma`, Qiyas, Istihsan, Istishab, Maslahah Mursalah,
Syadduzdhara`i dan `urf.
c. Malikiyyah membagi `urf menjadi 3, yaitu :
- Yang dapat ditetapkan sebagai hukum lantaran nash menunjukkan hal
tersebut.
- Jika mengamalkannya berarti mangamalkan yang dilarang atau mengabaikan
syara`.
- Yang tidak dilarang dan tidak diterima lantaran tidak ada larangan.
d. Imam Syafi`i
Imam Syafi`i tidak mempergunakan `urf atau adat sebagai dalil, karena beliau
berpegang pada al-Qur`an, Hadist, Ijma` dan Ijtihad yang hanya dibatasi dengan
qiyas saja. Karena itu keputusan yang telah diambil oleh Imam Syafi`i dalam
wujud Qaul Jadid, merupakan suatu penyeimbang terhadap penetapan hukumnya
di Baghdad dalam wujud Qaul Qadim.

5) SYAR`U MAN QABLANA(‫)شرع من قبلنا‬


Yang dimaksud dengan istilah syar`u man qablana adalah sesuatu yang telah
dinukilkan kepada kita dari hukum-hukum syara’ yang telah disyari’atkan Allah kepada umat
terdahulu melalui para nabi yang diutus kepada umat, seperti Nabi Ibrahim, Nabi Musa dan

20
Nabi ‘Isa as. Maksudnya adalah syari’ah-syari’ah yang telah diberlakukan masa para nabi
terdahulu sebelum datangnya NabiMuhamad SAW. Jika al-Qur’an atau Hadist menceritakan
suatu hukum yang telah di syari’atkan oleh Allah kepada umat terdahulu melalui para rasul,
lalu nash tersebut diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada mereka, maka
hukum tersebut ditujukkan juga kepada kita dan statusnya wajib diikuti, seperti kewajiban
berpuasa, yaitu:
‫م‬bْ ‫ب َعلَى الَّ ِذينَ ِم ْن قَ ْبلِ ُك‬
َ ِ‫صيَا ُم َك َما ُكت‬ َ ِ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ُكت‬
ِّ ‫ب َعلَ ْي ُك ُم ال‬
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian”
[Surat Al-Baqarah : 183]
Sebaliknnya, jika diceritakan suatu hukum yang telah ditetapkan status hukumanya
kepada para umat terdahulu, lalu hukum tersebut dihapus untuk kita, maka para ulama
bersepakat untuk mengatakan bahwa hukum tersebut tidak di syari`atkan kepada kita, seperti
syari’ah Nabi Musa AS tentang:
- Kewajiban membunuh diri sendiri bagi pelaku dosa sebagai ampunannya.
- Memotong atau menyobekkan ggota badan yang terkena najis sebagai tatacara bersuci.

Klasfikasi Syar’u Man Qablana


Dari penjelasan definisi syar’u man qablana diatas, hukum dapat dikelompokkan
menjadi 3, yaitu:
1. Hukum (syari`ah) telah di hapus atau di-mansukh berdasarkan dalil-dalil qath’iy.
Hal itu statusnya tidak menjadi hukum( syari’ah) kita. Seperti firman Allah dalam
Surat al-An’am : 145-146 yang artinnya: “Katakanlah, tidak Aku peroleh dalam
wahyu yang telah diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang
yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangakai atau darah yang
mengalir atau daging babi, karena seungguhnya semua itu kotor atau binatang
yang di sembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang tidak dalam keadaan
terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas,
maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan
kepada orang-orang Yahudi Kami haramkan segala binatang yang berkuku dan
dari sapi dandomba di haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu.

21
2. Hukum (syari’ah) mereka masih menjadi hukum kita berdasarkan dalil-dalil yang
qath’iy.
Hal ini jelas menjadi hukum (syari’ah) kita dan wajibkan kita amalkan.
Contoh :
- Puasa wajib bagi ummat terdahulu, yaitu dalam surat al- Baqarah: 183.
- Udlhihyyah (sembelihan) yang disyari’atkan kepada Nabi Ibrahim,
menjadi hukum bagi kita sampai hari ini. Hal iniberdasarkan :
ْ‫ص ِّل لِ َربِّكَ َوا ْن َحر‬
َ َ‫ف‬
Artinya : “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan lakukanlah
penyembelihan binatang”
[Al-Kautsar: 2]

b‫ سنة أبيكم إبراهيم‬b‫ضحوا فإنها‬


Artinya: “Berkorbanlah! Sebab berkorban itu termasuk perbuatan yang
pernah di kerjakan oleh bapakmu Nabi Ibrahim.
[HR. Ibnu Majah]
3. Hukum (syari’ah) mereka hanya dikisahkan Allah kepada kita tetapi tidak ada
dalil yang menunjukkan apakah hukum (syari’ah) tersebut dihapus atau tidak.
Contoh: Hukum (syari’ah) Bani Israel yang dijelaskandidalamkitabInjil, seperti
yang di jelaskan pula di dalam al-Qur’an:
‫اص‬
ٌ ‫ص‬ َ ‫سنِّ َوا ْل ُج ُر‬
َ ِ‫وح ق‬ ِّ ‫سنَّ بِال‬ ُ ِ‫األذنَ ب‬
ِّ ‫األذ ِن َوال‬ ُ ‫ف َو‬
ِ ‫س َوا ْل َعيْنَ بِا ْل َع ْي ِن َواأل ْنفَ بِاأل ْن‬ َ ‫َو َكتَ ْبنَا َعلَ ْي ِه ْم فِي َها أَنَّ النَّ ْف‬
ِ ‫س بِالنَّ ْف‬
Artinya : “Dan kami telah tetapkan terhadap mereka didalamnya (al-Taurat)
bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan
hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi dan luka pun ada qishashnya.”
[Surat Al-Maidah: 45]
Dalam menanggapi macam ketiga ini, para ahli ushul berbeda pendapat tentang :
- Apakah hal seperti ini tetap menjadi hukum (syari’ah) kita dan wajib diikuti?
- Ataukah hanya sekedar berita dari Allah yang tidak ada kaitannya dengan
hukum (syari’ah)?
Dalam menanggapi persoalan sejauh mana kehujjahan syar’u man qablana dalam ber-
instinbatilhukum al-syar’iy, para ahli ushul berbeda pendapat:
1. Kelompok ulama Hanifiyyah dan Malikiyyah berpendapat bahwa hukum
(syari’ah) umat sebelum kita yang berhubungan dengan hukum-hukum, menjadi

22
hukum (syari`at) bagi kita juga dan wajib mengikutinnya, sebab Allah telah
berfirman:
ٓ
َ‫لُ ُك ْم َعلَ ْي ِه أَجْ رًا إِ ْن هُ َو إِاَّل ِذ ْك َر ٰى لِ ْل ٰ َعلَ ِمين‬bََٔ‫م ٱ ْقتَ ِد ْه قُل ٓاَّل أَسْٔـ‬bُ ُ‫أُ ۟و ٰلَئِكَ ٱلَّ ِذينَ هَدَى ٱهَّلل ُ فَبِهُ َد ٰىه‬
Artinya: “Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka
ikutilah mereka.”
[Surat Al-An`am: 90]
‫ك أَ ِن ٱتَّبِ ْع ِملَّةَ إِب ٰ َْر ِهي َم َحنِيفًا‬
َ ‫ثُ َّم أَوْ َح ْينَٓا إِلَ ْي‬
Artinya: “Kemudian kami wahyukankepadamu (Muhamad) ikutilah agama
Ibrahim yang hanif.”
[Surat An-Nahl: 123]
2. Sebagian besar kelompok Syafi`iyyah berpendapat bahwa syar`u man qblana
tentang hukum tidak pula menjadi hujjah dan tidak wajib mengamalkannya, sebab
Allah berfirman:
‫لِ ُكلٍّ َج َع ْلنَا ِم ْن ُك ْم ِشرْ َعةً َو ِم ْنهَا ًج‬

Artinya: Bagi tiap-tiap umat diantara kamu (umat Nabi Muhamad dan umatnya yang
sebelumnya) Kami berikan aturan-aturannya dan jalan yang terang .
[Surat Al-Maidah: 48]

3. Syari`at (hukum) umat sebelum kita terkadang menjadi hukum (syari`at) kita dan
terkadang tidak. Pandangan ini berasal dari madzahab Ibnu hambal, dan alasannya
seperti pada kelompok pertamadan kedua.
Dengan demikian, dari beberapa pendapat dan dadil-dadilnya dari masing-masing
mazhab, dapat diambil pemahaman bahwa syar`u man qablana hakikatnya merupakan dalil
tersendiri yang persoalannya harus dilihat lebih jauh melalui al-Qur`an dan Hadis, sebab
persoalannya sudah menjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul. Kita tidak boleh
langsung mengambilnya kecuali ada dalil yang secara tegas menentukannya, baik dari al-
Qur`an maupun hadis.

6) MAZHAB SHAHABY(‫)مذهب صحابي‬


Diketahui bersama bahwa setelah Rasulullulah SAW wafat, orang yang memiliki hak
untuk memberikan fatwa dan membentuk hukum-hukum Islam untuk kepentingan umat islam
adalah para sahabat yang benar- benar ahli dalam bidang hukum dan seluk-seluknya.

23
Hal itu bisa dilihat dari keakraban mereka dengan beliau SAW dalam pergaulan
keseharian mereka, sehingga mereka memiliki kemampuan prima dalam memahami isi
kandungan al-Qur`an dan hukum-hukum yang ada di dalamnya. Sekalipun demikian, yang
perlu diingat adalah bahwa semua produk hukum islam pada dasarnya hanya bersumber dari
al-Qur`an dan al-hadits dan tidak ada peluang sedikitpun bagi seseorang untuk menetapkan
status hukum syari`ah, hanya saja dalam memastikan vadilitas nash, tetap membutuhkan
adanya periwayatan dari generasi ke generasi, sebab dalam realitasnya suatu bacaan ayat-ayat
al-Qur`an bisa dipastikan statusnya sebagai al-Qur`an jika di riwayatkan secara mutawatir
dari Rasulullah kepada sahabat, lalu ke generasi sahabat selanjutnya.
Dari factor itulah, para sahabat memiliki hak untuk mengeluarkan berbagai fatwa
tentang berbagai kasus, baik dalam bentuk perkataan maupun tindakan. Dan dari faktor ini
pula, muncul istilah mazhab sahabat atau aqwal sahabat, yang maksudnya adalah pendapat-
pendapat para sahabat dalam berbagai masalah ijitihadiyah.
Dengan demikian, Aqwal sahabat adalah semua perkataan, tindakan dan ketetapan
sahabat dalam meriwayatkan dan memutuskan suatu persoalan. Karena itu semua aqwal
sahabat dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan awal karena legalitasnya sebagai sumber
hukum islam tersendiri, misalnya keputusan-keputusan atau fatwa-fatwa sahabat dalam
berbagai status hukum yang status hukumnya tidak ditentukan didalam nash al-Qur`an dan
hadis dan tidak ada pula di dalam ijma`.
Oleh sebab itu, para Imam Mujtahid bersepakat untuk mengadopsi fatwa-fatwa atau
aqwal sahabat dalam persoalan itijhadiyyah, sebab fatwa- fatwa atau aqwal tersebut sebagai
bagian khabar taufiqiy (riwayatdogmatik) yang bersumber langsung dari Nabi SAW.
Dalam menghadapi masalah kemandirian kehujjahan aqwal sahabat, para ulama
bersepakat untuk mengatakan bahwa aqwal sahabat atau mazhab sahabat, dapat menjadi
hujjah. Hanya saja yang masih diperselisihkan diantara mereka adalah masalah “Apakah
mendapat sahabat itu bisa dijadikan sebagai hujjah atas tabi`in dan tabi`it tabi`in, padahal
perbedaan ini terjadi hanya pada persoalan ijtihad yang mereka pakai?”.

Untuk menanggapi persoalan ini, para ahli berbeda pandangan, diantaranya adalah :
a. Imam Malik, Abu Bakar ar-Raziy, Abu Sa`id (pengikut Abu Hanifah), Imam
Syafi`i (dalam qaul qadimnya) dan Imam Ahmad bin Hanbal (dalam 1 riwayat)

24
berpendapat bahwa aqwal sahabat atau mazhab sahabat dapat dijadikan sebagai
hujjah oleh generasi penerusnya. Dasarnya adalah :
bِ ‫اس تَأْ ُمرُونَ بِ ْٱل َم ْعر‬
‫ُوف َوتَ ْنهَوْ نَ َع ِن ْٱل ُمن َك ِر‬ ْ ‫ُكنتُ ْم َخي َْر أُ َّم ٍة أُ ْخ ِر َج‬
ِ َّ‫ت لِلن‬
Artinya : “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar”.
[Surat Al-Imran: 110]
‫ فأيهم أخذتم بقوله اهتديتم‬b‫أصحابي مثل النجوم‬
Artinya : “Sahabatku bagaikan bintang-bintang, siapa saja diantara mereka yang
kamu ikuti, pasti engkau mendapatkan petunjuk.”
[HR. `Abd bin Humaid]
‫خير القرون الذي أنا فيه ثم لثاني ثم لثالث‬
Artinya : “Sebaik-baik masa adalah masa dimana aku hidup, lalu masa kedua
kemudian masa ketiga.
[HR. Muslim]
b. Jumhur Asy`ariyyah dan Mu`tazilah, Syi`ah, Imam Syafi`i (dalam qaul jadidnya),
Abu Hasan al-Kharkhiy (dari kelompok Hanafiyyah), dan Malikiyyah berpendapat
bahwa aqwal sahabat atau mazhab sahabat tidak bisa dijadikan hujjah atas sahabat
lain. Dengan alasan :
- َ ٰ ‫ُوا ٰيَٓأ ُ ۟ولِى ٱأْل َب‬
‫ر‬bِ ‫ْص‬ ۟ ‫فَٱ ْعتَبر‬
ِ
Artinya : “Maka ambillah (dari kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai
orang-orang yang memiliki pandangan luas. [Surat Al-Hasyr: 2]
- Adanya kenyataan bahwa hasil ijtihad sahabat satu dengan sahabat yang
lain tidak sama, seperti yang terjadi antara sahabat Umar dan Ali bin Abi
Thalib dalam kasus sebagai berikut :
“Ada seorang laki-laki menikahi seorang wanita yang masih dalam
keadaan `iddah dari suami pertama, lalu dipisahkan atau diceraikan
lantaran pernikahannya dianggap tidak sah”.
Dalam menanggapi kasus ini, para sahabat berbeda pendapat, yaitu :
 Sahabat Umar bin Khattab dengan menggunakan teori qiyas,
mengatakan bahwa laki-laki tersebut haram mengulangi nikahnya
kembali. Hal ini diqiyaskan dengan terhalangnya hak waris bagi
ahli waris yang membunuh pewarisnya. Dimana `illahnya adalah
“tergesa-gesa melakukan sesuatu sebelum sampai saatnya”.

25
 Sahabat Ali bin Abi Thalib menggunakan teori istishab bara`ah al-
ashliyyah, yaitu berpegang pada keadaan asal yang dekat, dengan
mengatakan bahwa laki-laki tersebut boleh menikahi kembali
wanita tersebut setelah diceraikan suaminya dan setelah habis
masa `iddah dengan suami pertamanya, sebab asalnya wanita
tersebut telah diceraikan dan telah berlangsung habis masa
iddahnya.

BAB III
PENUTUP

26
3.1 Kesimpulan
Sumber hukum Islam yang tidak disepakati ulama yaitu Istishan, Maslahah Mursalah,
Urf, Syar’u Man Qablana, Mazhab Shahaby, merupakan ciri khas Isam dalam pengambilan
sumber hukum yang bertujuan untuk menyelesaikan suatu masalah dengan cara pandang atau
metode yang berbeda-beda. Sesuai dengan pemahaman mazhab dan dalilnya masing-masing.

3.2 Kritik dan Saran


Demikianlah makalah yang kami paparkan. Sebagai manusia, kami pun tak luput dari
kesalahan dan tentunya masih sangat jauh dari kesempurnaan. Tapi, semoga saja yang kita
pelajari ini bermanfaat dengan harapan bisa menambah pengetahuan dan keilmuan bagi kita
semua. Kritik dan saran bersifat membangun sangat diharapkan untuk menjadi koneksi
kedepan.

DAFTAR PUSTAKA

Zein, Ma`shum. Menguasai Ilmu Ushul Fiqih. Pustaka Pesantren : Yogyakarta. 2016.

27
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqih 2. Kencana Prenada Media Group : Jakarta. 2009.
Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Fiqih. PT. Pustaka Firdaus : Jakarta. 2011.

28

Anda mungkin juga menyukai