Anda di halaman 1dari 12

Hukum Islam Pada Periode Murrajihun

(Masa Taqlid Dan Jumud)


Oleh: Sahaludin Al Afgani Dan Fitri Nuraeni
ABSTRAK

Ijtihad merupakan salah satu hal yang sangat penting sebagai the principle of
movement (prinsip gerak) dalam Islam. Permasalahanpermasalahan aktual yang
berkembang di masyarakat yang belum pernah ada pada masa Rasulullah dan para sahabat
sangat membutuhkan kepastian hukum dari seorang mujtahid. Dalam menghadapi
permasalahan tersebut, tidak ada jalan lain, maka harus dipercaya adanya “kebebasan
untuk menilai”. Para ulama, terutama pada abad ke-4 H, khawatir bahwa dengan mengakui
keabsahan ijtihad akan mendorong munculnya penafsiran baru (reinterpretation) secara
perorangan dan timbul perpecahan. Cakupan ijtihad pun kemudian secara terus-menerus
dipersempit karena beberapa generasi ulama di kemudian hari yang didukung oleh ijma’
menutup berbagai kesenjangan dalam sistem-sistem ajaran dan hukum Islam. Akhirnya,
tidak ada lagi kesenjangan yang harus ditutup, atau tinggal beberapa kesenjangan yang
tidak begitu penting, dan “pintu ijtihad” pun, kata mereka ditutup dan tidak akan pernah
dibuka lagi. Pada awal abad ke-3 H, umat Islam mengalami masa kemunduran. Masa ini
adalah masa yang sangat menyedihkan dalam dinamika fiqh karena keterpakuan tekstual
dan taklid buta. Para fuqaha banyak memberi fatwa dan hukum tidak sesuai dengan
kemampuannya. Kondisi ini kemudian melahirkan pendapat dan fatwa bahwa ”pintu ijtihad
telah tertutup”. Walaupun secara formal pintu ijtihad tidak pernah ditutup, namun suatu
keadaan, sebagaimana dikemukakan oleh Fazlur Rahman, bahwa “kontraksi pemikiran”
yang terjadi secara perlahan-lahan, selama beberapa abad karena berbagai sebab telah
melanda umat Islam. Sejak saat itu pembahasan mengenai ijtihad di dalam literatur yuristik
menjadi bersifat formal, secara lambat laun serta pasti telah melanda dunia Islam di mana
seluruh kegiatan berpikir secara umum terhenti.
Kata Kunci: dinamika hukum Islam, ijtihad, taklid, kemunduran
PENDAHULUAN
Pada awal abad ke 3 hijriyah, ditengah tengah pesatnya perhatian ulama terhadap ilmu fiqih
dan berkembangnya kajian-kajian fiqih di berbagai wilayah, kebebasan berpendapat mulai
mengalami penahanan. Seiring dengan hal tersebut, pemerintahan Daulat Bani Abbasiyah
pun mengalami pergolakan, dikarenakan adanya pro-kontra terhadap sikap kepemerintahan
yang dinilai tidak tegas sehingga menimbulkan fanatisme kesukuan dan kecenderungan
pemahaman fiqih yang mendominasi daerah-daerah tertentu mulai melakukan pembelaan
terhadap madzhabnya. Ditambah dengan kondisi sosial politik yang tidak menentu, maka
pada pertengahan abad ke 4 H, pemerintah daulat bani abasiyah mulai terpecah-pecah
menjadi negara-negara kecil yang memiliki otonomi sendiri yang saling bersaing dan
berperang hingga jatuhnya kota baghdad.
Rangkaian peristiwa tersebut memicu munculnya periode penutupan pintu ijtihad karena
tidak adanya orang yang mampu lagi berijtihad. Mereka merasa tidak mampu lagi menyamai
keluasan dan kecerdasan berfikir para ulama terdahulu, sehingga mereka hanya mengadakan
pembelaan terhadap madzhab masing-masing. Hal seperti ini menyebabkan semakin
banyaknya perbedaan dalam pemecahan masalah yang semakin kompleks.
Dengan adanya perbedaan pendapat ulama tentang pemecahan – pemecahan masalah, baik itu
dalam hal ibadah, ketuhanan, syari’at dan masih banyak lagi, akhirnya muncullah imam-
imam madzhab dengan membawa hasil ijtihadnya masih-masing. Ijtihad para imam tersebut
untuk meminimallisir perbedaan serta untuk menemukan keputusan hukum yang benar atau
mendekati kebenaran.
Berdasarkan fenomena diatas, maka kiranya sangat perlu untuk mengkaji lebih lanjut tentang
keadaan tasyri’, gejala-gejala yang mendasari fenomena tasyri’ serta sumber-sumber tasyri’
yang digunakan pada masa tersebut. Agar dapat difahami betul runtutan penetapan hukum
(tarikh at tasyri’) dari masa rasulullah, sampai sekarang. Selanjutnya, lebih jauhh lagi
didalam makalah ini akan dibahas mengenai hal-hal tersebut, tahapan serta perkembangan
tasyri’ pada masa murajjihun.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tarjih dan Murajihhun
Secara bahasa, kata tarjih berasal dari kata ‫رجح‬44‫رجح – ي‬ yang berarti menguatkan.
Sedangkan secara terminologi, ada beberapa  pendapat yang diajukan oleh ulama fiqih
mengenai pengertian tarjih, yaitu :
1. Kelompok pertama :  Tarjih adalah hasil pemikiran para mujtahid. Tokoh dari kelompok
ini antara lain :
a. Ar Razi mendefinisikan tarjih dalam pengertiannya, sebagai berikut :
‫تقوية احد الطريقين على اال خر ليعلم االقوى فيعمل به ويطرح االخر‬
“menguatkan satu dalil atas dalil lainnya, agar dapat diketahui mana dalil yang lebih kuat
untuk diamalkan dan menggugurkan yang lainnya “
b. Al Baidlawi mendefinisikannya sebagai berikut :
‫تقوية احدى االمارتين ليعمل بها‬
“menguatkan salah satu tanda (dalil) untuk diamalkan.”
c. An Nasafi mendefinisikan tarjih, dalam kitabnya “ kasyf al asrar” sebagai berikut :
‫اظهار الزيا د ة الحد المثلين على االخر وصفا ال اصال‬
“menampakkan nilai lebih salah satu dari dua dalil yang sama (kekuatannya) dari segi sifat
(karakternya) bukan asalnya”
2. Kelompok kedua : berpendapat bahwa tarjih adalah karena karakteristik dalil itu sendiri.
Tokoh-tokoh dari pendapat ini antara lain :
a. Al amidi
‫اقتران احد الصالحين للدال لة على المطلوب مع تعارضهما بما يوجب العمل به واهمال االخر‬
“membandingkan salah satu dari dua dalil yang patut dijadikan dasar hukum yang saling
bertentangan berdasarkan sesuatu yang mengharuskannya untuk diamalkan dan
menggugurkan dalil lainnya.”
     Dalam pendapatnya, al amidi menjelaskan bahwasannya tarjih boleh dilakukan setelah
terbukti ada pertentangan. Pertentangan tersebut tidak akan terwujud bila dua dalil tidak ada
kepatutan. Artinya dua dalil tersebut harus sama-sama bisa diterima.
b. Ibnu hajib, mendefinisikannya sebagai berikut
‫اقتران االمارة بما تقوى به على معا رضها‬
“membandingkan dalil dzanni dengan berdasarkan sesuatu yang menguatkan atas dalil yang
menentangnya”
c. Ulama hanafiyah
‫اظهار زيادة ألحد المتتاثلين على األخر بما ال يستقبل‬
“memunculkan adanya tambahan bobot pada salah satu dari dua dalil yang sama (sederajat),
dengan tambahan yang tidak berdiri sendiri.
d. Jumhur ulama
‫تقوية احدى االمارتين على االخرى ليعمل بها‬
“menguatkan salah satu dalil yang dzonni dari yang lainnya untuk diamalkan (diterapkan)
berdasarkan dalil tersebut.”
Adapun pengertian dari murajjihun ialah orang-orang yang mampu mentarjih
(menganggap kuat), suatu pendapat bagi imam madzhab terhadap pendapat lainnya. Dalam
artian menguatkan pendapat imam suatu madzhab dengan membandingkan kekuatan imam
madzhab tersebut terhadap muridnya atau imam lainnya.
B. Awal  Kemunculan Murajihun dan gejala-gejala tasyri’ pada masa ini.
Setelah rasaulullah SAW wafat, aktifitas ijtihad menjadi semacam trend keilmuan di
kalangan para ulama. Keadaan ini bertujuan untuk mecari solusi atas problematika yang
timbul di tengah-tengah masyarakat. Dimana semakin berkembangnya zaman, maka masalah
dan konflik menjadi semakin kompleks, sehingga ijtihad menjadi urgent, dan sangat
dibutuhkan didalamnya.
Namun setelah abad pertengahan ke-4 hijriyah, ijtihad menjadi bumerang dari
perpecahan umat islam. Masalah ini terjadi karena aktifitas ijtihad sudah terkontaminasi oleh
politik dan kekuasaan. Ijtihad diposisikan sebagai justifikasi atas kebijakan dan sikap politis
para penguasa, sehingga ijtihad berfungsi hanya sebagai kedok.
Sejalan dengan keadaan ini, akhirnya para ulama menyatakan untuk menutup pintu
ijtihad, agar tidak ada orang yang menyalahgunakan ijtihad bagi kepentingan prinbadi atau
golongannya. Menurut pendapat az zarqa, ada tiga faktor yang memicu penutupan pintu
ijtihad, sehingga menjadi gejala awal dari tasyri’ pada masa ini, yaitu :
1. Dorongan para penguasa kepada hakim (qodli) untuk menyelesaikan perkara di
pengadilan dengan merujuk kepada salah satu madzhab fiqih yang disetujui khalifah saja.
2. Munculnya sikap at taassub al madzhabi yang menimbulkan sikap kebekuan berfikir dan
taqlid di kalangan murid imam madzhab.
3. Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing madzhab yang memudahkan
orang untuk memilih pendapat madzhabnya dan menjadikan buku tersebut rujukan bagi
masing-masing madzhab, sehingga aktivitas ijtihad benar-benar berhenti.
Dengan tertutupnya pintu ijtihad ini, maka timbul dampak positif dan negatif pula.
Dampak positifnya adalah meminimalisir konflik politik dan perpecahan umat islam dengan
berpegang teguh pada hasil ijtihad madzhab sebelumnya. Namun tak sedikit pula dampak
negatif yang ditimbulkan, antar lain; melemahnya semangat keilmuan, stagnasi pemikiran,
pudarnya sikap independensi berfikir, dan kecenderungan untuk taqlid. Banyak cendekiawan
muda berfikir bahwa usaha dan pemikiran mereka tidak akan dapat menyamai ulama-ulama
sebelumnya. Dengan adanya situasi tersebut maka setiap orang lebih memilih satu madzhab
tertentu, untuk mendapat kepuasan atas masalahnya, sandaran hidup atau sekedar penetapan
kebijakan politik.
Dalam praktiknya ternyata tidak semua masalah dapat terselesaikan secara tuntas, karena
banyak ditemui beberapa dalil bertentangan yang menunjukkan hukum atas suatu
masalah  mukallaf. Sehingga para cendekiawan serta ulama  yang menguasai ilmu fiqih mulai
bermunculan, dan kemudian dikenal dengan mujtahid tarjih, yaitu orang yang menguasai
ilmu fiqih dengan baik (memahami pendapat para imam madzhab dan dalil-dalilnya), bisa
mengaplikasikannya serta mandiri melakukan ijtihad. Disisi lain, mereka juga bukan seorang
mujtahid yang terikat dengan kaidah imamnya, oleh karena itu mereka bnyak melakukan
tarjih (menguatkan) terhadap imam madzhab dan tokoh-tokoh disekitarnya.
Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya
murajihhun adalah :
1. Adanya dua dalil yang saling bertentangan, serta dianggap sama kuatnya atas suatu
masalah, sehingga membutuhkan penguatan salah satu dalil.
2. Munculnya sikap fanatik terhadap suatu madzhab sehingga umaat islam enggan untuk
mengeksplor fikiran.
3. Tertutupnya pintu ijtihad, memicu timbulnya gerakan taqlid. Sehingga para kaum
muslimin hanya mengikuti pendapat imamnya tanpa mengkaji ulang.
Periode murajihhun tersebut berlangsung sekitar 3 abad sejak kemunculannya, yaitu pada
abad ke 4 H sampai abad ke 7 Hijriah. Periode ini sangat terkenal dengan melemahnya sikap
ijtihad dari kalangan pada ulama. Akhirnya banyak bermunculan buku-buku komentar
sebagai penjelasan terhadap buku yang ditulis sebelumnya dari masing-masing ulama.
Pada abad ini pula dinasty abbasiyah mulai mengalami kemunduran dalam bidang politik.
Dimana dinasty abbasiyah terpecah menjadi daulat-daulat kecil yang masing-masing
dipimpin oleh seorang sultan.
C. Keadaan Tasyri’ Pada Masa Murajihhun.
Untuk mengetahui bagaimana kondisi tasyri’ pada masa murajjihun, maka sejarah
dapat dikelompokkan dalam dua garis besar yaitu tentang cara kerja ulama dalam
menetapkan hukum dan kodifikasi hukmnya.
a. Kerja ulama pada periode murajjihun
Meskipun pada periode ini akal fikiran serta ide-ide para ulama terkekang, ternyata hal ini
tidak mengubah keinginan mereka untuk berkreasi dalam hukum islam. Mereka menghimpun
pemikiran-pemikiran fiqih, mentarjih sebagai riwayat, mencari kekuatan hukumnya,
kemudian merumuskan dasar-dasar pikiran dan kaidah ushuliyah yang menjadi landasan
ijtihad dan fatwa para imam. Dalam perumusan kaidah-kaidah dan penghimpunan tersebut,
mereka banyak berdiskusi dan berdialog antara para pengikut madzhab. Sehingga terlihat
sekali fanatisme kemadzhaban diantara mereka.
Dari permasalahan tersebut, para murajjihun mempunyai beberapa cara dalam penetapan
hukum (tasyri’), atas masalah yang terjadi saat itu, atau untuk menjawab masalah-masalah
kontemporer. Diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Mentarjihkan beberapa pendapat imam madzhab.
Ada dua cara yang mereka gunakan untuk mentarjih berbagai pendapat dalam madzhab,
yaitu : periwayatan dan pemikiran. Apabila terjadi perbedaaan periwayatan, para fuqoha
mentarjih salah satu dari pendapat-pendapat tersebut untuk mendapat kesimpulan hukumnya.
Misalnya para fuqoha hanafiyah, mentarjih riwayat muhammad bin hasan al syaibani dalam
banyak persoalan sebagai pendapat yang paling mu’tabar. Para ulama syafi’iyah mentarjih
riwayat harmlah al jarmi, sedangkan para ulama malikiyah mentarjih riwayat ibnu qosim
daripada riwayat-riwayat yang lain.
2. Membela madzhab
Pembelaan terhadap madzhab merupakan kerja para ulama yang sangat menyibukkan
pada masa ini. Para pengikut madzhab dari geneasi ke generasi berusaha keras menonjolkan
kelebihan madzhabnya masing-masing.
Mereka banyak menulis tentang otobiografi, menerangkan keluasan ilmunya, dan
kehebatan berfikir para imam-imam mereka, agar semakin banyak orang yang mengikuti
penetapan hukum dari imam mereka. Selain itu mereka juga membuat buku yang berisi
perbandingan imam-imam madzhab mereka dengan imam-imam yang lainnya.
3. Merumuskan dasar-dasar dan kaidah-kaidah ushuliyah
Para ulama pada periode ini melakukan perumusan dasar – dasar madzhab dari cara
pandang imam menyimpulkan suatu hukum dan menuliskan hasil ijtihad dari para imam
mereka. Ditemukan dalam suatu riwayat, madzhab imam syafi’i sudah menuliskan dasar-
dasar pemikiran fiqih mereka ketika itu.
Kenyataan diatas perlu didasri dengan baik, agar dapat memahami karakteristik ushul
fiqih para ulama yang terdahulu secara proporsional. Namun  pada kenyataanya, umat islam
masih banyak yang beranggapan bahwa kaidah-kaidah tersebut sudah dirumuskan oleh imam
madzhb dengan sangat sempurna, sehingga tidak melakukan pengkajian ulang.
b. Kodifikasi periode murajjihun
Sepertiyang telah diamati oleh Dr. Sulaiman dalam bukunya tarikh al fiqih al islami, para
ulama pada periode ini telah menghasilkan karya-karya besar meskipun dalam batasan ulama
sebelumnya. Wujud dari gerakan pembukuan hasil karay-karya tersebut adalah :
1. Penulisan bidang as sunnah
Perhatian ulama terhadap kodifikasi ilmu pengetahuan pada masa ini tergolong cukup
besar. Salah satu diantaranya adalah gerakan penulisan hadits. Penulisan hadits pada periode
ini dikelompokkan dalam dua kecenderungan, yaitu : kajian hadits dengan masalah kevalidan
periwayatan, cakupan arti dan pengaplikasian hukum, serta takhrij atau pembahasan tentang
hadits-hadits dalam buku fiqih terkemuka.
Sebagai contoh kecenderungan pertama adalah jami’ al ushul karya ibnu al atsir. Beliau
menghimpun haidts-hadits dari enam buku terkemuka yaitu: muwatha’ imam malik, shahih
bukhori, shahih muslim, sunan abu dawud, sunan annasa’i, dan sunan tirmidzi. Ibnu atsir
tidak merinci tentang masalah periwayatan hadits, tetapi ia mengelompokkan secara
sistematis agar mempermudah untuk menemukan hukum dari dalam hadits-hadits tersebut.
Metode kedua adalah takhrij al hadits dalam buku-buku fiqih terkemuka. Kerja takhrij ini
sangat penting karena dalam buku-buku fiqih banyak tercantuk hadits maudlu’ dan dla’if
sebagai dalil.
2. Penulisan di bidang fiqih
Salah satu contoh dari penulisan di bidang kitab fiqih adalah dikodifikasikannya kitab al
hidayah karya al marghinani. Kitab ini termasuk dalam jajaran kitab yang representatif dalam
madzhab hanafi, bahkan karena kefanatikannya, ada yang mengatakan ini adalah al qur’an
yang di nasakh (dihapus). Kitab ini menjadi kitab rujukan bagi para pengikut ulama hanafiah.
Ulama lain ternyata juga memberi apresiasi terhadap buku tersebut, ada beberapa karya
yang mengkritik. Antara lain : majmu’ al nawizil, al muntaqa, bidayah al mubtada’, kifayah
al muntaha’ manasik hajj dsb.
D. Sumber-sumber tasyri’
Adapun sumber-sumber tasyri’ yang dipakai pada masa murajjihun antara lain :
1. Alqur’an
2. As Sunnah
3. Ijma’
4. Kitab-kitab madzhab
5. Hasil tarjih dari ulama-ulama masa itu
E. Masa taqlid dan jumud serta tertutupnya pintu ijtihad
a. Masa Taqlid dan Jumud
Periode ini dimulai pada abad 10-11M (310H)[1] sejak berakhirnya kekuasaan Bani
Abbas sampai abad ke 19. Periode ini, ditandai dengan menyebarnya pusat-pusat kekauasaan
islam dibeberapa wilayah,sehingga umat islam sendiri dapat dikatakan kondisi yang lemah
dan berada dalam kegetiran. Dalam kondisi tersebut, jika keadaan negara (daulah) lemah,
maka akan muncul banyak fitnah dan mihmah, sehingga hilanglah persaudaraan dan
persatuan dikalangan umat islam dan sebaliknya menjadi permusuhan.
Pada masa ini, hukum islam mengalami stagnasi (jumud). Hukum isla tidaklagi digali dari
sumber utamanya (Al-Qur’an dan Sunnah), para ulama masa ini lebih banyak mengikuti dan
mempelajari pikiran dalam Mazhab yang sudah ada (taqlid). Dari sini terlihat mulai ada
kecenderungan baru, yakni mempertahankan kebenaran mazhabnya dengan mengabaikan
mazhab lain, seolah-olah kebenaran merupakan hak prerogaitf mazzhab yang dianutnya,
sehingga tak salah jika masa ini, merupakan fase pergeseran orientasi Al-Qur’an dan Sunnah
menjadi orientasi pendapat ulama.
Sebagaimana diketahui, pada masa abad ke IV telah terbentuk mazhab-mazhab fiqh.
Namun kecenderungan yang tidak begitu baik dalam perkembangan fiqh, yakni munculnya
ketergantungan kepada mazhab dan tumbuhnya perasaan berkecukupan secara meluas dan
mendalam. Para ulama berupaya menjaga pendapat mazhab fiqhnya dengan mengembangkan
pemikiran mazhabnya secara internal melalui pembuatanringkasan-ringkasan (mukhtashar)
terhadap kitab-kitab fiqh yang tebal. Bahkan ada yang disebut mukhtashar jiddan yang
merupakan ringkasan dari ringkasan. Selain itu, para ulama pada fase ini melakukan ulasan-
ulasan dan penjelasan-penjelasan (syarah) serta penjelasan dari kitab yang sudah dibuat
penjelasannya (hasiyyah) terhadap kitab fiqh yang rongkas dan kurang luas, sehingga dalam
proses belajar fiqh menjadi berat, yakni harus menguasai, menghafal dan menjaga seluruh isi
kitab fiqh dan menjaga cara-cara (istinbath ahkam) yang ditempuh. Selain itu, aktivitas ulama
juga terfokus pada pentarjihan terhadap pendapat yang berbeda –beda dalam suatu mazhab,
baik itu segi dari riwayah danpun dirayah.
b. Sebab-sebab Kemunduran
Kemunduran umat islam disebabkan oleh dua faktor. Yakni faltor internal dan faktor
eksternal. Adapun faktor internal timbul dari kalangan umat islam sendiri, yakni:
1. Ulama tidak lagi mengambil hukum dari sumbernya yang utama, yakni Al-Qur’an dan
Hadis melainkan beralih kepada pendapat-pendapat imam mazhab. Mereka
berpendapat bahwa pendapat imam mazahab sepadan dengan nash (Al-Qur’an dan
Hadis) yang tidak dapat dirubah dan diganti.
2. Berkembang serta meluasnya khufarat, takhayyul dan mistik dikalangan masyarakat
islam yang merusak kemurnian tauhid.
3. Munculnya kejumudan berpikir, karena hilangnya semangat ijtihad. Ulama
mengalami frigiditas (dingin, tidak sensitif) akibat kelemahan berpikir sehingga tidak
mampu lagi menghadapi perkembangan zaman dengan menggunakan akal pikiran
yang sehat dan merdeka serta bertanggung jawab.
4. Ulama terlalu banyak mengkaji dan sikap kagum yang berlebihan terhadap pemikiran
dan pendapat ulama mazhabnya sehingga terlena dan kehilangan kepercayaan diri
seolah-olah kemmapuan mereka lebih rendah dari ulama-ulam sebelumnya. Dari
sikap ini, maka lahirnya anggapan:
a) Setiap orang dewasa diwajibkan menganut salah satu mazhab fiqh dan
diharamkan keluar dari mazhabnya.
b) Dilarang mengambil pendapat selain pendapat imam mazhab yang dianut
(mencampur adukkan mazhab/talfiq).
c) Guru yang terdahulu pasti lebih mengetahui makna nash daripada kita.
d) Pendapat ulama mujtahid pasti benara dan sejajar dengan syari’at, sehingga
pendapatnya sama dengan agama itu sendiri.
5. Para ulama terdahulu (pendiri mazhab dan pengikutnya) sangat produktif dan kreatif ,
hampir seluruh lapangan ijtihad dijajaki sehingga seolah-olah tidak memberikan sisa
untuk melakukan ijtihad untuk ulama sesudah.mereka, bahkan ijtihad mereka sudah
sampai kepada hal-hal yang belum ada dan terjadi (fiqh iftradhi).
6. Munculnya ulama-ulama yang tidak mumpuni, yakni orang-orang yang sebenarnya
tidak mempunyai kelayakan untuk berijtihad, namun ia memaksakan diri untuk
melakukan ijtihad dan mengeluarkan produk hukum dalam bentuk fatwa yang
membingungkan masyarakat.
7. Adanya intervensi kekuasaan (sulthan/kahlifah) yang menganjurkan agar mengikuti
mazhab yang dianutnya. Hal ini sangat besar pengaruhnya terhadap taklid.
Disamping itu, sultan hanya mengangkat qadhi dan mufti yang satu mazhab
dengannya.
8. Secara umum, pemerintahan sudah tidak lagi memperhatikan perkembangan ilmu
pengetahuan, seperti perhatian yang penuh diberikan oleh Dinasti Abbbasiyah (masa
Sulthan Harun Ar-Rasyid, Al-Amin dll). Khlifah lebih banyak menghambur-
hamburkan hartanya untuk berpesta pora dan maksiat.
9. Kesatuan dan keutuhan pemerintahan islam telah pecah, hal ini menyebabkan
menurunnya kewibawaan pengendalian perkembangan hukum. Bukan hanya
dikalangan penguasa pemerintahan, tetapi juga dikalangan ulamapun terjadi
persaingan yang tidak sehat yang menyebabkan diantara mereka saling menghasut.
10. Adanya fatwa yang menyatakan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup, dan cukuplah
berpegang teguh pada ijtihad-ijtihad yang telah dilakukan oleh ulama terdahulu.
11. Munculnya kesenangan masyarakat kepada harta secara berlebihan (materialistik).
12. Munculnya sikap saling curiga diantara pengikut mazhab, bahkan saling menghina
yang tujuannya untuk meninggikan mazhab yang dianutunya dan merendahkan
mazhab yang lainnya.
13. Tertutupnya Pintu Ijtihad
Dari beberapa sebab yang diuraikan sebelumnya, bahwasannya ada orang-orang yang
tidak pantas ikut melakukan ijtihad,dan orang-orang awam ikut juga, dengan demikian maka
mereka telah mempermainkan nash syari’at dan kepentingan (hak) orang banyak. Hasilnya,
ialah banyaknya fatwa yang berebeda dan simpang-siur hasil keputusan (fatwa) tersebut.
Dari hal ini banyak ulama dikagetkan dengan masalah ini, maka mereka menetapkan
vonis mengenai masalah ini. Dengan vonis “Bahwasannya pintu ijtihad telah tertutup dan
semua Mufti (orang yang memberi fatwa/ahli hukum) cukup terikat oleh hukum yang sudah
ada dari imam-imam sebelumnya. Demikian pula semua hakim sperti itu.” Dengan demikian,
maka mereka mendapatkan kebuntuan dan kaku (tidak dapat berkembang lagi sebagaimana
periode sebelumnya).
Sementara faktor eksternal yang menyebabkan terjadinya kemunduran dan kevakuman ialah:
1. Bangkitnya kalangan kristen Eropa (masa Renaisance) yang menyebabkan pesatnya
perkembangan ilmu pengetahuan dikalangan mereka.
2. Adanya serbuan bangsa Mongol yang meluluh-lantakkan peradaban islam, yang
berabad-abad lamanya dibangun.
3. Munculnya negara baru, baik di Eropa maupun dibelahan dunia lainnya, seperti
Afrika, Timur Tengah dan Asia. Keadaan demikan membawa kepada ketidak stabilan
politik yang berpengaruh pada pemikiran.
Dari dua faktor tersebut ,untuk yang ringkasnya akan diuraikan sebagai berikut:
a) Pergolakan politik telah mengakibatkan terpecahnya negeri islam pada waktu itu
menjadi beberapa negeri kecil, sehingga, negeri-negeri tersebut selalu mengalami
kesibukan-kesibukan berupa perang, fitnah memfitnah dan hilangnya ketentraman
masyarakat. Salah satu kelanjutannya ialah kurangnya perhatian terhadap kemajuan
ilmu pengetahuan.
b) Pada fase ini, kehidupan hukum islam telah timbul mazhab-mazhab yang mempunyai
metode dan cara berpikir sendiri dibawah seorang imam mujtahid. Konsekuensinya
ialah bahwa pengikut-pengikut mazhab tersebutlah yang berusaha membela
mazhabnya sendiri dan mempertahankan dasar dan pendapat serta menyalahkan
mazhab lain.
c) Pada masa sebelumnya para fuqaha harus berijtihad sendiri karena mereka
berpendapat kemudian pendapat mereka dibukukan. Dari inilah orang setelah mereka
dan generasi sesudah mereka tinggal mencari dan memberi jawaban atas buku yang
telah ditulis oleh fuqaha sebelum mereka. Maka yang terjadibagi orang yang setelah
mereka merasa cukup dengan hasil ijtihad para fuqaha. Dengan deimkian maka tidak
ada dorongan untuk lebih maju.
d) Pada masa sebelumnya hakim yang ditunjuk terdiri dari dari orang-orang yang
melakukan ijtihad sendiri. Akan tetapi, pada masa kemudiannya hakim-hakim yang
diangkat dari orang yang bertaqlid kepada mazhab tertentu. Akibatnya, hakim tersebut
keputusannya menjadi sasaran kritikan dari penganut mazhab lain.
e) Kaum muslimin pada masa ini tidak lagi mengadakan tindakan tertentu dalam bidang
penetapan pendapat atau mengadakan jaminan agar ijtihad jangan sampai digunakan
oleh orang-orang yang tidak berhak menggunakan ijtihad sembarangan.

c. Tingkatan-tingkatan Mujtahid
Adapun bila ditinjau dari kepribadian dan kebebasan serta ketergantungannya dengan
imam mujtahid, maka para fuqaha membaginya menjadi beberapa tingkatan:
1. Mujtahid Mutlak, yaitu imam-imam dalam mazhab dan fuqaha-fuqaha yang lain yang
mengikuti metode mereka dalam mengambil hukum dari sumber yang pokok, yaitu
Al-Qur’an dan Hadis
2. Mujtahid Mazhab, yaitu teman-teman atau murid-murid imam tersebut (mujtahid
mutlak). Bisa jadi dalam beberapa persoalan kecil mereka bisa berbeda pendapat
dengan imam tersebut, akan tetapi bagaimanapun juga tidak menyimpang dari dasar-
dasar hukum (metode) yang ditetapkan oleh imam mereka.
3. Mujtahid Terbatas, yaitu dimana suatu ijtihad terbatas dalam persoalan-persoalan
yang sduah dibicarakan, maka tidak lagi dibahas.
4. Ahli Takhrij, yaitu ijtihad hanya terbatas pada mencari alasan dan pendapat dalam
mazhab untuk menghilangkan kejanggalan dan kesamaran. Jadi dalam tingkatan ini
mereka hanya menguraikan pendapat yang belum jelas.
5. Ahli Tarjih, yaitu mereka memperbandingkan antara pendapat-pendapat yang
berbeda yang diterima oleh imam mereka, kemudian menguatkan salah satunya,
karena lebih kuat riwayatnya, atau lebih sesuai dengan qiyas atau lebih mencerminkan
rasa keadilan.
6. Fuqaha –Taqlid, mereka hanya mengikuti pendapat imam mazhab tanpa melakukan
usaha penguatan atau pemilihan antara pendapat yang berbeda.
d. Usaha-usaha Ulama pada Periode ini.
Setelah kita mengatahui bagaimana kondisi ulama yang benar-benar berada dalam kondisi
keterpakuan tekstual yang sangat mencekam dan kebuntuan (kaku) terhadap ijtihad. Akan
tetapi kita juga tidak dapat menutup mata terhadap jasa-jasa mereka dalam menghimpun
pemikiran-pemikiran fiqh para imam sebagai suatu kekayaan khazanah fiqh islam. Mereka
mnghimpun, mentarjih (memilih mana yang terkuat) berbagai riwayat, mencari kekuatan
hukumnya, kemudian merumuskan dasar-dasar pijakan dan kaidah-kaidah ushuliyyah yang
menjadi landasan ijtihad dan fatwa para imam. Sudah barang tentu mereka dihadapakan
dengan diskusi, dilaog dan perdebatan diantara kalangan sendiri. Kegiatan seperti ini hasilnya
dapat kita lihat hasil karya mereka,berupa:
1. Ikhtisar (Mukhtashar):
Sebagai kata mukhtashar berarti ringkasan, intisari. Istilah ini sepadan dengan kata khulashah
dan mujaz.
Mukhtashar merupakan salah satu bentuk kreativitas ilmiah dalam sejarah intelektual Islam,
karena tujuan penulisan karya-karya ini untuk menyusun isi suatu kitab secara ringkas,
sistematis, dan tematis, sehingga memudahkan generasi pelajar berikutnya untuk memahami
dan menyelami pemikiran-pemikiran pokok sang penulis.
Banyak kitab matan yang diringkas, seperti kitab Ihya ‘Ulum ad-Din, yang diringkas oleh
pengarangnya sendiri, Hujjatul Islam Imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, yang
disebut Mukhtashar al-Ihya. Al-Musnad, karya Imam Ahmad bin Hanbal, yang diringkas oleh
putranya, Abdullah bin Ahmad, dengan judul Tsulatsiyyat. Contoh lainnya, kitab Mukhtashar
al-Mudawwanah, karya Al-Qairawani, yang merupakan ringkasan kitab Al-Mudawwanah al-
Kubra, karya Abdussalam bin Said At-Tanukhi, kitab Asy-Syafi fi Ikhtishar al-Kafi, karya
Abu Al-Baqa Al-Qurasyi, yang merupakan ringkasan kitab Al-Kafi fi al-Fiqh, karya Abu al-
Fadhl Muhammad Al-Marwazi.
2. Hasyiyah :
Sebagai kata, hasyiyah berarti anggota badan yang berada di dalam perut, seperti limpa dan
jantung. Juga dapat berarti bagian pinggir baju. Jika artinya digabungkan dengan kitab
(hasyiyah al-kitab), berarti catatan yang ditulis menyangkut isi kitab tersebut.
Dalam konteks fiqih, istilah hasyiyah merupakan penjelasan yang lebih luas dari syarah. Pada
umumnya, hasyiyah merupakan tangga penjelasan ilmiah kedua atas karya matan setelah
syarah. Contohnya, kitab Fath al-Qarib, karya Ibn Al-Qasim Al-Ghuzzi, yang merupakan
syarah kitab Al-Ghayah wa at-Taqrib, yang diberikan catatan tambahan dan perluasan oleh
Ibrahim Al-Bajuri dalam karyanya Hasyiyah Al-Bajuri. Ada juga hasyiyah di bidang tafsir,
seperti hasyiyah Syaikh Ahmad Ash-Shawi Al-Maliki atas kitab tafsir karya dua ulama
agung, As-Suyuthi dan Al-Mahalli, yang dikenal dengan Hasyiyah Ash-Shawi ‘ala Tafsir al-
Jalalayn.
Namun ada juga kitab hasyiyah, sebagaimana yang dinamakan sendiri oleh penulisnya, yang
mensyarah kitab matan, langsung tanpa melalui syarahnya. Salah satu contohnya adalah
karya Syaikh Abdullah bin Fadhl Asy-Syaikh Al-Asymawi atas kitab Matn al-Ajrumiyyah
yang berjudul Hasyiyah al-Asymawi.
Hasyiyah digunakan untuk menjelaskan lebih jauh materi yang terdapat di kitab matan dan
kitab syarah. Biasanya persoalan-persoalan yang kurang transparan dalam matan dan syarah
diperjelas lagi dalam karya yang disebut hasyiyah ini.

3. Syarah :
Sebagai kata, memiliki arti yang banyak, di antaranya memotong (qatha’a), menyingkap
(kasyafa), membuka (fataha), memahami (fahima), menjelaskan (bayyana), menafsirkan
(fassara), dan memperluas (wassa’a).
Dalam istilah fiqih, syarah bisa berarti penjelasan suatu istilah atau suatu kitab secara
keseluruhan. Kitab syarah selalu dibarengi dengan teks asli (matan) dari kitab yang diulasnya.
Contohnya, kitab Al-Majmu’, karya An-Nawawi, yang mensyarah kitab Al-Muhadzdzab,
karya Abu Ishaq Asy-Syirazi, dan kitab Fath al-Qarib, karya Ibn Al-Qasim Al-Ghuzzi, yang
merupakan syarah kitab Al-Ghayah wa at-Taqrib, karya Syaikh Abu Syuja‘. Ada juga kitab
Al-Kharit ‘ala Manzhumah al-Yawaqit oleh Sayyid Muhammad bin Hasyim Bin Thahir atas
Manzhumah al-Yawaqit, karya Sayyid Muhammad bin Ahmad Asy-Syathiri. Begitu pula
dengan Al-Muwaththa‘, karya Imam Malik, yang disyarah oleh Ibnu Salamah Al-Ahfasyi
dalam karyanya Tafsir Gharib al-Muwaththa‘, kitab Kifayah al-‘Awam, yang disyarah Al-
Bantani dengan karya berjudul ‘Aqidah al-‘Awam, kitab ar-Risalah, karya Al-Qairawani Al-
Maliki, yang disyarah Ibn Al-Fakhkhar Al-Judzami dengan karya berjudul Nash al-Maqalah
fi Syarh ar-Risalah, kitab Al-Kharraj, karya Imam Abu Yusuf Al-Hanafi, yang disyarah oleh
Ibnu Muhammad Ar-Rahibi dengan karya berjudul Fiqh al-Muluk ‘ala Khizanah Kitab al-
Kharaj.
Munculnya syarah atas suatu kitab matan adalah bukti aktivitas ilmiah dan akademis di
kalangan ulama masa lampau. Upaya syarah sangat dibutuhkan untuk menerjemahkan
maksud penulis kitab matan bagi para pembacanya, sehingga mereka dapat memahami teks-
teks tersebut.
Tradisi syarah ini berkembang pesat setelah mapannya pembentukan madzhab fiqih (tadwin
al-madzahib) sekitar abad ke-3 H/8 M, bahkan kegiatan syarah telah muncul di masa tabi’in,
ketika mereka melakukan syarah atas warisan karya yang ditinggalkan masa sahabat. Abu
Zinad Abdullah bin Zakwan (w. 131 H/748 M), misalnya, mensyarah kitab Al-Fara‘idh, yang
ditulis Zaid bin Tsabit (w. 45 H/665 M). Matan dan syarah bidang ilmu waris ini dinukil oleh
Abu Bakar Ahmad Al-Baihaqi dalam kitabnya As-Sunan al-Kubra, sebuah kitab induk dalam
hadits.
Karya-karya Ulama Periode Ini
1. Al-Hidayah karya Abu Bakar al-Marghinani (w.593 H)
2. Al-Mughni karya Ibnu Qudamah (w. 620 H)
3. Raudah at-Thalibin karya An-Nawawi (w. 676 H)
4. Al Mu’tamad karya Abu Husain al Bashri (w. 413 H)
5. Al Burhan karya Imam al Haramain al Juwaini (w. 487 H)
6. Al Musytasfa karya Imam al Ghazali (w. 505 H)
7. Al Ihkam fi Usul al Ahkam karya Al Amidi (w.631 H)
Kesimpulan
Dari sinilah penghargaan umat terhadap hasil karya-karya mereka, ushul fiqh dan kaidah
ijtihad seharusnya bukan dalam bentuk pelestarian keutuhan formula sebagaimana adanya,
akan tetapi justru dalam pengembangannya secara kreatif dan dinamis. Kini umat islam,
terutama ulama dan pakarnya, dituntut untuk merumuskan teori serta formula hukum yang
rensponsif-transformatif sejalan dengan perkembangan sosial-budaya yang terus meminta
paradigma baru.
DAFTAR PUSTAKA
Bik , khudori, 1980. Tarikh at tasyri’ al islami. Surabaya : Darul  ikhya’.
Djafar , Muhammadiyah. 1992. Pengantar Ilmu Fiqih. Malang : Kalam Mulia
Khatimah, khusnul. 2007. Penerapan syariah islam. Yogyakarta : Pustaka pelajar.
Mubarok, jaih . 2002. Penerapan Syariah Islam. Yodyakarta : Pustaka pelajar.
Roibin, Dr. H MHi. 2010. Dimensi-dimensi sosio-antropologis penetapan hukum islam dalam
lintasan sejarah. Malang : UIN Press.
Salim bazamul, bin Umar bin Muhammad. 2007. Ensiklopedi tarjih. Jakarta timur: Darus
sunnah Press.

Anda mungkin juga menyukai