Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH PENDIDIKAN

AGAMA ISLAM
PENGERTIAN IJMA’ & QIYAS BESERTA SYARAT DAN
CONTOHNYA

Disusun oleh:
Nama : Cindy Aryanti
Kelas : X IPA 3
B. studi : Pendidikan Agama Islam
PEMBUKAAN
Ijma’ dan Qiyas secara sederhana adalah metode atau cara dalam
melakukan ijtihad. Agar dapat memahami pemahaman tentang Ijma’ dan
Qiyas, alangkah baiknya jika kita mulai dengan memahami tentang ijtihad.

IJTIHAD
Ijtihad adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa
dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk
memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis
dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. Kedudukan
ijtihad sebagai sumber hokum setelah Al-qur’an dan hadits. Ijtihad dilakukan
apabila suatu persoalan tidak ditemukan hukumnya dalam Al-qur’an dan
hadits.
Syarat-syarat Berijtihad:
Orang yang mampu melakukan ijtihad melalui cara istinbat (mengeluarkan
hukum dari sumber hukum syariat) dan tatbiq (penerapan hukum) disebut
sebagai Mujtahid. Terdapat banyak perbedaan dalam menentukan syarat-
syarat mujtahid. Adapun syarat-syarat yang telah disepakati adalah:

 Mengetahui al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber hukum Islam sebagai fondasi dasar hukum Islam.
Oleh karena itu, seorang mujtahid harus mengetahui al-Qur’an secara
mendalam.
 Mengetahui Asbab al-Nuzul
Mengetahui sebab turunnya ayat termasuk dalam salah satu syarat
mengetahui al-Qur’an secara komprehensif.
 Mengetahui Nasikh dan Mansukh
Hal ini bertujuan untuk menghindari agar jangan sampai berdalih
menguatkan suatu hukum dengan ayat yang sebenarnya telah di-nasikh-
kan dan tidak bisa dipergunakan untuk dalil.
 Mengetahui As-Sunnah
Yang dimaksudkan as-Sunnah adalah ucapan, perbuatan atau ketentuan
yang diriwayatkan dari Nabi SAW.
 Mengetahui Ilmu Diroyah Hadits
Seorang mujtahid harus mengetahui pokok-pokok hadits dan ilmunya,
mengenai ilmu tentang para perawi hadits, syarat-syarat diterima atau
sebab-sebab ditolaknya suatu hadits.
 Mengetahui Asbab Al-Wurud Hadits
Syarat ini sama dengan seorang mujtahid yang seharusnya menguasai
asbab al-nuzul, yakni mengetahui setiap kondisi, situasi dan lokasi hadits
tersebut muncul.
 Mengetahui Bahasa Arab
Seorang mujtahid wajib mengetahui bahasa Arab dalam rangka agar
penguasaannya pada objek kajian lebih mendalam karena teks otoritatif
Islam menggunakan bahasa Arab.
 Mengetahui Ushul Fiqh
Ilmu ushul fiqh, yaitu suatu ilmu yang telah diciptakan oleh para fuqaha
untuk meletakkan kaidah-kaidah dan cara untuk mengambil istinbat hukum
dari nash dan mencocokkan cara pengambilan hukum yang tidak ada nas
hukumnya.
 Mengetahui Maksud dan Tujuan Syariah
Sesungguhnya syariat Islam diturunkan untuk melindungi dan memelihara
kepentingan manusia.
 Mengenal Manusia dan Kehidupan Sekitarnya
Seorang mujtahid harus mengetahui tentang keadaan zaman, masyarakat,
problem, aliran ideologi, politik dan agamanya serta mengenal sejauh mana
interaksi saling memengaruhi antara masyarakat tersebut.
 Bersifat Adil dan Takwa
Hal ini bertujuan agar produk hukum yang telah diformulasikan oleh
mujtahid benar-benar proporsional karena memiliki sifat adil, jauh dari
kepentingan politik dalam istinbat hukumnya.

Bentuk-bentuk Ijtihad

a) Ijma’
b) Qiyas
c) Maslahah mursalah
I. Ijma’
Ijma secara bahasa memiliki definisi sebagai mengumpulkan perkara
kemudian memberi hukum atas perkara tersebut dan
meyakininya. Sedangkan ijma menurut istilah memiliki pengertian sebagai
kebulatan pendapat seluruh ahli ijtihad sesudah wafatnya Rasullallah SAW
pada suatu masa atas sesuatu hukum syara’ (Madjid, 67).

Pada masa awal penerapan ijma, kegiatan ijma hanya dilakukan oleh para
khilafah dan petinggi negara. Sehingga hasil musyawarah mereka kemudian
dianggap sebagai perwakilan atas pendapat dari masyarakat atau umat
muslim. Seiring berjalannya waktu, musyawarah kemudian melibatkan lebih
banyak pihak terutama ahli ijtihad dan terus berlangsung sampai sekarang.
Kemudian, pengertian dari ijma sendiri terus berkembang karena baik para
ahli ushul fiqh maupun para ulama. Adapun ahli ushul fiqh yang
menyampaikan pengertian ijma adalah;
1. Imam Al Ghazali
Imam Al Ghazali menyatakan bahwa ijma merupakan sebuah kesepakatan
dari umat Nabi Muhammad SAW mengenai suatu perkara atau persoalan
yang berhubungan dengan persoalan agama.
2. Imam Al Subki
Sedangkan menurut Imam Al Subki, ijma didefinisikan sebagai suatu
kesepakatan dari para mujtahid setelah Nabi Muhammad SAW wafat dan
berkenaan dengan segala persoalan yang berkaitan dengan hukum syara.
Sedangkan dari para ulama, berikut beberapa ulama ushul kontemporer yang
mencoba menyampaikan pengertian ijma:
1. Ali Abdul Razak
Melalui buku yang disusun oleh Ali Abdul Razak dan bertajuk al Ijma Fi al
Syari’at al Islamiyat. Beliau menerangkan bahwa ijma merupakan
kesepakatan dari para mujtahid Islam yang terjadi pada suatu masa dan
atas perkara hukum syara.
2. Abdul Karim Zaidah
Dalam bukunya yang berjudul al Wajiz Fi Ushul al Fiqh, Abdul Karim Zaidah
menjelaskan bahwa ijma merupakan kesepakatan dari para mujtahid umat
Islam pada suatu masa mengenai hukum syara’ setelah Rasullallah SAW
wafat.
Jenis Ijma’
i. Ijma’ Al Sarih
Ijma’ al sarih atau ijma’ sarih merupakan ijma’ dimana para ahli ijtihad
atau ulama masing-masing mengeluarkan pendapatnya, baik secara lisan
maupun tertulis mengenai persetujuannya atas pendapat yang
dikemukakan oleh ahli ijtihad lain. Istilah lain untuk menyebut ijma’ jenis
ini cukup beragam. Ada yang menyebutnya ijma’ bayani, ijma’ qauli, ijma’
hakiki, dan lain sebagainya. Namun meskipun sebutannya berbeda, dari
segi definisi tetaplah sama.
ii. Ijma’ Al Sukuti
Yakni ijma’ yang terjadi ketika para ulama memutuskan untuk diam
dimana diamnya para ulama atau ahli ijtihad ini adalah karena setuju
dengan pendapat yang dikemukakan oleh ahli ijtihad lainnya.
Selain pembagian ijma’ di atas masih ada lagi jenis ijma’ lain, seperti
ijma’ salaby, ijma’ ulama madinah, ijma’ ulama kufah, ijma’ Khulafaur
Rasyidin (Abu Bakar dan Umar), dan ijma’ ahlul bait.
Contoh Ijma’
a) Diadakannya adzan dan iqomah dua kali di sholat Jumat, dan mulai
diterapkan pada masa kepemimpinan Ustman bin Affan.
b) Diputuskannya untuk membukukan Al Quran dan dilakukan pada masa
kepemimpinan Abu Bakar As Shidiq.
c) Kesepakatan para ulama atas diharamkannya minyak babi.
d) Menjadikan as sunnah sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al
Quran.

II. Qiyas
Qiyas secara bahasa memiliki arti sebagai tindakan mengukur sesuatu atas
sesuatu lainnya dan kemudian disamakan. Sedangkan secara istilah qiyas
diartikan sebagai menetapkan hukum terhadap sesuatu perbuatan yang
belum ada ketentuannya dan didasarkan pada sesuatu yang sudah ada
ketentuannya.
Berikut pendapat para ahli dan ulama mengenai definisi qiyas:
1. Abdul Wahab Al Khallaf
Dalam bukunya yang berjudul Ilmu Ushul Fiqih, dijelaskan bahwa qiyas
merupakan mempersamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya
dengan kasus lain yang ada nash hukumnya, karena persamaan kedua itu
dalam illat (suatu sifat yang terdapat pada pokok dan sifat ini menurun
pada cabangnya) hukumnya.
2. Romli
Dalam bukunya yang berjudul Muqaranah Mazahib Fil Ushul dijelaskan
bahwa qiyas adalah kegiatan mengukur sesuatu dengan sesuatu yang
lainnya. Dalam buku Ushul Fiqh yang lain, qiyas kemudian dijelaskan
sebagai kegiatan mengukur dan mengamalkan, atau mengukur sesuatu
dengan sesuatu yang lain kemudian mengamalkannya.
3. Muhammad Abdul Ghani Al Baiqani
Menjelaskan qiyas merupakan hubungan suatu persoalan yang tidak ada
ketentuan hukumnya di dalam nash dengan sesuatu persoalan yang telah
disebutkan oleh nash, karena keduanya terdapat pertautan atau hubungan
dan hukumnya adalah illat.

4. Syaikh Muhammad al Khudari Beik

Disebutkan bahwa qiyas adalah memberlakukan ketentuan hukum yang


ada pada pokok (asal) kepada cabang atau persoalan baru yang tidak
disebutkan nashnya karena adanya pertautan illat pada keduanya.
Imam Syafi’i diketahui menjadi sebagai mujtahid pertama yang
mengemukakan dan menerapkan qiyas. Imam Syafi’i menjelaskan
mengenai sejumlah patokan kaidah dan asas-asasnya. Hanya saja,
mujtahid sebelumnya juga diketahui pernah menggunakan qiyas namun
belum membuat rumusan patokan dan asas. Sehingga masih banyak
proses penerapan qiyas yang cenderung keliru, karena memang belum
ada patokan yang jelas. Oleh sebab itu, Imam Syafi’i kemudian hadir
memberi solusi dengan merumuskan sejumlah patokan dan asas, supaya
penerapannya jelas dan menghindari terjadinya kesalahan.
Jenis Qiyas
Untuk qiyas, secara umum terbagi menjadi tiga jenis. Yaitu:
1. Qiyas Illat
Jenis qiyas yang pertama adalah qiyas illat, yakni jenis qiyas yang sudah
jelas illat dari kedua persoalan yang dibandingkan atau diukur. Sehingga
baik masalah pokok maupun cabang sudah jelas illatnya, sehingga para
ulama secara mutlak akan sepakat mengenai hukum dari sesuatu yang
sedang dibandingkan dan diukur tadi. Qiyas Illah kemudian terbagi lagi
menjadi beberapa jenis, misalnya:
 Qiyas Jali
Yakni jenis qiyas yang illat suatu persoalan bisa ditemukan nashnya
dan bisa ditarik kesimpulan nashnya namun bisa juga sebaliknya.
Misalnya adalah pada persoalan larangan untuk menyakiti kedua orang
tua dengan perkataan kasar.
Hukumnya tidak diperbolehkan sebagaimana hukum haram (tidak
diperbolehkan) untuk menyakiti fisik kedua orang tua tadi (memukul
atau menyakiti secara fisik). Sehingga setiap anak diharuskan untuk
menjaga lisan maupun perbuatan di hadapan orang tua agar tidak
menyakiti hati mereka.
 Qiyas Khafi
Yaitu jenis qiyas yang illat suatu persoalan diambil dari illat masalah
pokok. Jadi, jika hukum asal atau persoalan utamanya adalah haram
maka persoalan yang menjadi cabang pokok tersebut juga haram,
demikian jika sebaliknya.
Salah satu contoh jenis qiyas satu ini adalah hukum membunuh
manusia baik dengan benda yang ringan maupun berat. Dimana hukum
keduanya adalah haram atau dilarang, sebab membunuh adalah
kejahatan sekaligus dosa karena mendahului kehendak Allah SWT
dalam menentukan umur makhluk hidup di dunia.
2. Qiyas Dalalah

Jenis kedua adalah qiyas dalalah, yaitu jenis qiyas yang menunjukkan
kepada hukum berdasarkan dalil illat. Bisa juga diartikan sebagai qiyas
yang diterapkan dengan cara mempertemukan pokok dengan cabang
berdasarkan dalil illat tadi.
Contoh dari qiyas jenis ini adalah ketika mengqiyaskan nabeez dengan
arak, dimana dasarnya adalah sama-sama mengeluarkan bau yang
terdapat pada minuman memabukan.

3. Qiyas Shabah

Jenis ketiga adalah qiyas shabah, yakni qiyas yang mempertemukan


antara cabang dengan pokok persoalan hanya untuk penyerupaan.
Contohnya sendiri bisa diambil dari yang disampaikan oleh Abu Hanifah
mengenai mengusap atau menyapu kepala anak berulang-ulang.
Tindakan tersebut kemudian dibandingkan dengan menyapu lantai
memakai sapu. Sehingga didapat kesamaan yaitu sapu. Hanya saja untuk
qiyas shabah sendiri oleh beberapa muhaqqiqin mendapat penolakan.
Sehingga menjadi jenis qiyas yang terbilang jarang diterapkan.
Qiyas juga dibedakan menjadi beberapa jenis berdasarkan
keserasian illat dengan hukum. Sehingga didapatkan dua jenis qiyas lagi,
yaitu qiyas muatsir dan juga qiyas mulaim. Sedangkan jika didasarkan
pada metode yang digunakan maka ada qiyas ikhalah, qiyas shabah, qiyas
sabru, dan juga qiyas thard.
Contoh Qiyas
Berhubung qiyas adalah analogi atau perumpamaan, maka contohnya
adalah menentukan hukum halal haram dari narkotika. Narkotika tidak
disebutkan dalam Al Quran dan Al hadits ,selain itu belum ada di zaman Nabi
Muhammad SAW.
Maka para ulama dan ahli ijtihad kemudian menganalogikan narkotika ini
sebagai khamr (minuman yang memabukan). Sebab sifat atau efek dari
konsumsi narkotika sama atau bahkan lebih berbahaya dibanding minuman
memabukan tadi. Sehingga ditarik kesimpulan bahwa narkotika hukumnya
haram.

Anda mungkin juga menyukai