Anda di halaman 1dari 10

Makalah

Ditujukan untuk Memenuhi Tugas Pendidikan Agama Islam 1

“IJMA”

Dosen Pengampu :
Dr. Muhammad Takhim, S.E., M.SI

Disusun Oleh :
Muhammad Nur Hidayat (22101021051)
Wulandari Syarifatul Ulya (22101021055)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ijma’ merupakan salah satu metode yang dipakai ulama mujtahidin dalam
menentapkan hukum, apabila mereka dihadapkan suatu persoalan hukum yang tidak
ditemukan nash dalam al-qur’an maupun dalam al-sunnah yang dapat dijadikan landasan
hukum setelah Rasulullah meninggal dunia. Ijma menurut Abu Zahrah adalah “kesepakat
seluruh ulama mujtahi dari kaum muslimin pda suatu masa setelah Rasulullah saw
meninggala dunia.

Begitupun menetapkan hukum untuk ekonomi, dalam sistem ekonomi Islam atau
lebih akrab disebut ekonomi syariah sangat diperlukan adanya keterlibatan para ulama,
terlebih khusus ulama yang memahami betul sistem ekonomi Islam baik dari sisi landasan
hukumnya dalam bentuk teoritis maupun praktisnya di lapangan dengan penyesuaian
perkembangan yang ada.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Ijma’ ?
2. Apa saja rukun dan syarat ijma’ ?
3. Apa saja relevansi Ijma’ dengan sumber hukum islam lainnya?
4. Apa saja macam – macam ijma’ ?
5. Apa contoh Ijma’ dalam Ekonomi?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian ijma’
2. Untuk mengetahui rukun dan syarat ijma’
3. Untuk mengetahui relevansi Ijma’ dengan sumber hukum islam lainnya
4. Untuk mengetahui macam – macam Ijma’
5. Untuk mengetahui contoh Ijma’ dalam ekonomi
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijma’
Ijma’ secara etimologi berarti yang ‫ )هذا أمر مجمع علٌه االتفاق‬yang berarti kesepakatan. Ada juga
yang mengatakan; ‫ االعداد‬yang berarti mengumpulkan dan ada juga yang mengatakan; ‫ العزم‬seperti
yang terdapat dalam penafsiran ayat 71 surat Yunus (.‫)فأجمعوا أمركم وشركاءكم‬
Ijma' ditinjau dari segi bahasa berarti sepakat, setuju, sependapat (Abd. Aziz, 1988 : 28).
Adapun menurut istilah, Ijma' ialah kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari kaum muslimin
pada suatu masa sesudah wafatnya Rasulullah Saw atas suatu hukum syara' (Az Zuhaili, 1986 ;
490).
Ijma secara terminolgi didefinisikan oleh beberapa ahli diantaranya (1) Al Ghazali : Ijma
yaitu kesepakatan umat Muhammad Saw secara khusus atas suatu urusan agama; definisi ini
mengindikasikan bahwa ijma tidak dilakukan pada masa Rasulullah Saw, sebab keberadaan
Rasulullah sebagai syar’i tidak memerlukan ijma. (2) Al Amidi : Ijma adalah kesepakatan ahlul
halli wal ‘aqdi atau para ahli yang berkompoten mengurusi umat dari umat Nabi Muhammad
pada suatu masa atau hukum suatu kasus. (Amir Syarifuddin, 1997) Dari beberapa pendapat
mengenai definisi ijma', pada prinsipnya mereka sependapat bahwa:
1. Ijma' dapat terjadi dengan kesepakatan para mujtahid
2. Adanya permasalahan yang tidak terdapat dalam nash qoth'i.
3. Terjadi pada masa tertentu.
Dengan demikian, Ijma' di pandang tidak sah, jika:
1. Ada yang tidak menyetujui
2. Hanya ada seorang mujtahid
3. Tidak ada kebulatan yang nyata
4. Sudah jelas terdapat dalam nash.
Apabila suatu peristiwa terjadi dan memerlukan ketentuan hukum dan peristiwa tersebut
dikemukakan kepada para ulama yang memiliki kemampuan berijtihad, dan mereka kemudian
mengambil kesepakatan berupa hukum dari peristiwa tersebut, maka kesepakatan mereka disebut
sebagai ijma’.
Imam al-Syaukani menyebutkan adanya tiga unsur dalam ijma’, antara lain:
1. Kesepakatan tersebut dilakukan oleh para ulama mujtahid dari kalangan umat Islam dari
seluruh penjuru dunia, tidak boleh ada yang tertinggal satu orang pun.
2. Kesepakatan terjadi setelah Nabi saw wafat
3. Kesepakatan yang dimaksud adalah kesepakatan dalam masalah hukum keagamaan

B. Rukun dan Syarat Ijma’


a. Rukun Ijma’
Menurut para ilmuan ijma’ memiliki beberapa rukun sebagai berikut:
1. Kesepakatan suatau hukum dilahirkan oleh beberapa orang mujtahid dan tidak dikatakan
ijma’ jika hukum itu hasil dari ijtihad satu orang.
2. Kesepakatan tentang suatu hukum harus berdasarkan keputusan bulat seluruh mujtahid
dan tidak cukup dengan pendapat mayoritas.
3. Kesepakatan harus dari seluruh mujtahid pada zamannya yang beraasal dari seluruh
negeri Islam.
4. Hendaknya proses kesepakatan terjadi setelah seluruh para mujtahid mengemukakan
pendapatnya secara elegan dan terbuka baik perkataan ataupun perbuatan.
b. Syarat – Syarat Ijma’
Adapun syarat – syarat ijma’ yaitu:
1. Hendaknya orang yang melakukan ijma' adalah para mujtahid yang profesional yang
mempunyai problematika yang hendak disepakati
2. Keputusan ijma' hendaknya berargumentasi pada al-Qur'an dan hadith yang dijadikan
sebagai salah satu argumentasi dalam berijma’. Menurut al-Sinqit menjadikan qiyas dan
ijtihad sebagai dasar argumentasi ijma' terdapat tiga pandangan ulama, yaitu
a). Utopis ( la yutasawwar)
b). Mungkin saja akan tetapi tidak bisa dijadikan hujjah
c). Realistis dan boleh, hal ini terjadi seperti konsensus mengharamkan lemak babi ( shahm al
- khinzir) yang diqiyaskan dengan dagingnya.
C. Relenvasi Ijma’ dengan Sumber Hukum Islam Lainnya
Ijma’ diposisikan sebagai salah satu dari sumber hukum Islam selain al-Qur’an, Sunah
dan kias. Konsekuensi yuridisnya, setiap masalah yang telah dijustifikasi tersebut secara
moral memiliki daya ikat bagi umat muslim. Di samping posisinya sebagai produk ijtihad
dan sumber hukum, Ijma’ merupakan metode penerapan dan penetapan aturan Islam yang
tumbuh secara evolutif.
Sumber yang menurut pengertian bahwasanya adalah rujukan utama yang menjadi asal
sesuatu maka yang menjadi sumber hukum yng paling utama dalam islam itu hanya Al-
Qur’an dan sunnah. Al-Qur’an sebagai sumber utama tidak ada perbedaan pendapat tentang
kehujjahanya karena merupakan sumber hukum yang berasal dari Allah, sementara sunnah
tidak di ragukan lagi merupakan sumber tersendiri namun tetap berkaitan erat dengan Al-
Qur’an.
Imam Syafi’i memakai dasar-dasar hukum atau dalil-dalil hukum yamg di dalam hukum
islam yaitu Al-Qur’an,sunnah,ijma, dan Qiyas. Tata urutan sumber hukum ini juga di pakai
oleh mazhab-mazhab awal terutama oleh gurunya, Imam Maliki.
Menurut teori hukum klasik landasan hukum islam itu ada 4 dengan tata urutan alQur’an
sunnah, ijma dan qiyas. Akan tetapi menurut ahmad hasan ini merupakan hukum yang sulit
untuk sulit untuk diterima alasanya. Pertama , empat landasan ini dengan tata urur al-Quran,
sunnah, ijma qiyas merupakan hasil perkembangan sejarah yang berasal dari masa para
sahabat. Kedua urutan sumber-sumber hukum tersebut, sesungguhnya adalah produk yang
datang kemudian ketiga ide tentang a’immat al huda atau pemimpin-pemimpin yang
berbimbing lurus tentunya baru muncul setelah empat khalifah pertama.
Dialog Imam Syafi’i dengan lawan-lawanya memperjelas bahwa para ahli-ahli hukum
awal menempatkan qiyas sebelum ijma. Perubahan tata urut hukum islam menjadi al-Quran,
sunnah, ijma, qiyas untukk pertama kalinya muncul dalam karyanya, al Risalah
Dan sesuai dengan skema sumber hukum islam pada masa-masa sebelumnya,ijma
merupakan urutan yang terakhir. Ijma merupakan satu prinsip untuk menjamin kebenaran
hukum yang muncul sebagai hasil penggunaan qiyas dan merupakan pembatas terhadap
qiyas dan merupakan pembatas terhadap qiyas yang bersifat bisa salah. Imam Syafi’i
memandang ijma sebagai sumber hukum setelah al-Qur’an dan sunah Rasul

D. Macam – Macam Ijma’


Adapun ijma' ditinjau dari sudut cara menghasilkannya, ada dua macam yaitu:
1. Ijma' Shorih
Yaitu kesepakatan para mujtahid pada 34 NO. 67/XIll/19971 suatu masa atas hukum
suatu peristiwa dengan menampilkan pendapat masing-masing secara jelas dengan sistem
fatwa atau qodho' (memberi putusan). Artinya setiap mujtahid menyampaikan ucapan atau
perbuatan yang mengungkapkan secara jelas tentang pendapatnya. Ijma' ini termasuk
katagori haqiqi, ijma' yang dijadikan hujah syar'iyah menurut madzhab jumhur.
2. Ijma' Sukuti
Yaitu sebahagian mujtahid suatu masa menampilkan pendapatnya secara jelas mengenai
suatu peristiwa dengan sistem fatwa atau qodho', sedang sebahagian mujtahid tidak
memberikan tanggapan terhadap pendapat tersebut mengenai kecocokannya atau
perbedaannya. Ijma' mi termasuk pada katagori ijma' i'tibari (dianggap ada ijma'), karena
seorang mujtahid yang diam belum tentu setuju. Oleh karenanya kehujjahannya
dipertentangkan, ia hanya pendapat sebagian mujtahid.
ljma' bila ditinjau dari segi dalalahnya terbagi kepada dua, yaitu:
1. Ijma’ Qath’i
Yaitu ijma’ syarih yang berarti bahwa hukumnya diqath’i-kan olehnya. Tidak ada jalan
bagi hukum suatu peristiwa, dengan adanya khilaf.
2. Ijma' Dzanniy
Yaitu ijma’ sukuti, karena tidak adanya dalil yang qath’i yang menunjukkan hukum
masalah tersebut. Ijma’ dengan dalalah dzanniy ini masih bisa dibuat sebagai bahan untuk
berijtihad dengan alasan belum ditemukan alasan yang meng-qath’i-kan.

E. Contoh Ijma’ Dalam Ekonomi


Di era kontemporer saat ini, potret ijma' dapat dijumpai dalam forum-forum ilmiah
seperti Majma’ a-Fiqh al-Islami, Majma’ Nuhuts al-Islamiyah, Dar al-Ifta’ dan Dewan
Syari’ah Nasional Majelis Ulama’ Indonesia. Sebagian dari aplikasi ijma' dalam
problematika ekonomi syari’ah dan bisnis keuangan sebagai berikut:
1. Reksadana Konvensional, Haram Menurut Ijma' Ulama’
Reksadana adalah sebuah wahana di mana masyarakat dapat menginvestasikan dananya
dan pengurusnya atau fund manager dana itu diinvestasikan ke portofolio efek. Dalam
reksadana konvensional terdapat hal-hal yang bertentangan dengan syariah baik dalam segi
akad, operasi, investasi, transaksi maupun pembagian keuntungan. Namun demikian dalam
reksadana konvensional tersebut terdapat pula mu'amalah yang dibolehkan dalam Islam
seperti jual beli dan bagi hasil (mudharabah/qirad).
Sebagai solusinya, para ulama’ menawarkan konsep reksadana syari’ah. Sebgaimana
disebutkan dalam Fatwa Dewan Syar’ah Nasional MUI, Nomor: 20/DSN-MUI/IV/2001
bahwa Reksa Dana Syari'ah adalah Reksa Dana yang beroperasi menurut ketentuan dan
prinsip Syari'ah Islam, baik dalam bentuk akad antara pemodal sebagai pemilik harta (sahib
al-mal/rabb al-mal) dengan manajer Investasi sebagai wakil shahib al-mal, maupun antara
Manajer Investasi sebagai wakil shahib al-mal dengan pengguna investasi.
2. Ijma' Tentang Keharaman Asuransi Konvensional
Asuransi yang disebut juga pertanggungan, yaitu perjanjian antara dua pihak atau lebih,
di mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi
asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan
atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak
ketiga yang mungkin akan dederita tertanggung; yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak
pasti, atau yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Sedangakan asuransi konvensional adalah usaha asuransi yang dijalankan tidak sesuai
dengan prinsip-prinsip syari’ah
Majelis Ulama’ Fiqh pada pertemuan pertamanya yang diadakan pada tanggal 10
Sya’ban 1398 M, di Mekkah di pusat Rabithah al-Alam al-Islami meneliti persoalan asuransi
dengan berbagai jenisnya yang bermacam-macam, setelah sebelumnya menelaah tulisan para
ulama dalam persoalan tersebut, dan juga setelah melihat keputusan Majelis Kibar al-Ulama’
di Kerajaan Saudi Arabia pada pertemuan kesepuluh di kota Riyadh tanggal 14/1/97M,
dengan SK No. 55, tentang haramnya asuransi berbasis bisnis dengan berbagai jenisnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ijma’ merupakan salah satu metode yang dipakai ulama mujtahidin dalam menentapkan
hukum, apabila mereka dihadapkan suatu persoalan hukum yang tidak ditemukan nash dalam
al-qur’an maupun dalam al-sunnah yang dapat dijadikan landasan hukum setelah Rasulullah
meninggal dunia.
Apabila suatu peristiwa terjadi dan memerlukan ketentuan hukum dan peristiwa tersebut
dikemukakan kepada para ulama yang memiliki kemampuan berijtihad, dan mereka
kemudian mengambil kesepakatan berupa hukum dari peristiwa tersebut, maka kesepakatan
mereka disebut sebagai ijma’
Dan sesuai dengan skema sumber hukum islam pada masa-masa sebelumnya,ijma
merupakan urutan yang terakhir. Ijma merupakan satu prinsip untuk menjamin kebenaran
hukum yang muncul sebagai hasil penggunaan qiyas dan merupakan pembatas terhadap
qiyas dan merupakan pembatas terhadap qiyas yang bersifat bisa salah
Adapun ijma' ditinjau dari sudut cara menghasilkannya, ada dua macam yaitu: Ijma'
Shorih dan Ijma' Sukuti. ljma' bila ditinjau dari segi dalalahnya terbagi kepada dua, yaitu:
Ijma' yang qoth'i dalalahnya atas hukum (yang dihasilkan) dan ijma' yang dhonni dalalahnya
atas hukum ( yang dihasilkan )
Sebagian dari aplikasi ijma' dalam problematika ekonomi syari’ah dan bisnis keuangan
sebagai berikut: Ijma' Haramnya Bunga Bank, Reksadana Konvensional, Haram Menurut
Ijma' Ulama’, dan Ijma' Tentang Keharaman Asuransi Konvensional
DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Multazam al-thobi’u wan-Nasru Darul Fkr al-‘Araby, 1958,
h.198.
Agil Bahsoan, Kedudukan Ijma SEbagai Dalil Hukum Terhadap Fatwa Ekonomi Islam
Kontemporer Di Indonesia
Amir Abd Aziz, Usul Fiqh al-Islamy, (Siria: Dar el Fikr, 1986) , 417
Chamim Tohari, KONSEP IJMA’ DALAM USHUL FIQH DAN KLAIM GERAKAN
ISLAM 212, JURNAL AQLAM – Journal of Islam and Plurality –Volume 4, Nomor 2, 2019
Moh. Bahrudin, TEORI IJMA’ KONTEMPORER DAN RELEVANSINYA DENGAN
LEGISLASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA (ANALISIS NORMATIF – YURIDIS)
Zainil Ghulam. APLIKASI IJMA’ DALAM PRAKTIK EKONOMI SYARI’AH.
Iqtishoduna Vol. 7 No. 1 April 2018, hal 100.
Sitty Fauzia Tunai, PANDANGAN IMAM SYAFI’I TENTANG IJMA sebagai SUMBER
PENETAPAN HUKUM ISLAM dan RELEVANSINYA dengan PERKEMBANGAN
HUKUM ISLAM DEWASA INI
Muhammad bin Idris Asy Syafi’i, kitab al Risalah, (kairo:t.tp,1321 H0, h. 205)
Ors. Zakaria Syafe'I, IJMA SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM (Kajian tentang
Kehujjahan Ijma' dan Pengingkarannya), NO. 6'7/XIll/1997
Mohammad Mufid, Lc. M.H.I, Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2016), 78.
Mohammad Mufid, Lc. M.H.I, Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer, 48-50;
LTN PBNU, Ahkam al-Fuqaha’, (Surabaya: Khalista, 2011), 200.
H. Muhammad Sholahuddin, SE, M.Si., Kamus Istilah Ekonomi, Keuangan, dan Bisnis
Syari’ah AZ, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2011), 13
Muhammad al-Syaukani. Irsyad alFuhul ila Tahqiqi al-Haq min ‘Ilm al-Ushul. (Beirut: Dar
al-Fikr, tth), h. 72.

Anda mungkin juga menyukai