Anda di halaman 1dari 3

Pengertian Ijtihad secara bahasa berasal dari kata 

ijtahada-yajtahidu-ijtahadan yang merupakan derivasi


dari kata jahada. Secara bahasa maknanya adalah upaya atau kemampuan.

Imam al-Ghazali mendefinisikan ijtihad dengan “badzlul mujtahid wus’ahu fi thalabil ‘ilmi bi ahkamis
syariah” (mengerahkannya seorang mujtahid kepada segala kemampuan dan upayanya untuk mengurai
pengetahuan tentang hukum-hukum syariat).  Imam Ibn Qudamah juga berpendapat serupa dan hampir
sama dengan definisi versi Imam al-Ghazali. Sedangkan Imam al-Baydlowi mendefinisikan ijtihad sebagai
“pengerahan segala upaya untuk menangkap hukum-hukum syariat”.

Imam Asy Syaukani dalam Irsyadul Fuhul mendefinisikan ijtihad yakni Mengerahkan kekuatan untuk


mendapatkan hukum syar'i yang bersifat praktik dengan metode istinbat

Secara umum, pengertian ijtihad adalah proses penetapan hukum syariat dengan mencurahkan seluruh
pikiran dan tenaga secara bersungguh-sungguh untuk menggali dan menemukan hukum-hukum syariat.

Dari definisi tersebut, kita tahu bahwa tidak semua orang bisa menjadi mujtahid. Syarat utama yang
paling dasar harus dimiliki seorang mujtahid adalah: 1) Islam, 2) Baligh, 3) Berakal dan 4) Adil.

Syarat-Syarat Utama Seorang Mujtahid

1. Menguasai pengetahuan tentang al-Qur’an.

Al-Qur’an memegang peranan penting sebagai sumber hukum Islam. Maka, seorang Mujtahid, ketika
hendak menggali hukum dari ayat-ayat al-Qur’an harus menguasai ilmu-ilmu terkait dengan al-Qur’an
itu sendiri. Yakni ilmu seputar makna teks al-Qur’an, illat dan tujuan yang terdapat di dalamya, asbabun
nuzul, nasikh-mansukh dan mampu mengidentifikasi ayat-ayat hukum.

2. Menguasai pengetahuan tentang Sunnah Kenabian. Hadis dan sunnah kenabian merupakan sumber
kedua setelah al-Qur’an. Maka, ketika hendak menggali hukum Islam dari teks-teks hadis, seorang
Mujtahid harus menguasai seluruh ilmu terkait dengan hadis. Mulai dari menguasai mustalahul hadis,
kritik sanad dan matan hadis, ilmu jarh wat ta’dil, dan berbagai macam ilmu dalam diskursus
pemahaman hadis.
3. Menguasai Ilmu Bahasa Arab. Al-Qur’an dan Hadis sampai kepada kita dengan media Bahasa Arab.
Seorang Mujtahid tidak akan mampu memahami teks tersebut ketika dia tidak menguasai Bahasa Arab.
Nahwu, Shorrof, Balaghah, Manthiq dan ilmu kebahasaan lainnya mutlak harus dikuasai.

4. Menguasai Ushul al-Fikih. Ushul Fikih adalah tiang ijtihad. Di dalamnya ada sekumpulan teori dan
konsep, berikut kaidah-kaidah untuk menggali hukum Islam. Maka sudah sepatutnya seorang Mujtahid
mesti menguasai ilmu ini. Tidak boleh tidak!

5. Mengetahui hal-hal terkait Ijma’. Setelah al-Qur’an dan Hadis, Ijma’ adalah sumber syariat ketiga
dalam Islam. Ijma’ berkaitan dengan kesepakatan yang telah dilakukan oleh para ulama terkait suatu
hukum tertentu. Ijma’ ulama termasuk dalil qath’I (yang pasti), yang harus dirujuk oleh Mujtahid ketika
hendak menentukan sebuah hukum.

Syarat Penyempurna Seorang Mujtahid

Mujtahid adalah orang yang melakukan ijtihad. Selain harus Islam, baligh, berakal dan adil, ada lagi
beberapa syarat terkait penguasaan ilmu yang harus dimiliki oleh seorang Mujtahid; paham ilmu terkait
al-Qur’an dan Hadis, menguasai Bahasa Arab dan Ushul Fikih sekaligus tahu ijma’-ijma’ ulama yang telah
ada sebelumnya.

Namun, untuk menyempurnakan proses ijtihadnya, seorang Mujtahid juga dianjurkan untuk menguasai
beberapa hal lainnya yaitu:

Mengetahui al-Bara’ah Al-Ashliyyah (hukum asal). Yaitu seputar hal-hal yang belum diatur dan dijelaskan
hukumnya oleh syariat. Entah karena ia belum disebutkan secara jelas, atau ia belum memenuhi syarat-
syarat untuk dihukumi sesuatu. Jadi tidak boleh asal menghukumi ini wajib, ini haram dan seterusnya!

Mengetahui Maqashid al-Syariah(tujuan/maksud syariah). Apa rahasia di balik regulasi waris? Apa


hikmah yang ada di balik aturan rukhsoh (keringanan hukum) berupa bolehnya menqashar sholat dan
tidak berpuasa ketika kita sedang ada di perjalanan sejauh 80 km? Nah seorang mujtahid harus paham
soal ini.

Mengetahui kaidah-kaidah umum (al-Qawa’id al-Kulliyah). Yakni kaidah yang disarikan dari berbagai
kejadian dan hukum, yang kemudian diringkas dalam satu teori umum. Ini biasanya ada dalam qawa’id
ushuliyyah dan qawa’id fiqhiyyah.

Mengetahui letak perbedaan pendapat. Selain itu, seorang Mujtahid harus paham mengenai mawadli’ul
ikhtilaf (letak-letak perbedaan) yang terjadi di kalangan para ulama. Dengan mengetahui hal itu,
diharapkan seorang Mujtahid mampu menganalisis argumentasi di antara kedua belah pihak dan
mampu menemukan solusi atau jalan keluar bagi perbedaan yang ada.

Mengetahui kebiasaan (‘urf) yang tengah berlangsung. Selain harus jeli dalam membaca teks-teks
keagamaan, seorang Mujtahid haruslah peka terhadap kondisi masyarakat atau mukallaf yang
merupakan obyek hukum. Kepekaan dan pemahaman terhadap tradisi dan kebiasaan masyarakat dapat
membantu seorang Mujtahid untuk bijak dalam merumuskan hukum dan menerapkannya.

Anda mungkin juga menyukai