Kata Ijtihad berakar dari al-juhd, yang berarti al-thaqah (daya, kemampuan,
kekuatan) atau dari kata al-jahd yang berarti al-masyaqah (kesulitan,kesukaran)[1].
Dari pengertian diatas bisa kita simpulkan bahwa ijtihad secara bahasa adalah
pengarahan semua kemampuan untuk suatu aktivitas yang berat atau sukar. Dalam
pengertian secara bahasa diatas dapat kita ketahui ada dua unsur pokok yaitu
pertama kemampuan dan yang kedua obyek yang berat atau sulit.
Ijtihad menurut ulama ushul ialah usaha seorang yang ahli fiqh yang
menggunakan seluruh kemampuannya untuk menggali hukum yang bersifat amaliah
(praktisi) dari dalil-dalil yang bersifat terperinci[2].
Menurut Ensiklopedi Islam, ijtihad adalah mengerahkan segala tenaga dan pikiran
untuk menyelediki dan mengeluarkan (meng-istinbat-kan) hukum-hukum yang
terkandung di dalam Al-Quran dengan syarat-syarat tertentu. Di dalam Al-Quran,
perintah ijtihad terdapat dalam surat an-Nisa ayat 83, asy-Syuara ayat 38, surat alHasyar ayat 2, dan surat al-Baqarah ayat 59. Sementara itu, dasar ijtihad terdapat
pula pada sebuah hadist yang artinya: Apabila seorang hakim berijtihad dan benar,
maka baginya dua pahala, tetapi bila berijtihad lalu keliru maka baginya satu pahala
(HR. Bukhari dan Muslim). Di dalam kitab ihya Ulumu ad-Din, hukum mengenai
berijtihad dikategorikan menjadi fardhu ain, fardu kifayah, dan sunnah. Hukum
ijtihad menjadi fardhu ain jika timbul persoalan yang sangat mendesak untuk
ditentukan kepastian hukumnya. Hukum ijtihad menjadi fardhu kifayah apabila ada
persoalan yang diajukan kepada beberapa ulama sedemikian hingga kewajiban
berijtihad bagi ulama atau orang lain menjadi hilang manakala telah ada salah
seorang yang telah menjawab persoalan tersebut. Sedangkan ijtihad menjadi
sunnah jika masalah yang akan dicari kepastian hukumnya adalah masalah yang
tidak mendesak atau masalah yang belum terjadi dalam masyarakat. Dari beberapa
pengertian diatas dapat kita ketahui bahwa ijtihad adalah suatu usaha untuk
menentukan hukum.
berada
maka
palingkanlah
wajahmu
ke
Fungsi
Fungsi ijtihad ialah untuk menetapkan hukum sesuatu,yang tidak ditemukan dalil
hukumnya secara pasti di dalam Al-Quran dan Hadis.
Tujuan ijtihad
Untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah
kepada allah SWT disuatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu
Syarat-Syarat seseorang yang boleh melakukan ijtihad
oMengetahui dalil-dalil syarI,
oMengetahui hal-hal yg berkaitan dgn keshahihan hadits,
oMengetahui nasikh- mansukh dan perkara- perkara yg telah menjadi ijma,
oMengetahui dalil-dalil yg sifatnya takhsis,
oMengetahui ilmu bahasa, ushul fikih, dalil-dalil yg mempunyai hubungan umumkhusus,
oMempunyai kemampuan beristimbat
Tingkatan Mujtahid
Orang yang melakukan ijtihad adalah mujtahid. Untuk menjadi seorang mujtahid,
terdapat persyaratan-persyaratan tertentu yang harus dimiliki seseorang. Menurut
Yusuf Qardawi, terdapat delapan persyaratan yang harus dimiliki seseorang untuk
menjadi mujtahid:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
a.
Mujtahid fi al-syari bisa di sebut dengan mujtahid mustaqil. Ialah orang yang
membangun suatu madzab seperti imam mujtahid yang empat yaitu Imam Abu
Hanifah, Maliki, Syafii, dan Ahmad bin Hambal.
b.
Mujtahid fi al-mazhab, ialah mujtahid yang tidak membentuk madzab sendiri
tetapi mengikuti salah satu imam madzab saja. Seperti Abu Al-Hasan Kharkhi (260340 H), Abu Jafar At-Thahawi (230-321 H), dan Al-Hasan bin Ziyad (wafat 204 H)
dari kalangan Hanafiyah, Muhammad bin Abdullah Al-Abhari (289-375 H) dari
kalangan Malikiyah, dan Ibnu Abi Hamid Al-Asfrini (344-406 H) dari kalangan
Syafiiyah.
c.
Mujtahid fi al-masail ialah mujtahid yang berijtihad hanya pada beberapa
masalah dan bukan pada masalah-masalah yang umum. Seperti Imam Al-Thahawi
dari kalangan Hanafiyah, Al-Ghozali dari kalangan Syafiiyah, Al-Khiraqi dari
kalangan Hanabilah.
d. Mujtahid muqoyyad ialah mujtahid yang mengikat diri dengan pendapat ulama
salaf dan mengikuti ijtihad mereka. Yang termasuk dalam mujtahid muqoyyad adalah
Imam Ath Thahawi, Al Kurkhi, dan As Sarkhasi, yang semuanya merupakan ulama
dari Mazhab Hanafi. Sementara mujtahid muqayyad dari Mazhab Maliki di antaranya
adalah Al Abhari dan Ibnu Abi Zaid Al Qairuwani. Sedangkan mujtahid dari kalangan
Mazhab Syafii adalah Abu Ishaq Asy Syirazi, Ibnu Khuzaimah, dan Muhammad bin
Jarir. Adapun dari kalangan Mazhab Hambali, di antaranya adalah Al Qadhi Abu
Yala dan Al Qadhi Abu Ali bin Abu Musa rahimahumullah.
Di dalam melaksanakan ijtihad, para mujtahid menempuh beberapa cara
diantaranya qiyas, istihsan, al-maslahah al mursalah, dan urf. Qiyas adalah
menyamakan hukum suatu masalah dengan masalah lain yang telah ada kepastian
hukumnya di dalam Al-Quran dan Hadist karena sebabnya sama. Istihsan adalah
mengecualikan hukum suatu masalah dari hukum masalah-masalah lain yang
sejenis lalu menetapkan suatu hukum bagi masalah itu dengan hukum yang berbeda
berdasarkan pada alasan bagi pengecualian itu. Al-maslahah al mursalah adalah
menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya dalam Al-Quran dan
sunnah untuk mencapai kebaikan. Sedangkan yang dimaksud dengan urf adalah
kebiasaan umum atau adat-istiadat yang dapat berupa perkataan atau perbuatan.
Macam-Macam Ijtihad
Dr. Ad-Duwalibi, sebagaimana dikatakan oleh Dr. Wahbah (h. 594) membagi
macam ijtihad kepada tiga macam (sebagian diantaranya juga ditunjuk oleh AsySyathibi di dalam (al-muwafaqotnya):
1. Al-Ijtihadul Bayaniy yaitu menjelaskan (bayan) hukum-hukum Syariyahdari nashnash syari (yang memberi syariat yang menentukan syariat).Ijtihad bayani
merupakan metode ijtihad yang lebih menitikberatkan kepada kajian kebahasaan.
Ijtihad bayani adalah pengetahuan kemampuan untuk sampai kepada hukum yang
dimaksud oleh nash dan zhanni tsubut atau dalalahnya, atau zhanni kedua-duanya.
Inilah yang menjadi ruang lingkup ijtihad, yaitu batas-batas yang diberi toleransi
Abu Hanifah tinggal dimana sedikit sekali dijumpai sahabat Nabi. Fakta geografis ini
menimbulkan perbedaan dalam pemecahan kasus.
Berikutnya sejarah singkat mengenai Imam Syafii dan Imam Ahmad bin
Hambal. Kedua Imam ini adalah murid dari Imam Malik sehingga mereka berdua
mengikuti dari gurunya yaitu lebih cenderung ke kelompok Hijaz.
Metode-metode ijtihad iamam empat:
1.
Imam Abu Hanifah
1.Berpegang pada dalalatul Qur'an
- Menolak mafhum mukhalafah
- Lafz umum itu statusnya Qat'i selama belum ditakshiskan
- Qiraat Syazzah (bacaan Qur'an yang tidak mutawatir) dapat dijadikan dalil
2. Berpegang pada hadis Nabi
- Hanya menerima hadis mutawatir dan masyhur (menolak hadis ahad kecuali
diriwayatkan oleh ahli fiqh))
- Tidak hanya berpegang pada sanad hadis, tetapi juga melihat matan-nya
3. Berpegang pada qaulus shahabi (ucapan atau fatwa sahabat)
4. Berpegang pada Qiyas
- Mendahulukan Qiyas dari hadis ahad
5. Berpegang pada istihsan
1.
3.
Imam Syafi'i
1.
Qur'an dan Sunnah (artinya, beliau menaruh kedudukan Qur'an dan Sunnah
secara sejajar, karena baginya Sunnah itu merupakan wahyu ghairu matluw). Inilah
salah satu alasan yang membuat Syafi'i digelari "Nashirus Sunnah".
Konsekuensinya, menurut Syafi'i, hukum dalam teks hadis boleh jadi menasakh
hukum dalam teks Al-Qur'an dalam kasus tertentu)
2.
Ijma'
3.
hadis ahad (jadi, Imam Syafi'i lebih mendahulukan ijma' daripada hadis ahad)
4.
Qiyas (berbeda dg Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'i mendahulukan hadis ahad
daripada Qiyas)
5.
Beliau tidak menggunakan fatwa sahabat, istihsan dan amal penduduk
Madinah sebagai dasar ijtihadnya
4.