Anda di halaman 1dari 5

Metode Penetapan Hukum islam

A. Ijtihad
Kata ijtihad berasal dari bahasa Arab yang kata akarnya adalah “jahada” yang berarti
kesungguhan atau sepenuh hati. Kata jahdan dengan arti kesanggupan atau
kemampuan yang mengandung pengertian sulit dan susah, sedangkan secara Istilah
menurut Saifuddin al-Amidi Ijtihad adalah pengerahan segenap kemampuan dalam
memperoleh dugaan kuat tentang sesuatu dari hukum syara’ dalam bentuk yang dirinya
merasa tidak mampu berbuat lebih dari itu.1

Ijtihad di bagi menjadi tiga bagian yaitu:


a. Ijtihad Al-Bayani,yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ dari nash
b. Ijtihad Al-Qiyasi, yaitu ijtiad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-
Qur’an Maupin Sunnah dengan menggunakan metode qiyas.
c. Ijtihad Al-Istishlah, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-
Qur’an maupun Sunnah dengan menggunakan ra’yu berdasarkan kaidah istishlah. 2

Syarat-syarat melakukan ijtihad


1. Mengetahui dan mengusai arti ayat-ayat hukum yang terdapat pada Al-Qur’an baik
menurut bahasa maupun istilah.
2. Mengetahui dan menguasai hadist-hadist hukum
3. Mengetahui tentang nasakh dan mansukh baik Al-Qur’an maupun Hadist
4. Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan oleh ijma’ ulama sehingga ijtihad
nya tidak bertentanan dengan ijma’ ulama.
5. Mengetahui bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan dengan
bahasa, serta berbagai problematikanya.
6. Mengetahui ilmu ushul fiqih yang merupakan fondasi dari ijtihad.

1
M.Usman,S.AG, M.AG, Buku Dasar Mata Kuliah Flsafat Hukum Islam Jurusan Syari’ah STAIN Surakarata,
(Jawa Tengah: Jurusan Syariah STAIN Surakarta, 2009), hlm. 65-68
2
Ibid, hlm. 72
7. Mengetahui tujuan-tujuan islam secara umum.3

Hukum Melakukan ijtihad

Hukum melakukan ijtihad menurut Amir Syarifuddin bahwa secara umum hukum
berijtihad adalah wajib. Artinya, seorang mujtahid wajib melakukan ijtihad untuk
menggali dan merumuskan syara’ dalam hal-hal yang tidak di tentukan hukumnyadlam
AlQur’an maupun Hadist.4

B. Ijma
Ijma’ berasal dari bahasa Arab yang secara etimologis berarti kesepakatan atau
sependapat tentang sesuatu hal. Sedangkan menurut istilah ulama ushul fiqih ialah
kesepakatan mujtahid umat isam tentang hukum syara’ dari suatu peristiwa setelah
wafatnya Rasulullah.
Dasar Hukum Ijma’
Salah satu dasar yang di gunakan dalam ijma’ adalah firman Allah dalam Qur’an surat Ali
Imran ayat 103 yang artinya: Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah, dan
janganlah bercerai berai. Ayat ini memerintahkan bersatu dan jangan bercrai-berai
termasuk ke dalam berijtima’
Rukun Ijma’
1. Adanya beberapa imam mujtahid ketika terjadinya peristiwa dan para mujtahid
itulah yang melakukan ijma’ dalam menetapkan suatu hukum peristiwa.
2. Yang melakukan ijma’ hendaklah para mujtahid yang ada di seluruh dunia islam
3. Kesepakatan itu harus di nyatakan secara tegas oleh para mujtahid, baik secara lisan
maupun tulisan
4. Kesepakatan itu harus di nyatakan secara bulat oleh semua mujtahid, apabila ada
salah satu yang tidak setuju maka tidak di namakan ijma’ 5

Jenis-jenis Ijma

3
Ibid, hlm. 74-76

4
Ibid, hlm, 78
5
Ibid, hlm, 81-85
1. Ijma’ Sharih, yaitu mujtahid menyampaikan pendapatnya secara jelas dan tegas
dengan berbagai argumentasinya,baik secara tulisan maupun lisan.
2. Ijma’ sukuti, yaitu sebagian mujtahid tidak menyampaikan pendapatnya dengan
jelas, tetapi dengan diam saja terhadap pendpat mujtahid yang lain dan tidak
mendapat reaksi apa-apa.

Kehujjahan Ijma’

Berbicara mengenai kehujjahan ijma’ terdapat perbedaan di antara ulama, misalnya al-
Badawi yang mengatakan bahwa ijma’ secara mutlak tidak dapat di jadikan hujjah.
Sedangkan menurut al-Amidi, para ulama telah sepakat bahwa ijma’ sebagai hujjah yang
wajib di amalkan. Sedangkan mengenai kehujjahan ijma’ di lihat dari jenis-jenis ijma’ itu
sendiri sebagai berikut:

1. Kehujjahan ijma’ sharih jumhur ulama sepakat bahwa ijma’ sharih dapat di jadikan
hujjah secara qot’I dan wajib di amalkan dan haram menentangnya.
2. Kehujjahan ijma’ sukuti para ulama berbeda pendapat sebagian dari mereka
berpendapat bahwa ijma’ sukuti tidak dapat di jadikan sebagai hujjah, merek
berargumen bahwa diamnya dari sebagian mujtahid itu mengandung banyak
kemungkinan, misalnya mereka tidak berijtihad,atau takut untuk mengemukakan
pendapatnya dan lain sebagainya.6
C. Qiyas
Qiyas bersal dari bahasa Arab yang secara etiologis, berarti menyamakan, mengukur,
atau membandingkan. Sedangkan menurut istilah qiyas adalah menyamakan suatu
peristiwa yang belum ada hukumnya kepada peristiwa yang sudah ada hukumnya karna
adanya kesamaan illat antara keduanya.
Rukun Qiyas
1. Ahsal yang berarti pokok, yaitu suatu kejadian yang telah di tetapkan hukumnya
berdasarkan nash.

6
Ibid, hlm, 85-88
2. Furu’ yang berarti cabang, yaitu sesuatu yang belum di tetapkan hukumnya karena
tidak adanya nash yang tidak dapat di jadikan sebagai dasar.
3. Illat yaitu suatu sifat yang ada pada ahsal dan sifat itulah yang cari pada furu’ apabila
sifat itu ada pada furu’ maka itulah yang di jadikan dasar untuk di tetapkan
hukumnya pada furu’.
4. Hukum ashal yaitu hukum dari ashal yang telah di tetapkan berdasarkan nash dan
hukum itu pula yang akan di tetapkan pada hukum furu’.7
D. Istishan
Kata istihsan berasal dari bahasa Arab yang secara etimologis berarti menganggap baik
atau mencari yang baik, Sedangkan secara istilah ialah meninggalkan hukum yang telah
di tetapkan pada suatu peristiwa yang di tetapkan pada nash menuju (menetapkan)
pada hukum lain dariperistiwa atau kejadian itu jug, karena adanya dalil syara’ lain yang
mengharuskan untuk meninggalkannya.
Pandangan Ulama terhadap Kehujjahan Istihsan
1. Ulama Hanafiyah. Abu Zahrah bependapat bahwa Abu Hanifah banyak sekali
menggunakan istihsan. Begitu pula pada kitab-kitab usul menyebutkan bahwa
Hanafiyah mengakui adanya istihsan.
2. Ulama Malikiyah. Asy-Syatibi berkata bahwa sesungguhnya ihtisan di anggap dalil
yang kuat dalam hukum sebagaimana pendapat Imam Maliki dan Imam Abu Hanifah
bahwa Imam Malik sering berfatwa berdasarkan istihsan.
3. Ulama Hanabilah. Dalam beberapa kitab ushul fiqih di sebutkan bahwa ulama
hanabilah mengakui adanya istihsan.
4. Ulama Syafi’iyah yang mayoritas tidak mengakui adanya istihsan dan mereka benar-
benar menjauhinya dan tidak menggunakannya sebagai dalil.8
E. Al-Maslahah al-Mursalah
Menurut Abdul Wahhab Khalaf ia mendefisinikan maslahah yaitu yang ketentuan
hukumnya tidak di gariskan oleh Tuhan dan tidak ada dalil syara’ yang menunjukan
tentang kebolehan dan tidaknya maslahah tersebut.

7
Ibid, hlm,89-93
8
Ibid, hlm,93-98
Syarar-syarat Berlakunya Maslahah al- Mursalah
Imam Zakariyah al-Farisi sebagaimana di kutip oleh Syaifuddin Zuhri memberikan
persyaratan sebagai berikut:
1. Bahwa maslahah itu benar-bebar bersifat hakiki tidak bersifat imajinatif,artinya
bebnar-benar dapat mendatangkan kemaslahatan dan menolak kumudzaratan.
2. Bahwa kemaslahatan itu harus berorientasi pada kemaslahatan umum tidak bersifat
individual
3. Bahwa kemaslahatan itu tidak bertentangan dengan kemaslahatan yang di tentukan
oleh nash.9
F. Sadudz Dzari’ah
Saddudz Dzariyah terdiri dari dua kata yaitu saddun dan Dzari’ah, kata saddun berarti
penghalang, penghambat sedangkan dzariyah berarti jalan menuju sesuatu. Maksudnya
ialah menghambat atau menghalangi semua jalan yang di yakini akan membawa kepada
kerusakan atau kemaksiatan. Tujuan penetapan hukum ini dalam rangka mempermudah
tercapainya kemaslahatan dan mencegah kerusakan.
Kehujjahan saddudz dzari’ah
Dikalangan para ulama ushul fiqihterjadi perbedaan pendapat dalam meneria metode
ini, misalkan ulama Malikiyah dan Hanabilah dapat menerima, mereka beralasan pada
salah satu dalil dalam surat al- An’am ayat 108, sedangkan ulama syafi’iyah dan ulama
Hanafiyah mereka menerima metode ini dalam masalah-masalah tertentu dan
menolaknya masalah-masalah yang lain.10

9
Ibid, hlm,98-106
10
Ibid, hlm, 106-110

Anda mungkin juga menyukai