Anda di halaman 1dari 14

JUAL BELI ONLINE (E-COMMERCE)

Disusun Guna Memenuhi Tugas Akademik


Mata Kuliah : Fiqh Kontemporer
Dosen : Roykhatun Nikmah, M.H.

Disusun Oleh:
1. Putri Isna’in Yekti (172121045)
2. Shobahul Khoiriyah (172121068)
3. Muhammad Arief Hakimi (172121073)
4. Iluk Irmawati (182121023)

HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
TAHUN AJARAN 2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perkembangan internet menyebabkan terbentuknya dunia baru yang disebut
dunia maya. Di dunia maya, setiap individu memiliki hak dan kemampuan untuk
berinteraksi dengan individu lain tanpa batasan apapun yang dapat menghalanginya.
Globalisasi yang sempurna sebenarnya telah berjalan didunia maya yang
menghubungkan seluruh komunitas digital. Dari seluruh aspek kehidupan manusia
yang terkena dampak kehadiran internet, sektor bisnis merupakan sektor yang paling
terkena dampak dari perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi serta
paling cepat tumbuh.
Mobilisasi manusia yang tinggi menuntut dunia perdagangan mampu
menyediakan layanan jasa dan barang dengan cepat sesuai permintaan konsumen.
Untuk mengatasi masalah tersebut, kini muncul transaksi yang menggunakan media
internet untuk menghubungkan produsen dan konsumen. Transaksi bisnis melalui
internet lebih dikenal dengan nama e-business dan e-commerce. Melalui e-commerce,
seluruh manusia dimuka bumi memiliki kesempatan dan peluang yang sama untuk
bersaing dan berhasil berbisnis di dunia maya. Oleh karena itu, kami akan mencoba
membahas apa dan bagaimana e-commerce tersebut.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian E-Commerce ?
2. Apa saja Rukun dan Syarat E-Commerce ?
3. Apa landasan hukum E-Commerce ?
4. Bagaimanakah pandangan hukum islam terhadap E-Commerce ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN JUAL BELI ONLINE (E-COMMERCE)
Permasalahan transaksi E-Commerce dalam Islam termasuk dalam kelompok
ta’aqquli, Ta’aqquli adalah perbuatan hukum yang dapat dinalar oleh manusia. Ia bisa
berubah dan berkembang. Dalam hal ini, Islam memberikan peluang bagi manusia
untuk melakukan berbagai inovasi terhadap bentuk-bentuk muamalah yang mereka
butuhkan dalam kehidupan mereka, dengan syarat bahwa bentuk muamalah hasil
inovasi ini tidak keluar dari prinsip-prinsip yang telah ditentukan oleh Islam.1
Teknologi merubah banyak aspek bisnis dan aktivitas pasar. Dalam bisnis
perdagangan misalnya, kemajuan teknologi telah melahirkan metode bertransaksi
yang dikenal dengan istilah E-Commerce (Elektronic Commerce). Secara lebih luas,
E-Commerce merupakan penggunaan alat-alat elektronik dan teknologi untuk
melakukan perdagangan, meliputi interaksi Business-To-Business, dan Business-To-
Consumer. E-Commerce menggambarkan cakupan yang luas mengenai teknologi,
proses, dan praktik yang dapat melakukan transaksi bisnis tanpa menggunakan kertas
sebagai sarana mekanisme transaksi. Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai cara
seperti melalui E-Mail atau bisa juga melalui World Wide Wed.2
E-Commerce merupakan kegiatan bisnis yang menyangkut konsumen
(consumers), manufaktur (manufactures), service providers dan pedagang perantara
(intermediaries) dengan menggunakan jaringan komputer (computer networks) yaitu
internet. Penggunaan sarana internet merupakan suatu kemajuan teknologi yang dapat
dikatakan menunjang secara keseluruhan spektrum kegiatan komersial.
Ada banyak definisi untuk E-Commerce, tapi umumnya E-Commerce merujuk
pada semua bentuk transaksi komersial yang menyangkut organisasi dan individu
yang didasarkan pada pemrosesan dan transmisi data yang digitalisasikan, termasuk
teks, suara dan gambar. Termasuk juga pengaruh bahwa pertukaran informasi
komersial secara elektronik yang mungkin terjadi antara institusi pendukung dan
aktivitas komersial pemerintah. Ini termasuk antara lain manajemen organisasi,

1
Nasrun Harven, Perdagangan Saham di Bursa Efek tinjauan Hukum Islam, (Jakarta: Yayasan Kalimah, 2000),
hlm. 28
2
Asnawi Haris Faulidi, Transaksi Bisnios E-Commerce Perspektif Islam, (Yogyakarta: Magistra Insania Press,
2004), hlm. 14
negosiasi dan kontrak komersial, legal dan kerangka regulasi, penyusunan perjanjian
keuangan, dan pajak satu sama lain.3
E-Commerce (perniagaan elektronik) pada dasarnya merupakan dampak dari
teknologi informasi dan telekomunikasi. Secara signifikan ini mengubah cara manusia
melakukan interaksi dengan lingkungannya terkait dengan mekanisme perdagangan.
Semakin meningkatnya dunia bisnis yang mempergunakan internet dalam melakukan
aktivitas sehari-hari secara tidak langsung menciptakan sebuah domain dunia baru
yang kerap diistilahkan dengan cyber space atau dunia maya.4
Beberapa kalangan akademis sepakat mendefinisikan E-Commerce sebagai
salah satu cara memperbaiki kinerja dan mekanisme pertukaran barang, jasa,
informasi, dan pengetahuan dengan memanfaatkan teknologi berbisnis jaringan
peralatan digital.
Dari berbagai definisi yang ditawarkan dan dipergunakan oleh berbagai
kalangan, terdapat kesamaan dari masing-masing definisi tersebut. Kesamaan tersebut
memperlihatkan bahwa E-Commerce memiliki karakteristik sebagai berikut :
1. Terjadinya transaksi antara dua belah pihak.
2. Adanya pertukaran barang, jasa, atau informasi.
3. Internet merupakan medium utama dalam proses atau mekanisme perdagangan
tersebut.
Dari karakteristik tersebut terlihat jelas bahwa pada dasarnya E-Commerce
merupakan dampak dari perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi, dan
secara signifikan mengubah cara manusia melakukan interaksi dengan lingkungannya,
yang dalam hal ini terkait dengan mekanisme dagang.5

B. SYARAT DAN RUKUN


Setelah melihat dari pengertian dan proses terjadinya transaksi E- Commece,
jual beli E-Commerce dapat diqiyas kan kepada transaksi jual beli as- salam dan al-
istishna’.
3
Mawardi, “Transaksi E-Commerce Dan Bai’ As-Salam (Suatu Perbandingan)”, Jurnal Hukum Islam, Vol. VII,
No. 1 (Juni 2008), hlm. 62
4
Ahmad M.Ramli, Cyber Law dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia (Bandung: PT. Refika Aditama,
2004), hlm. 1
5
Asnawi Haris Faulidi, Transaksi Bisnios E-Commerce Perspektif Islam, (Yogyakarta: Magistra Insania Press,
2004), hlm. 17-19
Transaksi as-salam ialah menjual sesuatu yang tidak dilihat zatnya, hanya
ditentukan dengan sifat, barang itu ada di dalam pengakuan (tanggungan) si penjual.
Transaksi as-salam merupakan bagian dari jual beli biasa. Hanya saja dalam transaksi
as-salam terdapat persyaratan tambahan yang menentukan validitas transaksi tersebut.
Karena dalam transaksi as-salam produk yang dijadikan objek transaksi tidak
ada/tidak dapat dihadirkan pada saat transaksi terjadi. Penjual, dalam hal ini, hanya
menyebutkan kriteria-kriteria tertentu pada produk yang akan dijual.
Transaksi al-isthisna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan
pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli.
Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli
barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli
akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran: apakah
pembayaran dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu
waktu pada masa yang akan datang.6
Dari pengertian as-salam dan al-isthisna’ di atas dapat disimpulkan bahwa
transaksi E-Commerce dapat diqiyaskan atau disamakan dengan jual beli as-salam
dan al-isthisna’, di mana syarat dan rukun transaksi E-Commerce diqiyaskan kepada
jual beli as-salam dan al-isthisna’.
1) Syarat jual beli as-salam
a) Modal Transaksi As-Salam
Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam modal as-salam adalah sebagai
berikut:
a. Modal Harus Diketahui, Barang yang akan disuplai harus diketahui
jenis, Khualitas, dan jumlahnya hukum awal mengenai pembayaran
adalah bahwa ia harus dalam bentuk uang tunai.
b. Penerimaan Pembayaran as-Salam, Kebanyakan ulama mengharuskan
pembayaran salam dilakukan ditempat kontrak. Hal tersebut
dimaksudkan agar pembayaran yang diberikan oleh pembeli tidak
dijadikan sebagai utang penjual. Lebih khusus lagi, pembayaran salam
tidak bisa dalam bentuk pembebasan utang yang harus dibayar dari
penjual. Hal ini adalah untuk mencegah praktik riba melalui mekanisme
salam.7
6
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Pess, 2001) hlm. 113
7
Ibid., hlm. 109
b) Al-Muslam Fiihi (Barang)
Di antara syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam al-muslam fiihi atau barang
yang ditransaksikan dalam ba’i as-salam adalah sebagai berikut:
a. Harus spesifik dan dapat diakui sebagai utang.
b. Harus bisa diidentifikasi secara jelas untuk mengurangi kesalahan akibat
kurangnya pengetahuan tentang macam barang tersebut (misalnya beras
atau kain), tentang klasifikasi Khualitas (misalnya Khualitas utama, kelas
dua, atau eks ekspor), serta mengenai jumlah.
c. Penyerahan barang dilakukan di kemudian hari.
d. Kebanyakan ulama mensyaratkan penyerahan barang harus ditunda pada
suatu waktu kemudian, tetapi mazhab Syafi’i membolehkan penyerahan
segera.
e. Bolehnya menentukan tanggal waktu di masa yang akan datang untuk
penyerahan barang.
f. Tempat penyerahan. Pihak-pihak yang berkontrak harus menunjuk
tempat yang disepakati di mana barang harus diserahkan. Jika kedua
pihak yang berkontrak tidak menentukan tempat pengiriman, barang
harus dikirim ke tempat yang menjadi kebiasaan, misalnya gudang si
penjual atau bagian pembelian si pembeli.
g. Penggantian muslam fiihi dengan barang lain. Para ulama melarang
penggantian muslam fiihi dengan barang lainnya. Penukaran atau
penggantian barang as-salam ini tidak diperkenankan, karena meskipun
belum diserahkan, barang tersebut tidak lagi milik si mislam alaih, tetapi
sudah menjadi milik muslam (fidz-dzimah). Bila barang tersebut diganti
dengan barang yang memiliki spesifikasi dan Khualitas yang sama,
meskipun sumbernya berbeda, para ulama membolehkannya. Hal ini
demikian tidak dianggap sebagai jual beli, melainkan penyerahan unit
yang lain untuk barang yang sama.8

2) Syarat jual beli istisna’


a) Pihak yang berakal cakap hukum dan mempunyai kekuasaan untuk
melakukan jual beli.
b) Ridha atau kerelaan kedua belah pihak dan tidak ingkar janji.
8
Ibid., hlm.110
c) Apabila isi akad disyaratkan shani’ (pembuat barang) hanya bekerja saja,
maka akad ini bukan lagi isthisna’, tetapi berubah menjadi akad ijarah (sewa
menyewa)
d) Barang tersebut tidak termasuk dalam kategori yang dilarang syara’ (najis,
haram, samar atau tidak jelas) atau menimbulkan kemudharatan
(menimbulkan maksiat).9

Untuk rukun e-commerce juga di qiyaskan kepada jual beli as-salam dan al-
isthisna, adapun rukun-rukunnya adalah:
Pelaksanaan jual beli as-salam harus memenuhi sejumlah rukun berikut ini.
1) Muslam atau pembeli.
2) Muslam ilaih atau penjual.
3) Modal atau uang.
4) Muslam fiihi atau barang.
5) Sighat atau ucapan.

Sedangkan rukun jual beli al-isthisna’ adalah:


1) Penjual atau penerima pesanan (shani’)
2) Pembeli atau pemesan (mustashni’)
3) Barang (mashnu’)
4) Harga (tsaman)
5) Ijab qabul (shighat).10
C. Landasan Hukum Normatif dan Hukum Jual Beli Online (E-Commerce)
Landasan atau dasar hukum mengenai jual beli ini disyariatkan
berdasarkan Al-Qur’an, Hadist Nabi, Ijma’, Kaidah Ushul Fiqh, Fatwa MUI dan
Undang-undang Yakni:
1. Al-Quran
a. Yang mana Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa : 29
‫اض ِم ْن ُك ْم ۚ َواَل تَ ْقتُلُوا أَ ْنفُ َس ُك ْم ۚ إِ َّن‬ َ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اَل تَأْ ُكلُوا أَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط ِل إِاَّل أَ ْن تَ ُكونَ تِ َج‬
ٍ ‫ارةً ع َْن ت ََر‬
‫هَّللا َ َكانَ بِ ُك ْم َر ِحي ًما‬

9
Sofyan S. Harahap, Wiroso, Muhammad Yusuf, Akuntansi Perbankan Edisi Revisi (Jakarta: LPFusakti, 2006),
hlm. 182-182
10
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalah (Banten: AMZAH, 2010), hlm. 254
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
b. QS. Al-Baqarah : 275
َ ِ‫الَّ ِذينَ يَأْ ُكلُونَ ال ِّربَا اَل يَقُو ُمونَ إِاَّل َك َما يَقُو ُم الَّ ِذي يَتَ َخبَّطُهُ ال َّش ْيطَانُ ِمنَ ْال َمسِّ ۚ ٰ َذل‬
‫ك بِأَنَّهُ ْم قَالُوا إِنَّ َما ْالبَ ْي ُع ِم ْث ُل‬
‫الرِّ بَا ۗ َوأَ َح َّل هَّللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم ال ِّربَا ۚ فَ َم ْن َجا َءهُ َموْ ِعظَةٌ ِم ْن َربِّ ِه فَا ْنتَهَ ٰى فَلَهُ َما َسلَفَ َوأَ ْم ُرهُ إِلَى هَّللا ِ ۖ َو َم ْن عَا َد‬
ٰ ُ
ِ َّ‫فَأولَئِكَ أَصْ َحابُ الن‬
َ‫ار ۖ هُ ْم فِيهَا خَ الِ ُدون‬
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya,
lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
c. QS. Al-Baqarah : 282
ُ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا إِ َذا تَدَايَ ْنتُ ْم بِ َد ْي ٍن إِلَ ٰى أَ َج ٍل ُم َس ّمًى فَا ْكتُبُوه‬
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya

2. Hadist Rasulullah SAW


ْ َ‫ب أ‬
َ َ‫طيَبُ ؟ ق‬
‫ َع َم ُل‬: ‫ال‬ ِ ‫ أَيُّ ْال َك ْس‬: ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ُسئِ َل‬
َ ‫ي‬ َّ ِ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ { أَ َّن النَّب‬
ِ ‫ع َْن ِرفَا َعةَ ْب ِن َرافِ ٍع َر‬
‫ص َّح َحهُ ْال َحا ِك ُم‬ َ ‫ُور } َر َواهُ ْالبَ َّزا ُر َو‬ ٍ ‫ َو ُكلُّ بَي ٍْع َم ْبر‬، ‫ال َّرج ُِل بِيَ ِد ِه‬
Dari Rifa’ah bin Rafi’, Nabi pernah ditanya mengenai pekerjaan apa yang
paling baik. Jawaban Nabi, “Kerja dengan tangan dan semua jual beli yang
mabrur” (HR Bazzar no 3731 dan dinilai shahih oleh al Hakim. Baca Bulughul
Maramno784)11
3. Ijma’
Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan
alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan
dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau
barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang
lainnya yang sesuai. Mengacu kepada ayat-ayat Al Qur’an dan hadist, hukum jual
beli adalah mubah (boleh). Namun pada situasi tertentu, hukum jual beli itubisa
berubah menjadi sunnah, wajib, haram, dan makruh. Berikut ini adalah contoh
bagaimana hukum jual beli bisa berubah menjadi sunnah, wajib, haram, atau
makruh. Jual beli hukumnya sunnah, m i s a l n y a d a l a m j u a l b e l i b a r a n g
y a n g h u k u m m e n g g u n a k a n b a r a n g yang diperjual-belikan itu sunnah
seperti minyak wangi. Jual beli hukumnya wajib, misalnya jika ada suatu
ketika para pedagang menimbun beras, sehingga stok beras sedikit dan
mengakibatkan harganya pun melambung tinggi.
Maka pemerintah boleh memaksa para pedagang beras untuk
menjual beras yang ditimbunnya dengan harga sebelum terjadi
pelonjakan harga. Menurut Islam, para pedagang beras tersebut wajib menjual
beras yang ditimbun sesuai dengan ketentuan pemerintah. Jual beli hukumnya
haram, misalnya jual beli yang tidak memenuhi rukun dan syarat yang
diperbolehkan dalam islam, juga mengandung unsur penipuan. Jual beli
hukumnya makruh, apabila barang yang dijual-belikan ituhukumnya makruh
seperti rokok12
4. Kaidah Ushul Fiqh
‫ﺍَﻷَﺻْ ُﻞ ﻓِﻰ ْﺍﻷَ ْﺷﻴَﺎﺀِ ْﺍ ِﻹ ﺑَﺎ َﺣﺔ َﺣﺘَّﻰ ﻳَ ُﺪ َّﻝ ْﺍﻟ َّﺪﻟِ ْﻴ ُﻞ َﻋﻠَﻰ ﺍﻟﺘَّﺤْ ِﺮﻳ ِْﻢ‬
"Hukum asal dari sesuatu adalah mubah sampai ada dalil yang melarangnya
(memakruhkannya atau mengharamkannya)" (Imam As Suyuthi, dalam al Asyba'
wan Nadhoir: 43)
5. Fatwa MUI

11
Al-Astqolani, I. H. (2002), Bulughul Marom minnal adillati wal ahkam, Jakarta: Darul Kutub Al-Islamiyah,
hal 176.
12
Ahmad P, S. (2007). Tinjauan Hukum Islam Tentang Jual Beli via Telefon dan Internet, Jakarta: Al-Mizan,
hal 17.
Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 05/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Jual
Beli Salam.
6. Undang-Undang
a. Syarat-syarat terjadinya suatu perjanjian yang sah secara umum diatur dalam
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) yang
berbunyi: Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;
 kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
 kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
 suatu pokok persoalan tertentu;
 suatu sebab yang tidak terlarang
b. Pasal 378 (pasal penipuan) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(“KUHP”), dengan rumusan pasal sebagai berikut:
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum, dengan menyiarkan kabar bohong yang
menyebabkan harga barang-barang dagangan, dana-dana atau surat-surat
berharga menjadi turun atau naik diancam dengan pidana penjara paling
lama dua tahun delapan bulan.

c. Pasal 1 ayat 2 Undang-undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) yang


berbunyi;

Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan


menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik
lainnya.

d. Pasal 9 Undang-undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) yang


berbunyi:

Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik


harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan
syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan13

13
Undang-Undang REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN
TRANSAKSI ELEKTRONIK
D. Pandangan Hukum Islam Terhadap Transaksi E-Commerce

Sebagaimana keterangan dan penjelasan mengenai dasar hukum hingga


persyaratan transaksi salam dalam hukum islam, dilihat secara sepintas mengarah
pada tidak dibolehkannya transaksi secara online (E-Commerce), disebabkan ketidak
jelasan tempat dan tidak hadirnya kedua belah pihak yang terlibat dalam tempat.
Kalau ditelaah lebih dalam lagi dengan mencoba mengkolaborasikan antara ungkapan
al-qu’an, hadits, dan ijma’ dengan sebuah landasan: “pada awalnya semua muamalah
diperbolehkan sehingga ada dalil yang menunjukakn keharamannya”. Sebagaimana
ungkapan Abdullah bin Mas’ud : bahwa apa yang telah dipandang baik oleh muslim
maka baiklah dihadapan Allah, akan tetapi sebaliknya dan yang paling penting adalah
kejujuran, keadilan dan kejelasan dengan memberikan data secara lengkap, dan tidak
ada niatan untuk menipu atau merugikan orang lain, sebagaimana firman Allah dalam
surat Al-baqarah ayat 275 dan 282.

Langkah-langkah yang dapat ditempuh agar jual beli secara online


diperbolehkan, halal, dan sah menurut syariat islam:

a. Produk Halal. Kewajiban menjaga hukum halal-haram dalam objek


perniagaan tetap berlaku, termasuk dalam perniagaan secara online, mengingat islam
mengaharamkan hasil perniagaan barang atau layanan jasa yang haram, sebagaimana
ditegaskan dalam hadits “ sesungguhnya bila Allah telah mengharamkan atas suatu
kaum untuk memakan sesuatu, pasti ia mengaharamkan pula hasil penjualannya.”
(HR Ahmad,dan lainnya). Boleh jadi ketika berniaga online, rasa sungkan atau segan
kepada orang lain sirna atau berkurang, tapi kamu pasti menyadari bahwa allah azza
wajalla tetap mencatat halal atau haram perniagaan kamu.
b. Kejelasan status yang harus diperhatikan dalam setiap perniagaan adalah
kejelasan status pemilik atau paling kurang sebagai perwakilan dari pemilik barang,
sehingga berwenang menjual barang. Ataukah hanya menawarkan jasa pengadaan
barang, dan atas jasa ini dapat mensyaratkan imbalan tertentu. Atau sekadar seorang
pedagang yang tidak memiliki namun bisa mendatangkan barang yang di tawarkan
oleh penjual barang.
c. Kesesuaian Harga Dengan Kualitas Barang, dalam jual beli online kerap
pembeli merasa kecewa setelah melihat pakaian yang telah dibeli secara online, entah
kualitasnya atau ukuran yang ternyata tidak pas dengan badan. Sebelum hal itu terjadi
patutnya pembeli mempertimbangkan benar apakah harga yang ditawarkan telah
sesuai dengan kualitas barag yang akan dibeli, sebaiknya juga meminta foto real dari
keadaan barang yang akan dijual.
d. Kejujuran penjual, berniaga secara online walaupun memiliki banyak
keunggulan dan kemudahan, namun bukan berarti tanpa masalah. Berbagai masalah
dapat saja muncul pada perniagaan secara online, terutama masalah yang berkaitan
dengan tingkat amanah kedua belah pihak.
Bisa jadi ada orang yang melakukan pembelian atau pemesanan. Namun setelah
barang dikirim penjual kepada pembeli. Ia tidak melakukan pembayaran atau tidak
melunasi sisa pembayarannya. Bila Anda sebagai pembeli, bisa jadi setelah Anda
melakukan pembayaran , atau paling kurang mengirim uang muka, ternyata penjual
berkhianat dan tidak mengirimkn barang, bisa jadi barang yang dikirim tidak sesuai
dengan apa yang ia gambarkan di situsnya atau tidak sesuai dengan pembeli
inginkan.14

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
E-Commerce merupakan penggunaan alat-alat elektronik dan teknologi untuk
melakukan perdagangan, meliputi interaksi Business-To-Business, dan Business-To-

14
Munir Salim,”jual beli Secara Online Mneurut Pandangan Hukum Islam”, jurnal Al-daulah Vol .6 No. 2
Desember 2017
Consumer. E-Commerce menggambarkan cakupan yang luas mengenai teknologi,
proses, dan praktik yang dapat melakukan transaksi bisnis tanpa menggunakan kertas
sebagai sarana mekanisme transaksi. Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai cara
seperti melalui E-Mail atau bisa juga melalui World Wide Wed.
Landasan atau dasar hukum mengenai jual beli E-Commerce
disyariatkan berdasarkan Al-Qur’an An-Nisa : 29, Al-Baqarah : 275 dan 282,
Hadist Nabi HR Bazzar no 3731 dan dinilai shahih oleh al Hakim, Ijma’, Kaidah
Ushul Fiqh, Fatwa MUI No: 05/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Jual Beli Salam dan
Undang-undang Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”),
Pasal 378 (pasal penipuan) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), Pasal
1 ayat 2 dan pasal 9 Undang-undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik).
Sebagaimana keterangan dan penjelasan mengenai dasar hukum hingga
persyaratan transaksi salam dalam hukum islam, dilihat secara sepintas mengarah
pada tidak dibolehkannya transaksi secara online (E-Commerce), disebabkan ketidak
jelasan tempat dan tidak hadirnya kedua belah pihak yang terlibat dalam tempat.

DAFTAR PUSTAKA

Nasrun Harven, Perdagangan Saham di Bursa Efek tinjauan Hukum Islam, (Jakarta: Yayasan
Kalimah, 2000), hlm. 28
Asnawi Haris Faulidi, Transaksi Bisnios E-Commerce Perspektif Islam, (Yogyakarta:
Magistra Insania Press, 2004), hlm. 14
Mawardi, “Transaksi E-Commerce Dan Bai’ As-Salam (Suatu Perbandingan)”, Jurnal
Hukum Islam, Vol. VII, No. 1 (Juni 2008), hlm. 62
Ahmad M.Ramli, Cyber Law dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia (Bandung: PT.
Refika Aditama, 2004), hlm. 1
Asnawi Haris Faulidi, Transaksi Bisnios E-Commerce Perspektif Islam, (Yogyakarta:
Magistra Insania Press, 2004), hlm. 17-19
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani
Pess, 2001) hlm. 113

Sofyan S. Harahap, Wiroso, Muhammad Yusuf, Akuntansi Perbankan Edisi Revisi (Jakarta:
LPFusakti, 2006), hlm. 182-182
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalah (Banten: AMZAH, 2010), hlm. 254
Al-Astqolani, I. H. (2002), Bulughul Marom minnal adillati wal ahkam, Jakarta: Darul Kutub
Al-Islamiyah, hal 176.
Ahmad P, S. (2007). Tinjauan Hukum Islam Tentang Jual Beli via Telefon dan Internet,
Jakarta: Al-Mizan, hal 17.
Undang-Undang REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG
INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
Munir Salim,”jual beli Secara Online Mneurut Pandangan Hukum Islam”, jurnal Al-daulah
Vol .6 No. 2 Desember 2017

Anda mungkin juga menyukai