Anda di halaman 1dari 8

PERWALIAN DALAM PERNIKAHAN

Dosen Pengampu: Drs. Abdul Aziz, M.Ag.


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia diciptakan oleh Allah sebagai khalifah dibumi ini. Maka keberadaannya dibumi
sangat dibutuhkan agar kelangsungan hidup manusia tetap lestari. Oleh karena itu, manusia
dianjurkan untuk menikah bagi yang sudah mampu dari segi apapun. Selain untuk menghindari
perzinaan, nikah juga merupakan sunnatullah. Dalam masalah pernikahan ini, tentunya ada
ketentuan-ketentuan tersendiri.
Seorang laki-laki atau perempuan, ketika mereka belum menikah maka mereka
mempunyai hak dan kewajiban yang utuh, hak dan kewajiban yang berkaitan dengan
kehidupannya. Hak dan kewajiban akan harta miliknya dan sebagainya. Kemudian setelah
mereka mengikatkan diri dalam lembaga perkawinan.Maka mulai saat itulah hak dan kewajiban
mereka menjadi satu.Harta perkawinan merupakan modal kekayaan yang dapat dipergunakan
oleh suami istri untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari suami istri dan anak-anak dalam
suatu rumah tangga baik keluarga kecil maupun keluarga besar
Agama Islam juga telah mengatur tentang tata cara pernikahan, di antaranya adalah
masalah sighot akad nikah, wali nikah, dan mahar (maskawin). Hal ini mempunyai maksud agar
nantinya tujuan dari pernikahan yaitu terwujudnya keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah
dapat tercapai tanpa suatu halangan apapun.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian, Kedudukan, syarat dan fungsi Wali?
2. Siapa Sajakah Yang Boleh Menjadi Wali?
3. Apa saja macam-macam wali?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Perwalian
Perwalian dalam arti umum “segala sesuatu yang berhubungan dengan wali”. Dan wali
mempunyai banyak arti, antara lain :
1. Orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta
hartanya, sebelum anak itu dewasa.
2. Pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan janji nikah
dengan pengantin laki-laki).
3. Orang soleh (suci), penyebar agama.
4. Kepala pemerintah 1
Arti-arti tersebut diatas tentu saja pemakaian nya disesuaikan dengan konteks kalimat. Adapun
yang dimaksud perwalian disini yaitu pemeliharaan dan pengawasan anak yatim dan harta nya.
Menurut Muhammad Jawad Mughniyah, pemeliharaan dan pengawasan harta itu bukan hanya
untuk anak yatim saja, tetapi juga berlaku untuk orang gila, anak yang masih kecil, safih (idiot),
dan bangkrut. 2
Perwalian dalam istilah fiqih disebut wilayah yang berarti penguasaan dan perlindungan. Jadi arti
dari perwalian menurut fiqih ialah penguasaan penuh yang diberikan oleh agama kepada
seseorang untuk menguasai dan melindungi orang atau barang. (Kamal Mukhtar, 1974-1989).
Oleh sebab itu dalam garis besarnya perwalian itu dapat di bagi atas :
a. Perwalian atas orang
b. Perwalian atas barang
c. Perwalian atas orang dalam perkawinan nya.
Orang yang diberi kekuasaan disebut wali. Dari macam-macam perwalian diatas, yang akan
dibicarakan disini adalah perwalian dalam perkawinan seseorang.3

B. Kedudukan Wali

1 LihatDepDikbud,op.cit.,h.1123
2 Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si., Fiqih Munakahat 1,(Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), hal. 246
3 Tiara Nurul Hafizah, HKI 2A, 182121025
Wali dalam perkawinan adalah merupakan rukun artinya harus ada dalam perkawinan,
tanpa adanya wali, perkawinan dianggap tidak sah. Terutama perkawinan dari orang yang belum
mukallaf. Adapun yang menjadi dasar hukumnya ialah hadits-hadits nabi di bawah ini.
a. Hadits nabi :
“Barangsiapa diantara perempuan yang nikah dengan tidak diijinkan oleh walinya, maka
perkawinan nya batal” (riawayat empat orang ahli hadits terkecuali nasai).
b. Hadits nabi :
“Janganlah menikahkan perempuan akan perempuan yang lain dan jangan pula menikahkan
seorang perempuan akan dirinya sendiri”. (riwayat ibnu majjah dan daruquthni).
c. Hadits nabi :
“Tidak sah nikah melainkan dengan wali, dan dua saksi yang adil”. (H.R. Ahmad)
Imam Malik, Syafi’I dan Hambali berpendapat bahwa wali merupakan syarat sahnya suatu
perkawinan. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita boleh mengawinkan
dirinya sendiri tanpa wali berdasarkan hadits nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
dari Ibnu Abbas R.A mengajarkan bahwa : “orang-orang yang tidak mempunyai jodoh lebih
berhak atas (perkawinan) dirinya daripada walinya,dan gadis itu dimintakan perintah (agar ia
dikawinkan) kepadanya, dan (tanda) ijin nya ialah diamnya”. Berdasarkan hadits nabi tersebut,
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa wali dalam perkawinan hanya di syaratkan bagi wanita
yang belum dewasa, sedang wanita yang sudah dewasa dan janda boleh mengawinkan dirinya
sendiri. Karena di Indonesia yang dipakai adalah pendapat dari madzhab Syafi’i, jadi di
Indonesia tidak mungkin terjadi perkawinan tanpa wali.4

C. Syarat dan Fungsi Wali


Sepakat par aula,a bahwa orang-orang yang akan menjadi wali ialah :
a. Orang mukallaf/baliqh, karena orang yang mukallaf adalah orang yang dibebani Hukum dan
dapat mempertanggung jawabankan perbuatannya. Hadist Nabi :”Diangkatnya hukum itu dari
tiga perkara; dari orang yang tidur hingga ia bangun, dari anak-anak hingga ia bermimpi
(dewasa) dan dari orang-orang gila hingga ia sembuh”. (H.R. Bukhari dan Muslim).

4 Ny. Soemiyati, S.H, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (Undang-Undang No. 1 Tahun
1974, tentang perkawinan, (cet. IV, Yogyakarta: Libertiy, 1999), hal. 42-43
b. Muslim. Apabila yang kawin itu orang muslim, disyarakan walinya juga seorang muslim. Hal
ini berdasarkan Firman Allah :” Janganlah orang-orang mukmin mengangkat orang kafir sebagai
wali-wali (mereka) dengan meninggalkan orang-orang mukmin”. (Q.S. Ali Imran : 28)
c. Berakal sehat. Hanya orang yang berakal sehatlah yang dapat dibebani hukum dan dapat
mempertanggung jawabkan perbuatannya. Sesuai dengan Hadist Nabi yang telah disebut diatas
tadi.
d. Laki-laki
e. A d i l
Mengenai syarat laki-laki dan adil atau cerdas ini, ada perbedaan pendapat antara para
ahli Fiqh. Imam Maliki, Syafi’I dan Hambali berpendapat bahwa wanita tidak boleh menjadi
Wali dan tidak boleh wanita mengawinkan diri sendiri. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa
sah suatu perkawinan yang walinya seorang wanita atau wanita menikahkan dirinya sendiri.
Adapun pendapat Imam Abu Hanifah ini berdasarkan pada Hadist Nabi yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dan Ibnu Abbas r-a, yang telah disebutkan di atas.
Pendapat Imam Abu Hanifah ini yang memperbolehkan wanita menjadi wali dari orang yang
dibawah perwaliannya, sesuai pula dengan perbuatan ‘Aisyah isteri Nabi Muhammad S.A.W.,
seperti berikut :’ Aisyah pernah mengawinkan anak perempuan saudaranya, Abdurrakhman yang
pada waktu itu sedang bepergian. Setelah Abdurrakhman kembali dan mengetahui perbuatan
‘Aisyah terhadap puterinya, iapun marah kepada saudaranya. Tetapi tidak ada riwayat yang
mengatakan bahwa perkawinan putrid Abdurrakhman itu dinyatakan bahwa perkawinan putri
Abdurrakhman itu dinyatakan batal.
Wali juga disyaratkan orang yang cerdas/adil, demikian pendapat Imam Syafi’I, hal ini
didasarkan pada hadist Nabi. “Dari Ibnu Abbas, ia berkata tidak sah pernikahan kecuali dengan
wali yang cerdas”. Imam Abu Hanifah memperbolehkan wanita dan orang fasiq (orang Islam
yang tidak taat menjalankan agamanya) bertindak menjadi wali. Syarat wali harus Laki-laki itu
menurut Imam Abu Hanifah hanya di peruntukan bagi wanita yang belum dewasa dan belum
pernah kawin. Untuk wanita yang sudah dewasa atau janda boleh menganwinkan dirinya sendiri.
Yang penting menurut beliau, wali itu adalah orang yang dapat memilihkan jodoh yang tepat
bagi orang yang ada dibawah perwaliannya, dengan tidak usah mempersoalkan laki-laki atau
wanita, serta adil fasiq.
Di Indonesai yang pada umumnya mengikuti ajaran madzhab Syafi’I, dalam hal syarat
adil bagi wali tidak mendapat tekanan. Asal orang beragama Islam, baliqh laki-laki dan berakal
sehat sudah dipandang cakap bertindak sebagai wali. Walaupun menurut madzhab Syafi’I
seorang wali itu di samping memenuhi syarat-syarat seperti tersebut di atas juga harus orang
yang adil.

D. Orang-orang Yang Boleh Menjadi Wali


Karena tidak ada nash yang menerangkan urutan wali-wali dengan jelas, maka dari itu
para ahli berbeda pendapat dalam menetapkan urutan para wali sesuai dengan dasar-dasar yang
mereka gunakan. Tetapi kebanyakan ulama berpendapat bahwa orang-orang yang berhak
menjadi wali ialah :
1. Ayah kekek dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki
2. Saudara laki-laki sekandung atau seayah.
3. Kemenakan laki-laki sekandung atau seayah.
4. Paman sekandung atau seayah.
5. Saudara sepupu laki-laki sekandung atau seayah
6. Sultan (penguasa) sebagai wali hakim.
7. Wali yang diangkat oleh mempelai perempuan.
Dari macam-macam orang yang dinyatakan berhak menjadi walli di atas, dapat kita
bedakan adanya3 macam wali, yaitu : (1) wali nasab, (2) wali wali penguasa (sultan) atau wali
hakim, (3) wali yang diangkat oleh mempelai perempuan atau muhakam. Di Indonesia yang
dianut adalah tertib wali menurut madzhab Syafi’i. adapun tertib wali menurut madzhab-
madzhab Syafi’I ialah :
1. Ayah.
2. Kakek dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki.
3. Saudara laki-laki kandung.
4. Saudara laki-laki seayah.
5. Kemenakan laki-laki kandung
6. Kemenakan laki-laki seayah.
7. Paman kandung.
8. Paman seayah.
9. Saudara sepupu laki-laki kandung.
10. Saudara sepupu laki-laki seayah.
11. Sultan atau hakim.
12. Orang yang ditunjuk oleh mempelai yang bersangkutan.

E. Macam-macam Wali
Adapun berikut terdapat macam-macam wali yang telah di bagi menjadi beberapa
berdasarkan jenisnya, yaitu :
1. Wali Nasab
Wali nasab artinya anggota keluarga laki-laki dari calon mempelai perempuan yang
mempunyai hubungan darah patrilinial dengan calon mempelai perempuan. Jadi maksud dari
wali nasab ialah ayah, kakek, saudar laki0laki, paman dan seterusnya.
2. Wali Hakim
Menurut Imam Syafi’I, wali yang jauh tidak boleh menjadi wali apabila wali yang dekat
masih ada. Dalam hal wali dekat tidak ada (ghaib) dan tidak ada yang mewakilinya maka yang
menjadi wali ialah hakim, bukan wali yang jauh, karena wali yang dekat dianggap masih ada dan
berhak menikahkan wanita yang ada di bawah perwaliannya selama dia masih hidup dan tidak
gila.
Menuru Imam Abu Hanifah, wali jauh boleh menikahkan asal mendapat ijin dari wali
dekat, kalu tidak mendapat ijin maka nikahnya tidak sah. Apabila pemberian ijin tidak ada maka
perwalian pindah kepada sultan (kepala negara) atau orang yang diberi kuasa oleh kepala negara.
Jadi wali hakim ialah wali yang ditunjuk dan diberi kuasa oleh kepala negara. Di Indonesia,
kepala negara ialah presiden telah member kuasa kepada pembantunya yaitu Menteri Agama,
yang juga telah member kuasa kepada pegawai “pencatat nikah” untuk bertindak sebagai wali
hakim. Jadi wali disini bukan berarti wali dari hakim pengadi dolan. Meskipun dimungkinkan
juga hakim pengadilan dapat bertindak sebagai wali hakim apabila ia memperoleh kuasa dari
kepala negara.
3. Wali Muhakam
Apabila wali yang berhak tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai wali karena sesuatu
sebab atau karena menolak menjadi wali. Demikian juga wali hakim tidak dapat mengganti
kedudukan wali nasab karena berbagai sebab, maka calon mempelai wanita dapat menunjuk
seseorang yang dianggap mempunyai pengetahuan agama yang baik untuk menjadi wali.

Hikmah yang dapat diambil dari uraian masalah diatas adalah


1. Bahwa wali nikah tidak dapat sembarangan terkecuali wali tersebut disetujui oleh
pihak keluarga/ahli waris dari pengantin perempuan.
2. Bahwa wali menentukan tidak sahnya sebuah pernikahan maka harus ditunjuk
yang benar-benar sanggup menjadi wali.
3. Bahwa apabila wali dari pihak pengantin perempuan tidak bisa menikahlan
sendiri maka dapat di walikan kepada pemerintah atau penguasa yang telah
ditunjuk dari daerah tersebut.

Anda mungkin juga menyukai