Anda di halaman 1dari 3

Definisi Qiyas

Imam Syafi’I mendefinisikan qiyas sebagai suatu upaya pencarian (ketetapan hukum)
dengan berdasarkan dalil-dalil terhadap sesuatu yang pernah diinformasikan dalam Al-Qur’an dan
hadis. Qiyas hanya boleh diterapkan menyangkut sesuatu yang tidak ada nash dari Al-Qur’an,
hadis, atai ijma’. Apabila sesuatu itu telah termaktub dalam Al-Qur’an atau hadis, maka harus
menggunakan Al-Qur’an atau hadis sebagai dalilnya, dan harus tegas menyatakan bahwa “ini
hukum Allah” atau “ini hukum Rasulullah” dan jangan berkata “ini qiyas”. Apabila sesuatu itu
telah menjadi kesepakatan umat Islam (ijma’), maka harus menggunakan ijma’ sebagai hujjah.
Dengan demikian, fungsi qiyas hanya sebagai upaya pencarian ketetapan hukum yang tidak
termaktub oleh tiga sumber hukum utama.
Dalam kitab Ar-Risalah, Imam Syafi’I berkata, “Qiyas adalah sesuatu yang dipecahkan
berdasarkan dalil-dalil yang disesuaikan dengan informasi yang tersirat dalam Al-Qur’an atau
hadis, karena keduanya adalah kebenaran hakiki yang wajib dijadikan sumber”
Macam-Macam Qiyas
1. Qiyas Aqwa
Qiyas aqwa adalah analogi yang illat hukum cabangnya lebih kuat daripada hukum
dasarnya. Artinya, sesuatu yang telah dijelaskan dalam nash Al-Qur’an atau hadis tentang
keharaman melakukannya dalam jumlah sedikit, maka keharaman melakukannya dalam
jumlah banyak adalah lebih utama. Sedikit ketaatan yang dipuji apabila dilakukan, maka
melakukan ketaatan yang banyak lebih patut dipuji. Sesuatu yang diperbolehkan dilakukan
dalam jumlah yang banyak, maka lebih utama apabila dilakukan dalam jumlah sedikit.
Dalam kitab Ar-Risalah, Imam Syafi’i menyebutkan banyak contoh tentang qiyas
bagian pertama ini, diantaranya:‫ن‬
Pertama, Rasulullah Saw. bersabda:
‫ان هللا حرم من المؤمن دمه وماله وان يظن به اال خيرا‬
“Sesungguhnya Allah telah melarang menumpahkan darah orang beriman,
merampas hartanya, dan menyuruh berprasangka baik kepadanya”
Apabila Allah mengharamkan berprasangka buruk kepada sesame mukmin tetap
bersikap wajar kepadanya, maka prasangka-prasangka lainnya seperti menyebarkan isu
tidak benar tentangnya lebih diharamkan lagi. Demikian pula prasangka-prasangka lainnya
yang menyakitkan.
Kedua, Allah Swt berfirman:
‫ومن يعمل مثقال ذرة شرا يره‬,‫فمن يعمل مثقال ذرة خيرا يره‬
Artinya: “Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya
dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat
zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya pula”
Apabila manusia mampu melihat amal kebaikan dan keburukannya meskipun
hanya seberat dzarrah, maka penglihatan terhadap amal kebaikan dan keburukan yang
lebih besar adalah lebih utama. Setiap kebaikan itu terbuji dan mendapat banyak pahala,
dan setiap keburukan itu tercela dan mendapat dosa besar.
2. Qiyas Musawi
Qiyas musawi adalah qiyas yang kekuatan illat pada hukum cabang sama dengan sama
dengan hukum asal. Qiyas ini disebut juga dengan istilah qiyas fi Ma’na al-Ashl (analogi
tanpa perbedaan illat).
Imam Syafi’I tidak menerangkan qiyas bagian kedua ini dengan jelas. Pembahasan
mengenai qiyas ini hanya tersirat dalam pernyataannya, “ada ulama yang berpendapat
seperti pendapat ini, yaitu apa-apa yang berstatus halal, maka ia menghalalkannya dana pa-
apa yang belabel haram, maka ia mengharamkannya”
Maksud dari pernyataan ini adalah qiyas yang mempunyai kesamaan illat pada
hukum cabang dan hukum asal. Adanya kesamaan illat tersebut bersifat jelas, sejelas nash
itu sendiri. Dari sinilah, sebagian para ulama menggolongkan dilalah nash tersebut dalam
kategori qiyas. Qiyas pada bagian ini jelas berbeda dengan qiyas yang pertama, sebab Illat
pada hukum cabang lebih kuat daripada illat pada hukum asal.
Dari pernyataan Imam Al-Ghazali tampaknya ia setuju mengategorikan kesimpulan
ini dalam bahasan qiyas. Sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Mustashfa’. “tingkatan
yang kedua adalah kandungan makna padaa nash yang tersirat illatnya sama dengan
tersurat, yakni tidak lebih kuat atau lebih rendah. Sebagaimana disebut juga sebagai qiyas
fi Ma’na al-ashl. Namun, para ulama masih bebeda pendapat seputar penamaan qiyas ini.

3. Qiyas Adh’af
Qiyas adh’af adalah analogi yang illat pada hukum cabanya lebih lemah darpada
illat pada hukum dasarnya.
Dalam kitab ar-Risalah, Imam Syafi’i berkata, “sebagian ulama enggan menyebut
sebagi qiyas, kecuali ada kemungkinan kemiripan yang dapat ditetapkan dari dua makna
yang berbeda. Lalu dianalogikan terhadap salah satu makna tersebut, bukan yang lainnya.”
Dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i, ia menegaskan, adakalanya illat pada hukum
cabang lebih lemah darpada illat pada hukum asal. Qiyas seperti ini terbagi dua macam.
Pertama, qiyas al-ma’na, yaitu pencarian illat hukum dalam objek yang sa,a antara hukum
cabang dan hukum asal, lalu illat pada hukum cabang dijadikan pedoman untuk
menemukan ketetapan hukumnya. Kedua, tidak perly adanya penggilan makna sama
sekali, tetapi dengan cara meneliti pola hukum dalam satu kejadiandengan
membandingkannya pada dua kejadian yang berbeda, lalu dicari satu contoh yang paling
banyak kemiripannya. Proses analogi dengan mencari kemiripan bentuk hukum inilah yang
lazim disebut qiyas asy-syabah.
Rukun Qiyas
Para ulama fiqh menetapkan bahwa rukun qiyas ada empat:
1. Ashl, menurut para ahli ushul fiqh, merupakan objek yang telah ditetapkan hukumnya oleh
Al-Qur’an, hadits Rasulullah Saw. atau ijma’.
2. Far’u, adalah objek yang akan ditentukan hukumnya, yang tidak ada nash atau ijma’ yang
tegas dalam menentukan hukumnya.
3. Illat, adalah sifat yang menjadi motif dalam menentuykan hukum, dalam suatu kasus atau
ijma’ yang tegas dalam menentukan hukumnhya.
4. Hukum al-Ashl, adalah hukum syara’ yang ditentukan oleh nash atau ijma’ yang akan
diberlakukan kepada far’u.
Contoh Qiyas
‫يا أيها الذين أمنوا انما الخمر والميسر واالزالم رجس من عمل الشيطان فاجتنبوه لعلكم تفلحون‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkoban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk
perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”
(Q.S Al-Maidah: 90)
Keharaman ini didasarkan pada illat, yaitu memabukkan. Maka perasan kurma hukumnya juga
haram karena memabukkan, sehingga haram diminum.

Daftar Pustaka
Ahmad Nahrawi Abdus Salam, 2008. Ensiklopedia Imam Syafi’i. Jakarta: Hikmah
Sudirman, 2018. Fiqh Kontemporer.

Anda mungkin juga menyukai