Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam sketsa pemikiran hukum dikenal bahwa Qiyas (Analogical
Reasoning) merupakan suatu metode penetapan hukum yang menempati posisi
keempat dalam kerangka pemikiran hukum (Ushul Fiqh).
Para ulama dan praktisi hukum menilai bahwa semua produk hukum fiqh
yang dihasilkan oleh metode Qiyas ini benar-benar valid dan memiliki kekuatan
hukum yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Dilihat dari konteks
sejarah ada kecenderungan bahwa metode Qiyas ini berawal dari logika filsafat
Ariestoteles yang berkembang di Yunani kemudian ditransformasi menjadii
khazanah kebudayaan Islam pada masa al-Makmun. Secara metodologi dan
operasional, Qiyas merupakan upaya menghubungkan satu peristiwa dengan
peristiwa lain yang memiliki justifikasi hukum dengan melihat adanya persamaan
kausa hukum (‘illat). Dengan adanya persamaan kausa inilah, maka kasus yang
pertama itu ditetapkan dan diberikan ketentuan hukumnya. Imam Syafi’i sebagai
perintis pertama metode Qiyas ini membuat kualifikasi ketat terhadap unsur-unsur
yang ada pada qiyas. Baginya Qiyas dapat berlaku dan memiliki kekuatan hukum
yang valid jika keempat syaratnya terpenuhi yaitu ashl, hukm ashl, furu’ dan
‘illat.
Keempat syarat ini harus benar-benar terpenuhi apalagi dalam hal mencari
‘illat hukum, karena untuk mencari ‘illat hukum diharuskan memiliki kualitas
intelektual yang tinggi dan analisis yang tajam. Banyak produk-produk hukum
fiqh yang bertumpu pada metode qiyas seperti halnya penerapan zakat profesi,
dan seperti kasus klasik dalam hal pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah
sesudah wafatnya nabi dan beberapa kasus lain yang serupa.
Selanjutnya dalam makalah ini penulis mencoba akan jelaskan rumusan
qiyas, yang penulis uraikan dengan memaparkan analisis dari aspek definisi,
syarat,rukun dan jenis qiyas yang selanjutnya penulis tuangkan ke dalam makalah

1
yang berjudul “Qiyas dan Aplikasinya dalam Ekonomi dan Keuangan
kontemporer”.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dan rukun qiyas?
2. Apa saja pembagian qiyas?
3. Bagaimana qiyas dan penerapannya dalam muamalah?
4. Bagaimana contoh penerapan qiyas dalam muamalah kontemporer?

1.3 Tujuan
1. Untuk memahami pengertian dan rukun qiyas.
2. Untuk mengetahui pembagian qiyas.
3. Untuk memahami qiyas dan penerapannya dalam muamalah.
4. Untuk mengetahui contoh penerapan qiyas dalam muamalah kontemporer.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dan Rukun Qiyas


Qiyas merupakan dasar atau dalil yang keempat setelah Al-Qur’an, sunnah,
dan ijma’. Qiyas dalam bahasa Arab berasal dari kata “qasa, yaqisu, qaisan”
artinya mengukur, menyamakan dan ukuran. Qiyas adalah memutuskan suatu
hukum dengan membandingkan masalah lain yang serupa, dimana ada kesamaan
diantara keduanya. Qiyas adalah sesuatu yang dititipkan Allah kepada akal dan
nalar. Seperti menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai
tingggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya.
Qiyas juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter atau alat
pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain
dengan mencari persamaan- persamaan, misalnya saya mengukur baju dengan
hasta. Secara istilah Menurut ulama ushul qiyas berarti menerangkan hukum
sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an dan Hadist dengan cara
membandingkannya kepada suatu kejadian yang lain yang telah ditetapkan
hukumnya berdasarkan nash.
Menurut Ibnu Qayyim, qiyas adalah timbangan (al-mizan) yang diturunkan
Allah bersama kitab-Nya, dan Dia menjadikan sebagai pembanding dan
pendukung Al-Qur’an. Allah SWT berfirman,

‫عةَ قَ ِريب‬ ‫ق َو ْال ِميزَ انَ ۗ َو َما يُد ِْريكَ لَعَ هل ال ه‬


َ ‫سا‬ ِ ‫َاب بِ ْال َح‬
َ ‫َّللاُ الهذِي أ َ ْنزَ َل ْال ِكت‬
‫ه‬

“Allah-lah yang menurunkan kitab dengan (membawa) kebenaran dan


(menurunkan) neraca (keadilan). Dan tahukah kamu, boleh jadi hari kiamat itu
(sudah) dekat?.” (QS. As-Syura: 17).

Dalam ayat lain dikatakan,

ِ ‫اس بِ ْال ِقس‬


...‫ْط‬ َ ُ‫َاب َو ْال ِميزَ انَ ِليَق‬
ُ ‫وم النه‬ َ ‫ت َوأ َ ْنزَ ْلنَا َمعَ ُه ُم ْال ِكت‬
ِ ‫سلَنَا بِ ْالبَيِنَا‬
ُ ‫س ْلنَا ُر‬
َ ‫لَقَ ْد أ َ ْر‬

3
“Sungguh, Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata
dan Kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan).” (QS. Al-
Hadid: 25)

Terkait dengan perngertian qiyas yang telah dijelaskan di atas maka,


dipaparkan juga rukun qiyas yang terdiri dari empat rukun yaitu :
 Ashal (al-ashl), yang berarti pokok, yaitu sesuatu peristiwa yang belum
ditetapkan hukumnya berdasar nash. Ashal (al-ashl) di sebut juga maqis ‘alaih
( yang menjadi ukuran), atau musyabbah bih ( tempat menyerupakan), atau
mahmul ‘alaih (tempat membandingkan);
 Fara’ (al-far) yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum
ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai
dasar. Fara’ disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang
diserupakan) atau ( yang dibandingkan);
 Hukum ashal (al- ashl) yaitu hukum dari ashal yang telah di tetapkan berdasar
nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara’ (al-far’) seandainya
ada persamaan ‘illatnya; dan
 ‘illat yaitu suatu sifat yang ada pada ashal (al-ashl) dan sifat itu yang dicari
pada fara’ (al-far’), seandainya sifat ada pula pada fara’ maka persamaan sifat
itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum fara’ sama dengan hukum ashal.

Sebagai contoh adalah menjual harta anak yatim adalah suatu peristiwa
yang perlu ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan
sebagai dasarnya. Peristiwa ini disebut fara’. Untuk menetapkan hukumnya dicari
suatu peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash yang
‘illatnya sama dengan peristiwa pertama. Peristiwa kedua ini memakan harta anak
yatim yang disebut ashal. Peristiwa kedua ini telah ditetapkan hukumnya
berdasarkan nash yaitu “ haram” hukum ashal berdasarkan firman Allah SWT:

4
  
  
  
  
  

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim


sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke
dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS an-nisa 4:10)

Persamaan ‘illat antara kedua peristiwa ini, ialah sama-sama berakibat,


berkurang atau habisnya harta anak yatim, karena itu ditetapkan hukum menjual
harta anak yatim sama dengan memakan harta anak yatim yaitu sama-sama
haram.
Dan keterangan diatas dapat disimpulkan :
 Ashal (al-ashl), ialah memakan harta anak yatim,
 Fara’ (al-far’), ialah menjual harta anak yatim
 Hukum ashal (al-ashl), ialah haram.
 ‘Illat, ialah mengurangi atau menghabiskan harta anak yatim.

2.2 Pembagian Qiyas


Qiyas dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
1. Qiyas ‘Illat
Qiyas ’illat ialah qiyas yang mempersamakan ashal (al-ashl) dengan fara’
(al-far’) karena keduanya mempunyai persamaan ‘illat. Qiyas ‘illat terbagi:
a. Qiyas jali
ialah qiyas yang ‘illatnya berdasarkan dalil yang pasti, tidak ada
kemungkinan lain selain dari illat yang ditunjukkan oleh dali itu. Qiyas jali terbagi
kepada :

5
 Qiyas yang ‘illatnya ditunjuk dengan kata-kata, seperti memabukkan
adalah ‘illat larangan minum khamar, yang disebut dengan jelas dalam
nash.
 Qiyas aulawi
ialah qiyas yang hokum pada fara’ (al-far’) sebenarnya lebih utama
ditetapkan disbanding dengan hokum pada ashal (al-ashl). Seperti haramnya
hokum mengucap kata-kata “ah” kepada kedua orangtua berdasarkan firman
Allah SWT :
‫فال تقل لهما اف‬
“Maka janganlah ucapkan kata-kata “ah” kepada kedua orangtua (mu).” (QS al-
Isra’ 17:23)
‘Illat ialah menyakiti hati kedua orangtua. Bagaimana hukum memukul orang
tua? Dari kedua peristiwa nyatalah bahwa hati orangtua lebih sakit bila dipukul
anaknya dibanding dengan ucapan “ah” yang diucapkan anaknya kepadanya.
Karena itu sebenarnya hukum yang ditetapkan bagi fara’ lebih utama dibanding
dengan hukum yang ditetapkan pada ashal( al-ashl).
 Qiyas musawi
ialah hukum yang ditetapkan pada fara’ (al-far’) sebanding dengan hukum
yang ditetapkan pada ashal (al-ashl), seperti menjual harta anak yatim di qiyaskam
kepada memakan harta anak yatim. ‘Illatnya ialah sama-sama menghabiskan harta
anak yatim. Memakan harta anak yatimhukumnya haram, berdasarkan firman
Allah SWT :
‫ان الذ ين يا كلون اموال اليتامى ظلما انما ياكلون في بطونيم نارا وسيصلون سعيرا‬
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk
kedalam api yang menyala-nyala (neraka)”. (QS: an-Nisa’ 4:10)
Karena itu di tetapkan pula haram hukumnya menjual harta anak yatim. Dari
kedua peristiwa ini Nampak bahwa hukum yang ditetapkan pada ashal (al-Ashl)
sama pantasnya dengan hukum yang ditetapkan pada fara’ ( al-far’).

b. Qiyas Khafi

6
Ialah qiyas yang ‘illatnya munkin dijadikan ‘illat dan munkin pula tidak
dijadikan ‘illat, seperti mengqiyaskan sisa minuman burung buas kepada sisa
minuman binatang buas. ‘illatnya ialah kedua binatang itu sama-sama minum
dengan mulutnya, sehingga air liurnya bercampur dengan sisa minumannya itu.
‘illat ini mungkin dapat digunakan untuk sisa burung buas dan mungkin pula
tidak, karena mulut burung buas berbeda dengan mulut binatang buas. Mulut
burung buas terdiri dari tulang atau zat tanduk. Tulang atau zat tanduk adalah
suci, sedang mulut binatang buas adalah daging, daging binatang buas adalah
haram, namun kedua-duanya adalah mulut, dan sisa minuman. Yang tersembunyi
di sini adalah keadaan mulut burung buas yang berupa tulang atau zat tanduk

2. Qiyas Dalalah
Qiyas adalah ialah qiyas yang ‘illatnya tidak disebut, tetapi merupakan
petunjuk yang menunjukkan adanya ‘illat untuk menetapkan sesuatu hukum dari
suatu peristiwa. Seperti harta anak-anak yang belum baligh, apakah wajib
ditunaikan zakatnya atau tidak. Para ulama yang menetapkan wajib mengqiyaskan
kepada harta orang yang telah baligh, karena ada petunjuk yang menyatakan
‘illatnya, yaitu kedua harta itu sama-sama dapat bertambah atau berkembang.
Tetapi mazhab hanafi, tidak mengqiyaskannya kepada orang yang telah baligh,
tetapi kepada ibadah, seperti shalat, puasa dan sebagainya. Ibadah hanya
diwajibkankepada orang mukallaf, termasuk didalamnya orang yang telah baligh
Orang yang telah baligh, tetapi tidak di wajibkan kepada anak kecil (orang yang
belum baligh). Karena itu anak kecil tidak wajib menunaikan zakat hartanya yang
telah memenuhi syarat-syarat zakat.

3. Qiyas syaibih
Qiyas syaibih ialah qiyas yang fara’ (al-far’) dapat diqiyaskan kepada dua
ashal (al-ashl) yang lebih banyak persamaannya dengan fara’ ( al-far’), seperti
hukum merusak budak dapat diqiyaskan kepada hukum merusak orang merdeka,
karena kedua-duanya adalah manusia. Tetapi dapat pula diqiyaskan kepada harta
benda, karena sama-sama merupakan hak milik. Dalam hal ini budak diqiyaskan

7
kepada harta benda karena lebih banyak persamaannya dibanding dengan
diqiyaskan kepada orang merdeka. Sebagaimana harta budak dapat
diperjualbelikan, diberikan kepada orang lain, diwariskan, diwakafkan dan
sebagainya.

2.3 Qiyas dan Penerapannya dalam Muamalah


Memahami bunga bank dari aspek legal-formal dan secara induktif,
berdasarkan pelarangan terhadap larangan riba yang diambil dari teks (nas), dan
tidak perlu dikaitkan dengan aspek moral dalam pengharamannya. Paradigma ini
berpegang pada konsep bahwa setiap utang-piutang yang disyaratkan ada
tambahan atau manfaat dari modal adalah riba, walaupun tidak berlipat ganda.
Oleh karena itu, betapapun kecilnya, suku bunga bank tetap haram. Karena
berdasarkan teori qiyâs, kasus yang akan di-qiyas-kan (fara’) dan kasus yang di-
qiyas-kan (asal) keduanya harus disandarkan pada illat jâlî (illat yang jelas). Dan
kedua kasus tersebut (bunga bank dan riba) disatukan oleh illat yang sama, yaitu
adanya tambahan atau bunga tanpa disertai imbalan. Dengan demikian, bunga
bank sama hukumnya dengan riba.
Adapun di antara tokoh-tokoh fikih Islam kontemporer yang menganut
paradigma ini adalah Abû Zahrah, Wahbah Zuhayli, Yûsûf al-Qardawi (masing-
masing ahli fikih Timur Tengah), Abdul Mannan, Syafi’i Antonio,Adiwarman
Azwar Karim (masing-masing ahli hukum Islam dan praktisi perbankan Islam
Indonesia).
Yûsûf al-Qardawi berpendapat bahwa riba yang diharamkan dalam Alquran
tidak membutuhkanpenjelasan dan pembahasan lebih lanjut, karena tidak
mungkin Allah mengharamkan sesuatu kepada manusia yang tidak mereka
ketahui bentuknya. Pemahaman riba sesuai yang tertuang dalam Q.S Al-Baqarah
[2]:278-279 menunjukkan segala kelebihan dari modal adalah riba, sedikit
maupun banyak. Maka setiap tambahan bagi modal yang disyaratkan atau
ditentukan terlebih dahulu, karena adanya unsur tenggang waktu semata adalah
riba.

8
Adapun Syafi'i Antonio yang merupakan praktisi dan akademisi ekonomi
Islam di Indonesia, terkait dengan bunga bank, mengatakan bahwa kriteria
berlipat-ganda bukanlah syarat terjadinya riba, tapi itu hanya sifat. Artinya, besar
atau kecil, bunga bank tetap riba, sebab sifat umum riba adalah berlipat ganda.
Sementara dari segi konteks atau illat, pengharaman riba dalam Alquran
adalah karena adanya faktor zulm,yaitu memungut tambahan utang dari pihak-
pihak yang seharusnya ditolong. Sementara konteks bank adalah
niaga(tijârah) untuk mencari keuntungan bersama antara pihak yang punya modal
(investor), pihak yang membutuhkan modal (debitur/pengusaha), dan pihak
perbankan sebagai mediator dan penyedia jasa. Sehingga sama sekali tidak ada
kaitannya dengan tolong menolong antara si kaya dan si miskin, melainkan upaya
kerjasama dalam mengembangkan modal dengan menjadikan bank sebagai
mediator antara penabung, pengusaha dan bank. Karena itu, aspek aniaya
(ketidakadilan) di sini amat kecil kemungkinan terjadi sebab masing-masing pihak
telah saling rela dan mengetahui hak serta kewajibannya masing-masing. Dengan
konsep seperti itu, akhirnya mereka sampai kepada satu kesimpulan bahwa antara
riba dengan bunga bank memiliki konteks dan esensi yang berbeda. Riba
dianggap kelebihan yang diambil dari pinjaman yang ditujukan untuk keperluan
konsumtif, sedangkan bunga bank adalah kelebihan atas pinjaman yang ditujukan
dalam rangka, kebutuhan produktif.
Dengan analisis seperti itu, penganut paradigma ini mengharuskan mereka,
meninggalkan qiyâs dan lebih memilih mengambil metode istihsân sebagai dasar
untuk sampai kepada suatu konklusi hukum yang dianggap lebih tepat untuk
dijalankan. Di antara tokoh dan ahli hukum Islam yang menganut paradigma
kontekstual dalam menilai permasalahan bunga bank adalah Munawir Syadzali,
Quraish Shihab, Umar Shihab dan M. Dawam Raharjo (masing-masing adalah
ulama fikih dan cendekiawan muslim Indonesia). Demikian pula, Fazlur Rahman,
Mahmoud Syaltout, dan Mustafa Ahmad al-Zarqa'.

2.4 Contoh Penerapan Qiyas dalam Muamalah Kontemporer

9
Contoh dari penerapan qiyas dalam muamalah kontemporer seperti Jual beli
emas secara tidak tunai adalah sebuah proses pemindahan hak milik berupa emas
yang dianggap sebagai harta atau barang komoditas kepada pihak lain dengan
menggunakan uang sebagai salah satu alat tukarnya yang dibayarkan secara
berangsur-angsur dengan tingkat harga atau angsuran sesuai dengan kesepakatan
dan kerelaan kedua belah pihak saat melakukan akad. Dengan diqiyaskan dengan
nash al-quran dan al hadits sebagai berikut,
 Firman Allah SWT QS. al-Baqarah: 275:

ِ ‫… َوأ َ َح هل هللاُ ْالبَ ْي َع َو َح هر َم‬


… ‫الربَا‬
"… Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba …"
 Hadis Nabi SAW,

Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh


dilakukan atas dasar kerelaan (antara kedua belah pihak)." (HR. Ibnu Majah dan
al-Baihaqi, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban)

Hadis Nabi riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Nasa'i, dan Ibn Majah,
dengan teks Muslim dari 'Ubadah bin Shamit, Nabi SAW bersabda, "(Jual beli)
emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya'ir dengan
sya'ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan syarat harus)
sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu
jika dilakukan secara tunai.

Hadis Nabi riwayat Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, Abu Daud, Ibnu Majah, dan
Ahmad, dari Umar bin Khatthab, Nabi SAW bersabda:

ِ ‫َب ِب ْال َو ِر‬


... ‫ق ِربًا ِإاله هَا َء َوهَا َء‬ ُ ‫الذهه‬
"(Jual beli) emas dengan perak adalah riba kecuali (dilakukan) secara tunai."
Pendapat Ulama
Syaikh 'Ali Jumu'ah, Boleh jual beli emas dan perak yang telah dibuat atau
disiapkan untuk dibuat dengan angsuran pada saat ini di mana keduanya tidak lagi
diperlakukan sebagai media pertukaran di masyarakat dan keduanya telah menjadi
barang (sil'ah) sebagaimana barang lainnya yang diperjualbelikan dengan

10
pembayaran tunah dan tangguh. Pada keduanya tidak terdapat gambar dinar dan
dirham yang dalam (pertukarannya) disyaratkan tunai dan diserahterimakan
sebagaimana dikemukakan dalam hadis riwayat Abu Sa'id al-Khudri bahwa
Rasulullah saw bersabda: "Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali
dengan ukuran yang sama, dan janganlah menjual emas yang gha'ib (tidak
diserahkan saat itu) dengan emas yang tunai." (HR. al-Bukhari).
Hadis ini mengandung 'illat bahwa emas dan perak merupakan media
pertukaran dan transaksi di masyarakat. Ketika saat ini kondisi itu telah tiada,
maka tiada pula hukum tersebut, karena hukum berputar (berlaku) bersama
dengan 'illatnya, baik ada maupun tiada. Atas dasar itu, maka tidak ada larangan
syara' untuk menjualbelikan emas yang telah dibuat atau disiapkan untuk dibuat
dengan angsuran
Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaily, "Demikian juga, membeli perhiasan dari
pengrajin dengan pembayaran angsuran tidak boleh, karena tidak dilakukan
penyerahan harga (uang), dan tidak sah juga dengan cara berutang dari
pengrajin."

Adapun contoh yang lain berdasarkan riwayat dari Umar bin Khattab
Radhiyallahu anhu, bahwa beliau memasukkan qiyas dalam bab zakat, ketika ia
memerintahkan untuk mengambil zakat kuda tunggangan yang ternyata nilainya
sama dengan harga seratus ekor unta. Lalu ia berkata,”kita ambil zakat dari 40
kambing, tetapi kenapa kita tidak mengambil apa-apa dari kuda?” Hal ini diikuti
oleh Abu Hanifah, dan dia mewajibkan zakat kuda dengan syarat-syarat tertentu.
Inilah yang membuktikan dalam kitab fikih zakat mengqiyaskan gedung-
gedung yang disewakan untuk tempat tinggal dan lain sebagainya dengan tanah
pertanian, dengan memakai besarnya biaya gedung, sehingga qiyas tersebut
dibenarkan. Mengqiyaskan gaji dan upah dengan harta pemberian yang diambil
zakatnya oleh Ibnu Mas’ud, Muawiyah dan Umar bin Abdul Aziz. Karena gaji,
upah dan harta pemberian, secara umum sama.

11
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Allah Swt mensyariatkan hukum tak lain adalah untuk kemaslahatan.
Kemaslahatan manusia merupakan tujuan yang dimaksud dalam menciptakan
hukum.
Nash baik Al Qur’an maupun hadits jumlahnya terbatas dan final. Tetapi,
permasalahan manusia lainnya tidak terbatas dan tidak pernah selesai. Mustahil
jika nash-nash tadi saja yang menjadi sumber hukum syara’. Karenanya qiyas
merupakan sumber hukum syara’ yang tetap berjalan dengan munculnya
permasalahan-permasalahan yang baru. Yang kemudian qiyas menyingkap hukum
syara’ dengan apa yang terjadi yang tentunya sesuai dengan syariat dan maslahah.
Begitu juga halnya dalam kegiatan muamalah, semua tidak terlepas dari
hukum-hukum yang telah ditetatpkan, terutama dalam mencari sulusi-sulusi
dalam pemecahan permasalah ekonomi ummat.

12
DAFTAR PUSTAKA

Achyar, Gamal dan Wahyuddin.2014. Ushul Fiqh 1, Fakultas Syari’ah UIN Ar-raniry:
Banda Aceh.
Al-Qaradhawi, Yusuf. 1993. Fawâ’id al-Bunûk Hiya al-Ribâ al-Harâm; Dirâsat al-
Fiqhiyyah fî Dau' al-Qur’ân wa al-Sunnah wa al-Waqi'. Beirut: Mu'assasat al-
Risâlah.
. 2001. Fikih Taysir, Metode Praktis MempelajariFikih. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar.
Hasan, Ahmad. 2005. Mata Uang Islami. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
http://gudangilmusyariah.blogspot.co.id/2015/05/jual-beli-emas-secara-tidak-tunai.html
diakses pada tanggal 1 Mei 2016 jam 16.00
Mas'adi, A Ghufton. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Mufti al-Diyar al-Mishriyah. 2006. al-Kalim al-Thayyib Fatawa 'Ashriyah. al-Qahirah:
Dar al-Salam.
Saebani, Ahmad. 2008. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia.
Sam, M. Ichwan dkk. 2014. Himpunan Fatwa Keuangan Syariah. Jakarta: Erlangga.
Syarifuddin, Amir. 2012. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.

13

Anda mungkin juga menyukai