Anda di halaman 1dari 9

QIYAS

USHUL FIQIH

A. Pengertian Qiyas

Qiyas menurut Ulama' Ushul fiqh ialah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya
dalam Alqur'an dan Hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan
hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain: Qiyas ialah menyamakan
sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena
adanya persamaan "illar hukum [1]

Ada beberapa definisi menurut para ulama tentang pengertian qiyas diantaranya yaitu:

1. Al- Ghazali dalam Al- Mustashfa

Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal
menetapkan hukum pada keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum.

2. Qadhi Abu Bakar

Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal
menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada
hal yang sama antara keduanya.

3. Ibnu Subkhi dalam Jin’u al- Jawami”

Menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui karena kesamaannya
dalam 'illat hukumnya menurut pihak yang menghubungkan (mujtahid).

4. Abu Hasan al- Bashri

Menghasilkan (menetapkan) hukum ashal pada "furu"" karena keduanya sama dalam illat
hukum menurut mujtahid.

5. Al- Baidhawi

Menetapkan semisal hukum yang diketahui pada sesuatu lain yang diketahui karena
keduanya berserikat dalam illat hukum menurut pandangan ulama yang menetapkan.
6. Shandru al- Syariah

Merentangkan (menjangkaukan) hukum dari ashal kepada furu' karena ada kesatuan *illat
yang tidak mungkin dikenal dengan pemahaman lughowi semata

Dengan cara qiyas itu berarti para mujtahid telah mengembalikan ketentuan hukum sesuatu
kepada sumbernya Alqur'an dan Hadits, Sebab hukum islam, kadang tersurat jelas dalam nash
Alqur'an atau Hadits, kadang juga bersifat implisit-analogik terkandung dalam nash tersebut.
Mengenai Qiyas ini Imam Syafi'i mengatakan: "Setiap peristiwa pasti ada kepastian hukum
dan umat islam wajib melaksanakannya. Akan tetapi jika tidak ada ketentuan hukumnya yang
pasti, maka harus dicari pendekatan yang sah, yaitu dengan ijtihad. Dan ijtihad itu adalah
Qiyas."

Jadi Hukum Islam itu ada kalanya dapat diketahui melalui bunyi nash, yakni Hukum- hukum
yang secara tegas tersurat dalam Alqur'an dan Hadits, ada kalanya harus digali melalui
kejelian memahami makna dan kandungan nash Yang demikian itu dapat diperoleh melalui
pendekatan qiyas

Sebagaimana di terangkan, bahwa qiyas berarti mempertemukan sesuatu yang tidak ada nash
hukumnya dengan hal lain yang yang ada nash hukumnya karena ada persamaan illat hukum.
Dengan demikian qiyas itu hal yang fitri dan ditetapkan berdasarkan penalaran yang jernih,
sebab asas qiyas adalah menghubungkan dua masalah secara analogis berdasarkan persamaan
sebab dan sifat yang membentuknya. Apabila pendekatan analogis itu menemukan titik
persamaan antara sebab-sebab dan sifat-sifat antara dua masalah tersebut, maka
konsekuensinya harus sama pula hukum yang ditetapkan,2[3]

B. Kedudukan dan Dalil Qiyas

Sebagian para ulama' fiqh dan para pengikut madzab yang empat sependapat bahwa qiyas
dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum ajaran Islam.
Mereka hanya melakukan qiyas ketika ada kejadian atau peristiwa namun mereka tidak
mendapatkan satu ayat pun yang bisa dijadikan landasan.

Hanya sebagian kecil ulama yang tidak membolehkan penggunaan qiyas sebagai landasan
argumentasi, diantaranya adalah salah satu cabang Madzab Dzahiri dan Madzab Syi’ah.
Ulama 'Zahiriyah berpendapat secara logika qiyas diperbolehkan namun tidak ada ayat dalam
Al- Qur'an yang menyatakan wajib menggunakan qiyas.

Para ulama Syi’ah Imamiyah dan An- Nazzam dari kalangan Mu’tazilah menyatakan bahwa
qiyas tidak dapat dijadikan landasan hukum dan tidak wajib untuk diamalkan karena
mengamalkan qiyas adalah sesuatu yang mustahil menurut akal.

Mereka mengambil dalil QS . AL Hujurat : 1

“Hai orang- orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul- Nya dan
bertakwalah kepada Allah,”

Mengenai dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar pembuktian adalah
Al- Qur'an dan Al- Hadits serta amalan para sahabat, yaitu:

 Dalil Al- Qur'an

□Allah SWT memberikan petunjuk penggunaan qiyas dengan menyamakan dua hal seperti
dalam surat Yasin (36), ayat 78-79:

78. Dan dia membuat perumpamaan untuk kami dan dia lupa kejadian itu, dia berkata “siapa
yang dapat menghidupkan kembali tulang yang patah?”

79. Katakanlah: “Ia akan dihidupkan oleh Allah yang menciptakannya pertama kali dan Dia
Maha Mengetahui segala makhluk.”

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menyamakan kemampuan-Nya menghidupkan tulang


belulang yang telah berserakan dikemudian hari dengan kemampuan-Nya dalam menciptakan
tulang belulang pertama kali. Hal ini berarti bahwa Allah menyamakan menghidupkan tulang
tersebut kepada penciptaan pertama kali.

□[Allah memerintahkan penggunaan qiyas sebagaimana dipahami dari beberapa ayat Al-
Qur'an, seperti dalam surat Al- Hasyr (59), ayat 2:

“Dialah yang mengusir orang-orang kafir di kalangan Ahli Kitab dari desanya pada saat
pengusiran pertama, kamu tidak menyangka bahwa mereka akan keluar dan mereka yakin
bahwa benteng-benteng mereka dapat melindungi mereka dari (hukuman) Allah.
menimpakan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka duga, dan Allah
memasukkan ketakutan ke dalam hati mereka, mereka menghancurkan rumah-rumah mereka
dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang yang beriman, maka jadikanlah
(kejadian itu) itu sebagai pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai wawasan."

Pada ayat di atas terdapat perkataan fa' tabiru ya ulil abshar (maka ambillah tamsil dan ibarat
dari kejadian itu hai orang-orang yang mempunyai pandangan tajam). Maksudnya ialah:
Allah SWT memerintahkan kepada manusia agar membandingkan kejadian yang terjadi pada
diri sendiri kepada kejadian yang terjadi pada orang-orang kafir itu. Jika orang-orang beriman
melakukan perbuatan seperti perbuatan orang-orang kafir itu, niscaya mereka akan
memperoleh azab yang serupa. Dari penjelmaan ayat di atas dapat dipahamkan bahwa orang
boleh menetapkan suatu hukum syara' dengan cara melakukan perbandingan, persamaan atau
qiyas.

Firman Allah dalam Surat An-Nisa' (4) ayat 59:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasulullah dan ulil amri (orang-
orang yang membidangi urusan) di antara kamu. tentang sesuatu, maka kembalikanlah
kepada Allah dan Rasul.”

Perintah menaati Allah berarti perintah mengikuti hukum Alqu'an, perintah menaati Rasul
berarti perintah untuk melaksanakan hukum yang terdapat dalam Sunnah dan perintah
menaati ulil amri berarti perintah mengikuti hukum hasil ima ulama. Sedangkan kata-kaya
akhir (jika kamu berselisih paham tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan
Rasul), berarti perintah untuk mengikuti qiyas dalam hal-hal terdapay perbedaan. Ini
memberi penjelasan bahwa pengembalian itu berlaku ataas perintah Allah dan Rasul. Tidak
mungkin dikatakan bahwa kata”ruju” itu berarti pengembalian kepada alqu’an dan Sunnah,
karena ruju’ kepada qiyas itu berlaku setelah adanya perbedaan pendapat sedangkan perintah
mengamalkan alquran dan Sunnah tanpa disangkutkan kepada adanya perbedaan pendapat.

Perbedaan pendapat di antar umat islam tentang hukum syara' jarang terjadi pada sesuatu
yang telah ditetapkan dengan nash Alqur'an dan Sunnah. Dengan demikian dapat dipahami
bahwa yang dimaksud perbedaan pendapat dalam ayat di atas adalah tentang hukum yang
tidak terdapat dalam nash syara' arti ayat itu adalah suruhan untuk menghubungkan kepada
Alqur'an dan Sunnah dengan cara pemikiran mendalam untuk mencari kesamaannya dengan
yang ada pada nash syara', Kesamaan itu hanya dapat diketahui melalui penggunaan nalar
(ra'yu).
 Dalil Sunnah

Di antara dalil sunnah yang dikemukakan Jumshur Ulama' sebagai argumentasi bagi
penggunaan qiyas adalah: Hadits tentang percakapan Nabi dengan Muaz bin Jabal, ketika
diutus ke Yaman untuk menjadi penguasa di sana.

Nabi bertanya, “Bagaimana caramu menetapkan hukum jika ditanya suatu hal?” Muaz
menjawab, “Aku menetapkan hukum berdasarkan kitab Allah”. Nabi bertanya lagi. “Jika
kamu tidak menemukan hukumnya di kitab Allah” Muaz menjawab, “Dengan Sunnah
Rasulullah.” Nabi bertanya lagi, “apakah kamu tidak menemukannya dalam sunnah?” Muaz
menjawab, “Aku akan menggunakan ijtihad dengan nalarku (ra’yu).” Nabi bersabda, “Segala
puji bagi Allah yang telah memberikan Taufiq kepada Rasulullah dengan apa yang diridhai
Rasulullah.”

Hadits tersebut merupakan dalil sunnah yang kuat, menurut mayoritas ulama, tentang kuatnya
qiyas sebagai dalil syariat.

Nabi memberikan petunjuk kepada para sahabatnya tentang penggunaan qiyas dengan
membandingkan antara dua hal, kemudian mengambil keputusan atas perbandingan ucapan.
Dalam sebuah Hadits dari Ibnu Abbas menurut riwayat An-Nasa'i, Nabi SAW bersabda:

"Bagaimana pendapatmu bila bapakmu berutang, apakah engkau akan membayarnya?"


Dijawab oleh penanya (al-Khatasamiyyah), "ya, benar." Nabi Dikatakan, “Utang kepada
Allah lebih layak dibayar.”

Hadits di atas merupakan jawaban atas pertanyaan penanya yang ayahnya berikrar untuk
menunaikan ibadah haji namun meninggal dunia sebelum sempat menunaikan ibadah haji.
Ditanyakannya kepada Bagaimana kalau saya yang menghajikan bapak saya itu?" Keluarlah
jawaban Nabi seperti tersebut di atas. Dalam hadits tersebut Nabi memberikan taqrir
(pengakuan) kepada sahabatnya yang menyamakan utang kepada Allah, yaitu haji yang lebih
berhak dibayar. Dalil ini menurut jumhur ulama' cukup kuat dijadikan alasan penggunaan
qiyas

 Atsar Shahabi

Adapun argumentasi jumhur ulama' berdasarkan atsar sahabat dalam penggunaan qiyas,
adalah:
.Surat Umar Ibnu Khattab kepada Abu Musa Al-Ash'ari ketika diutus sebagai qodhi di
Yaman. Umar berkata: Putuskanlah Hukum berdasarkan kitab Allah. Bila kamu tidak
menemukannya, maka putuskan berdasarkan sunnah Rasul. Jika juga kamu peroleh di dalam
sunnah. bertahan dengan menggunakan permohonan Pesan Umar dilanjutkan dengan Ketahui
Persamaan dan Persamaannya : Bandingkan semua urusan pada masa itu, bagian pertama
atsar ini menjelaskan tentang perintah menggunakan raya ketika tidak ada jawaban dalam Al-
Qur'am atau Sunnah, sedangkan bagian terakhir dari atsar sahabi dengan jelas menceritakan
pokok perbandingan dan persamaan antara kedua hal tersebut dan menggunakan qiyas ketika
menemukan persamaannya

Para Sahabat Nabi banyak menetapkan pendapatnya berdasarkan qiyas. Contoh yang
popular adalah kesepakatan sahabat mengangkat Abu bakar menjadi khalifah pengganti Nabi.
Mereka menetapkannya dengan dasar qiyas, yaitu karena Abu bakar pernah ditunjuk Nabi
menggantikan beliau menjadi imam shalat jamaah sewaktu beliau sakit. Hal ini dijadikan
alasan untuk mengangkat abu bakar menjadi khalifah. Para sahabat berkata: "Nabi telah
menunjukkannya menjadi pemimpin urusan agama kita, kenapa kita tidak memilihnya untuk
memimpin urusan dunia kita. Kedudukan abu bakar sebagai Khalifah diqiyaskan kepada
kedudukanny sebagai imam shalat jenazah. Ternyata argument ini dipahami semua sahabat
(yang hadir dalam pertemuan itu), sehingga mereka sepakat untuk mengangkat abu bakar
dengan cara tersebut.

C. Penolak dan Penerima Qiyas

Berhubung qiyas merupakan aktifitas awal , maka ada beberapa ulama yang berselisih paham
dengan ulama jumhur , yakni mereka tidak menggunakan qiyas. Dikalangan ahli fiqih dalam
hal qiyas ini, terdapat 3 kelompok sebagai berikut:

1. Kelompok jumhur

Yang mempergunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak jelas Nash baik
dalam Alquran,as sunah,pendapat sahabat maupun ijma ulama . Hal ini mereka menggunakan
dalil yang artinya:

"Dan ia membuat perumpaan bagi kami dan dia lupa kepada kejadiannya, ia berkata"
siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang yang telah hancur luluh?"
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menyamakan kemampuan-Nya menghidupkan tulang
belulang yang telah berserakan di kemudian hari dengan kemampuan-Nya menciptakan
tukang belulang pertama kali .

2. Madzab Zhahiriyah dan Syi'ah imamiyah

Yang sama sekali tidak mempergunakan qiyas. Madzab Zhahiriyah tidak mengakui adanya
'illat Nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan Nash, termasuk menyingkap
alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan 'illat .Mereka
membuang semua itu jauh-jauh dan sebaliknya , mereka menetapkan suatu hukum hanya dari
teks Nash semata.

Dengan demikian Mereka mempersempit kandungan lafadz, tidak mau memperluas wawasan
untuk mengenali tujuan legislasi Islam. Mereka terputus pada bagian "luar" dari teks semata.
Mereka menggunakan dalil yang artinya :"hai orang orang yang beriman, janganlah kamu
mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah"

Ayat ini menurut mereka melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak ada
dalam Alquran dan Sunnah Rasul. Mempedomani qiyas merupaka sikap beramal dengan
sesuatu diluar Al-Qur'an dan Sunnah Rasul ,dan karenanya di larang .

3. Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas

Yang berusaha berbagai hal karena persamaan 'illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah
tertentu , kelompok ini menetapkan qiyas sebagai pentakhsish dari keumuman dalil Al-Qur'an
dan Sunnah

D. Rukun Qiyas

Berdasarkan definisi bahwa qiyas ialah mempersamakan hukum suatu peristiwa yang tidak
ada nashnya dengan hukum suatu peristiwa yang ada Nash nya kerena 'illat serupa. Rukun
Qiyas dibagi menjadi empat macam, yaitu:

1) Ashl (pokok)

Yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nashnya yang dijadikan tempat mengqiyaskan,
sedangkan menurut hukum teolog adalah suatu nash syara' yang menunjukkan ketentuan
hukum, dengan kata lain suatu nash yang menjadi dasar hukum. Ashl di sebut Maqis 'Alaih
(yang di jadikan tempat mengqiyaskan), Mahmul 'Alaih(tempat membandingkan), atau
Musyabbah bih (tempat menyerupakan)

2) Far'u (cabang)

Yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya , far'u itulah yang dikehendaki untuk disamakan
hukumnya dengan ashl. Ia disebut juga Maqis(yang dianalogikan) dan Musyabbah (yang
diserupakan)

3) hukum ashl, yaitu hukum syara' yang di tetapkan oleh suatu nash.
4) 'illat ,yaitu suatu sifat yang terdapat pada ashl. Dengan adanya sifat itulah ashl
mempunyai suatu hukum. Dan dengan sifat itu pula terdapat cabang sehingga hukum
cabang itu disamakanlah dengan hukum ashl.

E. Macam-macam Qiyas
1. Qiyas aulawy

Yaitu qiyas yang apabila 'illatnya mewajibkan adanya hukum. Dan antara hukum asal dan
hukum yang di samakan (furu') dan hukum cabang memiliki hukum yang lebih utama
dari pada hukum yang ada pada al-asal. Misalnya: berkata kepada kedua orang tua dengan
mengatakan "udh","eh","busyet", atau kata kata lain yang semakna dan menyakitkan itu
hukumnya haram, sesuai dengan firman Allah Q.S Al isra (17);23

Yang artinya: "Dan tuhanmu telah memerintahkan, supaya kamu jangan menyembah
selain Allah dan hendaklah kamu berbuat pada kedua orang tuamu dengan sebaik
baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut
usia dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada
keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada
merka perkataan mulia(lemah lembut).

2. Qiyas Musawy

Yaitu qiyas apabila 'illatnya mewajibkan adany hukum dan sama antara hukum yang ada
pada Al ashl maupun hukum yang ada pada al-far'u ( cabang)
Contohnya keharaman memakan harta anak yatim berdasarkan firman Allah dalam Q.S
Annisa (4)

Artinya: sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam
api yang menyala-nyala"

Dapat mengqiyaskan bahwa segala bentuk kerusakan atau kesalahan pengelolaan yang
menyebabkan hilangnya harta tersebut dan dilarang memakan harta anak yatim.

3. Qiyas adna

Yaitu adanya hukum far'u lebih lemah bila dirujuk dengan hukum Al ashlu , contohnya
mengqiyaskan hukum apel kepada gandum dalam hal ini riba fadl(riba yang terjadi
karena adanya kelebihan dalam tukar menukar antara dua bahan kebutuhan pokok) dalam
masalah ini 'illat hukumnya adalah baik apel maupun gandum merupakan jenis makanan
yang bisa di makan dan ditukar

Anda mungkin juga menyukai