Anda di halaman 1dari 4

Nama : Rd.

Halli Mahfudz Mahalli


NIM : 19620085
Kelas : C
SUMBER DAN DALIL HUKUM YANG DISEPAKATI II
1. Ijma’
Ijma’ secara bahasa berarti al-‘azmu ala al-amri wal qath’u bihi yang artinya
“bertekad atas sesuatu dan berketatapan atasnya” atau juga bisa berarti al-ittifak yaitu
kesepakatan. Sedangkan kata Imam Ghazali kata Ijma’ adalah lafadz yang musytarak atau
bermakna ganda, ada juga yang berpendapat bahwa makna asli dari Ijma’ yaitu al-azmu dan
menjadi kesepakatan apabila tekat itu terjadi pada suatu kumpulan.
Ijma’ secara istilah para ahli yaitu Ittifaqu jami’i al-mujtahidina min ummati
Muhammadin SAW., fi ashrin ma ba’da ashrihi SAW., ‘ala amrin syar’iyan yang artinya
yaitu “kesepakatan dari semua mujtahid dari umat Nabi Muhammad SAW., pada suatu masa
setelah masa kenabian pada suatu urusan syar’i. Yang dimaksud dengan hukum syar’i disana
adalah hal-hal yang tidak dapat diketahui kecuali lewat kitab syar’i baik bersifat perkataan,
perbuatan, i’tikad, ataupun kesepakatan kesepakatan yang dimaksud adalah kesepakatan
setelah wafat nabi yang dirumuskan oleh para ahli fiqh dari kalangan para sahabat Nabi
SAW. Menurut Muhammad Abu Zahrah para ulama sepakat bahwa ijma’ dijadikan sebagai
dalil hukum dan di anggap sah apabila mayoritas ulama mujtahidin sepakat berbeda dengan
Abdul Karim Zaidan yang menganggap Ijma’ baru sah apabila seluruh ulama mujtahidin
sepakat.
Sebagai sumber hukum dalam syari’at Islam ijma’ berada di dalam urutan nomer tiga
setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena pada dasarnya Ijma’ adalah kesepakatan seluruh
ulama mujtahidin yang tidak boleh diselisihi karena tidak mungkin para mujtahidin
bersepakata untuk kesesatan. Dalil-dalil yang menguatkan bahwasanya ijma’ sebagai sumber
dan hujjah dalam Islam setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang pertama menurut Firman
Alloh SWT., dalam Al-Qur’an Surat an-Nisa ayat 115 (Ayat Al-Qur’an bisa dilihat d alam
Al-Qur’an) yang artinya adalah “ Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang mukmin, kami
biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan kami masukan ia
kedalam neraka jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali”., serta hadist
Rosul Muhammad SAW., yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi yaitu ‘an ibn
‘Umar an-na Rosulallohi SAW., qola innalloha la yajmau’ ummati aw qola ummata
Muhammadin SAW., ‘ala dholalatin yang artinya adalah “dari Ibn ‘Umar Rasulalloh SAW.,
bersabda ‘ sesungguhnya Alloh tidak akan mengumpulkan umatku atau beliau berkata umat
Muhammad SAW., atas kesesatan.
Ijma sebagai sumber hukum baru bisa diakui sebagai dalil atau hujjah bilamana
pembentukannya mempunyai landasan syara’ yang disebut sanad (landasan) baik itu
berlandaskan kepada Al-Qur’an atau As-Sunnah. Contoh Ijma’ yang dilandaskan kepada Al-
Qur’an salah satunya adalah kesepakatan para ulama atas keharaman pernikahan antara
seorang anak laki-laki dengan ibunya, atau dengan anak perempuannya, saudari perempuan,
atau bibinya, maka disandarkan kepada Al-Qur’an surat an-Nisa ayat 23 yang artinya
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-
saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara
ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-
anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu,
saudara-saudara sepersusuanmu, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam
pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur
dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan
diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu(menantu); dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;
sesungguhnya Alloh Maha pengampun lagi Maha penyayang”. Contoh Ijma’ yang
disandarkan atau dilandaskan ke As-Sunnah yaitu kesepakatan para ulama bahwasannya
nenek menggantikan ibu bilamana ibu kandung dari si mayit sudah wafat dalam hal
mendapatkan warisan, kesepakatan ini dilandaskan kedalam hadist Rosul yang artinya “ Dari
Ibn ‘Umar berkata, ada seorang nenek yaitu ibu kandung ibu dan ibu kandung bapak yang
datang kepada Abu Bakar (menanyakan sesuatu), maka Abu Bakar bertanya kepada orang-
orang dan al-Mughirah bin Syu’bah lah yang bisa memberitahu bahwa sesungguhnya
Rasalullah SAW., memberikan bagian warisan kepada nenek seper-enam”
Macam-macam Ijma’ menurut Abdul Karim Zaidan dibagi kedalam dua bagian yaitu
Ijma’ sarih (tegas) dan Ijma’ sukuti (kesepakatan yang diketahui lewat diamnya para ulama).
Ijma’ sarih adalah kesepakatan tegas dari para mujtahid dimana masing-masing mujtahid
menyatakan persetujuannya secara tegas terhadap kesimpulan itu sedangkan Ijma’ sukuti
adalah bahwa sebagian ulama mujtahid menyatakan pendapatnya dan sedangkan sebagian
nya lagi hanya diam tidak berkomentar.

2. Qiyas
Qiyas secara bahasa berarti mengukur sesuatu yang lain denga sesuatu yang lain
untuk diketahui adanya persamaan antara keduanya. Sedangkan menurut Istilah yang
dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhaili yaitu menghubungkan (menyamakan hukum)
sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang ada ketentuan
hukumnya karena ada persamaan ‘illat antara keduanya. Qiyas adalah salah satu kegiatan
ijtihad yang tidak ditegaskan dalam Al-Qur’an danAs-Sunnah. Qiyas dilakukan oleh
seorang mujtahid dengan meneliti alasan logis atau ‘illat dari rumusan hukum itu dan
setelah itu diteliti pula keberadaan ‘illat yang sama pada masalah lain yang tidak
termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, bila benar ada kesamaan maka keras dugaan
bahwa hukumnya juga sama.
Sebagai sumber hukum Islam qiyas berada di urutan nomer empat setelah Al-Qur’an,
As-Sunnah dan Ijma’. Dalil-dalil yang menguatkan bahwa qiyas adalah sumber serta
hujjah dalam Islam yaitu firman Alloh SWT., dalam surat an-Nisa ayat 59 yang artinya
“Hai orang-orang yang beriman taatilah Alloh dan Rasul-Nya dan ulil amri diantara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia
kepada Alloh (Al-Qur’an) dan Rasul (As-Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada
Alloh dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”. Ayat ini menunjukan bahwa jika ada perselisihan pendapat atau khilaf pada
ulama-ulama tentang hukum maka kembalikanlah kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah
dengan cara mengqiyaskan.
Qiyas baru dianggap sah apabila sudah mencapai bilaman sudah lengkap rukun-
rukunnya, para ulama sepakat bahwa rukun qiyas terbagi kedalam empat yaitu :
A. Ashal (pokok tempat mengqiyaskan sesuatu) yaitu masalah yang telah ditetapkan
hukumnya baik dalam Al-Qur’an atau dalam sunnah Rasulallah SAW. Ashal
disebut juga al-maqis ‘alaih (tempat mengqiyaskan sesuatu).
B. Adanya hukum ashal, yaitu hukum syara’ yang terdapat pada ashal yang hendak
ditetapkan pada far’u (cabang) dengan jalan qiyas, misalnya hukum haram khamar
yang ditegaskan dalam Al-Qur’an.
C. Adanya cabang (far’u) , yaitu sesuatu yang tidak ada ketegasan hukumnya dalam
Al-Qur’an, As-Sunnah, atau Ijma’ yang hendak ditemukan hukumnya melalui
qiyas, misalnya minuman keras whisky.
D. ‘Illat atau hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul dapat
dikembangkan, Illat secara bahasa adalah sesuatu yang bisa merubah keadaan
sedangkan secara istilah yaitu suatu sifat yang konkrit dan dapat dipastikan
keberadaannya pada setiap pelakunya dan menurut sifatnya sejalan dengan tujuan
pembentukan suatu hukum yaitu mewujudkan kemaslahatan dengan meraih
kemanfaatan dan menolak kemadharatan dari umat manusia
Macam-macam qiyas yang dikemukakan oleh Wahbah az-Zauhaili, dari segi
perbandingan antara ‘illat yang terdapat pada ashal dan yang terdapat pada cabang qiyas
dibagi menjadi tiga macam yaitu :
1. Qiyas awla yaitu qiyas di mana ‘illat yang terdapat pada far’u (cabang) lebih
utama daripada ‘illat yang terdapat pada ashal. Semisal mengqiyaskan hukum
haramnya memukul kedua orang tua kepada hukum haram mengatakan “ah” yang
terdapat dalam surat al-Isra ayat 17.
2. Qiyas musawi yaitu qiyas dimana ‘illat yang terdapat pada fur’u sama bobotya
dengan bobot ‘illat yang terdapat pada ashal. Misalnya ‘illat haram membakar
harta anak yatim yang dalam hal ini adalah cabang sama bobot ‘illat haramnya
dengan tindakan memakan harta anak yatim yang diharamkan dalam surat an-Nisa
ayat 10.
3. Qiyas al-adna yaitu qiyas dimana ‘illat yang terdapat pada far’u lebih rendah
bobotnya dibandingkan dengan ‘illat yang terdapat dalam ashal. Misalnya sifat
memabukan yang ada dalam minuman keras bir umpanya lebih rendah dari sifat
memabukkan yang terdapat pada minuman keras khamar yang diharamkan dalam
surat al-Maidah ayat 90.
Adapun dilihat dari segi jelas atau tidak jelasnya ‘illat sebagai landasan hukum seperti
dikemukakan Wahbah az-Zuhaili yang membagi kedalam dua qiyas yaitu :
1. Qiyas jali yaitu qiyas yang didasarkan atas ‘illat yang ditegaskan dalam Al-Qur’an
dan Sunnah Rasul, atau tidak disebutkan secara tegas dalam salah satu sumber
tersebut, tetapi berdasarkan penelitan kuat dugaan bahwa tidak ada ‘illatnya.
Misalnya mengqiyaskan memukul kedua orang tua kepada larangan mengatakan
“ah” seperti dalam contoh qiyas awla tersebut. Qiyas jali, seperti dikemukakan
Wahbah az-Zuhaili, mencakup apa yang disebut dengan qiyas awla dan qiyas
musawi dalam pembagian pertama tadi.
2. Qiyas khafi, yaitu qiyas yang didasarkan atas ‘illat yang diistibatkan (ditarik) dari
hukum ashal. Misalnya mengqiyaskan pembunuhan dengan memakai benda
tumpul kepada pembunuhan dengan benda tajam disebabkan adanya persamaan
‘illat yaitu adanya kesengajaan dan permusuhan pada pembunuhan dengan benda
tumpul sebagaimana terdapat pada pembunuhan dengan benda tajam

Sumber Bacaan / Referensi


Sarwat, Ahmad. 2011. Seri Fiqh Keidupan (1): Ilmu Fiqh. Jakarta Selatan: DU Publishing
Zein, M, Effendi, Satria. 2017. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana

Anda mungkin juga menyukai