2. Qiyas
Qiyas secara bahasa berarti mengukur sesuatu yang lain denga sesuatu yang lain
untuk diketahui adanya persamaan antara keduanya. Sedangkan menurut Istilah yang
dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhaili yaitu menghubungkan (menyamakan hukum)
sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang ada ketentuan
hukumnya karena ada persamaan ‘illat antara keduanya. Qiyas adalah salah satu kegiatan
ijtihad yang tidak ditegaskan dalam Al-Qur’an danAs-Sunnah. Qiyas dilakukan oleh
seorang mujtahid dengan meneliti alasan logis atau ‘illat dari rumusan hukum itu dan
setelah itu diteliti pula keberadaan ‘illat yang sama pada masalah lain yang tidak
termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, bila benar ada kesamaan maka keras dugaan
bahwa hukumnya juga sama.
Sebagai sumber hukum Islam qiyas berada di urutan nomer empat setelah Al-Qur’an,
As-Sunnah dan Ijma’. Dalil-dalil yang menguatkan bahwa qiyas adalah sumber serta
hujjah dalam Islam yaitu firman Alloh SWT., dalam surat an-Nisa ayat 59 yang artinya
“Hai orang-orang yang beriman taatilah Alloh dan Rasul-Nya dan ulil amri diantara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia
kepada Alloh (Al-Qur’an) dan Rasul (As-Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada
Alloh dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”. Ayat ini menunjukan bahwa jika ada perselisihan pendapat atau khilaf pada
ulama-ulama tentang hukum maka kembalikanlah kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah
dengan cara mengqiyaskan.
Qiyas baru dianggap sah apabila sudah mencapai bilaman sudah lengkap rukun-
rukunnya, para ulama sepakat bahwa rukun qiyas terbagi kedalam empat yaitu :
A. Ashal (pokok tempat mengqiyaskan sesuatu) yaitu masalah yang telah ditetapkan
hukumnya baik dalam Al-Qur’an atau dalam sunnah Rasulallah SAW. Ashal
disebut juga al-maqis ‘alaih (tempat mengqiyaskan sesuatu).
B. Adanya hukum ashal, yaitu hukum syara’ yang terdapat pada ashal yang hendak
ditetapkan pada far’u (cabang) dengan jalan qiyas, misalnya hukum haram khamar
yang ditegaskan dalam Al-Qur’an.
C. Adanya cabang (far’u) , yaitu sesuatu yang tidak ada ketegasan hukumnya dalam
Al-Qur’an, As-Sunnah, atau Ijma’ yang hendak ditemukan hukumnya melalui
qiyas, misalnya minuman keras whisky.
D. ‘Illat atau hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul dapat
dikembangkan, Illat secara bahasa adalah sesuatu yang bisa merubah keadaan
sedangkan secara istilah yaitu suatu sifat yang konkrit dan dapat dipastikan
keberadaannya pada setiap pelakunya dan menurut sifatnya sejalan dengan tujuan
pembentukan suatu hukum yaitu mewujudkan kemaslahatan dengan meraih
kemanfaatan dan menolak kemadharatan dari umat manusia
Macam-macam qiyas yang dikemukakan oleh Wahbah az-Zauhaili, dari segi
perbandingan antara ‘illat yang terdapat pada ashal dan yang terdapat pada cabang qiyas
dibagi menjadi tiga macam yaitu :
1. Qiyas awla yaitu qiyas di mana ‘illat yang terdapat pada far’u (cabang) lebih
utama daripada ‘illat yang terdapat pada ashal. Semisal mengqiyaskan hukum
haramnya memukul kedua orang tua kepada hukum haram mengatakan “ah” yang
terdapat dalam surat al-Isra ayat 17.
2. Qiyas musawi yaitu qiyas dimana ‘illat yang terdapat pada fur’u sama bobotya
dengan bobot ‘illat yang terdapat pada ashal. Misalnya ‘illat haram membakar
harta anak yatim yang dalam hal ini adalah cabang sama bobot ‘illat haramnya
dengan tindakan memakan harta anak yatim yang diharamkan dalam surat an-Nisa
ayat 10.
3. Qiyas al-adna yaitu qiyas dimana ‘illat yang terdapat pada far’u lebih rendah
bobotnya dibandingkan dengan ‘illat yang terdapat dalam ashal. Misalnya sifat
memabukan yang ada dalam minuman keras bir umpanya lebih rendah dari sifat
memabukkan yang terdapat pada minuman keras khamar yang diharamkan dalam
surat al-Maidah ayat 90.
Adapun dilihat dari segi jelas atau tidak jelasnya ‘illat sebagai landasan hukum seperti
dikemukakan Wahbah az-Zuhaili yang membagi kedalam dua qiyas yaitu :
1. Qiyas jali yaitu qiyas yang didasarkan atas ‘illat yang ditegaskan dalam Al-Qur’an
dan Sunnah Rasul, atau tidak disebutkan secara tegas dalam salah satu sumber
tersebut, tetapi berdasarkan penelitan kuat dugaan bahwa tidak ada ‘illatnya.
Misalnya mengqiyaskan memukul kedua orang tua kepada larangan mengatakan
“ah” seperti dalam contoh qiyas awla tersebut. Qiyas jali, seperti dikemukakan
Wahbah az-Zuhaili, mencakup apa yang disebut dengan qiyas awla dan qiyas
musawi dalam pembagian pertama tadi.
2. Qiyas khafi, yaitu qiyas yang didasarkan atas ‘illat yang diistibatkan (ditarik) dari
hukum ashal. Misalnya mengqiyaskan pembunuhan dengan memakai benda
tumpul kepada pembunuhan dengan benda tajam disebabkan adanya persamaan
‘illat yaitu adanya kesengajaan dan permusuhan pada pembunuhan dengan benda
tumpul sebagaimana terdapat pada pembunuhan dengan benda tajam