Anda di halaman 1dari 4

Nama : Rd.

Halli Mahfudz Mahalli

NIM : 19620085

Kelas : C

SUMBER DAN DALIL HUKUM YANG DISEPAKATI

1. Al-Qur’an
Al-Qur’an secara bahasa berarti bacaan, sedangkan menurut istilah yaitu Al-
Qur’an adalah kalam Alloh SWT., yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.,
melalui perantara malaikat jibril yang diturunkan secara berangsur-angsur dan sependek-
pendeknya surat apabila dibaca dianggap ibadah. Pertama kali Al-Qur’an diturunkan di
Mekah tepatnya di Gua Hira pada tahun 611 M dan berakhir penurunannya di Madinah
pada tahun 633 M dalam kurun waktu 22 tahun 2 bulan dengan ayat pertama yang
diturunkan adalah surat al-‘Alaq ayat 1-5. Adapun tentang ayat yang terakhir turun para
‘Ulama berbeda pendapat, pendapat yang dipilih oleh jalaludin as-Suyuti seorang ahli
ilmu Al-Qur’an dalam kitabnya Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an yang di nukilnya dari Ibnu
Abbas adalah ayat 281 surah Al-Baqarah ayat 2. Menurut Jalaludin as-Suyuti setelah ayat
ini diturunkan tidak lama Rosulullah SAW., wafat. Surat-surat yang terdapat dalam Al-
Qur’an dibagi kedalam dua priode yang pertama ada priode Mekah yang disebut dengan
surat Makkiyah (sebelum hijrah Nabi) yang kedua ada priode Madinah yang disebut
dengan surat Madaniyah (setelah hijrah Nabi). Dalam surat Makkiyah isi nya lebih
condong kedalam membahas masalah keyakinan (akidah) karena dengan tujuan untuk
meluruskan akidah pada masa jahiliah karena masa itu Islam masih belum diterima oleh
Umat, selain membahas tentang akidah dalam surat Makiyah juga membahas tentang
cerita-cerita masa lampau untuk pelajaran terhadap Umat Nabi dan beberapa hukuman
dalam Islam serta pada surat ini ada ayat yang pertama kali mewajibkan Sholat. Dalam
surat Madaniyah lebih condong kedalam membahas tentang hukum-hukum dalam Islam
dari berbagai aspek seperti hukum kewajiban membayar zakat, hukum tentang berpuasa,
tentang berkaitan dengan haji, larangan memakan harta orang lain secara tidak sah,
pengharaman riba, tentang wanita-wanita yang haram dinikahi, tentang mengenai talak
dan lain sebgainya tentang semua hukum-hukum dalam Islam.
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup didalamnya terkandung tiga ajaran pokok :
pertama Ajaran-ajaran yang berhubungan dengan Akidah (keimanan). Kedua Ajaran-
ajaran yang berhubungan dengan Akhlak. Ketiga Hukum-hukum Amaliyah. Abdul
Wahhab Khallaf merinci macam-macam hukum bidang muamalat dan jumlah ayatnya
sebgai berikut : pertama Hukum Keluarga tercatat sekitar 70 ayat. Kedua Hukum
Muamalat (perdata) tercatat sekitar 70 ayat. Ketiga Hukum Jinayat (pidana) tercatat
sekitar 30 ayat. Keempat Hukum al-Murafa’at tercatat sekitar 13 ayat. Kelima Hukum
Ketatanegaraan tercatat sekitar 10 ayat. Keenam Hukum antar Bangsa (internasional)
tercatat sekitar 25 ayat. Ketujuh Hukum Ekonomi dan Keuangan tercatat sekitar 10 ayat.
2. Hadist (Sunnah Rasulullah)

Sunnah (Hadist) secara bahasa berarti perilaku atau tabi’at seseorang tertentu, baik perilaku
yang baik ataupun perilaku yang buruk. Secara Istilah Sunnah (Hadist) segala perilaku
Rosulullah SAW., yang berhubungan dengan hukum, baik berupa ucapan (sunnah qouliyyah),
perbuatan (sunnah fi’liyyah), atau pengakuan (sunnah taqririyah). Contoh dari sunnah qouliyyah
yaitu Rosulullah SAW., menetapkan bahwa tidak boleh melakukan kemadhorotan dan tidak pula
boleh membalas kemadharatan dengan kemadharatan. Contoh dari sunnah fi’liyyah yaitu ketika
Rosul melaksanakan sholat seperti sahabat-sahabatnya dan tidak melarangnya melaksanakan
sholat baik siang maupun malam kecuali pada waktu terbit dan tenggelam matahari. Contoh dari
sunnah taqririyah yaitu ketika para sahabat nya melakukan sholat dengan tayamum dan setelah
sholat menemukan air sedangkan ada dari sebagian sahabat melaksanakan wudhu serta
mengulangi sholatnya karena waktu sholat masih ada dan setelah itu para sahabat melaporkan
tentang itu dan Rosul pun membenarkan kedua praktik atau kedua pendapat tersebut. Kepada
yang tidak mengulangi sholatnya beliau berkata “Engkau telah melakukan sunnah dan telah
cukup bagimu sholatmu itu” dan kepada yang mengulangi sholatnya beliau berkata “ Bagimu
pahala dua kali lipat ganda”.

Sunnah atau hadist pun dilihat dari segi sanadnya atau periwayatnya (perawi) dalam kajian
ushul fiqh dibagi kedalam dua macam yaitu hadist mutawattir dan hadist ahad.

Hadist Mutawattir adalah Hadist yang diriwayatkan dari Rasulallah oleh sekelompok perawi
yang menurut kebiasaan individu-individunya jauh dari kemungkinan berbohong, karena banyak
jumlah mereka dan diketahui sifat masing-masing mereka yang jujur serta berjauhan tempat
antara yang satu dan yang lain. Dari kelompok ini diriwayatkan pula selanjutnya oleh kelompok
berikutnya yang jumlahnya tidak kurang dari kelompok pertama dan begitulah selanjutnya
sampai dibukukan oleh pentdwin (orang-orang yang membukukan) Hadist,dan pada masing-
masing tingkatan itu sama sekali tidak ada kecurigaan bahwa mereka akan berbuat bohong atas
Rosulullah. Hadist Mutawattir dibagi lagi kedalam dua bagian yaitu ada yang Mutawattir Lafdzi
da nada yang Mutawattir Ma’nawi. Hadist Mutawattir Lafdzi adalah hadist yang diriwayatkan
oleh orang banyak yang bersamaan arti dan lafadznya sedangkan hadist Mutawattir Ma’nawi
adalah beberapa hadist yang beragam redaksinya tetapi maknanya sama.

Hadist Ahad adalah hadist yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak sampai
kebatas hadist mutawattir. Hadist ahad terbagi tiga macam yaitu : pertama Hadist masyhur, yaitu
Hadist yang pada masa sahabat diriwayatkan oleh tiga orang perawi tetapi kemudian pada masa
tabi’in dan seterusnya Hadist itu menjadi Hadist mutawattir dilihat dari segi jumlah perawinhya.
Kedua Hadist ‘Aziz yaitu hadist yang pada satu periode diriwayatkan oleh dua orang meskipun
pada periode-periode yang lain diriwayatkan oleh orang banyak. Ketiga Hadist Gharib yaitu
hadist yang diriwayatkan orang perorangan pada setiap periode sampai hadist itu dibukukan.
Dari kedua pembagian hadist diatas, para ulama ushul fiqh sepakat bahwa hadist mutawattir
adalah sah dijadikan sumber hukum, namun mereka berbeda pendapat tentang keabsahan hadist
ahad sebagai sumber hukum. Aliran Mu’tazilah dan Khwarij menolak hadist ahad untuk
dijadikan sumber hukum. Alasannya, hadist ahad tidak diyakini datangnya dari Rosul dan
kemungkinan palsu dan oleh karena itu tidak layak untuk dijadikan sumber hukum. Berbeda
dengan pendapat ini, jumhur ulama sepakat bahwa hadist ahad bilamana dinilai sahih secara sah
dapat dijadikan sumber hukum.

Fungsi sunnah terhadap ayat-ayat hukum secara umum adalah bayan (penjelasan) atau
tabyin (menjelaskan ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an). Ada beberapa fungsi sunnah terhadap
Al-Qur’an yaitu : pertama menjelaskan isi Al-Qur’an anatara lain dengan merinci ayat-ayat
global. Misalnya hadist hadist fi’liyah Rasulullah yang menjelaskan cara melakukan shalat yang
diwajibkan dalam Al-Qur’an dalam hadist riwayat Buchori dan Abu Hurairah, dan demikian
pula tentang penjelasannya mengenai masalah haji seperti dalam hadist riwayat Muslim dari
jabir. Disamping itu sunnah Rasul juga berfungsi untuk mentakhsis ayat-ayat umum dalam Al-
Qur’an, yaitu menjelaskan bahwa yang dimaksud oleh Allah adalah sebagian dari cakupan lafal
umum itu bukan keseluruhan. Kedua membuat aturan tambahan yang bersifat teknis atas sesuatu
kewajiban yang disebutkan pokok-pokoknya didalam Al-Qur’an contohnya masalah li’an,
misalnya bilamana seorang suami menuduh istri berzina tetapi tidak mampu mengajukan empat
orang saksi padahal istrinya itu tidak mengakui maka jalan keluarnya adalah dengan jalan li’an.
Li’an adalah sumpah empat kali dari pihak suami bahwa tuduhannya adalah benar dan pada kali
yang kelima ia berkata “la’nat” Allah atasku jika aku termasuk kedalam orang-orang berdusta.
“setelah itu istri pula mengadakan lima kali sumpah membantah tuduhan tersebt. Dengan
dilakukannya li’an suami lepas dari hukuman qazaf (80 kali dera atas orang yang menuduh orang
lain berzina tanpa saksi), dan istri pun bebas dari tuduhan berzina. Ketiga menetapkan hukum
yang belum disinggung dalam Al-Qur’an. Contohnya hadist riwayat al-Nassa’I dari Abu
Hurairoh bahwa Rosul bersabda mengenai keharaman memakan binatang buruan yang
mempunyai taring dan burung yang mempunyai cakar.

Referensi

Efendi, Satria. 2017. Ushul Fiqh. Jakarta. Kencana.

Anda mungkin juga menyukai