Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Paham Ahlussunnah wal Jama’ah dapat diartikan juga sebagai paham pengikut
sahabat Nabi, tidak hanya sahabat yang empat, tetapi pendapat sahabat yang lain.
Pengertian sahabat disini adalah yang hidup di masa Rasulullah SAW. generasi
setelah Rasulullah SAW wafat dinamakan tabi’in, tabi’in attabi’in, atau ulama,
selanjutnya sampai sekarang adalah istilahnya pemuka Agama Islam disebut
ulama.
Sulitnya pemahaman mayoritas umat Islam menuntut para ulama untuk
berijtihad dalam menentukan hukum.
Oleh sebab itu didalam menentukan hukum Ahlussunnah wal Jama’ah
bersumber pada beberapa sumber pokok yg akan dipaparkan dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah
1. Apasaja sumber hukum dalam Ahlussunnah wal Jama’ah?
2. Mengapa Al-Qur’an menjadi salah satu sumber hukum dalam Ahlussunnah
wal Jama’ah?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui beberapa sumber hukum dalam Ahlussunnah wal Jama’ah.
2. Memahami penjelasan yang dipaparkan.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. SUMBER-SUMBER HUKUM AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH


Di dalam menentukan hukum Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja)
bersumber kepada empat pokok; Al-Qur’an, Hadits/ As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
Secara singkat, paparannya sebagai berikut:
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan sumber utama dan pertama dalam pengambilan hukum.
Karena Al-Qur’an adalah perkataan Allah yang merupakan petunjuk kepada
ummat manusia dan diwajibkan untuk berpegangan kepada Al-Qur’an1. Allah
berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 2 dan Al-Maidah Ayat 44-45, 47 :

“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi mereka yang
bertaqwa”. (Al-Baqarah; 2)2

“Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka adalah golongan orang-orang kafir”.
Tentu dalam hal ini yang bersangkutan dengan aqidah, lalu;

“Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan
Allah maka mereka adalah orang-orang yang dhalim”.3
Dalam hal ini urusan yang berkenaan dengan hak-hak sesama manusia

“Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan
Allah maka mereka adalah golongan orang-orang fasik”.
Dalam hal ini yang berkenaan dengan ibadat dan larangan-larangan Allah.
2. Al-Hadits/ As-Sunnah
1
Al-Qur’an adalah sumber hukum pertama dalam Alussunnah wal Jama’ah
2
Al-Qur’an dan terjemahannya, Percetakan Toha. Jakarta:1990
3
http://ww.google.com/search?sumber-sumber-aswaja

2
Sumber kedua dalam menentukan hukum ialah sunnah Rasulullah SAW.
Karena Rasulullah yang berhak menjelaskan dan menafsirkan Al-Qur’an, maka
As-Sunnah menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an. Allah berfirman dalam
Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 44 dan Al-Hasyr ayat 7, sebagai berikut;

“Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada


ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka
memikirkan”. (An-Nahl : 44)

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka ambillah dia, dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertaqwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah sangat keras sikapnya”. (Al-Hasyr : 7)

Kedua ayat tersebut di atas menjelaskan bahwa Hadits atau Sunnah


menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an dalam menentukan hukum.

3. Al-Ijma’
Yang disebut Ijma’ ialah kesepakatan para Ulama’ atas suatu hukum setelah
wafatnya Nabi Muhammad SAW4. Karena pada masa hidupnya Nabi Muhammad
SAW. seluruh persoalan hukum kembali kepada Beliau. Setelah wafatnya Nabi
maka hukum dikembalikan kepada para sahabatnya dan para Mujtahid.
Ijma’ terbagi menjadi 2 macam :
a. Ijma’ Bayani (‫اني‬BB‫ ) االجماع البي‬ialah apabila semua Mujtahid mengeluarkan
pendapatnya baik berbentuk perkataan maupun tulisan yang menunjukan
kesepakatannya. Artinya Ijma’ bayani telah disepakati suatu hukum, wajib
bagi umat Islam untuk mengikuti dan menta’ati.
b. Ijma’ Sukuti (‫ )االجماع السكوتي‬ialah apabila sebagian Mujtahid mengeluarkan
pendapatnya dan sebagian yang lain diam, sedang diamnya menunjukan

4
Ijma’ adalah salah satu sumber hukum Islam dan salah satu sumber hukum aswaja.

3
setuju, bukan karena takut atau malu.5 Dalam ijma’ sukuti ini Ulama’ masih
berselisih faham untuk diikuti, karena setuju dengan sikap diam tidak dapat
dipastikan.
Karena para Ulama’ Mujtahid itu termasuk orang-orang yang lebih mengerti
dalam maksud yang dikandung oleh Al-Qur’an dan Al-Hadits, dan mereka itulah
yang disebut Ulil Amri Minkum (‫ ) اولىاالمر منكم‬Allah berfirman dalam Al-Qur’an
surat An-Nisa’ ayat : 59

“Hai orang yang beriman ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya dan Ulil Amri
di antara kamu”.( An-Nisa’:59)
Dan para Sahabat pernah melaksanakan ijma’ apabila terjadi suatu masalah yang
tidak ada dalam Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW. Pada zaman sahabat Abu
Bakar dan sahabat Umar r.a jika mereka sudah sepakat maka wajib diikuti oleh
seluruh ummat Islam. Inilah beberapa Hadits yang memperkuat Ijma’ sebagai
sumber hukum, seperti disebut dalam Sunan Tirmidzi Juz IV hal 466.

“Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku atas kesesatan dan


perlindungan Allah beserta orang banyak.
Selanjutnya, dalam kitab Faidlul Qadir Juz 2 hal 431

 “Sesungguhnya ummatku tidak berkumpul atas kesesatan maka apabila engkau


melihat perselisihan, maka hendaknya engkau berpihak kepada golongan yang
terbanyak”.

4. Al-Qiyas
Qiyas menurut bahasanya berarti mengukur, secara etimologi kata itu berasal
dari kata Qasa (‫اس‬BB‫) ق‬. Yang disebut Qiyas ialah menyamakan sesuatu dengan
5
W. James Popham Eva L.Baker, Bagaimana Mengajar Secara Sistematis, Yogyakarta, Cet.
IV.1992

4
sesuatu yang lain dalam hukum karena adanya sebab yang antara keduanya.
Rukun Qiyas ada 4 macam: Al-Ashlu, Al-Far’u, Al-Hukmu dan As-Sabab.
Contoh penggunaan qiyas. Misalnya gandum, seperti disebutkan dalam suatu
hadits sebagai yang pokok (Al-Ashlu)-nya, lalu Al-Far’u-nya adalah beras (tidak
tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits), Al-Hukmu, atau hukum gandum itu
wajib zakatnya, As-Sabab atau alasan hukumnya karena makanan pokok.
Dengan demikian, hasil gandum itu wajib dikeluarkan zakatnya, sesuai
dengan hadits Nabi, dan begitupun dengan beras, wajib dikeluarkan zakat.
Meskipun, dalam hadits tidak dicantumkan nama beras. Tetapi, karena beras dan
gandum itu kedua-duanya sebagai makanan pokok. Di sinilah aspek qiyas menjadi
sumber hukum dalam syareat Islam. Dalam Al-Qur’an Allah S.WT. berfirman :

“Ambilah ibarat (pelajaran dari kejadian itu) hai orang-orang yang mempunyai
pandangan”. (Al-Hasyr : 2)
Kemudian Al-Imam Syafi’i memperkuat pula tentang qiyas dengan firman Allah
SWT. dalam Al-Qur’an :

 “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu membunuh binatang buruan


ketika kamu sedang ihram, barang siapa diantara kamu membunuhnya dengan
sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak yang seimbang
dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara
kamu”. (Al-Maidah: 95).
Sebagaimana mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah lebih mendahulukan dalil
Al-Qur’an dan Al-Hadits dari pada akal. Maka dari itu mazhab Ahlussunnah wal
Jama’ah mempergunakan Ijma’ dan Qiyas kalau tidak mendapatkan dalil nash
yang shareh (jelas) dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Sejak abad ke-1 Hijriyah, dalam sejarahnya pernah ramai saling


mengklaim mana yang Ahlussunnah mana yang bukan. Tetapi fenomena sekarang
adalah banyak bermunculan kelompok Islam yang hanya mengaku Ahlussunnah

5
tetapi tidak dilengkapi dengan istilah wal Jama’ah. Kelompok Ahlussunnah
mengaku berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits. Bahkan kelompok ini pada saat-
saat tertentu tidak percaya dengan pendapat sahabat Nabi yang empat (Khalifah
Rasyidin), karena pendapat khalifah adalah bukan hadits, jadi tidak wajib diikuti.
Tentu kelompok ini selalu mengedepankan hadits-hadits yang jelas shahih
setidaknya (Bukhari Muslim) hadits yang perawinya diluar dua imam ini, patut
dicurigai sebagai hadits dha’if, kurang kuat dan lain-lain, seperti hadits hasan
yang juga tidak selengkap sanad dan rawi yang di riwayatkan oleh Imam Bukhari
dan Muslim.
Kelompok ini lebih banyak menafikan pendapat para sahabat Rasulullah
SAW dalam menentukan hukum-hukum yang tidak dijelaskan secara rinci dalam
Al-Qur’an dan Hadits. Padahal telah dijelaskan dalam hadits Bukhari Muslim
bahwa mengikuti sahabat Nabi adalah wajib. Kelompok ini memakai pendapat
sahabat hanya pada konteks permasalahan hukum yang sesuai dengan paham
mereka sendiri, bahkan sesuai kepentingannya sendiri.
Orang mencuri dalam Al-Qur’an hukumannya adalah dipotong tangannya.
Tetapi setelah Nabi Muhammad SAW. wafat, salah satu sahabat yaitu Umar R.A
membuat pemahaman, keputusan baru yaitu dengan menghukumi orang mencuri
bukan dengan dipotong tangannya lagi dengan alasan kemaslahatan umat. Ini
bukan berarti bertentangan dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an tetap benar adanya dan
dijamin kebenarannya. Tetapi yang berubah adalah pemahamannya karena
turunnya Al-Qur’an dan Hadits juga tidak lepas dari faktor sebab-sebabnya,
sehingga turunlah ayat dan hadits.
Al-Jama’ah juga berarti paham mengikuti pendapat sahabat. Al-Qur’an
tentu menjadi sumber hukum yang pertama, kemudian hadits. Setelah khalifah
empat wafat, mulai banyak penafsiran Al-Qur’an terutama sesuatu yang tidak
tercantum secara rinci dalam Al-Qur’an dan Hadits. Misalnya merokok, hukum
merokok mulai dari haram, makruh, dan sebagainya menjadi perbedaan para
imam dalam berpendapat. Inilah kemudian pendapat para imam-imam mujtahid,
kemudian juga diikuti oleh paham Ahlussunnah wal Jama’ah.6

6
Arti dari jama’ah yaitu perkumpulan atau kumpulan suatu majlis.

6
Istilah “Al-Jama’ah“ sering dipahami sebagai sesuatu yang miring seolah-
olah Al-Jama’ah keluar dari konteks Al-Qur’an dan hadits. Pada hakikatnya, Al-
Jama’ah adalah sebuah jalan (kesepakatan) atau cara untuk memahami Al-Qur’an
dan hadits.

7
BAB III
KESIMPULAN

Al-Qur’an merupakan sumber utama dan pertama dalam pengambilan


hukum. Karena Al-Qur’an adalah perkataan Allah yang merupakan petunjuk
kepada umat manusia dan diwajibkan untuk berpegang teguh kepada Al-Qur’an.
Allah SWT. berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 2, dan Al-Maidah ayat 44-45,
47 :

“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi mereka yang
bertaqwa” (Q.S. Al-Baqarah:2)

Paham Ahlussunnah wal Jama’ah dapat diartikan juga sebagai paham


pengikut sahabat Nabi, tidak hanya sahabat yang empat, tetapi pendapat sahabat
yang lain. Pengertian sahabat disini adalah yang hidup di masa Rasulullah SAW.
generasi setelah Rasulullah SAW wafat dinamakan tabi’in, tabi’in attabi’in, atau
ulama, selanjutnya sampai sekarang adalah istilahnya pemuka Agama Islam
disebut ulama.
Paham Ahlussunnah wal Jama’ah tentu mengikuti pendapat para Imam-
imam yang dijamin tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits.
Persoalannya banyak sekte, aliran yang tersebar diseluruh dunia, adalah mengaku
kelompok yang paling benar, kelompok yang mengklaim dirinyalah yang
berpegang pada Al-Qur’an dan hadits, yang lainnya adalah ahli bid’ah.
Yang dapat kita pelajari dari banyaknya fanatisme Imam, adalah tidak
terjebak pada istilah derajat sebuah hadits. Karena apapun derajat sebuah hadits,
kita tidak pernah tau kebenarannya. Yang bisa kita lakukan adalah meyakini dan
menjalankannya.

8
DAFTAR PUSTAKA

1. Aqib, Kharisudin. Al-Hikmah Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah wa


Naqsyabandiyah. Surabaya: Dunia Ilmu, 1998.
2. Atjeh, Abu Bakar. Pengantar Ilmu Tarekat : Kajian Historis tentang mistik.
Cet.XI, Solo : Ramadani, 1995.
3. Abu Bakar Al-Makky, Kifayat Al-Atqiya ‘wa Minhaj Al-Asfiya’, Surabaya :
Sahabat Ilm, hal 49-51
4. https://islam.nu.or.id/post/read/9215/4-sumber-hukum-dalam-aswaja

Anda mungkin juga menyukai