Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-quran sebagai petunjuk bagi umat mengandung dasar-dasar akidah,
akhlak, dan hukum. Penjelasan lebih lanjut diberikan oleh Rasulullah SAW
dengan sunnahnya sehingga sepanjang hidup beliau, hukum setiap kasus
dapat diketahui berdasarkan nash al-Quran atau al-Sunnah, namun pada
masa berikutnya, masyarakat mengalami perkembangan pesat. Wilayah
kekuasaan islam semakin luas dan para sahabat pun tersebar ke berbagai
daerah seiring dengan arus ekspansi yang berhasil dengan gemilang.
Kontak antara bangsa arab dan bangsa lain diluar jazirah arab dengan
corak budayanya yang beragam sehingga menimbulkan berbagai kasus baru
yang tidak terselesaikan dengan rujukan lahir nash semata-mata. Untuk
menghadapi hal itu para sahabat terpaksa melakukan ijtihad. Tentu saja
mereka tetap mempedomani nash- nash al-Quran atau Hadist dan hanya
melakukan ijtihad secara terbatas, sesuai dengan tuntutan kasus yang
dihadapi.
Karena ijtihad merupakan upaya memahami serta menjabarkan al-Quran
dengan sunnah dengan mempertimbangkan seluruh makna serta nilai- nilai
yang terkandung didalamnya. Maka tugas ini hanya dapat dilakukan oleh
sahabat- sahabat terkemuka. Pada masa berikutnya, tanggung jawab itu
beralih pada para tokoh tabiin dan selanjutnya kepada para ulama mujtahid
dari generasi berikutnya.
Dalam hal penentuan hukum ini sering ditemui antara dua dalil secara
Zhahir nampak bertentangan, tentunya hal ini menimbulkan permasalahan
yang harus diselesaikan oleh para ulama. Inilah permaslaahan yang akan
dibahas dalam makalah ini, yang dikenal dengan istilah Taarrudl Al-Adillah
atau pertentangan antara dalil. Mudaha-mudahan makalah ini bremanfaat bagi
kita semua, khususnya bagi para penulis, dan umumnya bagi para pembaca.
Amin.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penjelasan mengenai Taarud Al Adillah.
2. Apa saja syarat-syarat Taarud Al Adillah.
3. Macam-macam Taarud Al Adillah.
4. Bagaimana metode penyelesaian Taarud Al Adillah.
5. Bagaimana contoh penyelesaian Taarud Al Adillah.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tarud al Adillah
Kata at-taarudh, secara etimologis merupakan kata yang
dibentuk dari fiil madhi (), yang artinya menghalangi,
mencegah atau membandingi. Artinya, menurut penjelasan
para ahli bahasa, kata at-taarudh berarti saling mencegah,
menentang atau menghalangi.1
Sedangkan secara terminologi, para ulama memiliki
berbagai pendapat misalnya seperti yang disebutkan oleh
Rahmat Syafei dalam bukunya, antara lain:
-

Imam Syaukani : Taarrudl al-Adillah adalah suatu dalil


yang

menentukan

hukum

tertentu

terhadap

suatu

persoalan, sedangkan dalil lain menentukan hukum yang


-

berbeda dengan dalil ini.


Kamal ibnu Al-Humam dan At-Taftazani, Taarrudl al-Adillah
adalah pertentangan antara dua dalil yang tidak mungkin

untuk dikompromikan antara keduanya.


Ali Hasaballah, Taarrudl al-Adillah adalah

terjadinya

pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan


hukum yang terkandung dalam dalil lainnya dan kedua
-

dalil tersebut berada dalam satu derajat.2


Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Taarrudl alAdillah

adalah;

(menghendaki

pertentangan

apa

yang

tidak

antara
di

dua

kehendaki

dalil
oleh

selainnya). Dengan ibarat yang lain, ialah; dalil yang


menerapkan

hukum

di

waktu

yang

sama

terhadap

1 Rahmat SyafeI, Ilmu Ushul Fiqh untuk UIN, STAIN dan PTAIS, (Bandung :
Pustaka Setia, 1998), hlm. 225

2 Rahmat SyafeI, Ilmu Ushul Fiqh untuk UIN, STAIN dan PTAIS,...., hlm.
225

sesuatu

kejadian,

yang

menyalahi

hukum

yang

dikehendaki oleh dalil yang lain.3


Dari defenisi di atas, dapat diketahui bahwa persoalan
Taarrudl al-Adillah dibahas oleh para ulama ketika ada
pertentangan antara dua dalil, atau antara satu dalil dengan
dalil lainnya secara zhahir pada derajat yang sama.
At-taarudh merupakan pertentangan yang hanya terjadi
secara

lahiriah

saja,

yakni

menurut

pandangan

atau

pemikiran para mujtahid saja, sebagaimana yang telah


dijelaskan, bukan secara esensial atau mendasar.
Para ulama ushul fiqih, baik itu golongan mutaakhirin
(ulama ushul fiqih yang mengikuti Imam Syafii) ataupun
ulama Hanafiah sepakat bahwa hakikat dari taarudh dalam
syariat Islam yang di dalamnya merupakan kumpulan dalildalil hukum mustahil terjadi, baik itu kontradiksi antar dalil
qathi maupun zahnni. Adapun taarudh yang terjadi dewasa
ini hanyalah taarudh zhahiri (kontradiksi sekilas saja), yang
seperti

ini

dikarena

perbedaan

metode

ulama

dalam

memahami dalil-dalil suatu hukum. Selain itu juga ditambah


dengan keterbatasan akal manusia dalam memahami dalildalil qathi maupun zahnni.
Dan taarudl itu tidak saja mengenai dalil dalil dhanni,
tetapi mungkin juga terdapat pada dalil-dalil qathI. Di ketika
itu kita tujukan salah satunya kepada yang tidak dituju oleh
yang sebuah lagi, atau salah satunya kita pandang nasikh
dan yang sebuah lagi kita pandang mansukh, karena tidak
mungkin kita lakukan tarjih pada dalil dalil yang qathi.4
3 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Penganntar Hukum
Islam, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm. 275.

4 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Penganntar Hukum


Islam,...., hlm. 276

B. Syarat-syarat Taarud al Adillah


Seperti

yang

telah

dijelsakan

sebelumnya

bahwa

pertentangan antara dua dalil Taarudh wal Adillah hanya


terjadi dalam pandangan mujtahid saja. Memang jika dilihat
secara

lahiriah,

dua

taarudh

wal

adillah

seperti

menampakkan dua dalil yang saling bertolak belakang. Dua


buah dalil yang berbeda dapat dikatakan taarudh adillah
manakala memenuhi syarat-syarat berikut ini.
1. Bahwa

dua

bertentangan

dalil

yang

secara

saling

penuh,

berlawanan
misalnya

tersebut

satu

dalil

mengharamkan sedangkan yang satunya membolehkan.


2. Dua dalil yang serupa (bertentangan) sama-sama kuat.
Tidak mungkin terjadi taarudh diantara dalil mutawatir
dan ahad, antara dalil qathi dan dalil dzanny.
3. Syarat ketiga adalah dua dalil tersebut diterima dalam
kurun waktu yang sama sehingga dalil yang dapat
menyesuaikan

dengan

waktu

itu

yang

dapat

memenangkan pertentangan.
4. Syarat keempat adalah dua dalil tersebut diterima di
tempat yang sama, sehingga tidak mungkin terjadi
pertentangan dalil secara nyata manakala dua dalil
tersebut diterima di dua tempat yang berbeda.5
C. Macam-macam Taarud al Adillah
Ada empat macam Taarudh al-Adillah yaitu
1. Taarudh antara Al-Quran dengan Al-Quran
Seperti firman Allah SWT yang terdapat pada QS.Al-Maidah ayat 3 yaitu
:
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,
(QS.Al-Maidah ayat 3).
5 An-Namlah, Abdul Karim bin Ali bin Muhammad. Al-Jami li Masail
Ushul Fiqh wa Tathbiqaha Ala Al-Madzabi Ar-Rajihi, (Riyadh : Maktabah
Ar-Rusyd, 2000), hlm. 216.

Ayat ini nampaknya taarudh (bertentangan) dengan firman Allah SWT


dalam QS.Al-Anam :145) yaitu :
Katakanlah: Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang
diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang
hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah
yang mengalir (QS.Al-Anam ayat 145).
2. Taarudh antara As-Sunnah dengan As-Sunnah
Dibawah ini adalah dua Hadits yang bertentangan yaitu
Dari Siti Aisyah dan Ummi Salamah RA bahwa Nabi masuk waktu
subuh dalam keadaan junub karena melakukan jimak kemudian mandi
dan menjalankan puasa. (HR.Mutafaqun Alaih).
Hadits ini bertentangan dengan hadits berikut ini:
Bila telah dipanggil untuk sembahyang subuh,sedang salah satu di
antaramu dalam keadaan junub maka jangan puasa hari itu. (HR.Imam
Ahmad dan Ibnu Hibban).
3. Taarudh antara As-Sunnah dengan Al- Qiyas Taarudh
Kedua dalil ini bisa dikemukakan antara sunnah dengan qiyas dalam
menetapkan hukum kebolehan bagaimana halnya bila seseorang
mengadakan jual beli unta atau kambing yang diikat putik susunya agar
kelihatan besar,sedang setelah dibeli dan diperah susunya terbukti adanya
gharar.
Seperti sabda Nabi Muhammad SAW
Janganlah hendaknya anda mengikat susu unta ataupun kambing
(agar kelihatan besar),barangsiapa membelinya sesudah terjadi
demikian,maka boleh memilih di antara dua pandangan yang dianggap
baik,bila menghendaki boleh melangsungkan jual beli itu atau
mengembalikannya

dengan

membayar

satu

sha dari

tamar.

(HR.Mutafaqun alaih dari Abi Hurairah).


Dalam Hadits ini disebutkan bahwa bila memilih pengembalian
(untuk kambing) maka pembeli harus membayar satu sha dari tamar. Hal
ini merupakan pendapat Jumhur Ulama. Sedangkan Ulama Hadawiyah,
berpendapat bahwa lebih sesuai dengan mengembalikan perahan susu itu
bila masih dan bila telah habis dengan mengganti harga susu itu,hal ini

diqiyaskan pada tanggungan bila menghabiskan atau merusak barang


orang lain, maka pihak yang menggunakan barang orang lain tersebut
harus mengganti sejumlah atau senilai dengan barang yang telah
dipergunakan.
4. Taarudh antara Qiyas dengan Qiyas Taarudh
Ini bisa dicontohkan dari pengqiasan terhadap masalah perkawinan Nabi
Muhammad SAW terhadap Siti Aisyah
Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits yaitu :
Dari Aisyah ,beliau berkata: Rasulullah mengawini saya ketika
saya berumur enam tahun dan mengumpuliku ketika saya sebagai gadis
yang telah berumur sembilan tahun..(H.R.Muslim dari Aisyah).
Atas dasar hadits, diambil hukum kebolehan (boleh) orang tua
mengawinkan anaknya yang belum dewasa (masih di bawah umur) tanpa
izin yang bersangkutan. Hal ini merupakan pendapat Ulama Hanafiyah,
sedang Ulama Syafiiyah menganggap karena kegadisannya. Dengan
demikian kalau telah tsayyib sekalipun masih belum dewasa orang tua
tak mempunyai hak ijbar (memaksa)
D. Cara Penyelesaian Taarud al -Adillah
Perlu dicatat, bahwasannya tidak akan ada pertentangan
yang hakiki antara dua ayat atau dua hadits shahih, antara
ayat

dan

hadits

yang

shahih.

Apabila

tampak

ada

pertentangan antara dua nash dari nash-nash ini,maka


sebenarnya ia hanyalah pertentangan yang lahiriyah saja,
sesuai dengan yang Nampak pada akal pikiran kita. Ia bukan
pertentangan yang hakiki. Karena pembuat hukum yang
Maha Esa lagi Maha Bijaksana tidak mungkin mengeluarkan
suatu dalil yang menghendaki hukum pada satu kasus, dan
mengeluarkan

dalil

lain

pada

kasus

itu

juga

yang

menghendaki hukum yang berbeda dengan hukum tersebut


pada waktu yang sama.
Jika ada dua nash, yang lahiriyah kedua nash itu saling
bertentangan,

maka

ijtihad

wajib

dilakukan

untuk

memalingkan keduanya dari pengertian lahiriyah ini dan

berhenti pada hakikat yang dikehendaki dari dua nash itu,


untuk membersihkan Allah Yang Maha mengeluarkan syariat
Yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana dari kontradiksi
dalam hukum-Nya. Jika memungkinkan untuk menghilangkan
pertentangan yang bersifat lahiriyah antara dua nash itu
dengan menggabungkan dan mengadakan sintesa antara dua
nash itu dan dua-duanya diamalkan. Penggabungan ini
merupakan

penjelasan,

karena

sebenarnya

tidak

ada

pertentangan antar kedua-duanya dalam hakikatnya.6


Apabila seorang mujtahid menemukan dua dalil yang
bertentangan, maka ia dapat menggunakan dua cara untuk
berusaha menyelesaikannya. Kedua cara itu dikemukakan
masing-masing

oleh

ulama

Syafiiyyah.7
1. Menurut Hanafiyyah
Ulama
Hanafiyyah

Hanafiyyah

dan

mengemukakan

ulama

metode

penyelesaian antara dua dalil yang bertentangan dengan


cara :
a. Nasakh

Nasakh (
) , adalah membatalkan hukum yang
ada didasarkan adanya dalil yang datang kemudian
yang mengandung hukum yang berbeda dari hukum
pertama. Dalam hubungan ini seorang mujtahid harus
berusaha untuk mencari sejarah munculnya kedua
dalil tersebut. Apabila dalam pelacakannya ditemukan
bahwa satu dalil muncul lebih dahulu daripada dalil
lainnya maka yang diambil adalah dalil yang datang
kemudian.
b. Tarjih
6 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang : Dina Utama, 1994),
hlm. 361.

7 Chaerul Umam dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqh II, (Bandung : CV Pustaka
Setia, 2001), hlm. 186

Tarjih (

) adalah menguatkan salah satu di
antara dua dalil yang bertentangan berdasarkan
beberapa indikasi yang mendukungnya. Apabila masa
turunnya atau datangnya dua dalil tersebut tidak
diketahui, maka seorang mujtahid bisa melakukan
tarjih terhadap salah satu dalil, jika memungkinkan.
Akan tetapi, dalam melakukan tarjih itupun mujtahid
tersebut harus mengemukakan alasan-alasan lain
yang membuat ia menguatkan satu dalil dari dalil
lainnya. Tarjih itu bisa dilakukan dari tiga sisi:
1) Dari segi petunjuk kandungan lafadz suatu nash
2) Dari segi hukum yang dikandungnya
3) Dari sisi keadilan periwayat sutu hadits.
c. Al-Jamu wa Al-Taufiq
Jamu

wa

Al-Taufiq

(
)

yaitu

pengumpulan dalil-dalil yang bertentangan kemudian


mengkrompomikannya.

Dengan

demikian,

hasil

kompromi dalil inilah yang diambil hukumnya, karena


kaidah fiqih mengatakan, mengamalkan kedua dalil
lebih baik daripada meninggalkan atau mengabaikan
dalil yang lain.
d. Tasaqut Al Dalilain
Tasaqut Al Dalilain

(
)

yaitu

menggugurkan (tidak mengamalkan) kedua dalil yang


saling bertentangan. Dalam arti, seorang mujtahid
merujuk dalil yang tingkatannya lebih rendah dari dalil
yang bertentangan tersebut sebagai dasar beramal.
Apabila terdapat dua dalil yang saling bertentangan
yang tidak mungkin untuk mengkompromikan lagi
dalam seluruh seginya, maka kedua dalil tersebut
digugurkan karena dipandang bertentangan. Seorang
mujtahid tidak boleh menjadikan kedua dalil yang

bertentangan sebagai dasar beramal, namun ia harus


mencari dalil lain yang kedudukannya lebih rendah.8
Penggunaan metode penyelesaian dua dalil yang
bertentangan

di

atas,

harus

dilakukan

secara

berurutan dari cara pertama sampai cara keempat.


2. Menurut Syafiiyyah
Adapun
cara
penyelesaian
dua
dalil
yang
bertentangan menurut ulama Syafiiyyah sebagai berikut 9
:
a. Jamu wa Taufiq
Jamu wa Taufiq yaitu mengkompromikan dan
menyelaraskan

kedua

dalil

yang

bertentangan

tersebut sekalipun dari satu sisi saja. Mengamalkan


kedua dalil, sekalipun dari satu sisi, menurut mereka
dapat dilakukan dengan tiga cara:
1) Apabila kedua hukum yang bertentangan itu bisa
dibagi, maka lakukan pembagian yang sebaikbaiknya.
2) Apabila kedua

hukum

mengandung

beberapa

yang

bertentangan

ketentuan

itu

beberapa

hukum, maka boleh memilih salah satu hukum,


asal didukung oleh dalil lain.
3) Apabila kedua hukum yang

bertentangan

itu

bersifat universal atau mencakup beberapa hal.


Kedua dalil tersebut dapat diamalkan dengan
mengklasifikasikan
beberapa

bagian.

atau

membaginya

Sehingga

hukum

dalam
yang

terkandung dalam bagian-bagian tersebut saling


berhubungan satu sama lain.10
b. Tarjih
8 Muhammad Wafaa, Metode Tarjih atas Kontradiksi Dalil-dalil Syara', (Bangil
: Al-Izzah, 2001), hlm. 68-70.

9 Chaerul Umam dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqh II, ..., hlm. 190-192

10

Tarjih

artinya

menguatkan

salah

satu

dalil

berdasarkan dalil yang mendukungnya.


c. Nasakh
Nasakh yaitu membatalkan salah satu hukum yang
dikandung kedua dalil tersebut, dengan syarat harus
diketahui mana dalilyang pertama kali dating dan
mana yang datang kemudian.
d. Tasaqut Al Dalilain
Tasaqut Al Dalilain yaitu meninggalkan kedua dalil
yang bertentangan dan berijtihad dengan dalil yang
kualitasnya lebih rendah dari kedua dalil tersebut.
Menurut ulama Syafiiyyah, keempat cara di atas
harus

ditempuh

secara

berurutan

menyelesaikan pertentangan dua dalil.


Setelah
menjelaskan
metode-metode

dalam

penyelesaian

pertentangan antara dua nash menurut dua madzhab, maka


Nampak jelas beberapa perbedaan

antara keduanya, yaitu

antara lain:
1. tindakan pertama kali yang harus dilakukan seorang
mujtahid

untuk

menolak

pertentangan

menurut

madzhab Hanafiyah adalah menasakh. Adapun menurut


madzhab

Syafiiyah,

tindakan

petama

yang

harus

dilakukan adalah mengkompromikan (jama) kedua nash


yang saling bertentangan tersebut. Kami memandang
bahwa pendapat madzhab Syafiiyah adalah pendapat
yang unggul. Karena sebagaimana pendapat mereka
mengamalkan kedua nash tersebut adalah lebih baik
daripada mnggugurkan keduanya atau salah satunya.
Nasakh

berarti

menggugurkan

salah

satu

nash,

sedangkan jama berarti mengamalkan keduanya secara


bersama-sama.

Pendapat

madzhab

Syafii

ini

dapat

10 Muhammad Wafaa, Metode Tarjih atas Kontradiksi Dalil-dalil Syara,


..., hlm. 97

11

merealisasikan tujuan syari (Allah) yakni mengamalkan


dua ketentuan hukum yang terkandung dalam kedua nash
yang

saling

bertentangan

dengan

cara

mengkompromikannya. Allah tidak mensyariatkan suatu


2.

hukum dengan tanpa manfaat.


Madzhab Syafii lebih mendahulukan jama dari pada
tarjih, sehingga tidak boleh mentarjih kecuali apabila
kedua dalil yang bertentangan tersebut tidak dapat
dikompromikan.

Sedangkan

mendahulukan

tarjih

madzhab

daripada

Hanafi

jama,

lebih
karena

mengamalkan yang lebih unggul dan meninggalkan dalil


lainnya dari kedua dalil yang saling bertentangan adalah
sesuai dengan pendapat yang telah disepakati oleh orangorang berakal. Mereka memandang bahwa jika jama lebih
didahulukan

daripada

mendahulukan

dalil

tarjih,
yang

maka
tidak

hal

itu

berarti

diunggulkan

dan

meninggalkan yang lebih unggul. Mereka memandang


bahwa jama adalah metode hyang tidak diunggulkan.
Metode yang lebih unggul adalah mengamalkan dalil yang
lebih unggul dengan cara mentarjihnya. Mereka juga
berpendapat bahwa menggunakan tarjih bukan berarti
menonaktifkan atau meninggalkan salah satu dari dalil
yang bertentangan, sebagaimana pendapat madzhab
Syafii.
E. Contoh Penyelesaian Taarud al Adillah
5. Contoh nash Al Quran yang berlawanan :













Artinya:
Orang-orang

yang

meninggal

dunia

diantara

kamu dengan meninggalkan istri (hendaklah para istri

12

itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan


sepuluh hari. (QS.Al Baqarah ayat 234)
Ayat ini memberikan petunjuk bahwa setiap wanita
yang ditinggalkan suaminya meninggalidahnya empat
bulan sepuluh hari, baik wanita itu hamil atau tidak
hamil. Namun kalau dilihat dalam firman Allah pada
surat lain:













Artinya:
Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu
iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan
kandungannya. (QS. At Thalaq ayat 4)
Ayat ini memberikan petunjuk setiap permpuan
yang hamil yang suaminya meninggal atau diceraikan
suaminya sedang mereka dalam keadaan hamil maka
idahnya sampai melahirkan.
Kalau

dilihat

sekilas

dalam

ayat

pertama

perempuan yang hamil yang ditinggalkan suaminya


meninggal iddahnya empat bulan sepuluh hari dan
menurut

ayat

kedua

nash

ini

berlawanan

kalau

dterangkan pada kasus yang sama, yang seperti ini


dinamakan taarudh.
Tidak dapat dikatakan terjadi perlawanan dua buah
dalil terkecuali kedua dalil itu sama kuat dan kalau
satu dalil itu lebih kuat maka wajib melaksanakan dalil
terkuat dan dalil yang lemah wajib ditinggalkan,
karena itu tidak mungkin terdapat berlawan antara
dalil

qathi

dan

dzanni,

tidak

mungkin

terkadi

berlawanan antara nash dan ijma atau dengan qiyas.


Yang mungkin terjadi berlawanan antara ayat dengan

13

hadits mutawatir atau antara hadits yang mutawatir


dengan hadits mutawatir atau antara kedua buah
hadits yang bukan mutawatits atau antara dua buah
qiyas.
Patut digaris bawahi bahwa tidak akan terjadi
berlawan yang sebenarnya antara dua buah ayat atau
antara dua buah hadits yang shahih atau antara ayat
dan

hadits

yang

shahih,

kalaulah

nampaknya

berlawanan hanya menurut lahirnya saja atau menuru


yang dapat dijangkau oleh otak manusia, namun
apabila

diteliti

dengan

seksama

tidak

terjadi

pertentangan. Allah Yang Maha Bijaksana tidak akan


menentapkan dua hukum yang berlawan, dua hukum
yang berlaku pada satu kasus pada satu waktu yang
sama.11
Menurut riwayat Abdullah bin Masud, ayat kedua
turunnya lebih akhir daripada ayat pertama. Sehingga
dengan demikian, maka ayat kedua dapat menasakh
ayat pertama. Jadi iddahnya wanita yang ditinggal
mati suaminya dalam keadaan hamil adalah sampai ia
melahirkan janinnya, baik lahir setelah lewat masa
empat bulan sepuluh hari atau belum.12
Ulama yang tidak mengakui adanya nasakh ini,
mengamalkan

dua

ayat

sekaligus.

Mereka

berpendapat bahwa iddahnya wanita yang ditinggal


mati suaminya dalam keadaan hamil adalah masa
terlama dari kedua masa tersebut yaitu empat bulan
11 Syafii Karim, Fiqih-Ushul Fiqih, ..., hlm.244-246
12 Muhammad Wafaa, Metode Tarjih atas Kontradiksi Dalil-dalil Syara',
..., hlm.81

14

sepuluh hari bagi wanita yang ditinggal suaminya dan


sampai melahirkan janinnya bagi wanita yang dicerai
dalam keadaan hamil. Mana diantara dua masa iddah
tersebut

yang

terlama

dihitung

dari

saat

meninggalnya suami, itulah masa iddahnya. Hal ini


atas

dasar

alasan,

karena

kedua

ayat

tersebut

menetapkan adanya masa iddah dari satu sisi saja.


Oleh karenanya, kedua ayat tersebut harus dijamakan
dan diamalkan secara bersama sebagai tindakan
preventif (hati-hati). Ini pendapat Ali bin Abi Thalib.
2.Contoh nash hadist yang berlawanan :









)

,
(

apakah

aku

tidak

tentang

sebaik-baik

memberitahu
saksi,

yaitu

kamu

sekalian

seorang

yang

memberikan kesaksian sebelum diminta.








,











)



,



bahwa

sebaik-baik

(



umatku
adalah

golonganku,kemudian orang-orang sesudah mereka,


kemudian

orang-orang

sekelompok manusia

sesudah

mereka

yaitu

yang memberikan kesaksian

tanpa dimintai, tidak berkhianat dan dapat dipercaya


Hadits pertama memperbolehkan meminta kesaksian
sebelum pihak yang bersangkutan memintanya, baik
menyangkut hak-hak Allah maupun hak-hak manusia.
Hadits kedua melarang hal tersebut secara mutlak. Secara
lahiriah

(dzahir),

kedua

hadits

tersebut

saling

bertentangan. Oleh karena itu,maka hadits pertama harus

15

dipahami bahwa kesaksian dapat diterima dengan tanpa


memintanya

terlebih

dahulu

hanya

sepanjang

menyangkut hak-hak Allah. Karena dalam urusan yang


menyangkut hak-hak Allah, tidak diperlukan adanya
kesaksian selain Allah sendiri. Dan hadits kedua harus
dipahami bahwa kesaksian dapat diterima sekalipun
dengan

meminta

terlebih

dahulu

hanya

sepanjang

menyangkut hak-hak manusia. Dengan demikian, maka


kedua hadits tersebut menjadi tidak bertentangan.

16

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengertian Taarud Al Adillah
Taarudh (berlawanan) menurut arti bahasa ialah
pertentangan satu dengan yang lainnya dan menurut arti
syara ialah berlawanan dua buah nash yang kedua
hukumnya

berbeda

dan

tidak

mungkin

keduanya

dilaksanakan dalam satu waktu. Dan Aladillah ialah jama


dari dalil yang berarti alasan, argumen dan dalil.
2. Syarat-syarat Taarud Al Adillah
Hukum yang ditetapkan oleh kedua dalil tersebut

saling

berlawanan
Obyek (tempat) kedua hukum yang saling bertentangan tersebut
sama
Masa atau waktu berlakunya hukum yang saling bertentangan
tersebut sama.
Hubungan kedua dalil yang saling bertentangan tersebut sama
Kedudukan (tingkatan) kedua dalil yang saling bertentangan
tersebut

sama,

baik

dari

segi

asalnya

maupun

petunjuk dalilnya.
3. Metode Penyelesaian Taarud Al Adillah
-

Metode Hafiyah
Nasakh
Tarjih
Al-Jumu wa al-Taufiq
Tassaqut al-Dalilan

Metode Syafiiyah
Al-Jamu wa al-Taufiq
Tarjih
Nasakh
Tasaqut al-Dalilan

4. Contoh penyelesaian Taarud Al Adillah


Contoh dalil yang berlawanan
Orang-orang yang meninggal dunia diantara kamu
dengan meninggalkan istri (hendaklah para istri itu)
menangguhkan

dirinya

(beridah)

empat

bulan

sepuluh hari (QS.Al Baqarah: 234)

17

Ayat ini memberikan petunjuk bahwa setiap wanita


yang ditinggalkan suaminya meninggalidahnya empat
bulan sepuluh hari, baik wanita itu hamil atau tidak
hamil. Namun kalau dilihat dalam firman Allah pada
surat lain:
Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu
idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan
kandungannya. (QS. At Thalaq ayat 4)
Ayat ini memberikan petunjuk setiap perempuan
yang hamil yang suaminya meninggal atau diceraikan
suaminya sedang mereka dalam keadaan hamil maka
idahnya sampai melahirkan.

18

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang : Dina Utama,
1994.
An-Namlah, Abdul Karim bin Ali bin Muhammad. Al-Jami li Masail
Ushul Fiqh wa Tathbiqaha Ala Al-Madzabi Ar-Rajihi, Riyadh :
Maktabah Ar-Rusyd, 2000.
Ash-Shiddieqy. Teungku Muhammad Hasbi, Penganntar Hukum
Islam, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2001.
Karim. Syafii, Fiqih-Ushul Fiqih, Bandung : CV Pustaka Setia,
1997.
SyafeI. Rahmat, Ilmu Ushul Fiqh untuk UIN, STAIN dan PTAIS,
Bandung : Pustaka Setia, 1998
Umam. Chaerul dan Aminudin. Achyar, Ushul Fiqh II, Bandung :
CV Pustaka Setia, 2001
Wafaa. Muhammad, Metode Tarjih atas Kontradiksi Dalil-dalil
Syara', Bangil : Al-Izzah, 2001.

19

Anda mungkin juga menyukai