Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH QIYAS

Makalah Ini Dibuat Bertujuan Untuk


Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh

Dosen : Prof. Dr. Kasuwi Saiban M.Ag.

Oleh :
CHUBBATUL ADILA / 2177011731
DINI TRI LESTARI / 2177011732

Program Studi : Pendidikan Agama Islam

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MA’HAD ALY AL-HIKAM


MALANG

Oktober 2021
BAB I
PENDAHULUAN

Penulisan makalah memiliki peranan dan kedudukan yang sangat penting dan
merupakan bagian dari tuntutan formal akademik pada setiap perguruan tinggi, penulisan
makalah di STAIMA AL-Hikam dapat berupa bagian dari tugas kuliah yang diberikan dosen
kepada mahasiswa berupa makalah maupun skripsi yang menjadi syarat penyelesaian studi
untuk memperoleh Gelar Sarjana.

Pedoman ini dimaksudkan untuk memberikan panduan umum kepada civitas


akademika STAIMA AL-HIKAM terutama para mahasiswa dalam menulis makalah.
Pedoman ini terdiri dari pokok terkait sistematika & kaidah yang umumnya berlaku dalam
penulisan akademik yang disesuaikan dengan kebutuhan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Qiyas
Qiyas menurut pengertian bahasa berarti “mengukur dan menyamakan sesuatu”.
Sedangkan menurut pengertian istilah ahli ushul fiqih, qiyas berarti menyamakan
hukum sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya karena adanya persamaan ‘illat
antara keduanya.
Jika seorang mujtahid menghadapi suatu permasalahan yang tidak di temukan
hukumnya dalam Al-Qur’an, al-sunnah maupun ijma’, maka qiyas merupakan metode
yang ditempuh oleh seorang mujtahid adalah meneliti ‘illat dari rumusan hukum yang
telah ada, kemudian meneliti pula’illat dari permasalahan baru yang belum ditemukan
hukumnya itu.
Jika benar ada kesamaan ‘illatnya maka dapat disimpulkan bahwa hukum dari kedua
masalah tersebut adalah sama.

B. Rukun Qiyas
Para Ulama’ yang berprinsip akan kebolehan qiyas sebagai metode dan hujjah dalam
hukum syara’, mereka menetapkan adanya rukun qiyas sebagai berikut :

1. Adanya pokok
Yaitu sesuatu yang hukumnya telah ditetapkan oleh Al-Qur’an, al- Hadits
maupun ijma’. Pokok juga disebut al-maqis ‘alaih (tempat mengqiyaskan
sesuatu). Misalnya pengharaman tentang khamr, sebagaimana yang
ditegaskan pada surat al-Maidah ayat 90 :
‫صابُ َوااْل َ ْزاَل ُم‬َ ‫ٰ ٓيا َ ُّي َها الَّ ِذي َْن ٰا َم ُن ْٓوا ِا َّن َما ْال َخمْ ُر َو ْال َم ْيسِ ُر َوااْل َ ْن‬
‫ِرجْ سٌ مِّنْ َع َم ِل ال َّشي ْٰط ِن َفاجْ َت ِنب ُْوهُ َل َعلَّ ُك ْم ُت ْفلِح ُْو َن‬
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras,
berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah,
adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah
(perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.”

2. Adanya cabang
Yaitu sesuatu yang tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an, al-Hadits
maupun ijma’ dan hendak dicari hukumnya melalui qiyas. Misalnya narkoba
yang di qiyaskan dengan khamr.

3. Adanya hukum asal


Yaitu hukum syara’ yang ditetapkan oleh nash atau ijma’ yang akan
diberlakukan kepada cabang. Dalam kasus khamr diatas yang menjadi hukum
asal adalah haram.
4. Adanya ‘Illat
Yaitu sesuatu yang menjadi motivasi hukum. Rukun yang keempat ini
merupakan inti dalam praktek qiyas, sebab berdasarkan ‘Illat itulah hukum-
hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an maupun al-Hadits dapat
dikembangkan. ‘Illat menurut bahasa berarti sakit, atau kejadian yang dapat
merubah keadaan dari kondisi semula. Sedangkan menurut istilah, ‘Illat
berarti suatu sifat yang konkrit yang terdapat pada pokok, yang karenanya
hukum syara’ ditetapkan, dan atas dasar sifat tersebut cabang disamakan
dengan pokok. Dalam kasus khamr di atas yang menjadi ‘Illat adalah sifat
memabukkan.

C. Macam – macam Qiyas


Dari segi perbandingan ‘illat, qiyas dibagi menjadi tiga bagian , yaitu :

1. Qiyas Aula
Yaitu ‘illat yang terdapat pada cabang lebih utama dari pada ‘illat yang
terdapat pada pokok. Misalnya mengqiyaskan haramnya memukul kedua
orangtua kepada hukum haram mengatakan “ah” seperti yang terdapat pada
ayat 23 surat al-Isra’ :

‫ْن ِاحْ ٰس ًن ۗا ِامَّا‬


ِ ‫ُّك اَاَّل َتعْ ُب ُد ْٓوا ِآاَّل ِايَّاهُ َو ِب ْال َوالِدَ ي‬
َ ‫ضى َرب‬ ٰ ‫۞ َو َق‬
‫دَك ْال ِك َب َر اَ َح ُد ُه َمٓا اَ ْو ك ِٰل ُه َما َفاَل َتقُ ْل لَّ ُه َمٓا اُفٍّ وَّ اَل‬
َ ‫َي ْبلُ َغنَّ عِ ْن‬
‫َت ْن َهرْ ُه َما َوقُ ْل لَّ ُه َما َق ْواًل َك ِر ْيمًا‬
Artinya : “Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika
salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut
dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan
kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak
keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.”

‘Illat hukum dari larangan tersebut adalah menyakiti. Dalam hal ini, menyakiti
dengan memukul (cabang) adalah lebih berat dibanding menyakiti hanya
sekedar mengatakan “ah” (pokok).

2. Qiyas Masawi
Yaitu ‘illat yang terdapat pada cabang sama bobotnya dengan ‘illat yang
terdapat pada pokok. Misalnya meng-qiyaskan haramnya membakar harta
anak yatim kepada haram memakannya, seperti yang terdapat pada surat al-
Nisa’ ayat 10:
ُ ‫ظ ْلمًا ِا َّن َما َيْأ ُكلُ ْو َن ِفيْ ب‬
‫ُط ْون ِِه ْم‬ َ َ‫اِنَّ الَّ ِذي َْن َيْأ ُكلُ ْو َن ا‬
ُ ‫مْوا َل ْال َي ٰت ٰمى‬
‫ࣖ َنارً ا ۗ َو َس َيصْ َل ْو َن َس ِعيْرً ا‬
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara
zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan
masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”

‘illat hukum dari larangan tersebut adalah melenyapkan. Dalam hal ini
melenyapkan dengan cara membakar (cabang) dan melenyapkan dengan cara
memakan (pokok) bobotnya sama.

3. Qiyas Adna
Yaitu ‘illat yang terdapat pada cabang bobotnya lebih rendah dibandingkan
dengan ‘illat yang terdapat pada pokok. Misalnya, mengqiyaskan haramnya
minuman nabidz dengan hukum haram minuman khamr. ‘Illat hukum dari
larangan tersebut adalah memabukkan. Dalam hal ini, sifat memabukkan
yang terdapat pada nabidz (cabang) bobotnya lebih rendah dibanding dengan
sifat memabukkan yang terdapat pada khamr (pokok).

Selanjutnya, dari segi jelas dan tidak jelasnya ‘illat sebagai landasan hukum,
qiyas dibagi menjadi dua bagian :

1. Qiyas jali
Yaitu qiyas yang ‘illatnya disebutkan dalam nash, atau tidak
disebutkan akan tetapi berdasarkan penelitian ada kepastian tentang kesamaan
‘illat antara pokok dan cabang. Misalnya menqiyaskan pemukulan kedua
orang tua kepada larangan berkata “ah” sebagaimana yang telah disebutkan
sebelumnya. Qiyas jali ini mencakup qiyas aula dan qiyas musawi.

2. Qiyas khafi
Yaitu qiyas yang ‘illatnya tidak ditetapkan dalam nash dan tidak ada
kepastian tentang kesamaan ‘illat antara pokok dan cabang. Misalnya,
menqiyaskan pemukulan dengan benda berat kepada pemukulan dengan benda
tajam dalam pemberlakuan hukum qishash, karena ‘illatnya sama-sama
pembunuhan yang disengaja dengan unsur permusuhan. Qiyas khafi ini hanya
terdapat pada qiyas adna.

Pengertian qiyas jali dan khafi seperti yang telah diuraikan diatas adalah
menurut pendapat Jumhur ulama’ ushul fiqh. Sementara itu para ulama’
kalangan Hanafiyyah memberi definisi bahwa qiyas jali adalah qiyas yang
‘illatnya jelas, sehingga cepat dipahami dari konteks kalimatnya. Sedangkan
qiyas khafi adalah qiyas yang ‘illatnya tidak jelas dan tidak dapat segera
ditangkap. Qiyas khafi ini menurut mereka identik dengan istihsan. Contoh,
menqiyaskan waqaf tanah dengan sewa-menyewa, seperti yang akan
dijelaskan pada pembahasan istihsan nanti.

Pembagian lain dari qiyas adalah dilihat dari segi persamaan cabang
kepada pokok. Dalam hal ini Imam al-Syafi’i seperti yang dikutip oleh
Muhammad Abu Zahrah – membaginya kepada dua bagian, yaitu :
1. Qiyas makna
Yaitu qiyas yang cabangnya hanya disandarkan kepada pokok
yang satu. Hal ini dikarenakan makna dan tujuan hukum cabang sudah
tercakup dalam kandungan hukum pokok, oleh karena itu korelasi antara
keduanya sangat jelas dan tegas. Misalnya menqiyaskan memukul orang tua
kepada perkataan “ah” seperti yang telah di jelaskan sebelumya.

2. Qiyas syibh
Yaitu qiyas yang cabangnya disandarkan kepada pokok yang
lebih dari satu. Dalam hal ini seorang mujtahid harus menyandarkan cabang
kepada pokok yang lebih dekat dan lebih sesuai dengan tujuan syara’.
Misalnya mengenai minuman yang terbuat dari perasan tebu. Kalau ingin
mengetahui hukum nya, seorang mujtahid harus menyandarkannya kepada
pokok. Dalam hal ini terdapat banyak pokok yang bisa menjadi sandaran.
Antara lain kepada khamr, dengan pertimbangan bahwa perasan tebu pada
tahap tertentu bisa memabukkan. Atau disandarkan kepada minuman biasa
yang mubah, dengan pertimbangan bahwa menurut tabiatnya perasan tebu
tidak memabukkan.

Dengan adanya persepsi yang berbeda tentang penyandaran cabang


kepada pokok tersebut maka hal ini menjadi salah satu faktor munculnya
perbedaan pendapat dikalangan ulama’ fiqih.

D. Kehujjahan Qiyas
Dikalangan ulama’ terdapat perbedaan pendapat mengenai bisa tidaknya qiyas
dijadikan metode penggalian hukum islam. Secara garis besar perbedaan tersebut
dikategorikan menjadi dua kelompok, yaitu :

1. Kelompok yang berpendapat bahwa qiyas bisa dijadikan metode dan hujjah
dalam hukum – hukum syara’ yang bersifat amaliyyah. Pendapat ini
diketengahkan oleh Jumhur ulama’ ushul fiqih.
2. Kelompok yang berpendapat bahwa qiyas tidak bisa dijadikan metode dan
hujjah dalam hukum syara’. Pendapat ini diketengahkan antara lain oleh
madzhab al-Dhahiri. Dalam kaitan ini Ibnu Hazm secara tegas mengatakan
bahwa tidak diperbolehkan pembentukan hukum agama dengan metode qiyas,
dan produk yang dihasilkan dari qiyas adalah batal.

Alasan kelompok pertama antara lain :


a) Firman Allah pada surat al-Nisa’ ayat 59 :
‫ٰ ٓيا َ ُّي َها الَّ ِذي َْن ٰا َم ُن ْٓوا اَطِ ْيعُوا هّٰللا َ َواَطِ ْيعُوا@ الرَّ س ُْو َل َواُولِى ااْل َمْ ِر‬
‫ازعْ ُت ْم ِفيْ َشيْ ٍء َف ُر ُّد ْوهُ ِا َلى هّٰللا ِ َوالرَّ س ُْو ِل ِانْ ُك ْن ُت ْم‬ َ ‫ِم ْن ُك ۚ ْم َف ِانْ َت َن‬
‫ࣖ ُتْؤ ِم ُن ْو َن ِباهّٰلل ِ َو ْال َي ْوم ااْل ٰ خ ۗ ِِر ٰذل َِك َخ ْي ٌر وَّ اَحْ َسنُ َتْأ ِو ْياًل‬
ِ
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.
Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya.”

Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan kepada orang-orang mukmin bila


terjadi perselisihan pendapat perihal suatu peristiwa yang tidak ditemukan
hukumnya dalam Al-Qur’an , al-Sunnah, dan putusan dari orang-orang yang
diserahi kekuasaan, maka hendaklah mengembalikan suatu peristiwa tersebut
kepada Allah dan Rasuln-Nya. Tidak diragukan lagi bahwa menyamakan
hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya kepada peristiwa yang sudah
ada nash nya lantaran adanya persamaan “Illat” hukumnya adalah termasuk
mengembalikan suatu peristiwa kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan inilah
proses qiyas.

b) Hadits Muadz ibn Jabal :

Hadits ini menerangkan pengakuan Rasulullah saw. Terhadap bolehnya


berijtihad jika tidak didapati nash Al-Qur’an maupun al-Hadits. Dan tidak
diragukan lagi bahwa qiyas merupakan bagian dari ijtihad. Bahkan sebagian
dari ulama’ Ushul Fiqh mengidentikkan qiyas dengan ijtihad.

Sedangkan alasan kelompok kedua (yang menolak kehujjahan qiyas), antara


lain :

a) Firman Allah pada surat al-Nahl ayat 89 :


َ ‫ث ِفيْ ُك ِّل ا ُ َّم ٍة َش ِه ْي ًدا َع َلي ِْه ْم مِّنْ اَ ْنفُسِ ِه ْم َو ِجْئ َنا ِب‬
‫ك‬ ُ ‫َو َي ْو َم َنب َْع‬
َ ‫ْك ْالك ِٰت‬
‫ب ِت ْب َيا ًنا لِّ ُك ِّل َشيْ ٍء وَّ ُه ًدى‬ َ ‫َش ِه ْي ًدا َع ٰلى ٰ ٓهُؤ اَل ۤ ۗ ِء َو َن َّز ْل َنا َع َلي‬
‫ࣖ وَّ َرحْ َم ًة وَّ ُب ْش ٰرى ل ِْلمُسْ لِ ِمي َْن‬
Artinya : “Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Kami bangkitkan pada setiap umat
seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri, dan Kami datangkan engkau
(Muhammad) menjadi saksi atas mereka. Dan Kami turunkan Kitab (Al-
Qur'an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta
rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri (Muslim).”
Ayat ini menurut mereka, menegaskan bahwa Al-Qur’an sudah menjelaskan
segala peristiwa yang ada sehingga tidak perlu lagi ada qiyas.

b) Firman Allah pada surat al-Isra’ ayat 36 :


ٰۤ ُ
َ ‫ك َك‬
‫ان‬ َ ‫ول ِٕى‬ ‫ص َر َو ْالفَُؤ ا َ[د ُكلُّ ا‬
َ َ‫ك بِ ٖه ِع ْل ٌم ۗاِ َّن ال َّس ْم َع َو ْالب‬
َ َ‫ْس ل‬
َ ‫ف َما لَي‬ ُ ‫َواَل تَ ْق‬
‫َع ْنهُ َم ْسـ ُْٔواًل‬

Artinya : “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena
pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta
pertanggungjawabannya.”

Ayat ini menurut mereka, melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu
yang tidak diketahui secara pasti, dan qiyas tergolong pada kategori itu. Oleh
karena itu mengamalkan qiyas dilarang berdasarkan ayat tersebut.

BAB III
KESIMPULAN

Qiyas menurut pengertian bahasa berarti “mengukur dan menyamakan sesuatu”.


Sedangkan menurut pengertian istilah ahli ushul fiqih, qiyas berarti menyamakan hukum
sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya karena adanya persamaan ‘illat antara keduanya.
Para Ulama’ yang berprinsip akan kebolehan qiyas sebagai metode dan hujjah dalam
hukum syara’, mereka menetapkan adanya rukun qiyas: Adanya pokok, adanya cabang,
adanya hukum asal, adanya ‘illat.
Macam – macam Qiyas Dari segi perbandingan ‘illat, qiyas dibagi menjadi tiga
bagian , yaitu : Qiyas Aula, Qiyas Masawi, Qiyas Adna
Dari segi jelas dan tidak jelasnya ‘illat sebagai landasan hukum, qiyas dibagi menjadi
dua bagian : Qiyas jali, dan Qiyas khafi.
Pembagian lain dari qiyas adalah dilihat dari segi persamaan cabang kepada pokok.
Dalam hal ini Imam al-Syafi’i seperti yang dikutip oleh Muhammad Abu Zahrah –
membaginya kepada dua bagian, yaitu : Qiyas makna dan Qiyas syibh.
Kehujjahan Qiyas dikalangan ulama’ terdapat perbedaan pendapat mengenai bisa
tidaknya qiyas dijadikan metode penggalian hukum islam. Secara garis besar perbedaan
tersebut dikategorikan menjadi dua kelompok, yaitu :
Kelompok yang berpendapat bahwa qiyas bisa dijadikan metode dan hujjah dalam
hukum – hukum syara’ yang bersifat amaliyyah. Pendapat ini diketengahkan oleh Jumhur
ulama’ ushul fiqih.
Kelompok yang berpendapat bahwa qiyas tidak bisa dijadikan metode dan hujjah
dalam hukum syara’. Pendapat ini diketengahkan antara lain oleh madzhab al-Dhahiri. Dalam
kaitan ini Ibnu Hazm secara tegas mengatakan bahwa tidak diperbolehkan pembentukan
hukum agama dengan metode qiyas, dan produk yang dihasilkan dari qiyas adalah batal.

Anda mungkin juga menyukai