Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

QIYAS
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pembimbing : Zulham Wahyudi, MA

Oleh:

1. Surya Al-Mubarak : (2042021012)

2. Agil Munawar : (2042021026)

3. Laina Miska : (2042021023)

4. Nur Asiah : (2042021007)

RUANG : 9.2.04
JURUSAN HUKUM PIDANA ISLAM
IAIN LANGSA (ZAWIYAH COT KALA LANGSA)
TAHUN AJARAN 2021/2022 GANJIL
KATA PENGANTAR

Puji syukur marilah kita ucapkan atas kehadirat Allah SWT, yang mana
atas rahmat dan karunia-Nya kita masih diberikan kesempatan untuk hidup dan
masih di izinkan untuk menikmati dan melihat keindahan ciptaan-Nya. Shalawat
beserta salam marilah kita kirimkan kepada nabi kita Muhammad SAW, yang
mana beliau telah membawa umatnya dari zaman kebodohan menuju zaman yang
penuh ilmu pengetahuan seperti sekarang ini.
Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing,
yang telah memberikan ilmunya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
ushul fiqih ini. Dan apabila makalah ini masih kurang sempurna, penulis meminta
kritik dan saran kepada pembaca. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dinamika hukum Islam dibentuk oleh adanya interaksi antara wahyu dan
rasio. Itulah yang berkembang menjadi ijtihad; upaya ilmiah menggali dan
menemukan hukum bagi hal-hal yang tidak ditetapkan hukumnya secara tersurat
(manshus) dalam syariah (al-kitab wa sunnah).Dengan demikian, sumber hukum
Islam terdiri atas: al-Qur'an, Sunnah, Ijma' dan akal. Selain dari sumber hukum
primer tersebut, dikenal juga adanya sumber-sumber sekunder (al-mashadir al-
tab'iyyah), yaitu: syariah terdahulu (syar' man qablana). Pendapat sahabat Nabi
(qaul al-shahabi), kebiasaan/adat-istiadat (al'urf), Istihsan, Istishlah dan Istishhab.

Seiring perkembangan masa, semakin banyak problem yang kita dapatkan


dalam proses interaksi manusia. Kita ketahui bahwa al- qur’an dan hadist
merupakan sumber hukum yang masih universal penjelasannya. Sehingga
dibutuhkan ijtihad para mujtahid. Tidak bisa dipungkiri bahwa amalan para
mujtahid masih sangat diperlukan dalam menginstinbathkan hukum syara’. Sebab
ada hal-hal tertentu dalam hukum syara` yang memang masih butuh penjelasan
lebih lanjut.

Biasanya yang menjadi objek dari qiyas ini adalah hal-hal yang berhubungan
dengan cabang bukan pokok dari suatu perkara hukum syara` Biasanya untuk hal
yang pokok telah dicantumkan hukumnya dalam al-quran maupun al-hadits.
Qiyas menjadi sangat penting mengingat makin banyak permasalahan baru dalam
dunia islam yang berkaitan dengan syara` seiring dengan perkembangan zaman.
Untuk itu penganalogian masalah hukum dengan tetap memperhatikan al-quran
dan hadits sebagai acuan pokok menjadi sangat penting untuk menghindari
perpecahan dan kebutaan umat terhadap perkara hukum syara`. Maka diperlukan
Qiyas sebagai sumbe rhukum islam yang ke 4. olehnya itu, pada pembahasan
makalah kami ini akan memaparkan sedikit tentang qiyas.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas maka kami merumuskan masalahnya


pada hal-hal sebagai berikut :

1. Pengertian qiyas

2. Rukun-Rukun Qiyas

3. Dalil-Dalil Kehujjaan Qiyas

4. Macam - Macam Qiyas

5. Keraguan-Keraguan Penolakan Qiyas

6. Syarat-Syarat Qiyas

7. Tempat Berlakunya Qiyas


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Qiyas

Menurut bahasa, qiyas berarti “menyamakan” sedangkan menurut istilah ahli


ushul, qiyas adalah menyamakan hukum suatu perkara yang belum ada
hukumnya dengan hukum perkara lain yang sudah di tetapkan oleh nash, karena
adanya persamaan dalam illat (alasan) hukum, yang tidak bisa di ketahui dengan
semata-mata memahami lafad-lafadnya dan mengetahui dilalah-dilalah
bahasanya.

Sebenarnya, pengertian qiyas syar‟i di atas di ambil dari pengertian


bahasanya. Sebab qiyas menurut bahasa, berarti menyamakan. Perbedaan antara
dua defenisis di atas adalah bahwa defenisi yang pertama menjelaskan bahwa
qiyas dengan pengertian yang hakiki. Qiyas dalam pengertian ini adalah
merupakan hujjah ilahiyah yang datang dari sisi Allah untuk mengetahui hukum-
Nya, dan bukan perbuatan yang di datangkan bagi seseorang.

Adapun defenisi kedua,ia menegaskan makna qiyas secara majazi, yang


merupakan amalan para mujahid, yang di tegakkan untuk membistimbathkan
hukum syara‟. Illat qiyas itu tidak dapat di ketahui dalam semata-mata
memahami lafad dan maknanya tetapi memerlukan pada pencerahan pikiran
dalam memperhaikan, beristidlal dan beristinbath hukum secara akal.

B. Rukun-Rukun Qiyas

Dari memahami defenisi qiyas di atas, maka dapat di mengerti bahwa qiyas
itu harus terdiri dari empat perkara, yang sekaligus merupakan rukun-rukunnya,
yaitu :

1. Ashl (pokok) yaitu obyek atau masalah yang sudah ada hukumnya,
berdasarkan ketetapan nash (Al -qur‟an atau As-sunnah).
2. Far‟u (cabang) yaitu obyek (masalah) yang akan di tentukan hukumnya, yaitu
masalah yang belum ada hukumnya dalam nash.

3. Illat yaitu sifat yang menjadi motif (alasan) dalam menentukan.

4. Hukum Al-ashl, yaitu hukum yang telah di tetapkan oleh nash.

Contoh: “Allah telah mengharamkan khamar dalam Al-qur‟an. Menurut


mazhab Hanafi Khamar adalah perasan anggur yang tidak di masak tetapi di
biarkan sampai lama, sehingga keluar buihnya.

ayat tersebut adalah : Dalam contoh di atas, khamar merupakan perkara


pokok yang telah tercantum hukumnya dalam nash, ia di pakai untuk
menyamakan. Sedang nabidz merupakan furu’ (perkara cabang) yang hukumnya
tidak ada dalam nash. Ia di samakan hukumnya dengan khamar yang ada
ketetapan hukumnya dalam nash.

Hukum haram merupakan hukum yang telah di tetapkan pada perkara


pokok (khamar). Ia di berlakukan terhadap perkara furu‟ (nabidz). Adapun
perkara furu‟; yakni keharaman nabidz, maka ia merupakan kesimpulan dari qiyas
(membandingkan) dua perkara di atas.

C. Dalil-Dalil Kehujjahan Qiyas

Jumhur ulama telah mendatangkan dalil-dalil dari syariat untuk mendukung


kehujjahan qiyas, dan sekaligus membantah golongan-golongan yang
mengingkari dan peniadaan kehujjahan qiyas dalam syari’at golongan terakhir ini
disebut nuffatul qiyas (penolak qiyas).

Berikut ini adalah dalil-dalil kehujjahan qiyas :

1. Bahwa syari‟at islam datang untuk mengatur kehidupan manusia;


memelihara hubungan mereka secar khusus maupun yang umum di antara
individu dan masyarakat;
Allah yang maha suci tidaklah mengutus para nabi dan rasul kepada
manusia kecuali sebagai rahmat alam semesta.Allah berfirman:

Artinya: “Dan tidaklah kami mengutus kamu ( muhammad ) malainkan


sebagai rahmat bagi alam semesta (al-anbiya‟:107)”.

2. Bahwa al-qur’an telah mempergunakan qiyas dalam mencukupkan dan


menetapkan hujjah serta menjelaskan sebagai hukum dan menetapkannya
jika sama, dan menghilangkannya jika berbeda.

3. Bahwa al-qur’an telah banyak menyuruh manusia untuk mengambil


I’tibar (pelajaran) dalam berbagai peristiwa.

4. Bahwa para sahabat telah berjima’ atas kehujjahan qiyas.

5. Bahwa nash-nash al-qur’an dan as sunnah adalah terbatas dan sudah


selesai sedangkan peristiwa-pristiwa atau kejadian-kejadian zaman tiada
henti-hentinya terjadi.

D. Macam - Macam Qiyas

Qiyas Aula

Yaitu bahwa illat yang terdapat pada qiyas (furu’) lebih aula (utama) dari
pada illat yang ada pada tempat mengqiyaskan (ashl). Seperti mengqiyaskan
memukul kepada kata-kata “ah” pada ibu bapak, karena illatnya menyakiti
maka hukumnya sama-sama berdosa.

Qiyas Musaway

Yaitu illat yang terdapat pada yang qiyaskan (furu’) sama dengan illat yang
ada pada tempat mengqiaskan (ashl). Karena itu hukum keduanya sama.
Seperti, mengqiaskan membakar harta anak yatim dengan memakan harta
anak yatim, karena illatnya sama-sama menghabiskan (melenyapkan).
Qiyas Dalalah

Yaitu illat yang ada pada qiyas menjadi dalil (alasan) bagi hukum tetapi tidak
diwajibkan baginya (furu’). Seperti, mengqiaskan wajib zakat pada harta
anak-anak kepada harta orang dewasa yang telah sampai senisab, tetapi bagi
anak-anak tidak wajib mengeluarkan zakatnya diqiaskan pada haji tidak di
wajibkan atas anak-anak.

Qiyas Syabab

Yaitu menjadikan yang diqiaskan (furu’) dikembalikan kepada antara dua

ashl yang lebih banyak persamaan antara keduanya. Seperti mengqiyaskan


budak dengan orang merdeka (manusia), atau budak dengan benda (budak
dapat dijual, diwaqafkan, diwariskan dan jaminan). Jadi furu’nya budak dapat
dikembalikan kepada dua ashl : manusia merdeka dan harta kekayaan, tetapi
budak itu lebih banyak persamaaannya dengan harta benda,. Jadi qiyasnya
budak lebih tepat kepada harta kekayaan.

Qiyas Adwan

Yaitu yang diqiyaskan (furu’) terhimpun pada hukum yang ada pada tempat
mengqiaskan, yaitu mengqiaskan memakai perak bagi laki-laki kepada
memakai emas. Menurut sebagian ulama hukumnya haram karena sabda nabi

E. Keraguan-Keraguan Penolak Qiyas

An-Nadhdham dari kalangan mu’tazilah, dan segolongan ulama syiah


berpendapat bahwa qiyas tidaklah termaksuk hujjah dalam syari‟at islam
dasar mereka adalah:

1. Bahwa qiyas dalam syari’at (islam) tidak di perlukan. Sebab tidak ada
tempat padanya. Nash-nash yang ada di dalam Al-qur‟an ada yang
menjelaskan sebagian hukum sesuatu dengan terang dan jelas. Seperti yang
menyatakan wajib, haram, sunnat, makruh dan mubah.
2. Bahwa qiyas itu di tegakan di atas dhonni, sebagaimana di nyatakan
Alqur’an dan tidak boleh di amalkan, Allah berfirman: artinya : “janganlah
kamu mengikuti sesuatu yang kamu sendiri tidak mempunyai pengetahuan
tentang hal itu”.

3. Bahwa Allah, sebagaimana yang di katakana An-nadhdhom, telah


membedakan di antara dua hukum yang serupa, yaitu ketika memotong
tangan pencuri, tetapi tidak memotong tangan perampok. Memotong tangan
jika yang di curi itu ada empat dinar, tetapi menjadikan diyatnya lima ratus
dinar dan mewajibkan hukuman bagi orang yang menuduh orang lain
berzinah tetapi tidak mewajibkan hukuman atas orang yang menuduh kepada
orang lain

4. Dengan adanya perbedaan-perbadaan hukum di antara masalah-masalah


ini adalah karena tidak adanya kesamaan illat yang menjadi dasar hukumnya.

F. Syarat-Syarat Qiyas

Qiyas itu di tegakan di atas empat rukun qiyas , yaitu perkara ashal, perkara
furu’, hukum ashal dan illat hukum.

1. Syarat hukum ashal

a) Hukum ashal hendaknya di tetapkan oleh Al-Qur‟an seperti keharaman

khamar sebagaimana yang telah di jelaskan sebelumnya atau hukum

ashal hendaknya di tetapkan oleh hadist

b) Hukum ashal itu hendaknya dapat di salami akal (ma’kulul ma’na).

Maksudnya akal mampu menentukan illatnya seperti keharaman

khamar.

c) Hukum ashal hendaknya bukan merupakan hukum yang khusus. Sebab

hukum yang khusus tidak bisa di berlakukan kepada furu‟ dengan cara
qiyas.

2. Syarat-syarat furu’

a) Tidak ada nash dan ijma yang menetapkan hukum furu‟ sebab qiyas
ketika terdapat nash atau ijma yang bertentangan dengannya, maa qiyas
tersebut merupakan qiyas yang batal (fasid) dan berdasarkan kepada
illat yang tidak di benarkan.

b) Antara furu‟ dan ashal harus sama illat hukumnya, tidak ada berbedaan
antara keduanya, sehingga tidak ada mengqiyaskan sesuatu dengan
berbeda.

3. Syarat-syarat illat

Syarat-syarat illat yang telah di sepakati para ulama ushul itu ada empat
macam:

a) Illat itu berupa sifat yang jelas.

b) Illat itu harus berupa sifat yang sudah pasti.

c) Illat itu harus berupa sifat yang sesuai (munasib) dengan hikmah hukum

d) Illat itu bukan hanya terdapat pada asal (pokok) saja.

G. Tempat Berlakunya Qiyas

Di lihat dari sebagian ulama bahwa qiyas berlaku pada semua hukum
syari‟ah, meskipun dalam perkara hudud, kafarat, taqditar ( hukum-hukum yang
telah di tetapkan ) dan hukum-hukum perkecualian, apabila syarat-syaratnya
sudah terpenuhi. Sebab dalil yang mendukung atas kehujjahannya tidak
membedabedakan antara satu macam hukum dengan hukum-hukum yang lain.
Dari golongan Hanafiayah berpendapat bahwa qiyas tidak berlaku pada
masalah hudud ( pidana yang telah di tetapkan nash ) sebab ia termaksuk batas
yang telah di tetapkan Allah, yang tidak bisa di ketahui illatnya oleh akal.
Sedangkan qiyas juga syubhat, sebab ia menunjukan pada hukum dengan cara
yang dhonni, bukan qat‟hi. Maka uqubat yang telah di wajibkan tidak bisa
ditetapkan kecuali dengan dalil yang qat‟hi.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Qiyas adalah menyamakan hukum suatu perkara yang belum ada


hukumnya dengan hukum perkara lain yang sudah di tetapkan oleh nash,
karena adanya persamaan dalam illat (alasan) hukum, yang tidak bisa di
ketahui dengan semata-mata memahami lafad-lafadnya dan mengetahui
dilalah-dilalah bahasanya. Dengan demikian qiyas bisa dipandang sebagai
prosese berfikir dalam rangka mengeluarkan hukum (istimbath),
disamping itu qiyas juga sebagai salah satu dalil yang dapat dijadikan
petunjuk adanya hukum oleh suatu kaidah yang sudah diakui kekuatan dan
kebenarannya
DAFTAR PUSTAKA

Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh. Jakarta : Pustaka Firdaus. 2007. Hakim,
Syeh Abdul hamid, Mabadiul Awaliyah. Rifa’i, Moh. 1978. Ilmu Fiqih Islam
Lengkap, Semarang: PT Karya Toha Putra Semarang. Syarifuddin, Amir. 2011.
Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.

Anda mungkin juga menyukai