Disusun Oleh :
Alhamdulillah dengan rasa syukur kehadirat ALLAH SWT dengan rahmat dan
inayah-Nya makalah ini telah selesai kami susun sebagai penunjang dan
para sahabatnya, para tabi’in dan tabi’atnya, juga tak lupa kepada kita selaku
umatnya. Amin.
Makalah ini kami susun , sebagai penunjang tambahan dalam kegiatan belajar
Kami ucapkan terima kasih kepada Bapak NAJIH CHOLIL MA.LC yang telah
makalah ini semoga kegiatan belajar dalam memahami dan dapat lebih
ini belum bisa dikatakan mencapai tingkat kesempurnaan, untuk itu kritik dan
saran tentu kami butuhkan . mohon maaf apabila ada kesalahan cetak atau
i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR...............................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................ii
A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................1
A. Kesimpulan....................................................................................................10
B. Saran..............................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................12
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai hamba Allah yang beriman, sudah selayaknya kita mengerti dan
melaksanakan apa yang Allah kehendaki, sekaligus menjauhi apa yang tidak
diridhoi Allah. Untukmengetahui dan melaksanakan kehendak Allah kita harus
mengetahui hukum Islam yang telah ada. Namun, hukum Islam menghadapi
tantangan lebih serius, terutama pada abad kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Untuk menjawab berbagai permasalahan baru yang berhubungan dengan
hukum Islam, para ahli yang sudah tidak bisa lagi sepenuhnya mengandalkan ilmu
tentang fiqih, hasil ijtihad di masa lampau. Alasannya, karena ternyata warisan fiqih
yang terdapat dalam buku-buku klasik, bukan saja terbatas kemampuannya dalam
menjangkau masalah-masalah baru yang belum ada sebelumnya. Oleh karena itu,
umat Islam perlu mengadakan penyegaran kembali terhadap warisan fiqih. Dalam
konteks ini, ijtihad menjadi sebuah kemestian dan metode ijtihad mutlak harus
dikuasai oleh mereka yang akan melakukannya. Metode ijtihad itulah yang dikenal
dengan ushul fiqih.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Ilmu Ushul Fiqh
2. Apa saja Objek Kajian Ilmu Ushul Fiqh
3. Apa kegunaan Ilmu Ushul Fiqh
4. Bagaimana sejarah perkembangan Ilmu Ushul Fiqh
1
BAB I
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu Ushul Fiqh
Secara etimologi, kata Ushul fiqh terdiri dari dua kata: ushul dan fiqh.
Ushul adalah jamak dari kata ashlun yang berarti sesuatu yang menjadi
pijakan segala sesuatu. Sekedar contoh, pondasi rumah disebut asal karena
ia menjadi tempat pijak bangunan diatasnya.
Sementara, al-fiqh sebagaimana dijelaskan di atas, secara etimologi
berarti mengerti atau memahami. Terma al-Fiqh berasal dari kata
faqqaha yufaqqhihu fiqhan yang berarti pemahaman. Pemahaman
sebagaimana dimaksud di sini, adalah pemahaman tentang agama Islam.
Dengan demikian, fiqh menunjuk pada arti memahami agama Islam
secara utuh dankomprehensip.
Kata fiqh yang secara bahasa berarti pemahaman atau pengertian ini
diambil dari firman Allah Swt:
ولوال رهطك لرجمنك وما,, مما تقول و إنا لنراك فينا ضعيف,,قالوا يشعيب ما نفقه كثيرا
Kedua, al-ahkam adalah jamak dari kata al-hukm yang memiliki arti
putusan. Al-hukm berarti ketentuan-ketentuan Syari’ah yang berkaitan
dengan perbuatan manusia yang berasal dari Allah Swt. seperti wajib,
sunah, makruh, haram dan mubah.
Ketiga, as-syar’iyyah merupakan sifat atau adjektif hukum-hukum
yang berarti bersifat syar’i. Karena itu, pengetahuan tentang hukum-
hukum yang bersifat aqli tidak disebut fiqh. Demikian juga, pengetahuan
tentang hukum-hukum yang bersifat inderawi tidak juga disebut
sebagaifiqh.Demikianhalnya,hukumpositifyangdibuat oleh sebuah
pemerintah dan hukum adat yang disepakati di suatu daerah tidak
termasuk fiqh.
Kelima, kata al-muktasab berarti bahwa fiqh itu digali dengan usaha
yang sungguh-sungguh. Dengan demikian, hukum fiqh syar’i amaly
yang tidak digali dengan usaha yang sungguh-sungguh,dalam definisi
ini,tidak termasuk fiqh. Karena itu, pengetahuan kita tentang sholat,
zakat, kewajiban haji, dan ketentuan yang bersifat dlaruri, tidak termasuk
fiqh.
Terakhir, al-adillah at-tafshiliyyah berarti dalil-dalil yang terperinci. Dalil-
dalil yang ijmaly (bersifat global) tidak termasuk fiqh, melainkan masuk
dalam ranah studi ushul fiqh. Dalil ijmali misalnya ‘am, khas, mujmal,
muqayyad, ijma’, qiyas dan lain sebagainya.
3
Sementara, contoh dalil terperinci misalnya :
Ayat ini adalah dalil yang terperinci tentang kasus ermi tertentu,
yaitu keharaman menikahi ibu dan anak- anak perempuan kandung.
Secara erminology, ushul fiqh menurut beberapa ulama memiliki
beberapa definisi. Misalnya, Tajuddin as- Subki dalam kitab Hasyiyah al-
Bannani, mendefinisikan Ushul Fiqh sebagai:
Artinya: dalil-dalil fiqh yang bersifat global. (Tajudin as-Subki: tt, 32)
Dengan penjelasan ini, jelas bahwa seorang ushuli tidak hanya orang
yang tahu dalil-dalil global, melainkan juga tahu bagaimana menerapkan
dalil-dalil global ini menjadipraktis.
4
Definisi ushul fiqh yang lain misalnya Wahab Khalaf, seorang guru
besar di Mesir, ia mengatakan:
العلم بالقواعد و البحوث التى يتوصل بها الى استفادة االحكام الشرعية العملية المكتسب من
ادلتها التفصيلية
Artinya:‚Kaidah-kaidah dan pembahasan yang digunakan untuk
menggalihukum-hukum syar’i yang bersifat amali yang diambil dari
dalil-dalil yang terperinci1.
1
(WahabKhalaf:1977,12)
2
(Wahab Khalaf,18).
5
Meskipun yang menjadi objek bahasan ushul fiqh ada 4, namun wahbah az-
Zuhaili menjelaskan bahwa yang menjadi inti objek kajian ushul Fiqh adalah
tentang dua hal yaitu dalil-dalil secara global dan tentang al-ahkam (hukum-hukum
syara’) yang menjadi objek bahasan ushul fiqh adalah sifat-sifat esensial dari
berbagai macam dalil dalamkaitannya dengan penetapan sebuah hukum dan
sebaliknya segi sebagaimana tetapnya suatu hukum dengan dalil.
Ini berbeda dengan objek dan ruang lingkup kajian fiqh hukum-hukum
juz’I dan dalil-dalil tafshily. Hukum juz’i adalah hukum partikular yang
sudah menunjuk pada obyek tertentu. Misalnya hukum haram tentang
meminum khamr, makan daging babi, bangkai dan sebagainya. Sementara,
dalil-dalil tafshily adalah dalil yang sudah merujuk pada ketetapan hukum
tertentu. Misalnya dalil wala taqrabuz zina sebagai dalil tafshily hukum
keharaman perbuatan yang mendekati zina.
Lebih dari itu, berdasarkan penetapan para ulama, bahwa para imam
mujtahid terjaga dari kesalahan jika mereka sepakat dalam satu putusan
hukum Islam yang berdasarkan al-Quran, al-Sunnah dan atau qiyas.
Dengan kesepakatan tersebut, muncullah dasar hukum Islam lain, yang
disebut dengan ijma’ (konsensus).
Dari penjelasan di atas, bisa ditarik sebuah pemahaman bahwa dalil
5
(Imam Nahei: 2010, 11).
7
hukum itu ada empat, yaitu: alQuran, al-Sunnah, qiyas dan ijma’. Namun
pada hakekatnya, sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Khudlari Beik
bahwa hukum Islam kembali pada 2 dalil utama, yaitu: al-Quran dan al-
Sunnah.
Jika ada permasalahan baru yang belum ada hukumnya, para sahabat
mencari dalam al-Quran, jika tidak ditemukan hukumnya, mereka cari
dalam sunnah Rasul saw dan jika masih belum mereka dapatkan
hukumnya mereka melakukan ijtihad yaitu sebuah usahauntuk
mengetahui hukum permasalahan baru dengan cara menyamakan
permasalaan baru dengan yang lama yang sudah ada hukumnya dengan
pertimbangan kesamaan ‘illat dan tetap mengacu pada kemaslahatan
umat.
Pernyataan ijtihad sahabat tersebut, sebagaimana digambarkan oleh
sahabat Mua’dz bin Jabal, ketika ia akan diutus oleh Rasul saw menuju
negeri Yaman. Rasul saw berkata kepada Mua’dz, dengan apa kamu akan
memberi keputusan. Mua’dz menjawab, dengan al-Quran, jika tidak aku
temukan maka dengan sunnah Rasul saw dan jika tidak aku temukan maka
aku akanberijtihad.
Ketiga, periode imam mujtahid. Dalam periode ini, muncul para tokoh
mujtahid seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Hambali,
Imam Abu Dawud, dan sebagainya. Para imam ini juga memiliki banyak
pengikut sehingga semakin kokok memperkuat madzhabnya sendiri. Baik
Imam madzhab maupun pengikutnya juga membuat rancang bangun
Ushul Fiqh untuk madzhab mereka.
9
BAB I
PENUTUP
A. Keimpulan
Secara etimologi, kata Ushul fiqh terdiri dari dua kata: ushul dan
fiqh. Ushul adalah jamak dari kata ashlun yang berarti sesuatu yang
menjadi pijakan segala sesuatu. Sekedar contoh, pondasi rumah disebut
asal karena ia menjadi tempat pijak bangunan diatasnya.
Definisi ushul fiqh yang lain misalnya Wahab Khalaf, seorang
guru besar di Mesir, ia mengatakan:
العلم بالقواعد و البحوث التى يتوصل بها الى استفادة االحكام الشرعية العملية المكتسب
من ادلتها التفصيلية
Artinya: ‚Kaidah-kaidah dan pembahasan yang digunakan
untuk menggali hukum-hukum syar’i yang bersifat amali yang
diambil dari dalil-dalil yang terperinci‛.(WahabKhalaf:1977,12)
11
DAFTAR PUSTAKA
Khalaf Wahab, Thn. 1977 Hal. 12,Thn. 1977
Hal. 18
Thn. 1977, Hal. 14
Az-Zuhaily Wahbah, Thn. 2005, Jilid I,Hal. 38-39
Nahei Imam, Thn. 2010,Hal. 11
12