Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Metode Istinbath Hukum
Himmatunnisa (11140340000037)
FAKULTAS USHULUDDIN
JAKARTA
2017
PENDAHULUAN
Ushul fiqih adalah ilmu hukum dalam Islam yang mempelajari kaidah-kaidah, teori-teori dan
sumber-sumber secara terperinci dalam rangka menghasilkan hukum Islam yang diambil dari
sumber-sumber tersebut. Ushul fiqh telah memberikan cara atau metode mengeluarkan hukum
dari dalil-dalilnya yaitu tentang apa yang dikehendaki oleh perintah dan apa pula yang
dikehendaki oleh larangan.
Didalam kehidupan manusia selalu terjadi perubahan sosial sehingga selalu muncul persoalan-
persoalan baru didalam masyarakat. Untuk memecahkan persoalan yang beru belum ada nash
yang jelas diperlukan istimbath hukum. Istimbath artinya mengeluarkan hukum-hukum baru
terhadap permasalahan yang muncul dalam masyarakat dengan melakukan ijtihad yang
didasarkan kepada dalil yang ada dalam al-qura’an dan sunnah.
Bila timbul suatu permasalahan yang timbul di dapati hukumnya dalam al-quran dan hadis maka
harus melakukan istinbath dengan berijtihad menggunakan ra’yu untuk mendapatkan suatu
hukum,dengan berpedoman kepada maksud syara’ dan kaidah-kaidah umum untuk menetapkan
hukum yang ada dalam qur’an dan hadist.
Ulama ushul dalam melakukan istinbath hukum itu didasarkan kepada dalil ra’yu dengan alasan
firman Allah yang berbunyi :
يِاَجِ َّأهيِسيهاَجِ َّالإذيِن َّآمنكوُا َّلَ َّتهأمككلكوُا َّأهموُالهككم َّبسيَسنهككسم َّبإاَجِلمباَجِإطسإل َّإلَ َّأهمن َّتهككسوُهن َّإتساَجِرة َّعسن َّتهسرا ض إ
ض َّممنككسمم َّهولَ َّتهسمقتْكسلكسوُا َّأهنَمسكفهسسككمم َّإلن َّاللهه هه هم ه م ه م هم م ه ه ه ه ه
(٢٩)َّ ِهكاَجِهن َّبإككمم َّهرإحيَةماَج
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu [287]; Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu.
Dalam firman diatas terlihat adanya ancaman bagi orang yang mengikuti hawa nafsu dalam
menetapkan suatu hukum,sebab ada perintah untuk mengembalikan masalah kepada apa yang
telah disyari’atkan Allah dan Rasulnya,dengan menggunakan penelitian seksama terhadap
masalah apa yang nashnya tersembunyi atau tidak tegas melalui kaidah-kaidah umum dengan
menyesuaikan pada makna syara’.
PEMBAHASAN
Secara garis besar, lafadz dari segi kejelasan artinya, terbagi kepada dua macam:
1. Lafadz yang telah terang artinya dan jelas penunjukkannya terhadap makna yang
dimaksud, sehingga atas dasar kejelasan itu beban hukum dapat ditetapkan tanpa
memerlukan penjelasan dari luar.
2. Lafadz yang belum terang artinya dan belum jelas penunjukannya terhadap makna yang
dimaksud kecuali dengan penjelasan dari luar lafadz.1
- Lafadz yang Terang Artinya
Ulama ushul berpendapat dalam hal pembedaan tingkat antara zhahir dan nash, yaitu:
Kalangan hanafiyah, membagi lafal dari segi jelasnya kepada empat tingkatan, yaitu zahir, nash,
mufassar, dan muhkam.
A. Zhahir
Zhahir adalah lafal yang menunjukan suatu pengertian secara jelas tanpa memerlukan
penjelasan dari luar, namun bukan pengertian itu yang menjadi maksud utama dari
pengucapannya, karena terdapat pengertian lain yang menjadi maksud utama pihak yang
mengucapkannya. Jadi, pada redaksi tertentu terdapat dua pengertian, salah satunya
pengertian yang ditunjukan oleh redaksi tersebut tetapi bukan merupakan tujuan utama dari
pengucapannya dan makna inilah yang dikenal dengan makna zahir, dan makna yang satu
lagi adalah makna yang enjadi tujuan utama dari ucapan itu yang dikenal nash seperti akan
dijelaskan pada uraian selanjutnya.
1 Prof.DR.H.Amir Syarifuddin, ushul fiqih jilid 2, Ed.1, Cet ke 4, (Jakarta: Kencana, 2008), h.3.
Contoh berikut ini akan mempejelas pengertian tersebut. Dalam surat al-Baqarah ayat
275 Allah berfirman :
.... Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba... (Qs al-Baqarah /
2:275)
ث ب ب ل ن ث ن ب ب ث ل ل ب ر ب ب ب ل ل ب ن ب ب ب ل ل ن ب ب ب ن ل ل ن ث ب ل ب ث ب ر ذب
َس ِّ ذرلببك رببأننلهثم قباَلوُا رإنبمباَ الببثيبلع رمثبلل ال رررببباالرذين يأكلوُن ال ررباَ ل يقوُموُن رإل كماَ يقبوُم البرذيِ يتخبطبه الشبيطاَن رم ن الب ر
ب ل ذب ب ن ب ب ب ب ثب بب ب ة ب ن ث ب
بوُأبح بنل الل بله الببثي ببع بوُبح بنربم ال ررربب بباَ ِّ فبم بثن بج بباَبءله بمثوُرعظ بة رم بثن برررب بره ف بباَنتبهذى فل بله بم بباَ بس بلف بوُأثم بلرله رإل ببىَ الل بره ِ بوُبم بثن بع بباَبد فأوُلرئ ببك
ب
صبحاَلب النناَرر ِ لهثم رفيِبهاَ بخاَرللدوُن بأ ث
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli
itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba),
maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
Arti zahir yang cepat dapat ditangkap dari ayat tersebut adalah kehalalan jual beli dan
keharaman riba. Tetapi bukan pengertian itu yang dimaksud menurut konteks ayat tersebut.
Soal haram riba dan halal jual beli sudah diketahui sebelumnya arti menurut konteksnya
adalah sebagai jawaban atas pernyataan orang musrik yang menyamakan jual beli dengan
riba yang dibeberkan dalam penggalan ayat sebelumnya.
Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
sesungguhnya jual beli sama dengan riba ... (Qs. Al-Baqarah/2:275)
Kaidah yang berlaku disini adalah wajib mengamalkan pengertian zahir dari suatu ayat
atau hadis selama tidak ada dalil atau qarinah yang memaingkan kepada pengrtian yang lain.
Jika ada qarinah yang menunjukan pengertian lainl lafal zhahir bisa dita’wil (dipalingkan
pengertiian lafal itu dari maknanya yang zhahir kepada makna lain yang tidak zahir atau
tidak tepat cepat dapat ditangkap).
B. Nash
Pengertian nash di sini tidak berarti dalil syara’ dalam bentuk tertulis seperti Al-Qur’an
atau hadist dan bukan pula nash dalam arti Fiqih Mazhab yaitu qaul (pendapat) imam
mujtahid yang dijadikan dasar ber ijtihad bagi pengikut mazhab, tetapi kedudukan lafadz
dari segi kejelasan artinya.
Ulama Hanafiyah yang membedakan antara zhahir dengan nash memberikan definisi
terhadap nash, sebagai berikut:
Lafaz yang dengan sighatnya sendiri menunjukkan makna yang dimaksud secara langsung
menurut apa yang diungkapkan, dan ada kemungkinan ditakwilkan.2
Nash, yaitu apa yang ditunjukkan oleh sighatnya itu sendiri terhadap arti yang dimaksud
dari pokok pembicaraan. Dan mengandung takwil. Apabila maksud itu cepat difahami dari
lafadznya dan tidak terhalang memahaminya terhadap urusan luar, adalah maksud pokok
pembicaraan.3
Nash itu dalam penunjukkannya terhadap hukum adalah lebih kuat dibandingkan dengan
zhahir, karena pennjukkan nash lebih terang dari segi maknanya. Nash itulah yang dituju
menurut uangkapan “asal”, sedangkan zhahir bukanlah tujuan langsung dari pihak yang
mengungkapkannya. Oleh karena itu makna yang di tuju secara langsung itu lebih mudah
untuk dipahami dibandingkan dengan makna lainnya yang langsung. Atas dasar itu,
apabila terdapat pertentangan makna antara nash dengan zhahir dalam penunjukkannya,
maka didahulukan yang nash. Sehubung dengan ini bila terdapat pertentangan antara arti
umum dengan arti khusus, maka yang harus didahulukan pengalamannya adalah yang
berdasrkan arti khusus, karena arti khusus inilah yang dimaksud menurut asal mulanya,
2 Prof.DR.H.Amir Syarifuddin, ushul fiqih jilid 2, Ed.1, Cet ke 4, (Jakarta: Kencana, 2008), h.7.
3Syekh Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam(Ilmu Ushul Fikih), Cet. 8, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada), 2002, h.260.
sedangkan arti yang umum, meskipun memang dimaksud pula, tetapi di dalam kerangka
pengalam seluruh satuan arti (afrad) nya.
C. Mufassar
Suatu lafaz yang dengan sighatnya sendiri memberi petunjuk kepada maknanya yang terinci,
begitu terincinya shingga tidak dapat dipahami adanya makna lain dari lafaz tersebut.4
Sesuatu lafaz yang dapat diketahui maknanya dari lafaznya sendiri tanpa memerlukan qarinah
yang menafsirkannya.
Dari beberapa definisi di atas dapat diketahui bahwa hakikat lafaz mufassar adalah
penunjukannya terhadap maknanya jelas sekali, penunjukannya itu hanya dari lafaznya sendiri
tanpa memerlukan qarînah dari luar, serta tidak mungkin dita’wîl-kan.5
Menurut asalnya, lafaz itu memang sudah jelas dan terinci sehingga tidak perlu
penjelasan lebih lanjut. Contohnya QS. An-Nur (24) ayat 4:
ت ثلتم لتيم يتأيلتوا بلأ تيربتتعلة لشهتتداتء تفاَيجلللدوهليم ثتتماَلنيتن تجيلتدةة تول تتيقبتللوا لتهليم تشتهاَتدةة أتبتةدا توالتلذيتن يتيرلموتن ايللميح ت
صتناَ ل
تولأولتئل ت
ك هللم ايلتفاَلسلقوتن
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh
itu) delapan puluh kali.
4 Prof.DR.H.Amir Syarifuddin, ushul fiqih jilid 2, Ed.1, Cet ke 4, (Jakarta: Kencana, 2008), h.9.
5 Prof.DR.H.Amir Syarifuddin, ushul fiqih jilid 2, Ed.1, Cet ke 4, (Jakarta: Kencana, 2008), h.9.
Bilangan yang ditetapkan dalam ayat ini jelas dan terurai yaitu delapan puluh kali dera, tidak ada
kemungkinan untuk dipahami dengan lebih atau kurang dari bilangan itu.6
Asalnya lafaz itu belum jelas (ijmal) dan memberikan kemungkinan beberapa
pemahaman artinya. Kemudian datang dalil lain yang menjelaskan artinya sehingga ia
menjadi jelas. Lafaz seperti itu, juga disebut dengan “mubayyan”. Contohnya QS. An-
Nisa (4) ayat 92:
تمين قتتتتل لميؤلمةناَ تخطتأ ة فتتتيحلريلر ترقتبتةة لميؤلمنتةة تولديتةل لمتسلتتمةل إللتىىَ أتيهللله
Orang-orang yang membunuh orang beriman secara tidak sengaja, hendaklah ia memerdekakan
hamba sahaya dan menyerahkan diyat kepada keluarganya.
Ayat ini menyangkut keharusan menyerahkan diyat kepada keluarga korban, tetapi tidak
dijelaskan mengenai jumlah, bentuk, dan macam diyat yang harus diserahkan itu. Sesudah turun
ayat ini datang penjelasan dari Nabi dalam sunnah yang merinci keadaan dan cara membayar
diyat itu sehingga ayat di atas menjadi terinci dan jelas artinya.
Lafaz mufassar itu dari segi penunjukannya terhadap makna yang dimaksud lebih jelas
dari lafaz nash dan lafaz zhâhir, karena lafaz-nya memang lebih jelas dibandingkan dengan nash
dari segi tafsirannya yang terinci, sehingga menjadikan mufassar tidak mungkin untuk di-takwil
dan apa yang dituju menjadi terang. Karena penjelasan mufassar itu lebih kuat dari nash dan
zhâhir, bila terjadi perbenturan pemahaman antara keduanya, maka harus didahulukan yang
mufassar.7
D. Muhkam
Muhkam adalah lafal yang menunjukan kepada maknanya secara jelas sehingga
tertutup kemungkinan untuk di takwil, dan menurut sifat ajaran yang dikandungnya
tertutup pula kemungkinan pernah dibatalkan (naskh) oleh Allah dan Rasulnya. Hukum
yang ditunjukannya tidak menerima pembatalan (nasakh) karena merupakan ajaran-
ajaran pokok yang tidak berlaku padanya nasakh, misalnya kewajiban menyembah hanya
6 Prof.DR.H.Amir Syarifuddin, ushul fiqih jilid 2, Ed.1, Cet ke 4, (Jakarta: Kencana, 2008), h.10.
7 Prof.DR.H.Amir Syarifuddin, ushul fiqih jilid 2, Ed.1, Cet ke 4, (Jakarta: Kencana, 2008), h.10.
kepada Allah kewajiban beiman kepada rasul dan kitab-kitab nya dan pokok-pokok
keutamaan, seperti berbuat baik kepada kedua orang tua, dan kewajiban menegakkan
keadilan. Ayat-ayat seperi ini menunjukan kepada pengertian-nya secara pasti (qath’i)
tidak berlaku ta’wil padaya, dan tidak pula ada kemungkinan telah di-nasakh pada masa
Rasulullah.
Empat tingkatan kejelasan pengertian lafal tersebut, bila mana bertentangan, maka
nash didahulukan atas zhahir, karena yang disebut terakhir bukan maksud utama dari
pembahasan. Mufassar didahulukan atas nash, karena mufassar lebih jelas dan rinci
sehingga tidak ada kemungkinan ta’wil, dan seterusnya muhkan didahulukan atas
mufassar karena lebih jelas dan lebih kuat dalalahnya.
1. Muhkam lizâtihi atau muhkam dengan sendirinya bila tidak ada kemungkinan untuk
pembatalan atau nasakh itu disebabkan oleh nash (teks) itu sendiri. Tidak mungkin nasakh
8 Prof.DR.H.Amir Syarifuddin, ushul fiqih jilid 2, Ed.1, Cet ke 4, (Jakarta: Kencana, 2008), h.11.
9 Prof.DR.H.Amir Syarifuddin, ushul fiqih jilid 2, Ed.1, Cet ke 4, (Jakarta: Kencana, 2008), h.12.
muncul dari lafaz-nya dan diikuti pula oleh penjelasan bahwa hukum dalam lafaz itu tidak
mungkin di-nasakh.
2. Muhkam lighairihi atau muhkam karena faktor luar bila tidak didapatnya lafaz itu di-
nasakh bukan karena nash atau teksnya itu sendiri tetapi karena tidak ada nash me-nasakh-nya.
Lafaz dalam bentuk ini dalam istilah ushul disebut lafaz yang qath’i penunjukannya terhadap
hukum.
Nash yang belum terang artinya yaitu nash yang bentuknya itu sendiri tidak bisa
menunjukkan kepada arti yang dimaksud dari padanya bahkan untuk memahami maksud dari
padanya itu diperlukan faktor dari luar. Jika nash atau dalil itu bisa dihilangkan
kesamarannya dengan jalan meneliti dan melakukan ijtihad, maka dalil itu disebut al-
khafi,atau al-musykil. Dan jika kesamarannya itu tidak bisa dihilangkan kecuali dengan
mengambil penjelasan dari syari’ itu sendiri, maka dalil itu disebut al-mujmal. Dan jika tidak
ada jalan yang sama sekali untuk menghilangkan kesamarannya itu, maka dalil itu disebut al-
mutasyabih.10
Lafal dari segi belum terang artinya oleh kalangan hanafiyah dibagi kepada empat tingkatan
yaitu khafi, musykil, mujmal dan mutasyabih.
A. Khafi
Lafaz khafi ialah suatu lafaz yang samar artinya dalam sebagian penunjukan (dilalah)
nya yang disebabkan oleh faktor luar, bukan dari segi sikhat lafaz.
Lafaz khofi itu sebenarnya dari segi lafaznya menunjukkan arti yang jelas,
namun dalam penerapan artinya terhadap bagian lain dari satuan artinya terdapat
kesamaran. Untuk menghilangkan kesamaran itu diperlukan penalaran dan ta’wil.
Sumber kesamaran dalam lafaz itu disebabkan karena dalam salah satu satuan
artinya mengandung sifat tambahan dibandingkan dengan satuan arti yang lainnya.
Bisa juga karena kurang sifatnya atau karena mempunyai nama khusus (tersendiri).
10 Abdul Wahab Khallaf, Kaidah Kaidah Hukaum Islam. (Bandung, 1983), h. 270
Karena ada kekurangan atau kelebihan sifat itu atau ada nama khusus itu, menyebabkan
artinya diragukan. Kesamaran ati lafaz itu dihubungkan dalam konteks satuan arti
tersebut.
Contoh lafaz khofi ini adalah lafaz ( الساَرقpencuri) dalam firman Allah surat al-
ma’idah (5): 38:
laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya.
Lafaz الساَرقitu sendiri sebenarnya cukup jelas, yaitu “orang yang mengambil
harta yang bernilai milik orang lain dalam tempat penyimpanannya secara sembunyi-
sembunyi”. Penerapan hukuman terhadap pencuri dengan arti tersebut juga jelas.
Namun lafaz “pencuru” itu mempunyai satuan arti yang banyak, yaitu pencopet,
perampok, pencuri barang kuburan dan sebagainya yang mempunyai kelebihan sifat
atau kekurangan sifat dibandingkan dengan pencuri dalam arti diatas. Apakah sanksi
hukum potong tangtan diperlukan terhadap semua satuan arti itu. disinilah timbul
kesamaran tersebut.
Umpamanya “pencopet”. Ia mengambil harta orang lain bukan dengan cara
sembunyi-sembuny, tetapi melalui terang-terangan melalui suatu cara yang
memerlukan keterampilan dalam kecepatan bertindak. “pencopet” itu berbeda dengan
pencuri karena pencopet memiliki kelebihan sifat keberanian dan kecepatan dalam
berbuat, sehingga dinamai dengan nama khusus, “pencopet” untuk dikenali potong
tangan atau tidak. Atau hanya diberlakukan sanksi berupa ta’zir.
Contoh lafaz khofi 2 yang kekurangan sifat, umpamanya lafaz “nabasy” (pencuri
kain kafan atau barang kuburan). Barang yang dicuri dalam hal ini adalah kain kafan
yang pada dasarnya tidak diminati dan tidak menjadi milik siapa-siapa. Apakah pencuri
barang kuburan ini termasuk dalam arti “pencuri” dalam hal sanksi penerapan sanksi
potong tangan?
Para ulama berbeda pendapat dalam hal menganggap kedua nama khusus itu
(pencopet dan pencuri barang kuburan) sebagai pencuri dalam hal penerapan hukum
potong tangan terhadap pencuri, karena keduanya telah mengguanakan nama tersendiri
meskipun termasuk dalam arti pencuri secara umum.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak diperlukan nash lafaz yang
mewajibkan sanksi pencurian kepada pencopet dan pencurian barang kuburan karena
pencuri tidak berlaku pada keduanya.pendapat Abu Hanifah ini disetui oleh
pengikutnya, Muhammad Ibn Hasan al-Syaibani.11
B. Musykil
Musykil adalah lafal yang tidak jelas pengetiannya, dan ketidakjelasan itu
disebabkan oleh lafal itu diciptakan untuk beberapa pengertian yang berbeda sehingga
untuk mengetahui pengertian yang berbeda sehingga untuk mengetahui pengertian mana
yang dimaksud dalam sebuah redaksi memerlukan indikasi atau dalil dari luar seperti
dalam lafal musytarak ( lafal yang diciptakan untuk beberapa pengertian yang berbeda
hakikatnya). Misalnya lafal quru (jamak dari qur’an) dalam ayat 228 surat al-Baqarah:
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (ber’iddah) tiga kali quru.. (QS.al-
Baqarah/2:228)
صهن َّبإأهنَمسكفإسإهلن َّثههلثهةه َّقكسكروضء َّۚ َّهوهلَ َّ هإييل َّهلكلن َّأهمن َّيِهمكتْكممهن َّهماَجِ َّهخلههق َّاللهك َّإف َّأهمرهحاَجِإمإهلن َّإمن َّككلن َّيِسكمؤإملن هوالمكمطهلهقاَجِ ك
ت َّيِهستْهسهربل م
بإاَجِللإه َّوالميَسوُإم َّاملإخإر َّۚ َّوبسعوُلهتْسهلن َّأهحيق َّبإردإهلن َّإف َّذهذلإك َّإمن َّأهرادوا َّإصهلحاَجِ َّۚ َّوهللن َّإمثمل َّالإذيِ َّعلهيَإهلن َّبإاَجِلممعرو إ
َّۚ ف ه مك هم ه هك م ة ه ك ك هكك ك ك ه ه ه هم
وإللدرجاَجِإل َّعلهيَإهلن َّدرجة َّۗ َّوالله َّعإزيِز َّح إ
كيَمل ه ه ه م هه ه ه ك ه ة ه
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak
boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka
beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam
masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan
Kata quru dalam ayat tersebut dalam pemkaian bahasa arab bisa berarti masa suci dan
bisa pula berarti masa haid. Imam syafi’i mengartikannya dengan masa suci, sedangkan
Abu Hanifah mengartikannya dengan masa haid. Masing-masing mengambil kesimpulan
yang berbeda itu didasarkan kepada qarinah atau dalil dari luar yang berbeda pula.
Begitupun setiap lafal musykil dalam al-qur’an san sunnah, untuk memahaminya
memerlukan upaya ijtihad dalam mencari tanda-tanda atau dalil yang membantu untuk
memperjelas pengertiannya.
C. Mujmal
Yang dimaksud dengan mujmal dalam istilah ushul yaitu lafazh yang tidak
ditunjutkan maksudnya oleh sighotnya itu. Disini tidak terdapat qarinah yang berkenaan
dengan lafazh, atau hal- hal yang menerangkan. Sebab tersembunyi. dalam hal ini ada
lafazh yang dinukil oleh syari dari makna lughawi (arti menurut bahasa). Dan
menempatkannya bagi makna istilah syari’ husus. Seperti lafazh sembahyang, zakat,
puasa, haji, dan riba. lain dari itu juga lafazh yang dimaksud syari’, arti syari’ husus,
bukan makna lughawi.12
Apabila terdapat mujmal pada nash syari’ sebelum ditafsirkan oleh syari’ itu
sendiri, untuk itu dikemukakan oleh sunah amaliyah dan qauliah, menafsirkan
sembahyang dan menerangkan rukun-rukunnya, syarat-syaratnya dan cara- caranya. Kata
nabi SAW. sembangyang lah kamu sebnagaimana kamu lihat aku sembahyang. Demikian
Nabi menafsirkan zakat, puasa, haji, riba dan segala yang dikemukakan secara mujmal
oleh nash Al-Qur’an. Dalam hal lafazh mujmal, ada lafazh gharib (aneh) yang ditafsirkan
12 Ibid, h. 216
oleh nash itu sendiri dengan arti khusus. Seperti lafazh Al Qarinah yang terdapat dalam
firman Tuhan (Q S Al-Qoriah :1-4)
Yang artinya: hari qiamat. Apakah hari qiamat itu? tahukah kamu apa hari
qiamat itu? Pada hari itu manusia adalah seperti anai-anai yang berterbangan (Q S Al-
Qoriah :1-4)
Lafadz halu’, yang terdapat pada ayat yang berbunyi:
D. Mutasyabih
Misalnya ayat-ayat yang menerangkan bahwa Allah serupa dengan makhluknya. Dalam
hal ini mempunyai Mata, Tangan. Dan tempat. Misalnya firman tuhan yang berbunyi:
- Tangan Allah di atas tangan mereka.
- Dan bikinlah kapal itu dengan mata kami dan wahyu kami.
- Tidak ada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan dia yang keempatnya.
Tidak lima orang melainkan dia yang ke enamnya. Tidak ada pembicaraan antara jumlah
yang kurang dari itu, dan tidak pula lebih, melainkan dia besertanya, diman mereka
berada.
Huruf-huruf hija-iah potong yang terdapat pada permulaan surat itu, bukan ia
sendiri yang menerangkan maksudnya. Allah tidak menerangkan apa maksdunya. Dia
13 Ibid, h. 217
DAFTAR PUSTAKA
15 Ibid, h. 218