Anda di halaman 1dari 10

BAB I

Pendahuluan
A.    Latar Belakang
Ushul fiqh merupakan suatu ilmu pengetahuan yang objaknya dalil hukum atau
sumber hukum dengan semua seluk beluknya, dan metode penggaliannya. Dalam kata lain
ushul fiqh digunakan untuk menetapkan hukum dari suatu perbuatan berdasarkan dalil-
dalil yang shahih.
Sebagaiman yang sudah disebutkan, bahwa untuk menetapkan hukum itu perlu
adanya dalil-dalil yang shahih dan bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah. Diantara dalil-
dalil dalam Al-Qur’an dan Sunnah itupun ditemukan adanya lafazh yang berbeda-beda.
Ada dalil yang sudah langsung dipahami tanpa butuh penjelasan (zhahir) dan ada pula
yang mesti adanya penjelasan dalam memahami dalil tersebut.
Sebagian dalil juga ada yang arti lafazhnya memiliki makna yang tidak pada
zhahirnya, itulah yang disebut dengan takwil.
Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai Zhahir dan Muawwal (takwil) agar
tidak ada terjadi kesalahan dalam memaknai dalil-dalil yang shahih.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa itu Zhahir dan Muawwal ?
2.      Apa saja objek kajiannya ?
3.      Apa landasan dan dalil penunjang nya ?
4.      Apa syarat-syaratnya ?
C.    Tujuan
1.      Mahasiswa dapat mengetahui apa itu Zhahirdan Muawwal.
2.      Mahasiswa dapat mengetahui apa saja objek kajiannya.
3.      Mahasiswa dapat mengetahui landasan dan dalil penunjang nya.
4.      Mahasiswa dapat mengetahui syarat-syaratnya.
BAB II
ZHAHIR DAN MUAWWAL (TAKWIL)

A.    Pengertian Zhahir
Al-Bazdawi memberikan defenisi zhahir sebagai berikut :
,. ,‫ه‬,‫ت‬,‫غ‬,‫ي‬,‫ص‬,‫ ب‬,‫ع‬,‫م‬,‫ا‬,‫س‬,‫ل‬,‫ ل‬,‫ه‬,‫ ب‬,‫د‬,‫ا‬,‫ر‬,‫م‬,‫ل‬,‫ ا‬,‫ر‬,‫ه‬,‫ ظ‬,‫م‬,‫ال‬,‫ ك‬,‫ل‬,‫ك‬,‫ ل‬,‫م‬,‫س‬,‫إ‬
Artinya : “Suatu nama bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar,
melalui bentuk lafazh itu sendiri.”[1]
Definisi yang lebih jelas dikemukakan oleh Al-Sarakhsi :
,.,‫ل‬,‫ ّم‬,‫أ‬,‫ ت‬,‫ر‬,‫ي‬,‫ غ‬,‫ن‬,‫ م‬,‫ع‬,‫م‬,‫ا‬,‫س‬,‫ل‬,‫ ا‬,‫س‬,‫ف‬,‫ن‬,‫ ب‬,‫ه‬,‫ن‬,‫ م‬,‫د‬,‫ا‬,‫ر‬,‫م‬,‫ل‬,‫ ا‬,‫ف‬,‫ر‬,‫ع‬,‫ ي‬,‫ا‬,‫م‬
Artinya : “Sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari pendengaran itu sendiri tanpa
harus dipikirkan lebih dahulu.”
Dari defenisi diatas, dapat kita ketahui bahwa yang dimaksud dengan zhahir itu
adalah suatu lafazh yang dengan mendengarkan lafazh itu pendengar bisa langsung
mengerti apa maksud nya tanpa perlu berpikir dan tidak bergantung kepada petunjuk lain.
Atas dasar defenisi-defenisi tersebut, Muhammad Adib Shaleh menyimpulkan
bahwa zhahir iru adalah :
,‫ص‬,‫ي‬,,‫ص‬,‫خ‬,‫ت‬,‫ل‬,‫ ا‬,‫ل‬,‫ا‬,‫م‬,‫ت‬,‫ح‬,‫ ا‬,‫ع‬,‫ م‬,‫ة‬,‫ج‬,‫ر‬,‫ا‬,‫ خ‬,‫ة‬,‫ن‬,‫ي‬,‫ر‬,‫ ق‬,‫ى‬,‫ل‬,‫ ع‬,‫ف‬,‫ق‬,‫و‬,‫ ت‬,‫ر‬,‫ي‬,‫ غ‬,‫ن‬,‫ م‬,‫ه‬,‫ا‬,‫ن‬,‫ع‬,‫ م‬,‫ا‬,‫ه‬,‫ي‬,‫ل‬,‫ ع‬,‫ ّل‬,‫د‬,‫ ي‬,‫ي‬,‫ذ‬,‫ل‬,‫ ا‬,‫ظ‬,‫ف‬,‫ل‬,‫ل‬,‫ا‬
,.,‫خ‬,‫س‬,‫ن‬,‫ل‬,‫ ا‬,‫ل‬,‫و‬,‫ قب‬,‫ و‬,‫ل‬,‫ي‬,‫و‬,‫أ‬,‫ت‬,‫ل‬,‫ا‬,‫و‬
Artinya : “Suatu lafazh yang menunjukkan suatu makna dengan rumusan lafazh itu
sendiri tanpa menunggu adanya qorinah yang ada diluar lafazh itu sendiri, namun
mempunyai kemungkinan ditakhsish, di ta’wil dan di nasakh.”
Adapun contoh yang dapat dikemukakan disini adalah firman Allah SWT yang
berbunyi :
,.,‫ا‬,َ‫ب‬,‫ ِّر‬,‫ل‬,‫ ا‬,‫ َم‬,‫ َّر‬,‫ َح‬,‫و‬,َ ,‫ َع‬,‫ ْي‬,َ‫ب‬,‫ ْل‬,‫ ا‬,ُ‫ هللا‬,‫ َّل‬,‫ح‬,َ ‫ َأ‬,‫و‬,َ
Artinya : “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Ayat tersebut petunjuknya sudah jelas bahwa mengenai halalnya jual beli dan
haramnya riba. Petunjuk itu diambil dari lafazh itu sendiri tanpa
memerlukan qarinah lain. Kedudukan lafazh zhahir wajib diamalkannya sesuai petunjuk
lafazh itu sendir, sepanjang tidak ada dalil yang men-takhsish-nya, men-takwil-nya atau
me-nasakh-nya.
B.     Hukum Zhahir
Yang dimaksud dengan hukum zhahir adalah, dalam hal bagaimana kita boleh atau
harus berpegang pada makna yang zhahir, dan dalam keadaan bagaimana pula kita boleh
meninggalkan arti zhahir.
Para ulama ushul fiqih memberi hukum tentang pemakain lafaz zhahir sebagai
berikut :
,‫ه‬,‫ف‬,‫ال‬,‫ خ‬,‫ي‬,‫ل‬,‫ ع‬,‫ل‬,‫ي‬,‫ل‬,‫د‬,‫ل‬,‫ ا‬,‫ل‬,‫د‬,‫ ي‬,‫ أن‬,‫ال‬,‫ إ‬,‫ه‬,‫ع‬,‫ا‬,‫ب‬,‫ت‬,‫ ا‬,‫ب‬,‫ج‬,‫ ي‬,‫ي‬,‫ع‬,‫ر‬,‫ ش‬,‫ل‬,‫ي‬,‫ل‬,‫ د‬,‫ر‬,‫ه‬,‫ا‬,‫ظ‬,‫ل‬,‫ا‬
Artinya : “Zhahir itu adalah dalil syar’I (yang) wajib diikuti, kecuali terdapat dalil yang
menunjukkan lain daripadanya.”
Maksudnya adalah, apabila tidak terdapat alasan yang kuat untuk mendorong
pentakwilan sesuatu lafaz, maka lafaz zhahirnyalah yang dipakai sebagai dalil yang wajib
kita ikuti.[2]
C.    Pengertian Takwil (Muawwal)

ُ ,‫َؤ ِّو‬,ُ,‫ ي‬,– ,‫ َل‬,‫َأ َّو‬  yang berarti At-Tafsir, Al-


Secar etimologi, takwil ditrujuk dari kata : ,‫ل‬
Maarja’, Al-Mashir. Demukian pendapat Abu Ubaidah Ma’mar bin Al-Matsani dan
keterangan yang dikemukakan oleh Abu Ja’far Al-Thabary (Adib Shalih, 1984 : 356).
Disamping itu, takwil juga bermakna Al-Jaza’, seperti firman Allah SWT :
)59 ,: ,‫ء‬,‫ا‬,‫س‬,‫ن‬,‫ل‬,‫(ا‬  ‫اًل‬,‫ل‬,‫ ْي‬,‫ْأ ِو‬,َ‫ ت‬,‫ن‬,ُ ,‫س‬
َ ,‫ح‬,ْ ‫َأ‬,‫و‬,َ ,‫ ٌر‬,‫خ ْي‬,َ ,‫ك‬
َ ,ِ‫ل‬,‫َذ‬
Artinya : “..... yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akubatnya.”
Dengan demikian, takwil mempunyai makna At-Tafir (penjelas, uraian) atau Al-
Marja’, Al-Mashir (kembali, tempat kembali) atau Al-Jaza’ (balasan yang kembali
padanya)[3].
Sedangkan menurut terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam
mendefenisikan takwil.Para ulama salaf mendefenisikan takwil antara lain sebagai
berikut[4] :
1.  Imam Ghazali dalam kitab Al-Musthashfa(Al-Ghazali, 1973: 128)
,‫ى‬,‫ن‬, ‫ع‬,‫م‬,‫ل‬,‫ ا‬,‫ن‬,‫ م‬,‫ن‬,ّ ,‫ظ‬,‫ل‬,‫ ا‬,‫ى‬,‫ل‬,‫ ع‬,‫ب‬,‫ل‬,‫ أغ‬,‫ه‬, ‫ ب‬,‫ر‬,‫ي‬, ‫ص‬,‫ ي‬,‫ل‬,‫ي‬,‫ل‬,‫ د‬,‫ه‬,‫د‬,‫ض‬
ّ ,‫غ‬,‫ ي‬,‫ل‬,‫ا‬,‫م‬,‫ت‬,‫ح‬,‫ ا‬,‫ن‬,‫ ع‬,‫ة‬,‫ر‬,‫ا‬,‫ب‬,‫ ع‬,‫ل‬,‫ي‬,‫و‬,‫أ‬,‫ت‬,‫ل‬,‫ ا‬,‫ن‬,ّ ,‫إ‬
,.,‫ر‬,‫ه‬,‫ا‬,‫ظ‬,‫ل‬,‫ ا‬,‫ه‬,‫ي‬,‫ل‬,‫ ع‬,‫ ّل‬,‫د‬,‫ ي‬,‫ي‬,‫ذ‬,ّ‫ل‬,‫ا‬
Artinya : “Sesungguhnya takwil itu merupakan ungkapan tentang pengambilan makna
dari lafazh yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang
lebih kuat dari makna yang ditunjukkan oleh lafazh zhahir.”
2.  Imam Al-Mudi dalam kitab Al-Mushtashfa :
ّ ,‫غ‬,‫ ي‬,‫ل‬,‫ي‬,‫ل‬,‫د‬,‫ ب‬,‫ه‬,‫ل‬,‫ا‬,‫م‬,‫ت‬,‫ح‬,‫ ا‬,‫ع‬,‫ م‬,‫ه‬,‫ن‬,‫ م‬,‫ر‬,‫ه‬,‫ا‬,‫ظ‬,‫ل‬,‫ ا‬,‫ه‬,‫ل‬,‫و‬,‫ل‬,‫د‬,‫ م‬,‫ر‬,‫ي‬,‫ غ‬,‫ى‬,‫ل‬,‫ ع‬,‫ظ‬,‫ف‬,‫ل‬,‫ل‬,‫ ا‬,‫ل‬,‫م‬,‫ح‬
,.,‫ه‬,‫د‬,‫ض‬
Artinya : “Membawa makna lafazh zhahir yang mempunyai ihtimal (probabilitas) kepada
makna lain yang didukung dalil.”
Kaum muhaditsin mendefinisikan takwilyaitu sejalan dengan defenisi yang
dikemukakan oleh ulama Ushul Fiqh, yaitu :

1.  Menurut Wahab Khalaf :


,.,‫ل‬,‫ي‬,‫ل‬,‫د‬,‫ ب‬,‫ر‬,‫ه‬,‫ا‬,‫ ظ‬,‫ن‬,‫ ع‬,‫ظ‬,‫ف‬,‫ل‬,‫ل‬,‫ ا‬,‫ف‬,‫ر‬,‫ص‬
Artinya : “Memalingkan lafazh dari zhahirnya, karena ada dalil.”
2.  Menurut Abu Zarhah :
,.,‫ه‬,‫ي‬,‫ ف‬,‫ر‬,‫ه‬,‫ا‬,‫ظ‬,‫ل‬,‫ ا‬,‫و‬,‫ ه‬,‫س‬,‫ي‬,‫ ل‬,‫ و‬,‫ه‬,‫ل‬,‫م‬,‫ت‬,‫ح‬,‫ ي‬,‫ر‬,‫خ‬,‫ آ‬,‫ى‬,‫ن‬,‫ع‬,‫ م‬,‫ى‬,‫ل‬,‫ إ‬,‫ه‬,‫ا‬,‫ن‬,‫ع‬,‫ م‬,‫ر‬,‫ه‬,‫ا‬,‫ ظ‬,‫ن‬,‫ ع‬,‫ظ‬,‫ف‬,‫ل‬,‫ل‬,‫ ا‬,‫ج‬,‫ا‬,‫ر‬,‫خ‬,‫إ‬
Artinya : “Takwil adalah mengeluarkan lafazh dari artinya yang zhahir kepada makna
lain , tetapi bukan zhahirnya.”
Dengan demikian pengertian takwilmenurut bahasa lebih umum daripada
pengertiankhas, amm, atau muthlak, karena lafazh-lafazhtersebut menunjukkan arti yang
dimaksud dan dianggap dalil qoth’i.
Penyebab adanya penakwilan terhadaplafazh-lafazh yang artinya dianggap kuat
diantaranya karena arti zhahir-nya tidak sesuai dengan arti yang hakiki, sehingga dalil
hasiltakwil yang tidak kuat menjadi kuat. Dengan kata lain, mengutamakan makna dari
hasil prasangka yang sesuai dengan maksud syara’.
D.    Objek Takwil
Kajian takwil sebagaimana ijtihad denganra’yu, tidak menyangkut nash-
nash yang qath’i,baik secara khusus maupun umum, yang merupakan landasan kaidah-
kaidah fiqih yang berguna untuk menentukan ketetapan hukum
permasalahan furu’, sehingga para imam dapat menerima dan mengamalkannya. Selain
itu, takwiljuga tidak menyangkut hukum-hukum agama penting lainnya yang mudah
ataupun sulit untuk dipahami yang merupakan dasar-dasar syari’at. Juga tidak mencakup
peraturan-peraturan syari’at yang bersifat umum, diantaranya bahan-bahan yang
memerlukan penafsiran dan pematokan hukum, karena maksud syara’ harus diterangkan
secara jelas dan digambarkan secara qath’i agar terhindar dari munculnya arti spekulatif.
Adapun kajian takwil kebanyakan adalahfiru’ sebagaimana pendapat Imam Asy-
Syaukani. Selain itu hal-hal yang jelas dan nash yang merupakan kajian takwil juga. Itu
semua kajiantakwil secara global dan terbatas bila belum ada panafsiran dari syari’at
secara menyeluruh.
Takwil semakin berkembang pembahasannya, sehingga menurut Hanafi
mencakup nash dan zhahir.
E.     Dalail-dalil Penunjang Takwil
Takwil pad adasarnya mencakup arti yang lemah yang memerlukan dalil untuk
memperkuat praduga hasil takwil tersebut, sehingga arti yang tadinya lemah akan menjadi
lebih kuat karena sesuai dengan kemashlahatan umum dan dugaan para mujtahid.[5]
Dengan demikian, dalil penunjang takwilharis lebih kkuat daripada dalil penunjang
arti secara bahasa. Atau dalilnya harus lebih kuat daripada dalil-dalil yang menunjukkan
bahwa dilaksanakan ataupun tidak nash tersebut sama saja. Dengan cara seperti itu, hasil
penakwilan akan lebih kuat dan menjadi takwil yang shahih.
Dalil yang dipakai untuk menguatkantakwil juga disyaratkan harus sesuai dengan
ketentuan syara’, diantaranya dalil yang memberikan batasan yang terlalu luas terhadap
maksud syara’, atau yang memperluas artihaqiqiyang dikandung dalam maksud syara’.
Secara ringkas, dalil-dalil yang dipakai dalam takwil adalah sebagai berikut :
a.    Nash yang diambil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b.    Ijma’.
c.    Kaidah-kaidah umum syari’at yang diambil dari Al-Qur’an dan Sunnah.
d.   Kaidah-kaidah fiqih yang menetapkan bahwa pembentukan syari’at memperhatikan hal-
hal yang bersifatjuz’i tanpa batas.
e.    Hakikat kemaslahatan umum.
f.     Adat yang diucapkan dan diamalkan.
g.    Hikmah syari’at atau tujuan syari’at itu sendiri.
h.    Qiyas.
i.      Akal yang merupakan sumber perbincangan segala sesuatu.
Rusalnya penakwilan biasanya berawal dari mendatangkan sesuatu yang tidak perlu
atau menyalahi salah satu pembentuk syari’at kaidah-kaidah umum hukum. Hukum-
hukum yang bersumber dari dalil yang qath’i, dan melakukantakwil ba’id yang dilarang.
Dengan kata lein, jangan sampai melakukan ijtihad dengan takwilyang menyimpang dari
kaidah-kaidah dasar diatas.
1.    Dalil Penunjang Takwil Tidak disyaratkan Qath’i
Sudah jelas bahwa takwil itu perubahan arti untuk membatasi maksud syara’ dengan dalil
shahih, baik yang qath’i, maupun yang zhanni. Maka hikmah syari’at yang
bersifat zhanni bisa dipakai dalil dalamta’wil, diantaranya juga khabar Ahad dan Qiyas.
2.    Takwil Itu Dihasilkan Dari Perubahan Makna Bukan Perubahan Lafazh
Jika suatu syari’at memakai bahasa untuk mengungkapkan maksudnya, dasar umum yang
dipakai adalah yang sesuai dengan bunyi bahasa yang mempunyai kajian khusus. Setiap
mujtahid diharuskan untuk berpegang teguh kepada arti zhahir yang kuat dan tidak boleh
mengamalkan berdasarkan arti lainnya yang dipandang lemah, meskipun sama-sama
benar selama tidak ada dalil yang kuat dan sahih.
F.     Landasan Takwil
Pada mulanya takwil itu tidak ada dan tidak terbentuk, kecuali dengan dalil.
Kemudian dari ide dasar tersebut, muncul bebrapa masalahjuz’i, antara lain kewajiban
untuk mengamalkan setiap petunjuk yang berasal dari arti nash secarazhahir dan semua
dalil dianggap hujjah karena kejelasan dan keberadaannya, sehingga lafazhmutlaq berlaku
sesuai kemutlakannya dan tidak diikat, kecuali dengan dalil. Begitu juga dengan lafazh
yang amm dan yang khash.[6]
Landasan umum takwil adalah mengamalkan dalil sesuai dengan konteks bahasanya
dan mengambil ketetapan hukumnya. Sesungguhnya takwil itu mencakup berbagai
kemungkinan yang berasal dari akal, bukan bersumber dari bahasa. Karena takwil itu
merubah arti sesuai dengan kebutuhan bahasa,takwil itu tidak ada kecuali dengan dalil.
Imam Syafi’i R.A berpendapat bahwa diantara penyebab timbulnya
perbedaanpendapat dikalangan umat Islam adalah kecerobohan dalam memahami teks
dari berbagai nash. Kemudian mereka membuat penakwilan tanpa menggunakan dalil-
dalil yang shahih, bahkan mereka mencoba mengadopsi hukum-hukum yang berasal dari
filsafat Yunani, seperti Aristoteles, dan sebagainya. Mereka berkata, “Manusia itu tidak
akan bodoh dan saling berbeda pendapat kalau tidak meninggalkan ucapan-ucapan
orang Arab yang mengikuti Aristoteles.”[7]
Ada tiga ketentuan umum yang dapat dijadikan pegangan agar terhindar dari
kesalahan dalam berijtihad, juga berbagai cara meng-instinbat-kan hukum
dari nash dengan mengginakan takwil, yaitu :
1.      Jika arti nash itu sudah mengandung hukum, jelas dan dalalahnya qath’i, maka tidak
boleh di-takwil-kan dengan akal.
2.      Jika arti nash yang zhahir itu berarti umum, atau berarti zhanni yang tidak pasti, wajib
mengamalkan sesuai maknanya, karena kejelasan arti dan keberadaannya. Jangan sampai
diterangkan dengan berbagai kemungkinan yang tidak berdasarkan pada dalil.
3.      Dibolehkan mengubah arti dari yang zhahirkepada arti lain sepanjang berdasarkan pada
dalil, bahkan diwajibkan untuk mengompromikan berbagai nash yang saling
bertentangan.
G.   Syarat-syarat Takwil dan Beberapa Contohnya
Dasar umum yang ditetapkan ulama untuk menetapkan adanya takwil berasal dari
teks bahasa dan uslub-uslubnya, yang menjaga agarijtihad dan ra’yu tidak menjadi sesat.
Para ulama juga mewajibkan agar mengamalkan syari’at sesuai dengan zhahir ayat
sehingga terdapat isyarat untuk menggunakan takwil.
Persyaratan takwil bergantung pada makna teks agar ketetapan nash dan
makna zhahir-nya tidak bertentangan dengan syari’at. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa makna syari’at yang berhubungan dengan takwil berkaitan erat dengan takhsish,
taqyid, perubahan ke artimajaziy dan pengompromian antara nash-nashyang zhahir-nya
saling bertentangan. Semuanya sesuai dengan dalil shahih yang kuat, dan tidak hanya
berdasarkan kepada pemahaman arti saja, tetapi juga makna hakikatnya.
Takwil itu erat kaitannya dengan maksud syari’at yang berasal dari nash, bukan
hanya dengan dalilnya itu sendiri. Hal itu juga termasuk salah satu
metode ijtihad dengan ra’yu, yaitu membatasi arti yang dimaksud dengan dalil. Agar
lebih jelas, dibawah ini akan diterangkan persyaratan takwil tersebut, yaitu :
1.    Lafazh yang ditakwil, harus betul-betul memenuhi kriteria dan masuk dalam
kajiannya
Telah diterangkan bahwa dalil-dalil yang telah ditafsirkan dan ditetapkan ketentuan
hukumnya tidak bisa ditakwilkan. Namun menurut Hanafiyah, takwlil itu boleh sekalipun
pada nash yang zhahir dan semua dalil yang berhubungan dengan syari’at Islam.
Adapun dasar-dasar umum syari’at adalah sumber takwil karena banyak nashyang
arti zhahir-nya mengandung maknajuz’i.
2.    Takwil itu harus berdasarkan dalil shahih yang bisa menguatkan takwil
Contoh takwil dan nash yang didalamnya terdapat pertentangan antarazhahir
nash yang mengandung arti juz’idengan dasar umum syari’at, adalah hadits Rasulullah
SAW yang berbunyi :
,.,‫ه‬,‫ل‬,‫ أه‬,‫ء‬,‫ا‬,‫ك‬,‫ب‬,‫ ب‬,‫ب‬,ّ‫ق‬,‫ع‬,‫ ي‬,‫ت‬,ّ‫ي‬,‫م‬,‫ل‬,‫ ا‬,‫ن‬,ّ ,‫إ‬
Artinya : “Sesungguhnya jenazah itu disiksa oleh tangisan keluarganya.”
Siti Aisyah menolak hadits tersebut karena menurutnya hal itu bertentangan dengan
dasar umum syari’at yang ada dalam Al-Qur’an yang berbunyi :
,.,‫ى‬,‫ر‬,‫ أخ‬,‫ر‬,‫ز‬,‫ و‬,‫ة‬,‫ر‬,‫ز‬,‫ا‬,‫ و‬,‫ر‬,‫ز‬,‫ ت‬,‫ ال‬,‫و‬
Sebagian mujtahid menakwilkan kemutlakan hadits tersebut, kemudian mereka
menaqyid jenazah ketika masih hidupnya. Maka maksud ayat tersebut menjadi tidak
bertentangan setelah ditaqyid. Pengompromian ini dilakukan dengan mengamalkan
dua nash secara bersamaan. Metode seperti inilah yang lebih baik daripada mencela salah
satunya.
Dari contoh diatas, dapat diketahui bahwa takwil itu ada karena pertentangan
dalam nash yang artinya zhahir.
a.  Takwil berdasarkan dalil adalah Maslahat
yang dimaksud maslahat disini bukan berarti bahwa hikmah syari’at itu
adalahnash tertentu, tetapi dalil yang menakhsish dalil umum, atau mengistitsnakan dari
landasan umum, baik secara khas ataupunamm.
Takhsish merupakan salah satu bagian dari takwil, bahkan yang paling banyak dipakai.
Contohnya firman Allah SWT yang berbunyi :
,.,.,.,.,‫ن‬,ِ ,‫ ْي‬,َ‫ل‬,‫ ِم‬,‫ا‬,‫ َك‬,‫ ِن‬,‫ ْي‬,َ‫ل‬,‫و‬,ْ ‫ح‬,َ ,‫ن‬,َّ ,ُ‫ه‬,‫ َد‬,َ‫ال‬,‫و‬,ْ ‫ َأ‬,‫ن‬,َ ,‫ ْع‬,‫ض‬ ,ُ ,‫ا‬,‫ َد‬,ِ‫ل‬,‫ا‬,‫ َو‬,‫ ْل‬,‫ا‬,‫و‬,َ
ِ ,‫ر‬,ْ ,ُ‫ ي‬,‫ت‬
Artinya : “Para ibu hendaklah menyuusui anak-anaknya selama dua tahun penuh.”
Dari zhahir ayat tersebut dapat dipahami bahwa menyusui adalah kewajiban seorang ibu.
Dan kata al-waalidatu itu lafazhnya umum mencakup semua ibu.
Imam Maliki menaksish keumumannya dengan perbuatan adat (urf amaly). Dia
berpendapat bahwa seorang ibu diharuskan menyusui anaknya karena kesempurnaan
derajatnya. Maka apabila seorang ibu sakit sehingga tidak bisa menyusui anaknya, ia
tidak diwajibkan menyusui anaknya karena menjaga dari kemudharatan dan menjaga
kemashlahatan adalah maslahat. Hal itu juga bisa disebut kemaslahatan individu.
Golongan Hambali memperluas pelaksanaan takhsish umum,diantaranya dalam masalah
penetapan harga ketika negara sedang dalam krisis karena takwilseperti itu berlandaskan
pada kemashlahatan umum.
b.  Mentakhsish keadaan umum dengan kemashlahatan
yang dimaksud kemashlahatan umum adalah kemerdekaan umum, atau dasar kebolehan
yang berdasar firman Allah SWT dalam Al-Qur’an :
ِ ,‫ر‬,ْ ‫َأل‬,‫ ا‬,‫ي‬,ِ‫ ف‬,‫ا‬,‫ َم‬,‫ ْم‬,‫ ُك‬,َ‫ ل‬,‫ق‬
,.,.,.,.,‫ا‬,‫ ًع‬,‫ ْي‬,‫ج ِم‬,َ ,‫ض‬ ,ْ ,‫ ِذ‬,َّ‫ل‬,‫ ا‬,‫و‬,َ ,ُ‫ه‬
َ ,َ‫ل‬,‫ َخ‬,‫ي‬
Artinya : “Dia-lah yang menjadikan untuk kamu semua yang ada di Bumi...”
Di antara kemerdekaan umum adalah kemerdekaan berjual-beli dan hak memiliki barang.
Dengan mengutamakan persamaan, itu merupakan perbuatan yang diperbolehkan.
Rasulullah SAW melarang perdagangan yang diadakan untuk kaum badui, karena jual-
beli semacam itu dikategorikan jual-beli yang menggambarkan adanya penghinaan
terhadap makanan yang sangat penting bagi manusia.
Yang perlu diingat, sebuah larangan harus berdasarkan dalil, ,eskipun terkadang larangan
tersebut berupa keadaan umum sebagaimana yang telah disebutkan.
3.    Lafazh mencakup arti yang dihasilkan melalui takwil menurut bahasa
Penakwilan menurut bahasa dilakukan dengan cara tekstual, kontekstual
ataumajaz. Bisa juga mencakup asas yang berasal dari pemakaian yang sudah dikenal atau
adat syara’.
Adat syara’ telah banyak menakhsish dalil-dalil umum pada sebagian
besar nashsehingga para ulama Ushuliyyin berkata,“Tidak ada sesuatu yang umum,
kecuali telah ditakhsish.” Hal itu menunjukkan bahwa adat syara’ telah banyak
menakhsish sebagian besar dalil yang umum, sehinggatakhsish tersebut menjadi sunnah
dalam syari’at. Hal itu cukup menunjukkan bahwa bagian ini sah menjadi bagian takwil.
Semuanya tetap berlangsung sesuai dengan penempatan syara’ itu sendiri, yang
manunjukkan bahwa takwil shahih membutuhkan keadilan dengan sendirinya. Apalagi
kalau yang mewajibkan adanyatakwil itu adalah adanya pertentangan antara
yang juz’iy dengan yang kulliy.
Jika pembuat syari’at menetapkan istilah khusus dalam istilah syari’at, istilah
khusus haruslah didahului dari arti bahasa kalau keduanya bertentangan, sebagai realisasi
terhadap maksud pembuat syari’at dari segi artinya. Dengan demikian lafazh pembuat
syari’at itu berdasarkan pemahaman maksudnya sesuai dengan kabiasaan dalam
penggunaannya.
4.    Takwil tidak boleh bertentangan dengannash yang qath’i, karena nash tersebut
bagian dari aturan syara’ yang umum
Takwil adalah metode ijtihad yangzhanni, sedangkan zhanni tidak akan kuat
melawan yang qath’i. Contohnya menakwilkan kisah-kisah yang ada dalam Al-Qur’an
dengan mengubah arti yang Zhahirmenjadi fiksi (yang tidak terjadi). Penakwilan seperti
itu bertentangan dengan kejelasan ayat yang qath’i yang menjadikan kisah tersebut
sebagai kejadian sejarah yang nyata.
5.    Arti dari penakwilan nash harus lebih kuat dari arti zhahir, yakni dikuatkan
dengan dalil
Nash yang berarti juz’idikompromikan artinya dengan dasar umum, yaitu dengan
cara men-taqyid-nya dan dasar umum itu merupakan dalil yang lebih kuat. Sedangkan
pertentangan antara zhahur dannash, tidak diragukan lagi bahwa nashmenakhsish
yang zhahir karena nash lebih kuat dan lebih jelas. Selain itu, ucapan juga membutuhkan
arti asli, maka nash harus diutamakan.
Penakwilan yang berdasarkan hikmah pembinaan syari’at. Hal itu merupakan
rohnash yang menguatkan dan merupakan tujuan pokoknya. Tidak dirgukan lagi bahwa
maksud disyari’atkannya sesuatu itu lebih kuat daripada zhahir lafazh-nya.
Takwil itu terkadang tidak membutuhkan dalil sebagaimana telah dijelaskan, tetapi
dimungkinkan berdasarkan pada pemahaman yang dangkal, akal dan teks
sesuatu. Takwil seperti itu dinamakan oleh ulama Ushul dengan istilah takwil qoribyang
cukup memakai dalil yang terendah. Seperti firman Allah SWT :
ِ ,ِ‫ف‬,‫ا‬,‫ َر‬,‫ َم‬,‫ ْل‬,‫ ا‬,‫ى‬,َ‫ ِإل‬,‫ ْم‬,‫ ُك‬,َ‫ي‬,‫ ِد‬,‫َأ ْي‬,‫و‬,َ ,‫ ْم‬,‫ ُك‬,َ‫ه‬,‫ ُج‬,‫ ُو‬,‫ا‬,‫و‬,ْ ,ُ‫ل‬,‫س‬,ِ ,‫ ْغ‬,‫َا‬,‫ ف‬,‫اَل ِة‬,‫ص‬
,.,.,.,.,.,‫ق‬ َّ ,‫ل‬,‫ ا‬,‫ى‬,َ‫ ِإل‬,‫ ْم‬,ُ‫ت‬,‫م‬,ُ‫ ق‬,‫ا‬,‫ِإ َذ‬
Artinya : “Apabila kamu hendak mengerjakan shalat,basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai siku,”
Arti zhahir ayat tersebut adalah mengharuskan berwudhu’ seteleh melaksanakan
shalat. Pemahaman seperti itu tentu saja bertentangan dengan syarat sahnya shalat yang
mengharuskan berwudhu’ terlebih dahulu. Dan syarat itu harus didahulukan, baik
menurut akal ataupun syara’ agar shalatnya sah. Untuk itu, lafazh al-qiyamudalam firman
Allah ta’ala diatas harus ditakwilkan. Kemudian diubah dari artinya yang hakiki kepada
artinya yang majazi yaitual-‘ajmu (bermaksud) mendirikan, bukan mendirikan dengan
sendirinya.
Itulah beberapa persyaratan takwil, jika persyaratan tersebut tidak terpenuhi
dinamakantakwil ba’id.
H.   Takwil Ba’id
Yang dimaksudkan dengan takwil ba’idadalah suatu takwil yang mana
makna takwil-nya terlalu jauh hubungannya dengan makna dzahir-nya. Jika ada
penyimpangan dari persyaratan tadi, maka takwil seperti itu ditolak.[8]
Sebagai contoh misalnya: kifarat orang yang bersetubuh dengan istrinya dalam
bulan puasa wajib memberi makan 60 (enam puluh) orang miskin, sebagaimana firman
Allah SWT yang berbunyi:

ْ ‫ِإ‬,َ‫ف‬
,.,.,.,.,.,‫ًا‬,‫ن‬,‫ ْي‬,‫ ِك‬,‫ ْس‬,‫ ِم‬,‫ن‬,َ ,‫ ْي‬,ِّ‫ت‬,‫س‬,ِ ,‫ ُم‬,‫ا‬,‫ َع‬,‫ط‬
Artinya : “maka siapa yang tidak kuasa (wajib atasnya) memberi makan 60 (enam puluh)
orang miskin…..”
Golongan Hanafiyah mentakwilkan lafaz 60 (enam puluh) orang miskin dalam ayat
tersebut dengan 60 mud. Dengan demikian, maka berarti boleh memberikannya kepada
seorang miskin sejumlah 60 mud.
Namun, penakwilan diatas dianggap sebagai takwil ba’id dan dinyatakan batil
menurut Imam Syafi’i. Karena lafazh ‘asyarahadalah lafazh khusus yang menunjukkan
artiqath’i, sehingga tidak membutuhkan penakwilan.
Kecacatan Itakwil diatas disebabkan oleh beberapa perkara, yaitu :
1)     Meremehkan ‘adad, lafazh khushus yang jelas menunjukkan arti yang qath’i, maka
haruslah menjaga arti yang qath’i tersebut dan tidak meremehkannya.
2)     Penambahan kalimat terhadap nash adalah menyalahi ashal.
Kesimpulannya, kajian ijtihad denganra’yu dalam takwil, harus sesuai dengan
persyaratannya, tidak hanya sebatas pengambilanistibath berdasarkan akal semat-mata,
melainkan yang berlandaskan pada bahasa yang mampu menghasilkan arti yang tercakup
dalam arti lafazh tersebut.
BAB III
Penutup
Kesimpulan

Zhahir adalah suatu lafazh yang dengan mendengarkan lafazh itu pendengar bisa
langsung mengerti apa maksud nya tanpa perlu berpikir dan tidak bergantung kepada
petunjuk lain. Apabila tidak terdapat alasan yang kuat untuk mendorong pentakwilan
sesuatu lafaz, maka lafaz zhahirnyalah yang dipakai sebagai dalil yang wajib kita ikuti.
Sedangkan Takwil adalah mengeluarkan lafazh dari artinya yang zhahir kepada
makna lain , tetapi bukan zhahirnya. Adapun kajian takwilkebanyakan
adalah firu’ sebagaimana pendapat Imam Asy-Syaukani. Selain itu hal-hal yang jelas
dan nash yang merupakan kajian takwil juga. Itu semua kajian takwil secara global dan
terbatas bila belum ada panafsiran dari syari’at secara menyeluruh.
Landasan umum takwil adalah mengamalkan dalil sesuai dengan konteks bahasanya
dan mengambil ketetapan hukumnya. Sesungguhnya takwil itu mencakup berbagai
kemungkinan yang berasal dari akal, bukan bersumber dari bahasa. Karena takwil itu
merubah arti sesuai dengan kebutuhan bahasa,takwil itu tidak ada kecuali dengan dalil.
Adapun syarat-syarat takwil itu adalah sebagai berikut :
1.      Lafazh yang ditakwil, harus betul-betul memenuhi kriteria dan masuk dalam kajiannya.
2.      Takwil itu harus berdasarkan dalil shahih yang bisa menguatkan takwil.
3.      Lafazh mencakup arti yang dihasilkan melalui takwil menurut bahasa.
4.      Takwil tidak boleh bertentangan dengannash yang qath’i, karena nash tersebut bagian
dari aturan syara’ yang umum.
5.      Arti dari penakwilan nash harus lebih kuat dari arti zhahir, yakni dikuatkan dengan dalil.
DAFTAR PUSTAKA

Djalil, Basiq, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, Jakarta: Kencana Prenada Media
Grup, 2010
Karim, Syafi’i, Fiqih Ushul Fiqih,Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001
Koto, Alaiddin, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011
Shidik, Saifuddin, Ushul Fiqih, Jakarta: Intimedia, 2005
Syafe’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih,Bandung: Pustaka Setia, 2007

Anda mungkin juga menyukai