Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH STUDI HUKUM ISLAM

METODE LAFDZIYAH(DZOIR,NASH,MUFASAR,MUSYKIL,MUJMAL,MUTASYABIH,TAFSIR DAN TAWIL)

Dosen pengampu:

Agus sholahuddin,M.H.I.

DISUSUN OLEH:

Misbahul munir(20030109)

Millatul hanifiyah(20030110)

FAKULTAS SYARI’AH

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM

UNIVERSITAS NAHDHATUL ULAMA SUNAN GIRI BOJONEGORO


KATA PENGANTAR

Alhamdullilahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah SWT berikan kepada kita semua
tetapi sedikit sekali yang kita ingat, Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNYA
sehingga kami dapat menyelasaikan makalah ini yang berjudul metode lafdziyyah
(dzair,nash,mufasar,musykil,mujmal,mutasyabih,tafsir dan tawil. Dan juga kami ucapkan
terimakasih kepada bapak Agus sholahuddin selaku dosen mata kuliah  studi hukum islam yang
telah memberikan tugas ini kepada kami.

Kami menyadari bahwa pembuatan makalah ini berkat ridho Allah SWT dan tidak lepas dari
bantuan berbagai pihak untuk itu, dalam kesempatan ini saya mengucapkan rasa hormat dan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak dan teman-teman yang membantu
membuat makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik
materi maupun cara penulisannya. Namun, kami telah berupaya dengan segala kemampuan dan
pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Dengan tangan terbuka
kami menerima saran dan usul guna penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca.

Bojonegoro,20 april 2021

Kelompok 5
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ...................................................................................... 1
KATA PENGANTAR ................................................................................ 2
DAFTAR ISI.................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang.......................................................................................... 4

B.     Rumusan Masalah..................................................................................... 4

C.     Tujuan Masalah......................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN
A.Pengertian dzoir,nash,mufasar,musykil,mujmal,mutasabih  ......................... 5

B.pengertian dari tafsir dan


takwil……………………………………………………….…………6

BAB III PENUTUP


A.    Kesimpulan................................................................................................ 10

B.     Saran......................................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 11
BAB 1

PENDAHULUAN

A.Latar belakang

Telah kita ketahui bersama bahwa yang menjadi dalil hukum dalam Islam adalah nash
al-Qur’an dan al-Hadis yang kesemuanya berbahasa arab. Karena itulah para Ulama salaf
menaruh perhatian yang sangat besar sekali terhadap bahasa arab sebagai alat untuk
memahami kedua dalil diatas. Perhatian itu sangat lah penting agar nash-nash yang berbahasa
arab tadi dapat dipahami dengan baik dan sempurna. Untuk itulah para Ulama salaf telah
menciptakan beberapa kaedah lughowi atau bahasa agar suatu dalil itu dapat dipahami dan
diambil hukumnya yang kemudian dapat dijadikan sebagai sebuah dasar hukum.

Secara garis besar, dalam ilmu Ushul Fikih lafaz dari segi kejelasan artinya terbagi kepada
dua macam, yaitu lafaz yang terang artinya dan lafaz yang tidak terang artinya. Dimaksud dengan
lafaz yang terang artinya ini adalah yang jelas penunjukannya terhadap makna yang dimaksud
tanpa memerlukan penjelasan dari luar. Jenis ini terbagi dalam empat tingkatan, yaitu zhahir,
nash, mufassar. Sedangkan yang dimaksud lafaz yang tidak terang artinya adalah yang belum
jelas penunjukannya terhadap makna yang dimaksud kecuali dengan penjelasan dari luar lafaz
itu. Jenis ini pun terbagi dalam empat tingkatan, yaitu khafi, musykil, mujmal, dan mutasyâbih.

Sedangkan menurut bahasa, tafsir berarti keterangan atau uraian. Menurut istilah, tafsir
berarti ilmu mengenai cara pengucapan lafal-lafal Alquran serta cara mengungkapkan petunjuk,
kandungan-kandungan hukum, dan makna-makna yang terkandung di dalamnya. Menurut
bahasa, takwil berarti menerangkan atau menjelaskan. Menurut istilah, takwil berarti
mengembalikan sesuatu kepada tujuannya, yakni menerangkan apa yang dimaksud.

Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan tingkatan-tingkatan yang terkait dengan
lafaz yang terang artinya dan lafaz yang tidak terang artinya, yakni mengenai zhâhir, nash,
mufassar, muhkam, khafi, musykil, mujmal, dan mutasyâbih.serta akan memparkan tafsir dan
takwil.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dinamakan dengan lafadzh zhahir,nash,mufasar,musykil,mujmal,mutasyabih ?

2. Apa yang dimaksud dengan tafsir dan takwil?

C. Tujuan Penulisan Makalah

1. Untuk mengetahui Apa yang dinamakan dengan lafadzh


zhahir,nash,mufasar,,musykil,mujmal,mutasyabih.

2. Untuk mengetahui Apa yang dinamakan dengan tafsir dan takwil


BAB II

PEMBAHASAN

A.pengertian dzohir,nash,mufasar,musykil,mujmal,mutasabih  

Terdapat beberapa rumusan yang berbeda di kalangan ulama ushul mengenai definisi
zhahir, di antaranya:

Menurut Al-Sarkhisi, zhahir adalah

‫اع مِنْ َغي ِْر َتَأم ٍُّل‬ ِ ‫َما ُي ْف َه ُم ْالم َُرا ُد ِم ْن ُه ِب َن ْف‬
ِ ‫س ال َّس َم‬
“Dari apa-apa yang didengar meskipun tanpa pemahaman yang mendalam dapat diketahui apa
sebenarnya yang dimaksud oleh pembicara dengan lafaz itu”.1

Menurut Al-Bazdawi memeberikan definisi dzohir :


َ ِ‫اِسْ ٌم لِ ُك ِّل َكالَ ٍم َظه ٍْر ْالم َُرا ُد ِب ِه لِلسَّام ِِع ِبص‬
‫يغ ِت ِه‬

“Suatu nama bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar, melalui bentuk
lafazh itu sendiri”

Dari definisi tersebut tampak jelas bahwa memahami zhahir itu tidak bergantung pada
petunjuk lain , tetapi bisa diambil langsung dari rumusan Lafazh itu sendiri. Akan tetapi Lafazh
tersebut tetap mempunyai kemungkinan lain. Dari definisi-definisi tersebut Muhammad Adib
Saleh menyimpulkan bahwa zhahir itu adalah:

‫ْص َوال َّتْأ ِوي ِْل َو َقب ُْو ِل ال َّنسْ ِخ‬


ِ ‫ال ال َّت ْخصِ ي‬ ِ ‫ف َع َلى َق ِر ْي َن ٍة َخ‬
ِ ‫ار َج ٍة َم َع احْ ِت َم‬ ٌ ‫اللَّ ْف‬
ٍ ُ‫ظ الَّذِيْ َي ُد ُّل َع َل ْي َها َمعْ َنأهُ مِنْ َغي ِْر َت ْوق‬

Artinya : “Suatu lafazh yang menunujukkan suatu makna dengan rumusan lafazh itu sendiri
tanpa menunggu qarinah yang ada di luar lafazh itu sendiri , namun mempunyai kemungkinan di
takshis , di takwil, dan nasakh”.

Jadi dapat disimpulkan bahwasanya dzohir, yaitu apa yang menunjukan maksud
daripadanya itu dengan sighat itu sendiri, tanpa menghentikan faham maksudnya itu terhadap
urusan luar. Dan apa yang dimaksudnya itu ialah hal-hal yang menjadi pokok pembicaraan. Dia
mengandung takwil. Bila ada maksud memahami kata-kata tanpa memerlukan qarinah. Tidak
ada maksud asli dari pembicaraan. Kata-katanya itu di’itibarkan dengan jelas.

Hukum yang jelas (dzohir) di mungkinkan akan menerima ta’wil (memalingkan dari makna
zahir-nya) mungkin juga menerima takhsis juga bisa menrima nasakh (penghapusan hukum),
Lafaz dzohir terkadang harus di ta’wil untuk mencari makna yang dapat dipahami. Yang di
maksud dengan ta’wil i adalah “memalingkan arti dzohir kepada makna lain yang
memungkinakan berdasarkan dalil/ bukti”.

Berikut adalah beberapa contoh dari lafaz dzohir:

1
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Ed. 1, Cet. v, (Jakarta: Kencana, 2009) 4.
QS. Al-Baqarah (2) ayat 275:

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”

Ayat ini jelas sekali mengandung pengertian bahwa jual beli itu hukumnya halal dan riba itu
hukumnya haram, karena makna inilah yang mudah dan cepat ditangkap oleh akal seseorang
tanpa memerlukan qarînah yang menjelaskannya.

Meskipun demikian, ungkapan Arti dzohir yang cepat dapat ditangkap dari ayat tersebut adalah
kehalalan jual beli dan keharaman riba. Dzohir ayat tersebut menghadirkan makna yang mudah
dan cepat ditangkap oleh akal seseorang tanpa memerlukan faktor luar yang menjelaskannya
bahwa jual beli itu hukumnya halal dan riba itu hukumnya haram. Makna ini sangat jelas sekali
terlihat dalam ayat. Tetapi bukan pengertian itu yang dimaksud menurut konteks ayat
tersebut.  Maksud utama ayat ini adalah penjelasan tentang perbedaan antara jual beli dan riba.
Karena ayat tersebut adalah sebagai jawaban atas pernyataan orang musyrik yang menyatakan
bahwa jual beli dengan riba itu sama.

            Kaidah yang diterapkan oleh ulama ushul terkait lafaz dzohir bahwa setiap lafaz dzohir
harus dipegang maknanya. Hukum yang muncul dari lafaz dzohir dapat diterapkan, seperti
contoh ayat diatas bahwa dapat dinyatakan tentang “kehalalan jual beli dan keharaman riba”.
Kaidah yang berlaku di sini adalah wajib mengamalkan pengertian dzohir dari suatu ayat atau
hadis selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada pengertian yang lain.

● Nash

Lafaz nash adalah lafal yang menunjukkan pengertiannya secara jelas dan memang
pengertian itulah yang dimaksudkan atau dikehendaki oleh konteksnya. Lafaz nash merupakan
bentuk lafaz yang lebih jelas dari lafaz dzohir yang dijelaskan oleh lafaz itu sendiri dengan adanya
petunjuk yang terkait dengan maksud pembicara. Dalam arti bahwa kejelasan makna lafaz nash
dibandingkan lafaz zhahir tidak terjadi semata-mata dari struktur kalimat namun dari makna
yang menghadirkan  maksud pembicara itu sendiri. Secara singkat dapat dinyatakan bahwa lafaz
nash adalah sebuah lafaz yang penunjukan maknanya sesuai dengan maksud pembicara.
            Untuk lebih jelas tentang lafaz nash dan perbedaan dengan lafaz zhahir, dapat
dicontohkan melalui ayat riba yang telah diuraikan pada pembahasan lafaz zhahir pada surat
Al-baqoroh(2) ayat 275
‫َّط ُه ال َّش ۡي ٰطنُ م َِن ۡال َمسِّؕ‌ ٰذ ل َِك ِبا َ َّنهُمۡ َقالُ ۡۤوا ِا َّن َما ۡال َب ۡي ُع م ِۡث ُل الرِّ ٰبوا‌‌ۘ َواَ َح َّل هّٰللا ُ ۡال َب ۡي َع‬
ُ ‫اَلَّذ ِۡي َن َي ۡا ُكلُ ۡو َن الرِّ ٰبوا اَل َيقُ ۡوم ُۡو َن ِااَّل َك َما َيقُ ۡو ُم الَّذ ِۡى َي َت َخب‬
‫ارۚ‌ هُمۡ ف ِۡي َها ٰخلِ ُد ۡو َن‬ ٓ ‫هّٰللا‬ ۤ
ٰ ُ ‫ف َواَ ۡمرُهٗ ِا َلى ِؕ‌ َو َم ۡن َعادَ َفا‬ َؕ ‫َو َحرَّ َم الرِّ ٰبوا‌ؕ َف َم ۡن َجٓا َءهٗ َم ۡوعِ َظ ٌة م ِّۡن رَّ بِّهٖ َف ۡان َت ٰهى َف َل ٗه َما َس َل‬
ِ ‫ص ٰحبُ ال َّن‬ ۡ َ‫ك ا‬ َ ‫ول ِٕٮ‬

 Artinya : orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
(QS.Al-Baqarah: 275)
Lafaz nash dari ayat ini menunjukkan makna perbedaan antara jual beli dan riba dari
segi halal dan haram. Makna ayat (sebagai makna dzohir) pada makna kehalalan jual beli dan
keharaman riba. Sementara dalam makna nash pernyataan perbedaan keduanya merupakan
makna yang sesuai dengan maksud ayat tadi. Terlihat bahwa lafaz nash memunculkan kejelasan
makna yang lebih daripada lafaz dzohir sebab lafaz nash diketahui dari maksud pembicara. Oleh
karena itu, dari segi kekuatan makna yang dihasilkan oleh kedua lafaz, maka lafaz nash dalam
penunjukannya terhadap hukum dinyatakan lebih kuat dibandingkan dengan lafaz dzohir sebab
penunjukan nash lebih terang dan jelas dari segi maknanya.
            Kaidah yang ditetapkan atau berlaku bagi lafaz nash adalah sama seperti lafaz dzohir yaitu
wajib menggunakan makna yang secara langsung dapat dipahami dari maksud pembicara. Jadi
kaidah yang berlaku disini adalah wajib mengamalkan pengertian nash tersebut. Namun
mengandung kebolehjadian untuk di ta’wil kepada pengertian lain bila ada indikasi atau dalil
yang menunjukkan untuk itu.
● Mufassar
Mufassar adalah lafadz yang menunjuk kepada makna sebagaimana dikehendaki atau lafal
yang  menunjukkan kepada maknanya secara jelas dan perinci tanpa ada kemungkinan untuk
dipalingkan kepada pengertian lain.Penunjukkan lafaz mufassar terhadap maknanya lebih jelas
daripada lafaz zhahir maupun lafaz nash. Lafaz mufassar dapat dibagi dua :
a. Lafaz yang maknanya jelas dan terperinci dari semula tanpa memerlukan penjelasan.
Contohnya:
Artinya: Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali dera (QS. An-Nur: 4)
           
            Bilangan delapan puluh kali dera bagi pelaku qadhf yang menuduh orang baik-baik
melakukan zina tanpa adanya empat orang saksi, merupakan lafaz mufassar. Sebab bilangan
delapan puluh merupakan bilangan yang telah pasti, maknaya tidak dapat dipalingkan dan
pengertian angka delapan puluh kali itu tidak dapat diubah dengan mengurangi atau menambah
jumlahnya.

b. Lafaz yang pada mulanya adalah mujmal atau dalam bentuk global kemudian dari pembuat
syariat sendiri datang penjelasan yang memerincinya sampai jelas bisa diamalkan. Contoh
bentuk lafaz mufassar ini adalah ayat-ayat perintah salat, zakat dan haji  dalam Al-Qur’an
adalah kata-kata mujmal atau global, tanpa terperinci cara-cara pelaksanaanya.  Contoh
ayatnya adalah sebagai berikut :
ٌّ‫اع ِا َل ۡي ِه َس ِب ۡياًل ؕ‌ َو َم ۡن َك َف َر َفاِنَّ هّٰللا َ َغنِى‬
َ ‫اس َت َط‬ ِ ‫اس ِح ُّج ۡال َب ۡي‬
ۡ ‫ت َم ِن‬ ‫هّٰلِل‬
ِ ‫ان ٰا ِم ًناؕ ‌ َو ِ َع َلى ال َّن‬ ٌ ‫ت ۢ َبي ِّٰن‬
َ ‫ت َّم َقا ُم ا ِۡب ٰره ِۡي ۚ َم   َو َم ۡن دَ َخ َل ٗه َك‬ ٌ ‫ف ِۡي ِه ٰا ٰي‬
‫َع ِن ۡال ٰع َلم ِۡي َن‬

 Artinya: Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang
sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah. (QS. Ali- Imran: 97)

            Perintah salat, zakat, dan haji pada ayat tersebut merupakan lafaz yang masih bersifat
global dan mengandung makna yang belum dijelaskan oleh bentuk ayatnya sendiri. Tidak
ada penjelasan tentang cara dan segala hal yang terkait dengan pelaksanaan ketiga bentuk
ibadah tersebut. Kemudian Rasulullah menjelaskan dan merincinya melalui tindakan dan
sabda beliau.
            Kaidah yang berlaku pada lafaz mufassar adalah wajib diterapkan sesuai penjelasan
dan rincian yang membentuk maknanya yang tidak mungkin dipalingkan dari makna
tersebut. Jadi kita wajib mengamalkan apa yang telah ditegaskan dan diperinci.

● Lafaz yang Tidak Jelas Maknanya


            Dalam pandangan ulama Hanafiyah lafaz yang tidak terang artinya itu disebut:
ghairu wudhuh al-ma’na yang rincian dan urut peringkatnya adalah:
1)   Khafi, tidak jelas.
2)   Musykil, lebih tidak jelas.
3)   Mujmal, sangat tidak jelas.
4)   Mutasyabih, paling tidak jelas.

  Dalam Al-Quran tidak boleh ada lafaz yang tidak terang artinya, oleh karena itu harus
dijelaskan. Peringkat urutan didasarkan kepada tingkat kesulitan dalam menjelaskannya.
Semakin susah tingkat usaha menjelaskannya semakin tinggi tingkat ketidakjelasannya, yaitu: a)
cukup dengan pemikiran sederhana; b) mesti dengan menggunakan petunjuk ada dalil; c) mesti
menggunakan petunjuk khusus dari yang mengemukakannya dalam hal ini adalah Nabi; dan d)
tidak ada petunjuk sama sekali dan hanya Allah yang tahu.

● Musykil

        Musykil adalah lafal yang tidak jelas pengertiannya, dan ketidak jelasan itu disebabkan oleh
lafal itu diciptakan untuk beberapa pengertian yang berbeda sehingga untuk mengetahui
pengertian mana yang dimaksud dalam suatu redaksi memerlukan indikasi atau dalil dari luar,
seperti dalam lafal musytarak (lafal yang diciptakan untuk beberapa pengertian yang berbeda
hakikatnya).

        Perbedaan antara lafaz khafi dan musykil adalah bahwa pada lafaz khafi kekaburan
maknanya bukan disebabkan dari lafaz itu sendiri, melainkan disebabkan adanya keraguan
makna atas sebagian satuannya karena sesuatu dari luar. Adapaun kekaburan dari makna pada
lafaz musykil berasal dari lafaz itu sendiri karena lafaz itu diciptakan untuk beberapa makna.

         Contoh dari lafaz musykil adalah kata mushtarak. Yaitu sebuah kata yang mengandung
banyak pengertian, seperti kata yang ‘ayn. Kata ini dapat bermakna mata, mata dan mata-mata .
makna yang dihasilkan oleh kata ‘ayn berbeda-beda tidak dapat mencakup keseluruhan makna
dalam satu penggunaan kalimat. Makna tersebut terbentuk tergantung dari kontes
yang mengintari atau mengikuti kalimat tersebut atau diterangkan oleh faktor dari luar. Contoh
nya adalah sebagai berikut :

 Artinya: Dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat
(tanda-tanda kekuasaan Allah). (QS. Al-A’raf:179)
         Konteks kalimat dalam ayat itu menunjukkan kata a’yum sebagai bentuk jamak dari ‘ayn
bermakna mata sebagai salah satu panca indera. Contoh lainnya adalah lafal quru’ (jamak dari
qur’un) dalam surah al-baqarah ayat 228 .

   Artinya:  Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.

  Kata quru’ dalam ayat tersebut dalam pemakaian bahasa Arab bisa berarti “masa suci” dan
bisa pula berarti “. Imam syafi’i mengartikannya dengan masa suci, sedangkan Abu Hanifah
mengartikannya dengan masa haid. Masing-masing mengambil kesimpulan yang berbeda itu
didasarkan kepada qarinah atau dalil luar yang berbeda pula. Begitulah setiap lafal musykil
dalam Al-Qur’an dan Sunnah, untuk memahaminya memerlukan upaya ijtihad dalam mencari
tanda-tanda atau dalil yang membantu untuk memperjelas pengertiannya. Kesamaran lafaz
musykil dapat dihilangkan dengan melakukan upaya sinkronisasi antar ayat atau hadis serta
tujuan-tujuan umum pensyariatan hukum islam. Melalui aktivitas ijtihad, maka makna lafaz
musykil menjadi jelas dan hilang kesamaran maknanya meskipun hasil yang dicapai dalam
pentepan makna bagi lafaz musykil terebut berbeda atau beragam tergantung pada sudut
pandang masing-masing mujtahid.

● Mujmal
.   Lafaz mujmal dalam pengertian sederhana adalah Lafaz yang maknanya mengandung
beberapa keadaan dan beberapa hukum yang terkumpul di dalamnya. Tidak mungkin untuk
mengetahui kesamaran lafaz ini kecuali melalui mubayyin ( penjelas) dari Al-Qur’n ataupun
hadis.
  Mujmal menurut Hanafiyah adalah lafal yang mengandung makna secara global di mana
kejelasan maksud dan perinciannya tidak dapat diketahui dari pengertian lafal itu sendiri, seperti
istilah-istilah khusus dalam pemakaian syara’. Misalnya lafal shalat, zakat, haji, dan lain-lain lagi
lafal yang bukan dimaksud semata-mata pengertiannya secara bahasa tetapi pengertian khusus
syara’. Untuk mencari kejelasan pengertiannya, seperti dijelaskan Adib Shalih, bukan dengan
jalan ijtihad, tetapi adalah dengan penjelasan dari Pembuat Syariat sendiri. Untuk contoh-contoh
diatas, Sunnah Rasulullah berfungsi untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan istilah-istilah
tersebut.
     Menurut ‘Abd al-Wahhab Khallaf, lafaz mujmal dapat terjadi karena tiga sebab, yaitu:
a.       Lafaz tersebut termasuk lafaz mushtarak yang tidak mengandung qarinah ( petunjuk
kontekstual) yang mengarahkan pada penentuan salah satu maknanya
b.      Pembuat syariat ( al-Shari’) menghendaki lafaz tersebut dengan makna yang khusus
dalam terma shar’I bukan dalam makna kebahasaaan
c.       Keasingan lafaz dan kesamaran pengertiannya.
   Sehingga pada hakikatnya, ijtihad tidak dibutuhkan pada lafaz mujmal. Sebab ijtihad
dilakukan ketika lafaz mujmal telah berubah menjadi lafazmusykil setelah adanya bayan dari
pembuat syariat baik melalui ayat atau hadis.

● Mutasyabih
.   Mutasyabih merupakan bentuk lafaz yang memiliki kesamaran makna yang berasal dari lafaz
itu sendiri dan terputus semua upaya untuk mengetahui. Lafaz mutasyabih, secara bahasa (arti
kata), adalah lafaz yang meragukan pengertiannya karena mengandung beberapa persamaan.
Dalam istilah hukum, lafaz mutasyabih adalah lafaz yang samar artinya dan tidak ada cara yang
dapat digunakan untuk mencapai artinya. Pihak yang mengetahui makna bentuk lafaz ini
hanyalah Allah swt. Pada kondisi ini, maka tidak ada peluang bagi akal manusia untuk
menjelaskan makna lafaz mutasyabih. Tuntutan bagi manusia lebih apda penerimaan bentuk
lafaz itu apa adanya dan menyerahkan segala maknanya semata kepada Allah.
  Lafaz mutasyabih kebanyakan terdapat dalam nash-nash selain tetnang hukum. Misalnya,
huruf-huruf hijaiyah yang dipergunakan sebagai pembukaan beberapa surat dalam Al-Qur’an,
seperti “alif lam mim, “ya sin” dan lainnya. Selain itu, pada beberapa ayat yang menetapkan
bahwa Allah itu serupa dengan makhluk,misalnya mempunyai tangan, sebagaimana tercermin
dalam Al-Qur’an surat Al-Fath ayat 10: 
      Artinya: Tangan Allah diatas tangan mereka

            Contoh lain lafaz mutasyabih yaitu:


‫الم‬
         Artinya:  Alif laam miin (QS. Al-Baqarah: 1)
B.Pengertian tafsir dan takwil

Secara bahasa, kata tafsir mengikuti pola taf'il , berasal dari kata al fasr (f,s,r) yang berarti
" Menjelaskan, menyingkap, dan menampakan atau menerangkan makna yang abstrak."
Dalam lisan al A'rab al-tafsir berarti menyingkapakan maksud suatu lafadz yang musykil (pelik),
sedangkan al fasr berarti menyingkap sesuatu yang tertutup.
Adapun tafsir menurut pengertian istilah ialah " ilmu yang membahas tentang cara pengucapan
lafaz lafaz Al Qur'an sesusai dengan yang dikehendaki oleh Allah SWT., sehingga yang kurang
jelas menjadi jelas, yang samar menjadi tidak samar, yang sulit dipahami menjadi mudah
dipahami dan yang merupakan rahasia tidak menjadi rahasia lagi, sesusai ukuran kemampuan
manusia.

 Pembahasan mengenai klasifikasi tafsir tidak lepas dari metode yang digunakan mufasir
dalam menafsirkan Al Qur'an.
1.Tafsir bi al Ma'tsur
Tafsir bi al- Ma'tsur kerap disebut Tafsir bi al-riwayah atau bi al-naqli.  Metode penafsiran ini
merujuk kepada penafsiran Al Qur'an dengan dasar periwayatan, riwayat dari Al Qur'an, sunnah
dan perkataan sahabat.
2.Tafsir bi al-Ra'yi
Metode penafsiran ini disebut juga tafsir bi al-dirayah, atau tafsir bi al-ma'qul, sesuai nama yang
disandangnya , tafsir ini tidak menyandarkan pada periwayatan, melainkan pada kekuatan
rasional (ijtihad). Dengan demikian sandaran mereka adalah kemampuan bahasa, aspek
perdaban arab, pemahaman gaya bahasa, yang dipakai untuk komunikasi , dan penggunan sains
dan ilmu pengetahuan lain yang menopang dalam penafsiran suatu ayat.
3.Tafsir bi al-Isyari

Mayoritas ulama mengatakan, bahwa tafsir al-isyari ialah penafsiran dengan tidak memfokuskan
pada makna lahirnya. Al-Shabuni mengatakan, bahwa tafsir al-isyarii ialah ta'wil Al-Qur'an
dengan menembus makna lahirnya.

2.Takwil
1.Pengertian Takwil
Derivasi kata ta'wil  berasal dari kata "awwal" yang berarti al-marja, yang berarti tempat kembali.
Menurut Thameem Ushama, dengan mengutip dari pendapat al-Suyuthi, mengatakan bahwa
ta'wil berarti interpretasi atau memalingkan makna ayat Al-Qur'an dari kemungkinan makna
lain." Sementara lainnya menganggap bahwa ta'wil sinonim dengan Tafsir, begitupun anggapan
para ulam klasik yang menganggap  ta'wil sama dengan tafsir.  QS. An- Nashr(110):3.

2 Klasifikasi Ta'wil dibedakan menjadi 2 macam yaitu:

1.Ta'wil kalam
 
 Dalam pengertian bahwa si pembicara mengembalikan perkataan dengan merujuk pada
asalnya. Arti kalam sendiri adalah arti yang haqiqi dari si pembicaranya.

2.Ta'wil Amr
Ialah esensi perbuatan yang diperintahkan, misalnya hadist yang diriwayatkan dari Aisyah r.a, Ia
beerkata " Rasulullah membaca dalam rukuk dan sujudnya"
BAB III
PENUTUP
1.Kesimpulan
1.      Zhahir adalah lalafazh yang sudah dapat difahami atau di mengerti tanpa
memperulkan penjelasan dari lafazh- lafazh  yang lain karena lafazh tersebut sudah
cukup jelas dari segi bahasanya.
2.      Nash adalah lafazh yang menunujukkan maksud dari lafazh secara jelas, yang
tiadk mungkin mengandung makna atau maksud lain sendiri.
3.      Mufassar adalah lafazh yang menunjukkan maksud atau makan lafazh itu
sendiri secara terperinci dan tidak dimungkinkan menerima ta’wil.

4.      Muhkam adalah lafazh yang dapat menunujukkan maksud dan makna dengan


tegas dan jelas, serta tidak  memungkinkan untuk di-takwil, di-takhsis, dan di-nsakh. 

5. Musykil adalah lafal yang tidak jelas pengertiannya, dan ketidakjelasan itu
disebabkan oleh lafal itu diciptakan untuk beberapa pengertian yang berbeda

6. Lafaz mujmal dalam pengertian sederhana adalah Lafaz yang maknanya


mengandung beberapa keadaan dan beberapa hukum yang terkumpul di dalamnya.

7. Mutasyabih merupakan bentuk lafaz yang memiliki kesamaran makna yang


berasal dari lafaz itu sendiri dan terputus semua upaya untuk mengetahui

Sedangkan Tafsir adalah pengungkapan lafaz-lafaz yang kententuanya sudah ditentukan


Allah SWT. dimana menjelaskan yang tadinya tidak jelas, menjadikan yang samar menjadi
tidak samar lagi, dan yang sulit dipahami menjadi mudah dipahami. Sedangkan arti Takwil
sendiri adalah memalingkan makna ayat-ayat al- Qur'an dengan makna yang lain.

2.SARAN
Di dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan baik dari segi
isi maupun penulisan, untuk itu diharapkan kepada pembaca untuk dapat memberikan
berupa kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab Khallaf, Syekh. 2005.  Ilmu Ushul Fikih, alih bahasa Halimuddin.  Cet. V.
Jakarta: PT. Rineka  Cipta.
Effendi, Satria. 2008.  Ushul Fiqh.. Cet. II. Jakarta: Kencana.
Jumantoro, Totok, Samsul Munir Amin. 2005. Kamus Ilmu Ushul Fikih. Amzah.
Shidiq, Sapiudin. 2011.  Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Syafe’i, Rachmat.  1999. Ilmu Ushul Fiqih . Bandung: Pustaka Setia.
Syarifuddin, Amir. 2009. Ushul Fiqh Jilid 2. Ed. 1. Cet. V. Jakarta: Kencana.

Anda mungkin juga menyukai