Dosen Pengampu:
Dibuat Oleh:
FAKULTAS SYARI’AH
BANDUNG
2022
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan judul “AL-‘AM
DAN KAIDAHNYA, KHASH TAKSHISH DAN MACAMNYA”. Makalah ini penulis susun
sebagai salah satu persyaratan tugas mata kuliah Ushul Fiqih.
Dalam penyusunan makalah ini tidak lepas dari berbagai hambatan dan rintangan, akan
tetapi berkat bantuan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung maka 6
1. Tuhan YME yang telah memberikan kesehatan dan kelancaran dalam proses pembuatan
makalah ini
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna yang disebabkan karena
masih terbatasnya kemampuan penulis dalam menulis makalah. Namun demikian, penulis
berusaha dengan segenap kemampuan yang ada, agar makalah ini dapat memenuhi persyaratan
sebagai tugas. Untuk itu penulis sangat berharap atas kritik dan saran positif yang bisa
sampaikan untuk penulis, sehingga penulis dapat memperbaiki kesalahan atau ketidak tepatan
dalam pembuatan makalah ini.
Akhir kata penulis mengharapkan semoga laporan ini bermanfaat khususnya bagi penulis
umumnya bagi para pembaca.
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................................3
BAB I..........................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN......................................................................................................................................4
1.1 Latar belakang...................................................................................................................................4
1.2 Rumusan masalah..............................................................................................................................4
1.3 Tujuan................................................................................................................................................4
BAB II........................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................5
2.1 Al - ‘Am............................................................................................................................................5
2.2 Kaidah Al-‘am.................................................................................................................................6
2.3 Khash Takhshish.............................................................................................................................7
2.4 Macam - macam Khash Takhshish................................................................................................9
BAB III.....................................................................................................................................................12
PENUTUP................................................................................................................................................12
3.1 Kesimpulan......................................................................................................................................12
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Salah satu unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan dalam pengkaji islam
adalah ilmu ushul fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang dijadikan pedoman
dalam menetapkan hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliah yang diperoleh melalui dalil-
dalil yang rinci. Melalui kaidah-kaidah ushul fiqih akan diketahui nash-nash syara’ dan hukum-
hukum yg ditunjukkanya.
Diantar kaidah-kaidah ushul fiqih yang penting diketahui adalah istinbat dari segi
kebahasaan. Dengan kaidah itu diharapkan dapat memahami hukum dari nash syara’ dengan
pemahaman yang benar, dan juga dapat membuka nahs yang masih samar, menghilangkan
kontradiksi antara nash yang satu dengan yang lain. Salah satu dari kaidah-kaidah ushul fiqih
adalah lafadz ‘am (lafaz umum) dan lafadz khas (lafaz khusus).
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang Al-‘Am
2. Untuk mengetahui Kaidah Al-‘Am
3. Untuk mengetahui tentang Khas Takhshish
4. Untuk mengetahui macam-macam Khas Takhshish
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Al - ‘Am
Dalam upaya untuk memahami al-‘am ini para ulama ushul telah memberikan sejumlah
definisi atau pengertian yang pada dasrnya mengandung maksud yang sama, meskipun
redaksinya berbeda satu sama lainnya. Syaikh Al-khudari Beik, menyebutkan sebagai berikut:
اَ ْل َعا ُم هُ َو الَّل ْفظُ ال َّدا ُل َعلَى ِإ ْستِ ْغ َراقَِأ ْف َرا ِد َم ْفهُوْ ٍم
“al-‘am adalah lafadz yang menunjukan kepada pengertian dimana didalamnya tercakup
sejumlah objek atau satuan yang banya”..
“al-‘Am ialah suatu lafaz yang dipakai yang cakupan maknanya dapat meliputi berbagai objek di
dalamnya tanpa adanya batasan tertentu”.
Dari dua definisi diatas dapat dipahami bahwa hakekat keumuman lafal itu adalah karena
lafal itu sendiri dilihat dari segi karakteristik dan nilainya mengandung arti yang banyak dan
tidak menunjuk kepada objek tertentu saja. dengan kata lain suatu lafal di katagorikan kepada
yang umum jika kandungan maknanya tidak memberikan batasan jumlah objek yang tercakup
didalamnya.
Pada dasarnya pada pemahaman dalalah lafal al-‘am, ulama ushul telah sepakat bahwa
keumuman lafal nash itu tetap saja dalam keumumannya jika tidak ada dalil yang dapat dijadikan
sebagai dasar pengkhususannya. Akan tetapi, kalangan jumhur menegaskan sedapat mungkin
keumuman lafal nash itu harus diupayakan mencari takhsisnya, baik dengan akal, adat maupun
dengan nash itu sendiri.
Menurut ulama dari mazhab Hanafi, bahwa dalalah lafaz al-‘am itu adalah qhat’i bukan
zhanny dan ia seperti dalalah lafaz al-kahs dari segi maknanya. Kalangan ulama hanafi seperti
dijelaskan oleh Zaky al-Din Sya’ban, beralasan bahwa, sesungguhnya lafal al-‘am itu
mengandung makna yang pasti, tegas sampai ada dalil yang menyalahinya. Atas dasar ini
kalangan ulama Hanafi mengemukakan kaidah:
5
“ apa bila terdapat suatu lafal yang umum, maka maksud seluruh satuan –satuan yang erdapat
didalamnya adalah qhat’i sampai ada dalil yang mengkhususkan dan membatasi sebagian dari
satuan-satuan yang tercakup didalamnya”.
Kemudian dari kalangan jumhur ulama, seperti dari mazhab syafi’i menyatakan bahwa
dalalah lafal al-‘am itu adalah zhanny buka qhat’i. oleh karena itu setiap lafal al-‘am haruslah di
takhsis sebelum diamalkan.
Kalangan Syafi’iyah , malah menegaskan:
َ َام ِإاَّل َوقَ ْد ُخصَّ ِم ْنهُ ْالبَع
ْض ٍ َما ِم ْن ع
“lafal al-‘am tidak dapat diamalkan, kecuali setelah dikhususkan sebagian dari satuan-
satuannya”.
Dari pandangan syafi’iyah ini jelas bahwa bagaimanapun juga lafal al-‘am itu, sedapat mungkin
harus di khususkan, karena keadaan zhanny.
Am artinya umum. Dalam Ushul fikih, Am memiliki posisi tertentu karena keluasan
makna atau arti yang dikandungnya.
Lafaz Am terbagi ke dalam tiga macam:
1. Am yuradu bihi al-am, yaitu am yang tidak dibarengi qarinah (penjelasan) yang
menghilangkan peluang pengkhususan makna.
2. Am yuradu bihi al-khusus, yakni am yang dibarengi qarinah yang menghilangkan makna
umum dan menerangkan bahwa makna am di sana hanya merujuk kepada beberapa dari seluruh
satuannya.
3, Am makhshush, yakni am mutlak. Am jenis ini tidak dibarengi qarinah yang menghilangkan
peluang pengkhususan dan menghilangkan keumumannya. Jadi, sighat am ini keumumannya
mutlak.
6
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya,
dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis
dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).” (QS Hud: 6)
Maksudnya, makna tersirat dalam sebuah kalimat yang menyimpan atau mengandung
makna umum. Contohnya, terdapat dalam QS Al Isra’ ayat 23:
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah
kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara
keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak
mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS Al Isra: 23)
3. Kaidah ketiga: Orang yang memerintahkan sesuatu, maka ia termasuk dalam perintah
tersebut
Maka, hukum juga berlaku bagi orang yang memerintahkannya. Kecuali Allah SWT,
tentu saja.
4. Kaidah keempat: Pelajaran diambil dari keumuman lafaz, bukan dari kehususan sebab
Contohnya terdapat dalam hadis nabi yang diriwayatkan Abu Hurairah. Dia berkata:
“Rasulullah bersabda tentang laut: airnya suci dan mensucikan,serta bangkainya halal.”
صِّص
ِ َك َويَ َس َّمى هَ َذا ال َّد لِيْلْ بِا ْل ُمخ
َ ِْض َما يَتَنَا ُولُهُ ِمنَ اَأْل ْف َرا ِد لِ َد لِي ٍْل يَ ُد لُّ َعلَى َذل
ِ صرْ فُ ْال َع ِام ع َْن ُع ُموْ ِم ِه َوقَصْ ُرهُ َعلَى بَع.
َ
Takhshis ialah upaya mengubah dan membatasi pengertian lafal ‘am dari keumumannya
atas satuan-satuan (objek) yang tercakup didalamnya, karena ada dalil yang menunjukkan
(menghendaki) hal yang demikian.
7
Dari pengertian ini, dapat dipahami bahwa thakshis merupakan usaha untuk membatasi
cakupan pengertian lafal ‘am, dan hal ini bisa dilakukan bila ada dalil atau alasan untuk dijadikan
sebagai alat untuk membatasi atau mempersempit pengertian dari berbagai objek yang tercakup
di dalam lafal ‘am tersebut. Dengan kata lain, thakshis adalah suatu cara untuk mempersempit
keumuman lafal ‘am yang di dalamnya terdapat beberapa objek yang harus dicermati secara
tajam oleh seorang yang akan mengambil kesimpulan hukum dari nash.
Yaitu takhshis yang tidak berdiri sendiri, tetapi sesuatu yang akan dijadikan sebagai mukhashshis
itu disebut bersama lafal al-‘am , dan keduanya terkait serta disebutkan dalam suatu kalimat .
a. Syarat, contohnya bolehnya suami ruju’ dengan istrinya jika ia menghendaki kebaikan.
b. Ghayah (lafaz yang menunjukkan maksud terakhir). Contohnya membasuh tangan dalam
berwudhu sampai siku-siku.
c. Badal ba’du min kull (penganti dari sebagian). Contohnya kewajiban haji bagi orang-
orang yang mampu melakukan perjalanan
d. Hal (yang menunjukkan keadaan) contoh larangan melakukan shalat dalam keadaan
mabuk.
e. Zharaf (keterangan waktu atau tempat). Contohnya tentang masa menunaikan zakat
fitrah.
Yaitu sesuatu yang akan dijadikan mukhashshis itu tidak terdapat dalam satu rangkaian kalimat
‘am, tetapi keduanya terpisah dan berdiri sendiri.
a. Al-Qur’an dapat dikhususkan dengan al-Qur’an. Contohnya batas iddah wanita yang
dicerai suaminya selama tiga kali suci/haid.
b. Al-Qur’an dikhususkan dengan sunah. Contohnya masalah waris. Anak laki-laki
mendapat dua bagian dari bagian perempuan.
8
c. As-Sunah dapat dikhususkan dengan al-Qur’an. Contohnya bahwa tidak sah shalat
seseorang kecuali dengan wudhu
d. As-Sunah dapat ditakhsis dengan sunah. Misalnya, hadis yang mengharuskan zakat hasil
tani 10% jika dibantu air hujan.
e. Al-Qur’an atau hadis dikhususkan oleh qiyas. Contohnya hukum dera bagi pelaku zina
dengan dera 100 kali.
f. Al-Qur’an dikhususkan oleh akal contohnya haji wajib bagi orang yang sudah mampu
melakukan perjalanannya.
g. Hadis dikhususkan oleh mafhum (makna tersirat). Contoh hadis nabi yang berisi tentang
kewajiban mengeluarkan zakat satu kambing dari 40 kambing.
Telah diketahui bersama bahwa bentuk lafal ‘am dalam al-qur’an dan hadis itu banyak
sekali. Begitu juga lafal khash, yang bentuk nya dapat digolongkan menjadi 4 (empat) macam,
yaitu khash berbentuk muthlak, berbentu khash, berbentuk amr, dan berbentuk nahiy.
1). Lafal khash berbentuk muthlak, yaitu: lafal khash yang tidak ditentukan dengan sesuatu.
Maksudnya, jika didalam nash itu ditemukan lafal khash, maka lafal ini harus diartikan sesuai
dengan arti hakiki, selama tidak ada dalil lain yang memalingkan arti hakiki ke arti yang lain.
Contoh:
- Hukum 80 cambuk bagi penuduh zina, tidak boleh lebih dan tidak boleh pula kurang.
Tentang ketentuan zakat seekor kambing atau 1 sha’ beras, imam hanafi berpendapat
- Seekor kambing atau uang yang sama dengan harga satu ekor kambing
Sebab zakat adalah untuk kepentingan fakir dan miskin. Pada satu saat barang lebih bermanfaat
dari pada uang dan pada saat yang lain uang lebih bermanfaat dari pada beras. Oleh sebab itu,
9
lafal khash yang berbentuk muthlak harus dilaksanakan dengan sesuai arti nya secara muthlak
dan kalau dikaitkan harus sesuai pula dengan kaitannya
2). Lafal khash yang berbentuk (muqayyad), yaitu lafal khash yang di tentukan dengan sesuatu.
Jika lafal khash yang berbentuk muthlak itu di dalam nash lain ditemukan dan diterangkan secara
muqayyad, sedangkan pokok pembicaraan dan sebab sebabnya sama, maka semua hukunya
harus ikut sama.
Contoh:
- QS. Al-maidah:3 : darah ditentukan dalam bentuk lafal ‘am, baik membeku atau mengalir.
Jika demikian, yang muthlaq tetap berlaku sesuai dengan arti kemutlakannya. Sekalipun
demikan, para ahli berbeda pendapat.
- Imam hanafi berpendapat bahwa lafal yang muthlak tetap berlaku sesuai ngan arti
kemutlakannya
Jika demikian, lafal yang mutlak harus diartikan susuai dengan kemutlakan nya dan yang
muqayyad (terikat) harus diartikan sesuai dengan muqayyadnya.
- al-nisa: 92: menjelaskan masalah sanksi hukuman bagi pembunuhan bersalah dengan
membayar kafarah memerdekakan budak yang mukmin.
10
Jika demikian, maka yang muthlak harus diartikan sesuai dengan ke mutlakannya dan yang
muqayyad diartikan sesuai dengan muqayyadnya.
Jika lafal khash itu berbentuk amr atau berbentuk kata yang mengandung arti amr atau
berbentuk khabar, maka hukumnya adalah wajib.
Contoh:
- Berbentuk amr, dalam wujud fi’il amr, misalnya dalam QS. Al-maidah:38:
Jika ada lafal nahiy dibawakan dalam bentuk lafal khash atau berbentuk mengandung arti nahiy,
maka hukum yang terkandung didalamnya adalah haram.
Contoh:
QS. Al-baqarah:221:
Larangan pada ayat ini menunjukan hukum haram. Akan tetapi jika ada tanda yang menunjukan
bahwa arti ayat tersebut harus dipalingkan ke arti majazi, maka pengertian hukumnya harus
disesuai kan dengan tanda tersebut, sehingga memungkinkan mengandung arti makruh, do’a,
irsyad, dan sebagainya.
11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam upaya untuk memahami al-‘am ini para ulama ushul telah memberikan sejumlah
definisi atau pengertian yang pada dasrnya mengandung maksud yang sama, meskipun
redaksinya berbeda satu sama lainnya.
“al-‘am adalah lafadz yang menunjukan kepada pengertian dimana didalamnya tercakup
sejumlah objek atau satuan yang banya”..
“al-‘Am ialah suatu lafaz yang dipakai yang cakupan maknanya dapat meliputi berbagai objek di
dalamnya tanpa adanya batasan tertentu”.
Kaidah Al-‘am:
1. Kaidah pertama: Keumuman itu tidak menggambarkan suatu hukum
2. Kaidah kedua: Makna tersirat itu memiliki bentuk umum
3. Kaidah ketiga: Orang yang memerintahkan sesuatu, maka ia termasuk dalam perintah
tersebut
4. Kaidah keempat: Pelajaran diambil dari keumuman lafaz, bukan dari kehususan sebab
Dalam kajian ushul fiqh, penggunaan takhshis berkaitan dengan keberadaan lafal am.
Takhshis sering pula disebut ()قصر العام, yaitu membatasi atau mempersempit pengertian lafal
yang umum. Zaky al-Din Sya’ban menyebutkan, bahwa yang dimaksud dengan takhshis adalah:.
Takhshis ialah upaya mengubah dan membatasi pengertian lafal ‘am dari keumumannya
atas satuan-satuan (objek) yang tercakup didalamnya, karena ada dalil yang menunjukkan
(menghendaki) hal yang demikian.
12
4. Lafal khash berbentuk nahiy
13