Anda di halaman 1dari 5

NAMA : M.

FIKRI HAYKAL
NIM: 1813010106
HK-C4
Review kelompok 5
WADHIH AD DILALAH
Ulama’ ushuliyyun membagi ayat-ayat yang terdapat di dalam Al Quran ditinjau dari kejelasan
makna dan kandungan hukum-hukum yang dikehendaki oleh Allah SWT di dalamnya, menjadi 2
kategori:
A. Wadhih Ad Dilalah ala Ma’nahu (kejelasan makna ayat)
Di dalam memahami ayat ini tidak dibutuhkan amr kharij (sesuatu selainnya), karena maksud dari ayat
tersebut sudah jelas tanpa membutuhkan hal lain.
B. Mubham Ad Dilalah ala Ma’nahu (kesamaran makna ayat)
Di dalam memahami ayat ini harus mendatangkan amr kharij (sesuatu selainnya), karena maksud dari
ayat tersebut belum jelas sehingga membutuhkan hal lain.
Wadhih ad dilalah dan mubham ad dilalah keduanya memiliki posisi kedudukan yang berbeda
beda sesuai tingkat kejelasan atau kesamaran ayat. (Sedangkan) pembagian Wadhih Ad Dilalah dilihat
dari tingkat kejelasannya terbagi menjadi 4 yaitu: ad zhahir, an nash, al mufassar, dan al muhkam.
1. Ad Zhahir
Ad zhahir adalah lafadz yang menunjukkan makna dengan menggunakan sighat (bentuk) kalimat yang
tidak menggantungkan terhadap sesuatu yang lain di dalam memahaminya. Dan perlu adanya pen-takhsis-
an, pen-takwil-an, dan pe-naskh-an.
Al-Bazdawi memberikan definisi tentang zhahir sebagai berikut:
‫اسم لك ّل كالم ظهر المرادبه للسّامع بصىيغته‬

Artinya : “suatu nama bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar, melalui bentuk
lafadz itu sendiri.”
Sedangkan definisi yang lebih jelas dikemukaan oleh Al-Sarakhsi:
‫ما يعرف المراد منه بنفس السّامع من غير تأ ّم ل‬

Artinya : “sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari pendengaran itu sendiri tanpa harus dipikirkan
terlebih dahulu.”

Contoh : QS. Al-Baqarah : 275

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS.
Al-Baqarah : 275).

Secara Zhahir menunjukkan kepada halal jual beli dan haram riba dengan lafaz itu
sendiri tanpa memerlukan qarinah yang lain untuk memahami maksudnya. Kedua lafaz buyu’
dan riba adalah ‘am (umum), yang ada kemungkinan untuk ditakhsis guna mempersempit
keluasan maksudnya, yang hanya mencakup beberapa bagian saja, tanpa yang lainnya.

pemahaman

Jadi pada contoh diatas itu zhahir disana menunjukan bahwa perkataan tentang riba jelas
haramnya dan perkataan tentang jual beli jelas halalnya antara keduanya berbeda satu sama lain.

2. Nash ( ‫)النص‬
Nash menurut istilah ulama ushul fiqh ialah sesuatu yang menunjukkan terhadap makna yang
dimaksudkan secara asli dari susunan kalimatnya melalui shighatnya itu sendiri, namun ia mengandung
kemungkinan untuk ditakwilkan. Sepanjang makna tersebut adalah yang segera difahami dari lafadz dan
pemahamannya tidak tergantung pada suatu yang bersifat khariji dan makna tersebut adalah yang
dikehendaki secara asli dari susunan kalimatnya maka lafadz tersebut dianggap sebagai nash terhadap
makna itu.
Menurut Ad-Dabusi:
‫ال ّزائدعلى الظّ اهر بيانا إذا قوبل به‬
Artinya : “sesuatu lafadz yang maknanya lebih jelas dari pada zhahir bila ia dibandingkan dengan
lafadz zhahir.”
Menurut Al-Bazdawi:
ّ ‫مازداد وضوحا على الظّاهر بمعنى المتكلّم ال فىى نفس ال‬
‫ص يغة‬
Artinya : “lafadz yang lebih jelaz maknanya dari pada makna lafadz zhahir ynag diambil dari si
pembicaranya bukan dari rumusan bahasa itu sendiri.”
Contoh lafadz nash dalam firman Allah surat Al-Baqarah: 275
. ‫وأح ّل هللا البيع وحرّم ال ّر با‬
Secara nash, ayat tersebut bertujuan untuk menyatkan perbedaan antara jual beli dengan riba
sebagai sanggahan terhadap orang yang menganggapnya sama. Hal ini dapat dipahami dari ungkapan
keseluruhan ayat tersebut. Meskipun maksud ayat ini sudah sangat jelas namun dari ayat ini dapat pula
dipahami maksud lain bahkan dalam arti yang lebih jelas yaitu halalnya hukum jual beli dan haramnya
riba. Pemahaman menurut cara yang terakhir ini disebut zhahir.
Contoh lain :

“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.” (QS.
An-nisa’: 3)

Pemahaman

Ayat tersebut adalah nash mengenai pembatasan jumlah isteri yang terbanyak yaitu empat orang
isteri, karena itu adalah makna yang segera dipahami dari lafadznya dan dimaksudkan secara asli dari
susunan kalimatnya.
3. Mufassar ( ‫) المفسّر‬
Al-Uddah merumuskan mufassar sebagai berikut:
‫ما يعرف معناه من لفظه واليفتقر إلى قرينة تفسيره‬
Artinya: “sesuatu lafadz yang dapat diketahui maknanya dari lafadznya sendiri tanpa memmerlukan
qarinah yang menafsirkannya.”
Sedangkan menurut ulama ushul fiqh, mufassar yaitu sesuatu yang menunjukan dengan
sendirinya atas maknanya yang terperinci dengan suatu perincian yang tidak lagi tersisa kemungkinan
takwil. Diantaranya ialah bahwasanya shighatnya menunjukan dengan sendirinya dengan suatu dalalah
yang jelas terhadap makna yang terperincidan didalamnya terdapat sesuatu yang meniadakan
kemungkinan maksud selain maknanya,

contoh

“Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi


kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS.
At-Taubah : 36)

Pemahamannya

Ayat diatas menjelaskan bahwa memerangi orang musyrik seluruhnya tanpa terkecuali tidak
boleh tidak harus keseluruhan secara terperinci tidak suatu golongan atau suatu kelompok tertentu saja
tetapi keseluruhan kaum musyrikin. Kata kaffah (semuanya) meniadakan kemungkinan pentakhshiskan

Mufassar ada dua macam, yaitu:


1) Menurut asalnya, lafadz itu sudah jelas dan terinci sehingga tidak perlu penjelasan lebih lanjut.
Contohnya surat An-Nur:4 bahwa bilangan dalam ayat ini jelas dan terurai yaitu delapan puluh
kali dera. Tidak ada kemungkinan untuk dipahami dengan lebih atau kurang dari bilangan itu.
2) Asalnya lafadz itu belum jelas (ijmal) dan memberikan kemungkinan beberapa pemahaman
artinya. Kemudian datang dalil lain yang menjelaskan artinya sehingga ia menjadi jelas.
(mubayyan)
‫ومن قتل مؤمنا خطأ فتحريررقبة مؤمنة ودية مسلّمة إلى أهله‬
Artinya: “orang-orang yang membunuh orang beriman secara tidak sengaja, hendaklah ia memerdekaan
hamba sahaya dan menyerahkan diyat kepada keluarganya.” (QS. An-Nisa: 92)
Ayat diatas menyangkut keharusan menyerahkan diyat kepada keluarga korban, tetapi tidak
dijelaskan mengenai jumlah, bentuk dan macam diyat yang harus diserahkan itu. Sesudah turun ayat ini
datang penjelasan dari Nabi dalan sunnah yang merinci keadaan dan cara membayar diyat itu sehingga
ayat diatas menjadi terinci dan jelas artinya.
Dilalah mufassar wajib diamalkan secara qoth’i sepanjang tidak ada dalil yang me-nasakh-nya.
Lafadz mufassar tidk mungkin dipalingkan artinya dari zhahirnya, karena tidak mungkin ditakwil dan di
takhsis melainkan hanya bisa di nasakh atau diubah apabila ada dalil yang mengubahnya.
Dengan demikian mufassar lebih kuat dari pada zhahir dan nash. Oleh sebab itu, apabila terjadi
pertentangan antara ketinganya maka mufassar harus didahulukan.
4. Muhkam ( ‫) المحكم‬
Muhkam menurut bahasa diambil dari kata ahkama yang berarti aqtana, yaitu pasti dan tegas. Sedangkan
menurut istilah adalah sebagaimana yang dikemukakan As-Sarkhkasi:
‫فالمحكم ممتنع من إحتمال التّأويل ومن أن ير ّد عليه النّسخ‬
Artinya: “muhkam itu menolak adanya penakwilan dan adanya nash.”

. Ketentuan hukum yang ditunjuk oleh lafaz Muhkam adakalanya:

a. Mengenai hukum asasi yang tidak dapat diubah, seperti beriman kepada Allah dan
keesaan-Nya, beriman kepada malaikat, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan hari
akhirat.
b. Mengenai hukum induk keutamaan, kaidah-kaidah akhlak yang menetap dalam
akal yang sejahtera, dan hal-hal yang tidak berbeda dengan perbedaan situasi dan
kondisi, seperti berlaku adil, berbakti kepada kedua orang tua, menjalin silaturrahmi
(persaudaraan) dan menepati janji.
c. Mengenai hukum syara‘ yang juz’i (hukum cabang) yang ditetapkan oleh syari‘
agar hukum tersebut dilestarikan.

Muhkam terbagi kepada dua macam yaitu muhkam lizattihi dan muhkam ligairihi yang
menjadikan salah satu faktor bernilainya suatu lafzh itu.
a. Muhkam Lizattihi

Muhkam lizatihi, yaitu muhkam yang disebabkan oleh faktor internal yang
berasal dari diri lafaz sendiri secara mandiri. misalnya ayat-ayat yang menjelaskan
adanya sang pencipta, dll.

b. Muhkam Ligairihi

Muhkam ligairihi, ialah lafaz yang menjadi muhkam karena faktor eksternal dari
luar dirinya, yaitu karena telah terputusnya wahyu.

Anda mungkin juga menyukai