Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kaidah-kaidah hukum tidaklah disusun dalam suatu kurun waktu tertentu.
Hukum-hukum itu baru tersusun secara sistematis di kemudian hari sejalan
dengan perkembangan dan pertumbuhan ijtihad di kalangan para pakar dan
pendiri madzhab dalam hukum islam. Makna-makna yang tergantung dalam
kaidah-kaidah hukum ditetapkan oleh para pakar hukum islam yang kemudian
dikenal sebagai pendiri dan tokoh madzhab hukum. Mereka menyusun kaidah-
kaidah hukum berdasarkan pengalaman empiriknya yang kemudian
dirumuskannya melalui penalaran induktif. Dengan demikian, tidak
mengherankan jika kaidah-kaidah hukum itu baru dikodifikasikan pada abad
ke-3 hijriah.
Bunyi pernyataan dalam bentuk kaidah hukum dalam kitab-kitab hukum
karya ulama terdahulu berbeda dengan bunyi pernyataan kaidah hukum dalam
kitab-kitab yang ditulis para pakar hukum islam yang datang kemudian.
Tokoh pendahulu dalam penulisan kaidah-kaidah hukum islam adalah Abu al-
Hasan Ubaidillah bin al-Husain bin al-Karkhi (160-340H) yang dikenal
dengan nama al-Karkhi. Kaidah tentang ijtihad dalam karya al-Karkhi
berbunyi: Artinya : Pada pokoknya apabila suatu kasus telah ditetapkan
hukumnya berdasarkan ijtihad, maka ketetapan tersebut tidak dapat
dihapuskan dengan hasill ijtihad serupa. Ketetapan tersebut dapat dihapus
berdasarkan nash. Kaidah tentang ijtihad sebagaimana dijumpai, baik dalam
karya Ibn Najim, maupun dalam karya al-Suyuthi, al-Asyba’h wa al-nadza’id,
berbunyi:
Artinya : Ketetapan hukum yang diputuskan berdasarkan hasil ijtihad itu
tidak dapat digugurkan oleh hasil ijtihad lainnya. Kedua bunyi kaidah itu,
walaupun berbeda tetapi mengandung makna dan maksud yang sama. Susunan
pernyataan yang terkandung di dalam kaidah hukum itu tidak diketahui secara

1
pasti dari mana asal-usulnya. Akan tetapi, kaidah hukum itu ada yang dipetik
sepenuhnya dari teks al-Qur’an dan dari hadits Nabi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja Metode Penetapan Hukum Islam
2. Bagaimana Lafadz Dilihat dari Segi Kandungan Makna
3. Bagaimana Lafaz Dari Segi Penggunaanya

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Metode Penetapan Hukum Islam
2. Untuk mengetahui Lafadz Dilihat dari Segi Kandungan Makna
3. Untuk mengetahui afaz Dari Segi Penggunaanya

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Metode Penetapan Hukum Islam


Dalam istilah ilmu Ushul Fiqh motede penetapan hukum dipakai dengan
istilah “Istinbath”. Istinbath artinya adalah mengeluarkan hukum dari dalil,
jalan istinbath ini memberikan kaidah-kaidah yang bertalian dengan
pengeluaran hukum dari dalil. Metode pendekatan hukum islam dibagi
menjadi tiga pola yaitu :1
1. Metode bayani
Metode bayani adalah suatu penjelasan secara komprehensif
terhadap teks nas untuk mengetahui bagaimana cara lafal nas
menunjukkan kepada hukum yang dimaksudkannya.
2. Metode ta’lili
Metode ta’lili adalah upaya penggalian hukum yang bertumpu pada
penentuan ‘illat-‘illat hukum yang terdapat dalam suatu nas. Penalaran ini
didukung oleh kenyataan bahwa penuturan suatu masalah dalam nas
diiringi dengan penyebutan ‘illat-‘illat hukumnya. Muhammad Salam
Madkur mendefinisikan “Upaya seorang faqih dalam menggali hukum
yang tidak dijelaskan oleh nas} baik secara qat’i maupun zanni dan tidak
pula terdapat dalam ijma’, di mana untuk mencapainya dengan melihat
amarat (‘illat) yang sudah diletakkan oleh Syari’ untuk menunjukkan pada
hukumnya”.
3. Metode al-istislāhī
Metode Istislahi adalah penalaran untuk menetapkan hukum Syar‘
atas sesuatu perbuatan berdasarkan kemaslahatan dengan menggunakan
ayat-ayat al-Qur’an atau Hadith mengandung konsep umum sebagai dalil
sandarannya. Dengan kata lain, kegiatan-kegiatan yang berupaya
menetapkan hukum suatu masalah atas dasar pertimbangan kemaslahatan
karena tidak ada ayat al-Qur’an dan Hadith khusus yang dapat digunakan.

1
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009) hal 11

3
Sedangkan Abu ishaq Ibrahim ibn Musa ibn Muhammad Al-
Lakhmi Al Garnati merumuskan sebuah konsep al_istiqra’, yaitu
penelitian terhadap partikular-partikular makna nash, hukum-hukum
spesifik (far’iyah), dan realitas sejarah (tradisi) untuk di tetapkan suatu
hukum umum, baik sifatnya pasti (qot’i) maupun dugaan kuat (zhanni).
Al_istiqra’ al-Man’nawi merupakan suatu metode penetapan hukum yang
tidak saja menggunakan satu dalil tertentu, melainkan dengan sejumlah
dalil yang digabungkan antara satu dengan yang lain yang mengandung
aspek dan tujuan berbeda, sehingga terbentuklah suatu perkara hukum
berdasarkan gabungan dalil-dalil tersebut.2

B. Lafadz Dilihat dari Segi Kandungan Makna


1. Ta’rif
Yang disebut dzhohirud dalalah ialah suatu lafadz yang menunjuk
kepada makna yang dikehendaki oleh sighat (bentuk) lafadz itu sendiri.
Artinya untuk memahami makna dari lafadz tersebut tidak tergantung
kepada suatu hal dari luar.3
Zhahirud dalalah itu ada 4 tingkat:
Zhahir yang dimaksud dengan zhahir ialah lafadz yang menunjuk
kepada suatu makna yang dikehendaki oleh sighat lafadz itu sendiri. Tetapi
bukanlah makna itu yang dimaksud oleh syaqul kalam dan lafadz itu
sendiri masih dapat di takwilkan di tafsiran dan dapat pula di nasakhkan
pada masa Rasulullah SAW, misalnya firman Tuhan :
   
  
   
  
    
   

2
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009) hal 15
3
Moh. Shofiyul Huda MF, Ushul Fiqh: Pengertian, Sejarah dan Pemikiran (Kediri:
STAIN Press, 2009) hal 88

4
   
   
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.”
(An-Nisa’ 3)
Adalah lafadz zhahir, sebab makna yang dikehendaki dan segera
dapat dipahamkan dari lafadz “fankihu ma thaaba lakum minan nisa’i”
ialah halalnya mengawini wanita-wanita yang disenangi, akan tetapi kalau
kita perhatikan siyaqul kalam (rangkaian pembicaraan) maka bukan itu
yang dimaksud. Maksud yang sebenarnya dari ungkapan itu ialah
membatasi jumlah wanita yang boleh di kawini yaitu 4 orang sekali
pegang.
Lafadz zhahir itu wajib diamalkan sesuai dengan makna yang
dikehendakinya, selama tidak ada dalil yang menafsirkan, menta’wilkan
atau menasakhkannya.
2. Nash
Lafadz nash ialah lafadz yang menunjuk kepada suatu makna yang
dikehendaki baik oleh lafadz itu sendiri maupun oleh siyaqul kalam dan ia
masih dapat dita’wilkan, ditafsirkan dan di naskah dimasa Rasulullah
SAW, misalnya firman Tuhan.
‫صيَّة بَ ْع ِّد ِّمن‬ ُ ‫دَيْن أ َ ْو بِّ َها تُو‬
ِّ ‫صونَ َو‬
“Sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya”. (an-Nisa’: 12)
Lafadz “washiyatin” dan “dainin” dalam ayat tersebut adalah
lafadz nash. Sebab makna yang dikehendaki oleh sighat lafadz dan oleh
siyaqul kalam adalah sama benar, yaitu keharusan mendahulukan wasiat
dan pembayaran hutang dari pada membagikan harta pusaka kepada para
ahli waris. Dan firman-Nya lagi
‫اب َما فَان ِّك ُحواْ ْاليَتَا َمى‬
َ ‫ط‬ َ ِّ‫ث َمثْنَى الن‬
َ ‫ساء ِّمنَ لَ ُكم‬ َ َ‫ع َوثُال‬
َ ‫َو ُربَا‬

5
Makna yang dikehendaki baik oleh lafadz itu sendiri maupun oleh
siyaqul kalam secara asli ialah perihal batasan seorang laki-laki dalam
mengawini wanita hanya sampai empat orang saja.
Hukum lafadz nash
a. Ketentuan lafadz nash itu sama dengan ketentuan hukum lafadz zhahir.
Yakni wajib di amalkan menurut madlulnya (dalam hal ini mana yang
dikehendaki oleh siyaqul kalam). Selama tidak ada dalil yang
mentakwilkan, menafsirkan atau menasakhnya. Berdasarkan ketentuan
yang prinsip itu apabila lafadz nash tersebut:4
1) Dalam keadaan mutlaq, ia tetap dalam kemutlakannya. Selama
tidak ada dalil yang mentaqyidkannya. Jika ada dalil yang
mentaqyidkannya maka lafadz yang muqayyadhah yang
diamalkannya. Sebagai contoh lafazh nash mutlaq seperti firman
Allah :
‫صيَّة بَ ْع ِّد ِّمن‬ ُ ‫دَيْن أ َ ْو ِّب َها تُو‬
ِّ ‫صونَ َو‬
“Sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya”. (an-Nisa’: 12)
2) Bersifat ‘amm. Maka ia tetap dalam arti keumumannya, selama
tidak ada dalil yang mentakhsiskannya. Jika ada dalil yang
mentakhsiskannya hendaklah diamalkan mukhashshishnya. Contoh
lafadz nash amm yang ditakhshiskan seperti firman Tuhan:
 
   
    
   
   
  
  
   
  
  
  
4
Moh. Shofiyul Huda MF, Ushul Fiqh: Pengertian, Sejarah dan Pemikiran (Kediri:
STAIN Press, 2009) hal 89

6
 
    

“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan
apa yang diciptakan allah dalam rahimnya, jika mereka beriman
kepada allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak
merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami)
menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan
tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
isterinya. Dan allah maha perkasa lagi maha bijaksana.” (al-
baqarah : 228)
b. Lafadz nash itu baik diciptakan untuk pengertian umum maupun
khusus, harus tetap diartikan menurut maknanya yang haqiqi, sampai
ada dalil yang menunjukkan bahwa makna yang dikehendaki oleh
lafadz itu adalah makna yang majazi.5
3. Mufassar
Mufassar ialah lafadz yang menunjuk kepada makna sebagaimana
dikehendaki oleh shighat lafadz itu sendiri dan siyaqul kalam, tetapi ia
tidak dapat dita’wilkan dan ditafsirkan selain oleh syari’. Contoh:
‫َج ْلدَة ث َ َما ِّنيْنَ فَاجْ ِّلد ُْو ُه ْم‬
Maka deralah mereka delapan puluh kali
a. Macam-macam mufassar.
1) Mufassar bidzatih yaitu kejelasan makna yang dikehendaki oleh
shighat lafadz dan siyaqul kalam tanpa memerlukan penjelasan dari
luar lafadz itu
2) Mufassar bighairih yaitu kejelasan maknanya di karenakan adanya
penjelasan dari nash qath’i yang lain di luar lafadz itu.
b. Hukum lafadz mufassar

5
Moh. Shofiyul Huda MF, Ushul Fiqh: Pengertian, Sejarah dan Pemikiran (Kediri:
STAIN Press, 2009) jal 90

7
Lafadz mufassar itu wajib diamalkan sesuai dengan dalalahnya
yang ditunjuk oleh lafadz itu sendiri atau sesuai dengan penjelasan dari
syari’ kecuali ada dalil yang sharih yang menasakhkannya. 6
4. Muhkam
Lafadz muhkam ialah lafadz yang menunjuk kepada makna
sebagaimana dikehendaki oleh sighat lafadz itu dan siyaqul kalam. Akan
tetapi ia tidak dapat dita’wilkan, ditafsirkan dan di naskah pada saat
Rasulullah SAW masih hidup. Dengan demikian lafadz muhkam itu
adalah lafadz mufassar yang tidak dapat dinasakh.
a. Macam-macam lafadz muhkam
Lafadz muhkam itu ada dua macam
1) Muhkam lidzatih yaitu lafadz muhkam yang tidak dapat dinasakh
maknanya
2) Muhkam lighairihi yaitu lafadz muhkam yang menurut dzatnya
dapat menerima nasakh, akan tetapi lafadz itu dinukil oleh suatu
lafadz lain yang menunjuk kepada kelestariannya.
b. Hukum lafadz muhkam
Lafadz muhkam wajib diamalkan secara qath’i karena makna
lafadz muhkam itu tidak dapat dita’wilkan kepada arti lain di luar
lafadznya dan tidak dapat pula di nasakh baik pada zaman Rasulullah
SAW maupun sesudahnya.

C. Lafaz Dari Segi Penggunaanya


1. Haqiqah dan Majaz
Istilah haqiqah dan majaz adalah tinjauan kata dari segi
penggunaanya. Dalam bahasa Arab, kedua hal tersebut disebut sebagai
bentuk mutadhayyifan atau sepasang istilah yang selalu berdampingan dan
setiap kata dalam bahasa Arab akan masuk kedalam sala. Salah satu
kategori tersebut. Berikut adalah penjelasan dari masing-masing istilah.
a. Haqiqah

6
Hadi Rohayana, Ade. 2005. Ilmu Ushul Fiqih. Pekalongan : STAIN Press hal 45

8
Berikut adalah pendapat para ulama ushul fiqih tentang makna dari
haqiqah:
1) Lafaz yang digunakan untuk apa lafaz itu ditentukan pada
mulanya. (Ibnu Subkhi)
2) Lafaz yang digunakan untuk sasaran semulanya. (Ibnu Kudamah)
3) Setiap lafaz yang ditentukan menurut asalnya untuk sesuatu yang
tertentu
Pada dasarnya seluruh definsi tersebut menyatakan sesuatu yang
sama yaitu “ Suatu lafaz yang digunakan menurut asalnya untuk
maksud tertentu”. Maksudnya adalah bahwa sebuah kalimat yang
haqiqah berarti makna yang terkandung didalamnya adalah sesuai
dengan makna aslinya. Misalnya adalah kata “kursi”. Kata “kursi”
menurut asalnya adalah sebuah barang yang dijadikan tempat duduk.
Ini adalah arti haqiqinya. Walaupun terkadang kursi juga diartikan
sebagau sebuah jabatan, maka dalam hal ini kursi menggunakan makna
majazi.7
Ada beberapa macam haqiqah.
1) Haqiqah Lafdhiyyah
Yaitu lafaz yang digunakan menurut pengertian awal dari
lafaz tersebut. Misalnya adalah kata bayi, yang berarti manusia
yang baru saja lahir
2) Haqiqah Syariyyah
Yaitu lafaz yang digunakan untuk makna yang ditentukan
oleh syara’. Contohnya kata “sholat” yang berarti ibadah yang
diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
3) Haqiqah Urfiyyah Khasshah
Yaitu lafaz yang digunakan untuk artu yang menurut
kebiasaan tertentu biasa digunakan oleh suatu kelompok. Umpanya
istilah “ijma” yang digunakan oleh para ahli fiqh.
4) Haqiqah Urfiyyah Ammah

7
Hadi Rohayana, Ade. 2005. Ilmu Ushul Fiqih. Pekalongan : STAIN Press hal 46

9
Yaitu lafaz yang digunakan dalam makna menurut yang
berlaku dalam kebiasaan umum. Seperti misalnya kata “dabbah”
yang dalam bahasa Arab biasa diartikan sebagai hewan berkaki
empat.
b. Majazi
Jika makna dari haqiqah adalah penggunaan kata sesuai dengan
makna aslinya, maka pengertian dari majaz adalah sebaliknya. Yaitu
pengunaan makna untuk sasaran yang lain yang tidak sesuai dengan
makna aslinya. Dalam bahasa Indonesia istilah majaz disebut sebagai
kata yang bermakna konotatif. Namun dalam bahasa Arab, macam-
macam dari makna konotatif dari suatu kata dapat dibentuk dengan
banyak cara yang disebutkan dibawah ini:
1) Adanya tambahan dari susunan kata menurut bentuk yang
sebenarnya.
Jenis majaz yang pertama ini secara sederhana adalah
penambahan suatu huruf didepan suatu kata yang bermakna
“seperti”.
2) Adanya susunan kata dalam susunan suatu kata dari yang
sebenarnya.
Jenis majaz yang kedua ini adalah jenis majaz yang berbentuk
penghilangan sebagian kata dari sebuah kalimat.
3) Mendahulukan dan membelakangkan atau dalam pengertian
“menukar kedudukan suatu kata”
4) Meminjam kata lain dengan isti’aroh
Jenis majaz yang terakhir adalah bentuk majaz yang meminjam
kata lain untuk mengungkapkan suatu kata. Seperti misalnya
member nama si A dengan kata singa yang berarti “berani”.
c. Cara Mengetahui Haqiqah dan Majaz
Suata kata dapat diketahui apakah itu haqiqah atau majaz
dengan cara berikut ini:

10
1) Untuk mengetahui jika suatu lafaz itu adalah haqiqah atau bukan
adalah dengan cara sima’i, yaitu dari pendengaran terhadap apa yang
biasa dilakukan orang-orang dalam berbahasa. Tidak ada cara lain
untuk mengetahuinya selain dengan cara ini. Qiyas atau analogi juga
tidak dapat digunakan dalam hal ini.
2) Untuk mengetahui lafaz majaz dapat dilakukan dengan mengikuti
kebiasaan orang arab dalam penggunaan isti’aroh (peminjaman kata).
Orang arab dalam melakukan istiaroh mendasarkan kepada 2 hal yaitu
kaitan antara maksud kedua kata tersebut dalam hal bentuk maupun
arti. Contoh:
Kata “Ghaith” yang secara haqiqah bermakna tempat yang tenang
dibelakang dan secara majazi berarti buang air besar karena biasanya
buang air besar dilakukan di tempat yang sepi dan tenang.8
d. Perbedaan Antara Haqiqi dan Majazi
1) Salah satu diantara kedua lafaz itu lebih dahulu menyentuh
pemahaman dibanding dengan yang lain. Maka itulah makna
haqiqah, sedangkan yang agak lambat menyentuh pemahaman
adalah majaz.
2) Bila suatu kata dapat ditashrifkan atau dikembangkan maka
kata tersebut adalah bermakna haqiqi. Contoh:
Kata diatas bermakna perintah sesuai dengan makna aslinya
karena kata itu dapat dikembangkan menjadi Sedangkan kata
“amru”( ) adalah sebuah majaz karena tidak dapat
dikembangkan seperti kata sebelumnya dan karena itu dapat berarti
“suatu keadaan”.
e. Ketentuan yang Berkenaan dengan Haqiqah dan Majaz
1) Apabila dalam suatu lafaz digunakan antara haqiqi dan majaz,
maka lafaz itu ditetapkan sebagai haqiqi. Karena pada dasarnya,
penggunaan suatu lafaz adalah untuk haqiqah nya

8
Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad. 1997. Pengantar Hukum Islam. Semarang
: PT. Pustaka Rizki Putra hal 66

11
2) Pada haqiqah dan majaz harus ada sasaran atau maudlu untuk
kalimat tersebut, baik dalam bentuk perintah atau larangan atau
dalam bentuk khusus maupun umum.
3) Asal penggunaan lafaz adalah haqiqah dan tidak beralih kepada
majaz kecuali ada hajat atau keadaan darurat (qorinah)
4) Haqiqah dan majaz tidak dapat berkumpul dalam satu lafaz.
5) Bila yang dimaksud adalah arti haqiqahnya maka arti majaz nya
tidak lagi digunakan dan begitu pula sebaliknya.
2. Sharih dan Kinayah
a. Sharih
Sharih secara bahasa berarti terang. Sedangkan dalam istilah ushul
fiqh, sharih bermakna setiap lafaz yang digunakan tanpa memerlukan
penejelasan yang lain. Contohnya adalah apabila seorang suami
berkata “aku ceraikan engkau” maka kalimat tersebut termasuk sharih
karena sudah jelas dan tidak memerlukan penjelas lain agar dapat
mengerti maksud kalimat tersebut. Ketentuan dari penggunaan lafaz
sharih ini adalah tidak dibutuhkannya niat dalam hati untuk perbuatan
itu. Bila seseorang berucap “aku menceraikanmu” maka tidak lagi
diperlukan niat dan perceraianpun dapat langsung terjadi.
b. Kinayah
Sedangkan kinayah adalah ;afaz yang pemahaman artinya harus
melalui lafaz lain dan tidak hanya melalui lafaz itu saja. Contohnya
adalah ketika seseorang berkata “Ia sedang berpuasa”. Kalimat ini
adalah kinayah karena agar orang lain bias memahami maksud dari
kata “ia” orang akan memerlukan kalimat atau petunjuk lain.
Kinayah juga dapat berbentuk sebagai sebuah lafaz yang
mengandung keragaman makna. Misalnya ketika seorang suami
berkata “pulanglah kamu ke rumah orang tuamu”, lafaz tersebut
memiliki banyak kemungkinan maksud, bias bermaksud untuk
menyuruh pulang untuk sementara, bisa pula bermakna cerai.

12
Dalam jenis yang kedua ini dimana kinayah memiliki keragaman
kemungkinan maka, walaupun terlihat seperti majaz namun
sebenarnya keduanya adalah berbeda. Perbedaannya ada pada kaitan
antara dua maksud yang memungkinkkan dimaksud lafaz tersebut. Jika
lafaz tersebut adalah majaz, maka maksud atau arti dari kata yang
dipinjam itu harus memiliki sifat atau bentuk yang sama. Misalnya
peminjaman kata “singa” untuk mengungkapkan sifat “berani”. Kedua
kata tersebut memiliki hubungan makna yang sama.
Sedangkan dalam kinayah, persyaratan seperti itu adalah bukan
merupakan suatu kewajiban. Misalnya dalam istilah bahasa Arab,
orang yang memperoleh banyak keberuntungan mereka dikatakan
sebagai orang yang makan tangan. Kedua lafaz tersebut jelas tidak
memiliki hubungan kesamaan sifat atau bentuk.
Ketentuan penggunaan lafaz kinayah yaitu disyaratkannya niat
pada ucapan kinayah itu baik dalam hati maupun dalam bentuk lain
Dalam hal pembirian sanksi hukum, sharih dan kinayah juga berbeda
reaksinya. Pada sebuah pernyataan yang sharih misalnya kata “saya
berzina dengan dia”, maka hukuman dapat langsung dijatuhkan
kepadanya karena penggunaan makna sharih tadi.
Sedangkan lafaz yang bermakan kinayah tidak dapat
mengakitbatkan dampak hukum. Contohnya adalah pernyataan “saya
bergaul dengan dia”. Seseorang yang berucap seperti itu tidak dapat
langsung dijatuhi hukuman berzina, karena dalam pemberian hukuman
haruslah ada kepastian bahwa orang itu benar-benar berzina.
Sedangkan dalam kalimat diatas, kata “bergaul” memiliki arti yang
tidak dapat langsung diartikan sebagai sebuah perzinaan.
3. Ta’wil
Dalam pembahasan ushul fiqh istilah ta’wil sangat sering
diucapkan dan dibahas. Terkadang banyak orang yang menyamakannya
dengan tafsir. Namun secara istilah, ta’wil memang memiliki suatu
pengertian tersendiri yang sedikit berbeda dengan tafsir. Secara istilah

13
pengertian dari ta’wil adalah “memalingkan lafaz dari arti yang lahir
kepada arti yang lain yang mungkin dijangkau oleh dalil”. Menurut Ar-
Raghib, tafsir lebih umum penggunaanya daripada ta’wil dan lebih banyak
digunakan dalam lafaz (kalimat), dan mufradat lafaz, sedangkan ta’wil
lebih banyak digunakan dalam makna (arti). Menurut banyak ulama tafsir
membahas penyingkapan makna al quran dan menjelaskan maksud
didalamnya.
a. Syarat Ta’wil
Untuk melakukan ta’wil terdapat syarat-syarat yang harus
dipenuhi. Adapun syarat tersebut adalah:9
1) Bentuk lafaz tersebut memiliki kemungkinan untuk dita’wil. Yaitu
lafaz yang berbentuk zohir atau nash, bukan mufassar atau
muhkam.
2) Memiliki kemungkinan untuk dita’wil dan tidak asing dengan
pengalihan makna tersebut.
3) Memiliki sandaran kepada suatu dalil dan tidak bertentangan
dengan dalil yang telah ada.
b. Hal-hal yang Mendorong Penta’wilan
Selain daripada itu, ada juga beberapa hal yang dapat mendoromg
suatu lafaz untuk dita’wilkan. Antara lain adalah:
1) Bentuk lafaz berlawanan dengan kaidah yang berlaku atau
berlawanan dengan dalil yang lain yang lebih tinggi. Contohnya
adalah apabila ada pertentangan antara satu hadist dengan hadist
yang lain yang lebih kuat, maka apabila terdapat kemungkinan
untuk dapat dita’wil maka hendaknya dita’wilkan saja untuk
menghindari pertentangan.
2) Apabila lafaz itu menyalahi dalil lain yang lebih kuat dilalahnya
(kekuatan untuk dijadikan hukumnya). Contohnya adalah apabila

9
Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad. 1997. Pengantar Hukum Islam. Semarang
: PT. Pustaka Rizki Putra hal 67

14
ada suatu lafaz yang dalam bentuk zohir diperuntukkan untuk suatu
objek, tetapi makna dalam bentuk nash menghendaki yang lain.
3) Apabila lafaz tersebut berbentuk nash namun bertentangan dengan
makna mufassar.
Apabila keadaan itu ditemui dalam suatu lafaz maka sudah
seharusnyalah lafaz tersebut dita’wilkan.

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam istilah ilmu Ushul Fiqh motede penetapan hukum dipakai dengan
istilah “Istinbath”. Istinbath artinya adalah mengeluarkan hukum dari dalil,
jalan istinbath ini memberikan kaidah-kaidah yang bertalian dengan
pengeluaran hukum dari dalil. Metode pendekatan hukum islam dibagi
menjadi tiga pola yaitu :
1. Metode bayani
2. Metode ta’lili
3. Metode al-istislāhī
Lafadz Dilihat dari Segi Kandungan Makna, yaitu:
1. Ta’rif
2. Nash
3. Mufassar
4. Muhkam
Sedangkan Lafaz Dari Segi Penggunaanya, yaitu:
1. Haqiqah dan Majaz
2. Sharih dan Kinayah
3. Ta’wil

B. Saran
Kami dari penulis, menyadari sepenuhnya bahwa makalah kami ini jauh
dari kesempurnaan, dan keterbatasan referensi untuk itu kami berharap
kepada pembaca, terutama dosen pembimbing mata kuliah ini berupa kritik
dan sarannya terhadap makalah ini yang bersifat membangun.

16
DAFTAR PUSTAKA

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009)

Moh. Shofiyul Huda MF, Ushul Fiqh: Pengertian, Sejarah dan Pemikiran
(Kediri: STAIN Press, 2009)

Hadi Rohayana, Ade. 2005. Ilmu Ushul Fiqih. Pekalongan : STAIN Press

Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad. 1997. Pengantar Hukum Islam.


Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra

17
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmatnya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Makalah
ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Etika Profesi. Dalam makalah ini
kami membahas tentang pengertian profesi dan lingkup etika, pengertian etika
profesi, peranan dan prinsip etika profesi, serta kode etik profesi dan standar
profesi. Ucapan terima kasih pun tidak lupa kami ucapkan kepada pihak yang
telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini yang tidak dapat
disebutkan satu per satu.
Kami menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu masukan berupa kritikan dan saran sangat kami harapkan demi
penyempurnaan makalah ini. Akhir kata,kiranya makalah ini dapat berguna dan
bisa menjadi pedoman bagi mahasiswa untuk dapat mempelajari serta memahami
tentang etika profesi. Sekian dan terima kasih.

Bengkulu, Januari 2018

Penulis

i
18
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................


KATA PENGANTAR ............................................................................... i
DAFTAR ISI .............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................... 2
C. Tujuan ............................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Metode Penetapan Hukum Islam .................................................... 3
B. Lafadz Dilihat dari Segi Kandungan Makna ................................... 4
C. Lafaz Dari Segi Penggunaanya ....................................................... 8

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ..................................................................................... 15
B. Saran ................................................................................................ 15

DAFTAR PUSTAKA

ii19
MAKALAH
USUL FIQH
“Kaidah Perumusan Hukum Islam”

Disusun Oleh Kelompok 7:


YOLANDA LORENZA
1416132078

Dosen :
Muh. Ali Muslimin, SE.,MHI

PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) BENGKULU
2018

20

Anda mungkin juga menyukai