Anda di halaman 1dari 3

Materi 4: mahar dan kafa’ah dalam pernikahan

A. Definisi dan hukum mahar


Maha dalam bahasa Indonesia dikenal dengan kata mas kawin. Maaf dalam bahasa arabnya
adalah shadaq diambil dari kata ash-Shidqu juga diartikan dengan kesungguhan atau
kebenaran. Sedangkan secara istilah mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada
calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk memuliakan istrinya mahar menjadi hak
mutlak bagi istri yang didapatkan dari suami (kewajiban suami) ya itu dikarenakan suami
tersebut benar-benar ingin menikahi istri yang diinginkannya. Jumlah dan bentuk mahar
disepakati berdua karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas. mahar menjadi
lambang penghalalan hubungan suami istri dan tanggung jawab suami terhadap istri
sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah SWT:

Artinya: "berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamunikahi) sebagai


pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu
sebagian dari mas kawin yaitu dengan senang hati, maka makanlah ah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. " (QS. An-Nisa' 4)

Pernikahan tidak sah apabila tidak disertai dengan pemberian mahar, hukumnya adalah
wajib. Walaupun kedua pasangan sepakat untuk tidak memberikan mahar. Pemberian ini
sebagai pertanda dimulainya kehidupan berumah tangga.

B. Syarat mahar

Mahar yang akan diberikan kepada istri adalah sesuatu yang memenuhi persyaratan sebagai
berikut:

1. Sesuatu yang berharga


Mahar tidak diwajibkan dengan harga mahal tetapi merupakan barang yang bernilai
dimata istrinya. Contoh barang berharga yang bisa dijadikan mahar adalah uang,
pakaian, tanah dan lainnya.ini dicontohkan oleh Rasulullah saw.
2. Barang yang suci dan bermanfaat
Tidak boleh menggunakan barang yang tidak suci atau haram. Seperti menjadikan
barang curian sebagai mahar suatu pernikahan. manfaat dari mahar perlu
diperhatikan apabila mahar yang diberikan tidak ada manfaatnya maka barang
tersebut tidak sah digunakan sebagai mahar.
3. Bukan barang ghasab
4. Barang yang jelas keadaannya
C. Kadar (Jumlah) mahar
Mahar dalam pernikahan orang Islam tidak tetap dan ditentukan jumlah serta batasnya.
tidak ditemukan ketentuan tentang batas minimal dan maksimal dalam pemberian mahar.
Selama syarat-syarat mahar terpenuhi dan menjadi keridhaan kedua pihak, maka mahar itu
sah diberikan.
Dikutip dari Majmu' Fatawa, bahwa Ibnu Taimiyah mengatakan:
Artinya: “barangsiapa yang memiliki kelapangan, lalu ia hendak memberikan (kepada)
istrinya mahar yang banyak, maka tidak mengapa melakukan demikian.”
D. Macam-macam mahar
Bentuk mahar yang diberikan suami kepada istri dalam pernikahan dapat dipilih salah satu
dari dua macam, yaitu:
1. Mahar musamma
Mahar musamma yaitu mahar yang telah disetujui oleh kedua pihak serta
disebutkan atau dijanjikan bentuk, kadar, jumlah dan besarnya ketika pelaksanaan
akad nikah. Seperti menjadikan “seperangkat alat salat dan sebuah Al-Qur’an”
sebagai mahar pada pernikahan tersebut. Maka "seperangkat alat salat dan sebuah
Al-Qur’an disebut dengan mahar musamma.
2. Mahar Mitsli
Mahar mitsli yaitu mahar yang telah disetujui oleh kedua pihak tetapi tidak ada
sebutkan bentuk, kadar, jumlah dan besarnya ketika pelaksanaan akad nikah. Mahar
ini dinilai dan disamakan dengan mahar orang-orang terdahulu yaitu kebiasaan
mahar yang diterima atau diberikan oleh pihak keluarganya. Apabila kebiasaan
keluarga terdahulu menerima “seperangkat pakaian dan perhiasan wanita “sebagai
mahar pada pernikahan mereka, maka “seperangkat pakaian dan perhiasan wanita
"tidak disebut lagi dalam akad, tetapi cukup dengan menyebutkan “mahar mitsli”.
Mahar yang harus diberikan oleh suami kepada istrinya adalah sama dengan mahar
tersebut di atas.
Apabila dilihat dari kapan waktu pembayaran mahar, maka suami dapat memilih
antara dua waktu yang dibenarkan:
a. Mahar dibayar lunas atau tunai
Ketika melafadzkan ijab qobul,dijelaskan bentuk dan jumlah mahar yang
akan dibayar secara tunai atau langsung. Suami berkewajiban untuk
membayar mahar yang dibayar tunai kepada istri sebelum melakukan jima.
Apabila istri belum mendapatkan mahar yang akan dibayar tunai tersebut
dari suami, maka istri berhak dan boleh untuk menolak jima.
b. Mahar dibayar hutang atau ditunda
perjanjian dan kesepakatan kedua belah pihak sangat penting apabila mahar
yang akan diberikan kepada istri adalah mahar yang dibayar tunda. Suami
istri boleh melakukan jima, meskipun maharnya belum ditunaikan apabila
sesuai dengan perjanjian dan terpenuhinya syarat berikut:
1) Waktu pembayaran mahar jelas dan pasti.
2) waktu yang disepakati tidak boleh terlalu lama, karena mahal
merupakan lambang penghalalan hubungan suami istri dan
tanggung jawab suami kepada istri.
E. Kafa'ah
Kudu atau kafaah dapat diartikan dengan sepadan, sama, serasi atau setara. Bentuk jamak
dari kata kufu’ adalah akfa'. Yaitu keserasian antara calon suami dan calon istri yang akan
menikah. Apabila seorang laki-laki atau wanita telah menemukan lawan jenisnya yang setara
atau sepadan dengan dirinya, maka dianjurkan mereka untuk melakukan pernikahan.
Dalam beberapa riwayat ditemukan istilah kufu', yaitu berupa nasehat Rasulullah SAW
tentang anjuran agar segera menikah atau menikahkan muslimah yang telah menemukan
calon suami yang sekufu.
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa kafaah adalah kesepakatan yang khusus antara laki-
laki dan wanita. Sedangkan menurut ulama Maliki, kafaah adalah kesempatan dalam hal
agama dan keadaan yaitu selamat dari aib yang mewajibkan wanita untuk menggunakan hak
pilihnya. Di kalangan mazhab Maliki ini, tidak diperselisihkan lagi bahwa faktor kemiskinan
(pada pihak laki-laki) termasuk salah satu perkara yang menyebabkan dibatalkannya
perkawinan yang dilakukan oleh seorang ayah bagi anak gadisnya.
Kafaah adalah sesuatu yang mewajibkan seseorang untuk menolak adanya aib dan kehinaan
dalam pernikahan, demikian definisi yang diberikan oleh ulama Syafi’iyah. Mereka
mengutamakan kesepadanan laki-laki dengan wanita dalam kesempurnaan keadaan
keduanya sehingga selamat dari aib.
Menurut ulama hanafiyah, kafaah adalah kesamaan dan kesepadanan dalam 5 perkara, yaitu
agama, nasab, kemerdekaan, pekerjaan dan kekayaan.
Hadits yang paling baik sanadnya adalah riwayat Tirmidzi, yang telah dihasilkan oleh Al
Albani.
Artinya: “wahai Ali, ada tiga perkara yang jangan kau tunda pelaksanaannya; salat apabila
telah tiba waktunya, jenazah apabila telah siap penguburannya, dan wanita apabila telah
menemukan jodohnya yang sekufu atau sepadan” (HR. Tirmidzi dan Hasan).
Islam sudah menetapkan patokan utama tentang sekufu yang benar dalam mencari jodoh.
Setiap orang pada dasarnya sekufu selama yang bersangkutan adalah seorang muslim.
Pendapat ini dinukilkan dari pendapat imam Ali bin Abi Tholib Ra. Bahwa:
Artinya: “manusia itu satu sama lain adalah kufu', mereka yang Arab, yang bukan Arab,
yang Quraisy dan yang hasyimi apabila mereka sudah masuk Islam dan sudah beriman “
Sabda Rasulullah SAW yang lain adalah:
Artinya: wanita itu dinikahi karena agamanya, kecantikan, harta, dan keturunannya. Maka
carilah wanita yang taat kepada agama, niscaya akan beruntung tangan kananmu. (HR.
Bukhari dan Abu Dawud).
Dari hadits di atas, dinyatakan bahwa ketika mencari pasangan ada empat indikator sekufu'.
Dari keempat prioritas yang telah ditetapkan, yang paling utama adalah agama. Maka baik
dalam beragama adalah patokan sekufu antara calon suami dan calon istri. Apabila agama
menjadi utama, maka akhlak, sikap, perilaku dan hal lainnya akan mengikuti. Kebaikan akan
datang dalam keluarga yang menitikberatkan agama dan akhlak dalam pernikahannya.

Anda mungkin juga menyukai