Anda di halaman 1dari 19

MAHAR, RUKUN DAN SYARAT NIKAH

MAKALAH
Untuk Memenuhi salah satu tugas mata kuliah Aspek Fiqh Ahwal Syakhsiyah
yang diampu oleh
Dosen H.Irfan Kasyaf Noerfiqhy,Lc,M.Ag

Disusun Oleh

Akmal Hibatulloh 18.4.003


Fikri Abdul Rochman Hapipudin 18.4.014

PRODI EKONOMI SYARI’AH SEMESTER 5A


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PERSATUAN ISLAM
Jl. Aruji Kartawinat, Garut, Jawa Barat, Jayaraga, Tarogong Kidul 44151
2020-2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
atau rumah tangga yang bahagia. Untuk melangsungkan sebuah
pernikahan yang sah, perlu diketahui rukun dan syarat-syaratnya. Oleh
sebab itu makalah ini secara ringkas akan membahas tentang rukun dan
syarat pernikahan, yang saat ini banyak perselisihan tentang apa saja
rukun dan syarat pernikahan, dan bagai mana pula rukun dan syarat
pernikahan itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
1. Mahar Nikah
2. Rukun Nikah
3. Syarat Nikah
C. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui Apa itu Mahar Nikah
2. Untuk Mengetahui Apa itu Rukun Nikah
3. Untuk Mengetahui Apa itu Syarat Nikah

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Mahar Nikah
1. Pengertian Mahar
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan bahwa, maskawin
adalah pemberian pihak pengantin laki-laki baik berupa emas, barang,
atau kitab suci, kepada pengantin perempuan pada waktu akad nikah,
dan dapat diberikan secara kontan ataupun secara utang. Dari
pengertian tersebut, dapat kita pahami bahwa mahar tidak harus
dibayar secara kontan. Akan tetapi, dapat pula dibayar secara cicil
apabila sudah ada persetujuan-persetujuan antara pihak laki-laki dan
perempuan serta disebutkan dalam akad. Secara terminologi
mahar/maskawin adalah pemberian wajib dari calon suami kepada
calon isteri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan
rasa cinta kasih bagi sang isteri kepada calon suami. Ditinjau dari segi
etimologi kata As-shadaq yang memiliki arti mahar/maskawin bagi
istri1. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Shadaq adalah
pemberian khusus laki-laki kepada seorang wanita (calon isteri) pada
waktu akad nikah. Secara umum, kata lain yang biasa digunakan untuk
mahar dalam Al-Quran adalah kata ajr yang berarti penghargaan atau
hadiah yang di berikan kepada pengantin wanita2
Secara istilah mahar diartikan sebagai “harta yang menjadi hak
istri dari suaminya dengan adanya akad atau dukhul”3. Atau mahar
juga dapat diartikan sebagai suatu pemberian yang diwajibkan bagi
calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda ataupun
dalam bentuk jasa (memerdekakan , mengajar , dan lain sebagainya).4
Mazhab Hanafi mendefinisikan, bahwa mahar sebagai sejumlah
harta yang menjadi hak istri, karena akad perkawinan, atau disebabkan

1
Muhammad Zuhaily, Fiqih Munakahat Kajian Fiqih Pernikahan dalam Perspektif Madzhab
Syafi’i, terj. Mohammad Kholison, (Surabaya: CV. Imtiyaz, 2013),235.
2
Abdul Rahman I., Perkawinan dalam Syariat Islam , (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996), 67.
3
Amirur Nurudin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:Prenada Media, 2004), 54.
4
Tihami, Fiqih Munakahat , (Jakarta: PT Raja Gravindo Persada, 2009), 37

2
terjadi senggama dengan sesungguhnya. Mazhab Maliki
mendefinisikannya sebagai sesuatu yang menjadikan istri halal untuk
digauli. Mazhab Hambali mengemukakan, bahwa mahar. sebagai
imbalan suatu perkawinan, baik disebutkan secara jelas dalam akad
nikah, ditentukan setelah akad dengan persetujuan kedua belah pihak,
maupun ditentukan oleh hakim.5
2. Bentuk dan Jenis Mahar
Dalam konsep hukum Islam, mahar bukan merupakan “harga” dari
seorang perempuan yang dinikahi, sebab pernikahan bukanlah akad
jual beli. Oleh karenanya, tidak ada ukuran dan jumlah yang pasti
dalam mahar. Mahar bersifat relatif disesuaikan dengan kemampuan
dan kepantasan dalam suatu masyarakat. Islam tidak menetapkan batas
minimal dan maksimal jumlah mahar yang dibebankan kepada pihak
mempelai pria. Kadar mahar disesuaikan dengan kebiasaan, kondisi,
situasi dan tradisi masyarakat, tempat dan keluarga masing-masing,
dan mahar dapat berbentuk benda maupun dalam bentuk jasa. Tidak
ada naskah baik Al Quran maupun hadis Nabi saw yang memberikan
petunjuk tentang batas maksimal dan minimal jumlah mahar.
Dari segi pengucapannya, mahar terdiri dari mahar musamma dan
mahar mitsil. Mahar musamma adalah mahar yang sudah disebutkan
atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah. Mahar
musamma wajib dibayar oleh suami apabila telah terjadi hubungan
suami istri dan apabila salah seorang suami atau istri meninggal dunia.
Adapun mahar mitsil (mahar yang sepadan) adalah mahar yang tidak
disebut besar kadarnya pada saat sebelum atau ketika terjadi
pernikahan, dan apabila telah terjadi hubungan suami istri atau apabila
salah seorang suami atau istri meninggal dunia mahar tersebut
diqiaskan (disamakan) dengan mahar perempuan yang setaraf
dengannya di kalangan keluarganya, seperti adik-kakak diqiaskan pula
dengan mahar perempuan-perempuan lain yang setara dengannya dari
segi kedudukan dalam masyarakat.
5
Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (jakarta, siraja prenada media
group, 2006), 113.

3
Dari segi pembayaran juga terbagi dua, yakni mahar kontan
(Mu’ajjal) yakni, mahar yang segera diberikan kepada istri atau mahar
yang diberikan secara kontan yang pada umumnya diserahkan pada
saat akad nikah berlangsung dan mahar terhutang atau yang
ditangguhkan pembayarannya (muaajjal).
Pemberian mahar kepada perempuan (istri) merupakan salah satu
bentuk penghargaan dan perlindungan hak perempuan untuk mengurus
dan mengelola hak-haknya. Hal itu berarti bahwa Islam sangat
menjunjung tinggi hak perempuan sekaligus memberikan perlindungan
hukum kepada kepada perempuan.6
3. Sifat-Sifat Mahar
Mahar boleh berupa uang, perabotan rumah tangga, binatang, jasa,
harta perdagangan, atau benda-benda lainnya yang mempunyai harga.7
Adapun syarat-syarat yang boleh dijadikan mahar adalah sebagai
berikut:
a. Jelas dan diketuhui bentuk dan sifatnya
b. Barang tersebut milik sendiri secara kepemilikan penuh dengan
artimemiliki dzatnya termasuk manfaatnya, jika hanya salah satu
saja ,maka mahar tersebut tidak sah.
c. Barang tersebut memenuhi syarat untuk diperjualbelikan, dalam
arti yang tidak boleh diperjualbelikan dalam Islam tidak boleh
dijadikan mahar, seperti babi, minuman keras, bangkai.
d. Dapat diserahkan pada waktu akad tau waktu yang dijanjikan,
dalam arti barang yang tidak dapat diserahkan pada waktunya tidak
dapat dijadikan mahar, seperti burung yang terbang di udara.
Mengenai sifat-sifat mahar, ulama fuqoha berpendapat tentang
sahnya pernikahan denagn suatu barang tertentu yang dikenal sifatnya,
yakni tertentu jenis, besar dan sifatnya.

4. Mahar Dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI)

6
Jurnal Yudisial, KONSEP MAHAR DALAM PERSPEKTIF FIKIH DAN PERUNDANG-UNDANGAN Vol. 9,
Hal 24 No. 1 April 2016: 19 - 35
7
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzab, (Jakarta: Penerbit Lentera, 2007), 365.

4
Dalam Kompilasi Hukum Islam, mahar tidak termasuk rukun
nikah, juga bukan syarat sah nikah, tetapi merupakan kewajiban yang
harus dibayar oleh calon suami kepada calon istri, baik secara kontan
ataupun tidak melalui persetujuan pihak calon istri. Sementara dalam
Hukum perkahawinan Islam, mahar merupakan syarat sahnya
pernikahan.
a. (Pasal 300 Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada
calo mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati
ole kedua belah pihak. Sebenarnya yang wajib membayar mahar
itu bukan calo mempelai laki-laki, tetapi mempelai laki-laki karena
kewajiban itu bar ada setelah berlangsung akad nikah. Demikian
pula yang menerim bukan calon mempelai wanita, tetapi mempelai
wanita karena dia baru berhak menerima mahar setela adanya akad
nikah.
b. Kompilasi Hukum Islam Pasal 31 mengatur penentuan Mahar
berdasarkan Asas Kesederhanaan dan Kemudahan yan
sebagaimana telah diatur dalam agama Islam, bahwa mahar
haruslah sesuat yang tidak menyulitkan bagi calon suami, sehingga
mempermuda adanya pernikahan. Mahar yang sudah diberikan
kepada mempelai perempua sejak itu menjadi hak pribadi
perempuan, bukan hak milik laki-laki ataupu keluarga pengantin
perempuan, hal ini dijelaskan dalam Kompilas Hukum Islam Pasal
32 yang mengatur tentang mahar.8
c. Pasal 32 Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang mahar berisi 2
ayat, yang pertama yaitu penyerahan mahar harus dilakukan secara
resmi. Kedua, mahar boleh ditangguhkan baik seluruhnya atau
sebagian jika disetujui oleh mempelai wanita. Mahar yang belum
lunas maka menjadi hutang bagi mempelai pria.
d. dalam Kompilasi Hukum Pasal 34 Kewajiban penyerahan mahar
bukan termasuk rukun dalam pernikahan, dan kelalain menyeut
jenis dan jumlah mahar tidak menyebabkan batalnya perkawinan,

8
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nuansa Aulia, 2008), 10.

5
sama halnya dengan keadaan mahar masih menghutang, tidak
mengurai sahnya pernikahan.
e. Pasal 35 berisi tentang suami yang menalak istrinya qobla ad-
dukhul (yakni sebelum ‘berhubungan’) wajib membayar setengah
mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah. Apabila suami
meninggal dunia qobla ad-dukhul seluruh mahar yang telah
ditetapkan menjadi hak penuh istrinya. Apabila perceraian terjadi
qobla ad-dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka
suami wajib membayar mahar mitsil
f. Pasal 36 menjelaskan tentang apabila mahar hilang sebelum
diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama
bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya
atau dengan uang yang senilai dengan harga barang mahar yang
hilang
g. Pasal 37 berisi tentang apabila terjadi selisih pendapat mengenai
jenis dan nilai mahar yang ditetapkan, penyelesaiannya diajukan ke
Pengadilan Agama.
h. Pasal 38 menjelaskan tentang Apabila mahar yang diserahkan
mengandung cacat atau kurang, tetapi (calon) mempelai wanita
tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahar
dianggap lunas. Apabila istri menolak untuk menerima mahar
karena cacat, suami harus menggantinya dengan mahar lain yang
tidak cacat. Selama penggantinya belum diserahkan, mahar
dianggap masih belum dibayar.
B. Rukun Nikah
Untuk memperjelas makna “rukun nikah” maka lebih dahulu
dikemukakan pengertian “rukun” baik dari segi etimologi maupun
terminologi. Secara etimologi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
rukun adalah yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan, Dalam
terminologi fikih, rukun adalah sesuatu yang dianggap menentukan suatu
disiplin tertentu, di mana ia merupakan bagian integral dari disiplin itu

6
sendiri. Atau dengan kata lain rukun adalah penyempurna sesuatu, di mana
ia merupakan bagian dari sesuatu itu.9
Adapun rukun dan syarat nikah sebagai berikut: sebagaimana diketahui
bahwa menurut UU No 1/1974 Tentang Pernikahan Bab: 1 pasal 2 ayat 1
dinyatakan, bahwa pernikahan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
Bagi ummat Islam, pernikahan itu sah apabila dilakukan menurut
hukum pernikahan Islam, Suatu akad pernikahan dipandang sah apabila
telah memenuhi segala rukun dan syaratnya sehingga keadaan akad itu
diakui oleh hukum syara'. Rukun akad pernikahan ada lima, yaitu:
1) Adanya calon suami;
2) Adanya calon Isteri;
3) Adanya wali;
4) Adanya dua orang saksi laki-laki; dan
5) Adanya Ijab dan Qabul.10
Syarat adalah "ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus diindahkan
dan dilakukan. Menurut Satria Effendi M. Zein, bahwa menurut bahasa,
syarat adalah sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yang lain atau
sebagai tanda,11 melazimkan sesuatu.12 Secara terminologi, yang dimaksud
dengan syarat adalah segala sesuatu yang tergantung adanya hukum
dengan adanya sesuatu tersebut, dan tidak adanya sesuatu itu
mengakibatkan tidak ada pula hukum, namun dengan adanya sesuatu itu
tidak mesti pula adanya hukum.13
Hal ini sebagaimana dikemukakan Abd al-Wahhab Khalaf, bahwa
syarat adalah sesuatu yang keberadaan suatu hukum tergantung pada
keberadaan sesuatu itu, dan dari ketiadaan sesuatu itu diperoleh ketetapan
ketiadaan hukum tersebut. Yang dimaksudkan adalah keberadaan secara
syara’, yang menimbulkan efeknya. Hal senada dikemukakan Muhammad

9
Abdul Ghofur Anshori, Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, Yogyakarta: Pilar Media,
2006, hlm. 25.
10
Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1995, hlm. 40.
11
Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 64
12
Kamal Muchtar, Ushul Fiqh, Jilid 1, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm. 34
13
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 50

7
Abu Zahrah, asy-syarth (syarat) adalah sesuatu yang menjadi tempat
bergantung wujudnya hukum. Tidak adanya syarat berarti pasti tidak
adanya hukum, tetapi wujudnya syarath tidak pasti wujudnya hukum. 14
Adapun syarat nikah
1. Syarat-syaratnya calon suami:
a. Beragama Islam.
b. Jelas ia laki-laki.
c. Tertentu orangnya.
d. Tidak sedang berihram haji/umrah.
e. Tidak mempunyai isteri empat, termasuk isteri yang masih dalam
menjalani iddah thalak raj'iy.
f. Tidak mempunyai isteri yang haram dimadu dengan mempelai
perempuan, termasuk isteri yang masih dalam menjalani iddah thalak
raj'iy.
g. Tidak dipaksa.
h. Bukan mahram calon isteri.
2. Syarat-syaratnya calon istri:
a. Beragama Islam, atau Ahli Kitab.
b. Jelas ia perempuan.
c. Tertentu orangnya.
d. Tidak sedang berihram haji/umrah.
e. Belum pernah disumpah li'an oleh calon suami.
f. Tidak bersuami, atau tidak sedang menjalani iddah .dari lelaki lain.
g. Telah memberi idzin atau menunjukkan kerelaan kepada wali untuk
menikahkannya.
h. Bukan mahram calon suami.15
3. Syarat-syaratnya Wali:
a. Beragama Islam jika calon isteri beragama Islam.
b. Jelas ia laki-laki.
c. Sudah baligh (telah dewasa).

14
Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958, hlm. 59.
15
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, Jilid I, Bandung: CV Pustaka Setia, 1999, hlm.
64.

8
d. Berakal (tidak gila).
e. Tidak sedang berihram haji/umrah.
f. Tidak mahjur bissafah (dicabut hak kewajibannya).
g. Tidak dipaksa.
h. Tidak rusak fikirannya sebab terlalu tua atau sebab lainnya.
i. Tidak fasiq.
4. Syarat-syaratnya dua orang saksi laki-laki:
a. Beragama Islam.
b. Jelas ia laki-laki.
c. Sudah baligh (telah dewasa).
d. Berakal (tidak gila),:
e. Dapat menjaga harga diri (bermuru’ah)
f. Tidak fasiq.
g. Tidak pelupa.
h. Melihat (tidak buta atau tuna netra).
i. Mendengar (tidak tuli atau tuna rungu).
j. Dapat berbicara (tidak bisu atau tuna wicara).
k. Tidak ditentukan menjadi wali nikah.
l. Memahami arti kalimat dalam ijab qabul.16
5. Syarat-syaratnya Ijab dan Qabul.
Ijab akad pernikahan ialah: "Serangkaian kata yang diucapkan oleh
wali nikah atau wakilnya dalam akad nikah, untuk menikahkan calon
suami atau wakilnya".17
Syarat-syarat ijab akad nikah ialah:
a. Dengan kata-kata tertentu dan tegas, yaitu diambil dari "nikah" atau
"tazwij" atau terjemahannya, misalnya: "Saya nikahkan Fulanah, atau
saya nikahkan Fulanah, atau saya perjodohkan - Fulanah"
b. Diucapkan oleh wali atau wakilnya.
c. Tidak dibatasi dengan waktu tertentu, misalnya satu bulan, satu tahun
dan sebagainya.

16
Zahry Hamid, op. cit, hlm. 24-28. Tentang syarat dan rukun pernikahan dapat dilihat juga dalam
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1977, hlm. 71.
17
Slamet Abidin dan Aminuddin, op.cit., hlm. 65.

9
d. Tidak dengan kata-kata sindiran, termasuk sindiran ialah tulisan yang
tidak diucapkan.
e. Tidak digantungkan dengan sesuatu hal, misalnya: "Kalau anakku.
Fatimah telah lulus sarjana muda maka saya menikahkan Fatimah
dengan engkau Ali dengan masnikah seribu rupiah".
f. Ijab harus didengar oleh pihak-pihak yang bersangkutan, baik yang
berakad maupun saksi-saksinya. Ijab tidak boleh dengan bisik-bisik
sehingga tidak terdengar oleh orang lain. Qabul akad pernikahan ialah:
"Serangkaian kata yang diucapkan oleh calon suami atau wakilnya
dalam akad nikah, untuk menerima nikah yang disampaikan oleh wali
nikah atau wakilnya.
Qabul akad pernikahan adalah pernyataan yang datang dari pihak
laki-laki yang menyatakan persetujuan untuk menikahi.18 Syarat-syarat
Qabul akad nikah ialah dengan kata-kata tertentu dan tegas, yaitu
diambil dari kata "nikah" atau "tazwij" atau terjemahannya, misalnya:
"Saya terima nikahnya Fulanah". Diucapkan oleh calon suami atau
wakilnya. Tidak dibatasi dengan waktu tertentu, misalnya "Saya terima
nikah si Fulanah untuk masa satu bulan" dan sebagainya. Tidak dengan
kata-kata sindiran, termasuk sindiran ialah tulisan yang tidak diucapkan.
Tidak digantungkan dengan sesuatu hal, misalnya "Kalau saya
telah diangkat menjadi pegawai negeri maka saya terima nikahnya si
Fulanah". Beruntun dengan ijab, artinya Qabul diucapkan segera setelah
ijab diucapkan, tidak boleh mendahuluinya, atau berjarak waktu, atau
diselingi perbuatan lain sehingga dipandang terpisah dari ijab.
Diucapkan dalam satu majelis dengan ijab. Sesuai dengan ijab, artinya
tidak bertentangan dengan ijab. Qabul harus didengar oleh pihak-pihak
yang bersangkutan, baik yang berakad maupun saksi-saksinya. Qabul
tidak boleh dengan bisik-bisik sehingga tidak didengar oleh orang
lain.19
Contoh ijab qabul akad pernikahan
1). Wali mengijabkan dan mempelai laki-laki meng-qabulkan.
18
Rahmat Hakim, Hukum Pernikahan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000, hlm. 84.
19
Zahri Hamid, op. cit, hlm. 25.

10
a. Ijab: “Ya Ali, ankahtuka Fatimah binti bimahri alfi rubiyatin
hallan". Dalam bahasa Indonesia: "Hai Ali, aku nikahkan (nikahkan)
Fatimah anak perempuanku dengan engkau dengan maskawin seribu
rupiah secara tunai".
b. Qabul: "Qabiltu nikahaha bil mahril madzkurihalan". Dalam
bahasa Indonesia: "Saya terima nikahnya Fatimah anak perempuan
saudara dengan saya dengan masnikah tersebut secara tunai".
2). Wali mewakilkan ijabnya dan mempelai laki-laki meng-qabulkan.
a. Ijab: "Ya Ali, ankahtuka Fathimata binta Muhammadin muwakkili
bimahri alfi rubiyatinhallan". Dalam bahasa Indonesia: "Hai Ali, aku
nikahkan Fatimah anak perempuan Muhammad yang telah
mewakilkan kepada saya dengan engkau dengan masnikah seribu
rupiah secara tunai".
b. Qabul: "Qabiltu nikahaha bimahri alfi rubiyatin halan". Dalam
bahasa Indonesia: "Saya terima nikahnya Fatimah anak perempuan
Muhammad dengan saya dengan masnkawin seribu rupiah secara
tunai".
3). Wali mengijabkan dan mempelai laki-laki mewakilkan kabulnya.
a. Ijab: "Ya Umar, Ankahtu Fathimata binti Aliyyin muwakkilaka
bimahri alfi rubiyatin halan". Dalam bahasa Indonesia: "Hai Umar,
Aku nikahkan (nikahkan) Fathimah anak perempuan saya dengan Ali
yang telah mewakilkan kepadamu dengan maskawin seribu rupiah
secara tunai".
b. Qabul: "Qabiltu nikahaha li Aliyyin muwakkili bimahri alfi
rubiyatin hallan", Dalam bahasa Indonesia: "Saya terima nikah
Fatimah dengan Ali yang telah mewakilkan kepada saya dengan
masnikah seribu rupiah secara tunai"20
4). Wali mewakilkan Ijabnya dan mempelai laki-laki mewakilkan
Qabulnya.
a. Ijab: "Ya Umar, Ankahtu Fathimata binta Muhammadin
muwakkilii, Aliyyan muwakkilaka bimahri alfi Rubiyyatin hallan".

20
Slamet Abidin dan Aminuddin, op.cit., hlm. 66.

11
Dalam bahasa Indonesia: "Hai Umar, Aku nikahkan (nikahkan)
Fathimah anak perempuan Muhammad yang telah mewakilkan
kepada saya, dengan Ali yang telah mewakilkan kepada engkau
dengan maskawin seribu rupiah secara tunai".
b. Qabul: "Qabiltu Nikahaha lahu bimahri alfi rubiyatin hallan".
Dalam bahasa Indonesia: "Saya terima nikahnya (Fathimah anak
perempuan (Muhammad) dengan Ali yang telah mewakilkan kepada
saya dengan maskawin seribu rupiah secara tunai".21
C. Syarat Pernikahan
Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan.
Apabila syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan
menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban.
Secara garis besar syarat sahnya perkawinan dibagi menjadi dua yaitu
yang pertama adalah halalnya seorang wanita bagi calon suami yang akan
menjadi pendampingnya. Artinya tidak diperbolehkan wanita yang hendak
dinikahi itu berstatus sebagai muhrimnya, dengan sebab apapun, yang
mengharamkan pernikahan di antara mereka berdua, baik itu bersifat
sementara maupun selamanya. Syarat kedua saksi yang mencakup hukum
kesaksian dan kesaksian dari wanita yang bersangkutan.22
Menurut Abu Zahrah dalam kitabnya al-Ahwal as-Syakhsiyah,
membagi Syarat-syarat perkawinan ini dalam 3 macam yaitu:

Pertama, syarat sah adalah syarat-syarat yang apabila tidak dipenuhi,


maka akad itu dianggap tidak ada oleh syara’. Yang mana dari akad itu
timbul hukum-hukum yang dibebankan oleh syara’.

Kedua, syarat pelaksanaan yaitu syarat-syarat yang bila tak ada, maka
tidak ada hukum apa-apa tiap tiap orang yang berakad.

Ketiga, syarat keberlangsungan yaitu syarat yang kedua pihak tidak


memerlukan akad apabila tidak ada syarat-syarat tersebut.23

21
Achmad Kuzari, op. cit, hlm. 40.
22
Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqh Wanita (Penerjemah: M. Abdul Ghoffar, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 1998), 405.
23
Abu Zahrah, Al-Ahwal Al-Syakhs{iyah (Dar El-Fikr Al-‘arabi, 1958), 58.

12
Syarat sah nikah (Syarat Sihhah) : hadirnya para saksi. Saksi tersebut
minimal dua orang laki-laki dan dua wanita yang baligh, berakal, merdeka,
mendengar dan memahami ucapan dua pihak yang berakad, beragama
Islam. Kemudian calon istri adalah wanita yang bukanlah mahram si
lelaki. Baik mahram abadi maupun sementara.

Syarat terlaksananya akad nikah (Syarat Nafaz). Demi terlaksananya


akad nikah, orang yang mengadakannya haruslah orang yang mempunyai
kekuasaan mengadakan akad nikah. Jika orang yang mengurusi akad
mempunyai kecakapan yang sempurna dan mengakadkan dirinya sendiri,
maka akad tersebut sah dan dapat diberlakukan. Demikian halnya jika dia
mengadakan akad bagi orang di bawah kekuasaannya, atau orang yang
mewakilkan penyelenggaraan akad kepada dirinya.

Mayoritas fuqaha menyatakan bahwa wanita tidak dapat mengakad


nikahkan dirinya sendiri. Akad nikah tidak bisa terjadi dengan ungkapan
wanita, meskipun wali tidak mempunyai hak memaksa dirinya. Wanita
dan walinya bekerja sama memilih dan memilah calon suami. Namun wali
dari wanita itulah yang akan mengakadkan akad nikah.

Syarat keberlangsungan nikah (Syarat Luzum). Pada dasarnya akad


nikah adalah akad yang berlangsung terus menerus. Tidak boleh
membatalkan akad tersebut secara sepihak. Dalam artian tidak boleh
melepaskan akad itu dari asalnya, melainkan perbuatan menghentikan
hukum-hukum akad nikah. Talak merupakan salah satu hak yang dimiliki
suami sebagai konsekuensi dari terjadinya akad nikah.

Akad nikah adalah suatu kewajiban yang mengharuskan


keberlangsungan. Karena tujuan syari’at dari pernikahan tidak akan
tercapai tanpa adanya keberlangsungan nikah itu sendiri. Kehidupan
rumah tangga yang baik, pendidikan anak, dan pemeliharaan mereka pasti
memerlukan sebuah keberlangsungan jangka panjang, Syarat
keberlangsungan nikah (syarat luzum) dalam mazhab Hanafi adalah
hendaklah wali yang menikahkan orang yang tidak/ kurang cakap adalah
ayah, kakek atau anaknya sendiri. Hendaklah mahar yang diterima wanita

13
dewasa yang menikahkan dirinya sendiri adalah setara dengan mahar
mis{il (yang berlaku umum). Wanita dewasa yang berakal hendaknya
tidak menikahkan dirinya dengan orang yang sekufu. Hendaknya jangan
sampai ada penipuan status kafa'ah dalam akad yang tersimpan berlarut-
larut.

Dalam permasalahan syarat pernikahan Ulama fuqaha berselisih


pendapat. Perselisihan itu terjadi karena perbedaan pola pikir mereka dan
dasar hukum yang mereka gunakan.24

a. Menurut Hanafiyah, syarat pernikahan berkaitan dengan sigat, dua


orang yang berakad (suami istri) dan persaksian. Adapun penjelasan secara
rinci sebagai berikut:

1) Sigat (ijab kabul)

2) Dua orang yang berakad (suami dan istri)

3) Persaksian

b. Syafi’iyah. Syarat-syarat perkawinan menurut Imam Syafi’i berkaitan


erat dengan sigat, wali, dua mempelai dan saksi masing-masing dijelaskan
pada uraian di bawah ini.

1) Sigat

Beberapa syarat sah siigat pernikahan yaitu:

a) Tidak ada ta’lik


b) Tidak ada ta’kit
c) Menggunakan kata tajwiz , inkah atau musytaq dari keduanya
2) Wali
Syarat-syarat wali dalam perkawinan adalah:
a) Atas kemauan sendiri (tidak ada paksaan dari orang lain)
b) Berjenis kelamin laki-laki
c) Masih berstatus mahram dengan mempelai perempuan
d) Balig
24
Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Maz|ahib Al-‘Arba’ah Juz 4 (Dar El-Hadits, 2004), 17-25.

14
e) Berakal
f) Adil
g) Tidak dalam kendali atau kekuasaan orang lain (mahjur’alaih)
h) Penglihatan masih normal
i) Homogenitas agama
j) Bukan budak
3) Suami
Pernikahan seorang pria akan sah apabila memenuhi ketentuan-
ketentuan
berikut:
a) Tidak ada hubungan mahram dengan calon istri baik dari garis
nasab, rad’a, musaharah
b) Tidak dipaksa
c) Identitasnya jelas
4) Istri
a) Tidak ada hubungan mahram dengan calon suami
b) Identitasnya jelas
c) Terbebas dari hal-hal yang menghalanginya untuk menikah. Seperti:
mah}ram, telah bersuami, dalam keadaan idah, dan lain sebagainya.
5) Dua saksi
a) Bukan dua orang hamba sahaya
b) Bukan dua orang wanita
c) Bukan dua orang yang fasik
c. Menurut Hanabilah syarat perkawinan dibagi menjadi lima, yaitu:
1) Dua calon mempelai yang jelas
Artinya baik calon suami maupun istri harus disebutkan nama atau
sifat-sifat fisiknya dengan jelas supaya tidak terjadi kesalahpahaman
dan kesamaran. Adapun redaksi akadnya menggunakan lafaz inkah
atau tajwiz . Selain itu juga disyari’atkan antara ijab dan kabul tidak
ada jeda waktu yang lama.
2) Pilihan dan rela

15
Orang yang telah dewasa dan berakal walaupun seorang budak,
apabila berkeinginan untuk menikah, maka dia tidak boleh dipaksa
oleh siapapun. Dia memutuskan menikah atas kemauan hati
nuraninya sendiri.
3) Wali
Dalam masalah wali, Hanabilah mensyaratkan tujuh perkara. Yaitu
laki-laki, berakal, balig, merdeka, It-tifaq Ad-Din (persamaan
agama), cerdas dan berkomitmen untuk berbuat baik terhadap
perkawinan.
4) Persaksian
Syahadah (persaksian) dalam perkawinan akan dihukumi sah
apabila datang dua pria muslim, balig, berakal, adil, maupun
berbicara dan mendengar dengan baik.
5) Calon istri terbebas dari hal yang menghalangi mereka untuk
menikah.
d. Malikiyah. Menurut Malikiyah seluruh rukun nikah juga termasuk
syarat nikah. Masing-masing rukun mempunyai syarat-syarat tertentu
sebagai berikut:
1) Sigat
Ijab kabul harus berupa lafaz yang menunjukkan kata nikah, seperti
inkah dan tajwiz . Khusus lafaz hibah harus disertai penyebutan mas
kawin. Antara ijab dan kabul juga tidak boleh ada sela waktu yang
lama. Kecuali dalam pernikahan yang diwasiatkan. Artinya apabila ada
seorang dengan si Fulan., ucapan ini dianggap sah. Dan orang yang
diberi wasiat tidak harus menjawabnya seketika itu. Selain dua syarat
di atas, juga ada dua syarat lagi, yaitu tidak boleh ada batas waktu dan
perkawinannya tidak boleh digantungkan dengan sebuah syarat.
2) Wali
Syarat-syarat wali dalam perkawinan menurut Malikiyah, yaitu laki-
laki, baligh, tidak dalam keadaan ihram, bukan nonmuslim, bukan
orang yang bodoh, tidak fasik.
3) Mahar

16
Dalam hal mahar disyaratkan berupa barang yang boleh dimiliki secara
syara’. Dengan demikian arak, babi, anjing, bangkai, dan daging
qurban tidak boleh dijadikan mahar untuk calon istri. Namun jika itu
terjadi, maka nikahnya akan rusak apabila belum dukhul dan harus
memberikan mahar misil apabila sudah melakukan jima
4) Persaksian
Malikiyah tidak mensyaratkan hadirnya dua orang saksi ketika terjadi
akad nikah, yang demikian itu hukumnya sunah. Tapi hadirnya dua
saksi ketika suami akan dukhul adalah wajib.
5) Suami istri
a) Terbebas dari hal-hal yang menghalanginya untuk menikah,
sepertidalam keadaan ihram
b) Calon mempelai perempuan tidak berstatus istri orang lain
c) Calon istri tidak dalam keadaan bodoh
d) Calon suami dan istri tidak ada hubungan mahram, baik nasab,
rada‘, maupun musaharah.

DAFTAR PUSTAKA

 Muhammad Zuhaily, Fiqih Munakahat Kajian Fiqih Pernikahan dalam


Perspektif Madzhab Syafi’i, terj. Mohammad Kholison, (Surabaya: CV.
Imtiyaz, 2013).
 Abdul Rahman I., Perkawinan dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT Rineka
Cipta, 1996).
 Amirur Nurudin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada
Media, 2004).

17
 Tiham, Fiqih Munakahat, (Jakarta: PT Raja Gravindo Persada, 2009).
 Jurnal Yudisial, KONSEP MAHAR DALAM PERSPEKTIF FIKIH
DAN PERUNDANG-UNDANGAN Vol. 9, Hal 24 No. 1 April 2016.
 Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada, 1995.
 Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, Jilid I, Bandung: CV
Pustaka Setia, 1999.

18

Anda mungkin juga menyukai