Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH TENTANG

MAHAR

Disusun untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah : Hadist Ahkam

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang
telah memberikan dan melimpahkan rahmat, hidayat dan inayahnya kepada penulis
sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah ini dengan baik dan lancar.

Mengingat kurangnya kemampuan dan keterbatasan penulis dalam menyelesaikan


makalah ini, penulis meyakini bahwa tugas ini tidak dapat terselesaikan tanpa bimbingan
dan bantuan dari berbagai pihak.

Demikian penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh sebab itu penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun dan
bermanfaat bagi kita semua. Semoga makalah ini dapat kita ambil manfaatnya bersama,
khususnya bagi penulis dan umumnya bagi para pembaca.
Daftar Isi
BAB I.............................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.........................................................................................................................4
Latar Belakang.....................................................................................................4
Rumusan masalah.................................................................................................5
BAB I.............................................................................................................................................6
PEMBAHASAN............................................................................................................................6
1. Pengertian Mahar........................................................................................6
2. Kedudukan Mahar..........................................................................................9
3. Tujuan Mahar...............................................................................................10
4. Kadar dan Macam-macam Mahar................................................................11
BAB III PENUTUP.....................................................................................................................16
Kesimpulan........................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................17
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang

Dalam melangsungkan pernikahan, suami diwajibkan memberi sesuatu


kepada istri, baik berupa uang ataupun barang (harta benda). Pemberian inilah
yang dinamakan mahar. Pemberian mahar ini wajib atas laki-laki, tetapi tidak
menjadi rukun nikah; dan apabila tidak disebutkan pada waktu akad,
pernikahan itu pun sah.

Mahar termasuk keutamaan agama Islam dalam melindungi dan


memuliakan kaum wanita dengan memberikan hak yang dimintanya dalam
pernikahan berupa mahar kawin yang besar kecilnya ditetapkan atas
persetujuan kedua belah pihak karena pemberian itu harus diberikan secara
ikhlas. Para ulama fiqh sepakat bahwa mahar wajib diberikan oleh suami
kepada istrinya baik secara kontan maupun secara tempo, pembayaran mahar
harus sesuai dengan perjanjian yang terdapat dalam aqad pernikahan.

Mahar merupakan pemberian yang dilakukan oleh pihak mempelai laki-


laki kepada mempelai wanita yang hukumnya wajib. Dengan demikian, istilah
shadaqah, nihlah, dan mahar merupakan istilah yang terdapat dalam al-Qur’an,
tetapi istilah mahar lebih dikenal di masyarakat, terutama di Indonesia.

Banyaknya maskawin itu tidak dibatasi oleh syariat islam, melainkan


menurut kemampuan suami beserta keridhoan si istri. Dengan demikian, suami
hendaklah benar-benar sanggup membayarnya karena mahar itu apabila telah
ditetapkan, maka jumlahnya menjadi utang atas suami, dan wajib dibayar
sebagaimana halnya utang kepada orang lain. Kalau tidak dibayar, akan
dimintai pertanggungjawabannya di hari kemudian. Janganlah terpedaya
dengan kebiasaan bermegah-megah dengan banyak mahar sehingga si laki-laki
menerima perjanjian itu karena utang, sedangkan dia tidak ingat akibat yang
akan menimpa dirinya.
2. Rumusan masalah
1. Apa pengertian dari mahar?

2. Bagaimana kedudukan mahar?

3. Apa tujuan dari mahar?

4. Bagaimana Kadar dan Macam-macam Mahar?


BAB I
PEMBAHASAN

1. Pengertian Mahar

Secara bahasa, mahar berasal dari kata al-mahru yang artinya pemberian untuk
seorang wanita karena suatu akad. Dalam ilmu fiqih, isitilah mahar memiliki makna yang
lebih luas, yaitu pemberian yang menjadi sebab terjadinya hubungan seksual atau
hilangnya keperawanan seorang perempuan dalam perkawinan.
Hukum pemberian mahar adalah wajib Dalam Q.S An-Nisa ayat 4 “Berikanlah maskawin
(mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.
Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan
senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi
baik akibatnya.”
Dala Hadis Rasullullah bersabda: “Carilah sesuatu (mahar) cincin sekalipun terbuat dari
besi. Jika tidak mendapati, mahar berupa surat-surat al-Qur’an yang engkau hafal.” (HR
Bukhari No.1587)
Bentuk mahar sangat beragam, bisa berupa uang tunai, perhiasan emas, seperangkat alat
sholat, kitab suci Alquran, rumah, sawah, kebun dan lain-lain. Semuanya disesuaikan
dengan kesanggupan dari pihak laki-laki dan keridhoan dari pihak perempuan.

Ada beberapa pendapat mengenai pengertian mahar di antaranya ;

1. Menurut imam taqiyuddin Abu Bakar, mahar adalah harta yang di berikan kepada
perempuan dari seorang laki-laki ketika menikah atau bersetubuh (wathi').

2. Menurut J. S. A al-Hamdani, mahar atau maskawin adalah pemenerian seorang suami


kepada istri sebelum, sesudah atau pada waktu Berlangsung ny aakad nikah sebagai
pemberian wajib yang tidak dapat di ganti dengan lainnya.

3. Menurut Abdurrahman Al-jazari mahar atau maskawin adalah nama suatu benda yang
wajib di berikan oleh seorang pria terhadap seorang wanita yang di sebutkan dalam
akad nikah sebagian pertnyaan persetujuan antar pria dan wanita untuk hidup bersama
sebagai suami istri
4. Menurut Syaikh Zainudin bin abdul aziz Al-Malibaru Al-Fatani, mendefinisikan
mahar atau shadaq ialah sejumlah harta yang wajib di berikan karena nikah atau
wathi' (persetubuhan). Maskawin di namakan shadaq karena di dalamnya terkandung
pengertian sebagai ungkapan kejujut minat pemberian nya dalam melakukan nikah,
sedangkan nikah merupakan pangkal yang wajib adanya maskawin

Ada beberapa mazhab fiqh yang mendifinisikan tentang pengertian mahar antara lain :

1. Mazhab Hanafi mengartikan bahwa Mahar harta yang di wajibkan atas suami ketika
berlangsung nya akad nikah sebagai imbalan dari kenikmatan seksual yang di
terimanya

2. Mazhab Maliki, mahar adalah sebagai sesuatu yang menjadikan istru halal untuk di
gauli. Menurut mazhab tersebut istri di perbolehkan menolak untuk di gauli kembali
sebelum menerima maharnya itu, walaupun telah pernah terjadi persetubuhan
sebelumnya

3. Mazhab Syafi'i, Mahar adalah sebagai suatu yang wajib di bayarkan di sebabkan akad
nikah atau senggama

4. Mazhab hambali, mahar adalah sebagai inbalan suatu perkawinan baik di sebutkan
secara jelas dalam akad nikah, di tentukan setelah akad dengan persetujuan kedua
belah pihak, maupun di tentukan hakim.

Mahar adalah suatu kewajiban yang harus dipikul setiap calon suami yang akan
menikahi calon isterinya, karena penting dan wajibnya maskawin dalam pernikahan,
maka jika seorang laki-laki hendak menikahi seorang perempuan betapapun miskinnya
laki-laki tersebut, ia tetap wajib memberikan maskawin dan jika ternyata benar-benar
tidak punya apa-apa, kemampuan atau jasa yang dimiliki oleh seorang laki-laki boleh
dijadikan sebagai maskawin. Sebagaimana Nabi Muhammad Saw bersabda:

Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Tatkala Ali kawin dengan Fathimah, maka Rasulullah
SAW bersabda kepada Ali, “Berilah ia sesuatu!”. Ali menjawab, “Saya tidak punya
apa-apa”. Rasulullah SAW bertanya, “Mana baju besimu dari Huthamiyah itu ?”.
[HR. Abu Dawud dan Nasai]
Dari Sahl bin Sa’ad bahwa sesungguhnya Nabi SAW pernah didatangi seorang wanita
lalu berkata,“Ya Rasulullah, sesungguhnya aku menyerahkan diriku untukmu”. Lalu
wanita itu berdiri lama. Kemudian berdirilah seorang laki-laki dan berkata, “Ya
Rasulullah, kawinkanlah saya dengannya jika engkau sendiri tidak berminat
kepadanya”. Kemudian Rasulullah SAW bertanya, “Apakah kamu mempunyai sesuatu
yang dapat kamu pergunakan sebagai mahar untuknya ?”. Ia menjawab, “Saya tidak
memiliki apapun melainkan pakaian ini”. Lalu Nabi bersabda, “Jika pakaianmu itu
kamu berikan kepadanya maka kamu tidak berpakaian lagi. Maka carilah sesuatu yang
lain”. Kemudian laki- laki itu berkata, “Saya tidak mendapatkan sesuatu yang lain”.
Lalu Nabi SAW bersabda, “Carilah, meskipun cincin dari besi”. Lalu laki-laki itu
mencari, tetapi ia tidak mendapatkannya. Kemudian Nabi SAW bertanya kepadanya,
“Apakah kamu memiliki hafalan ayat Al-Qur’an ?”. Ia menjawab, “Ya. Surat ini dan
surat ini”. Ia menyebutkan nama-nama surat tersebut, kemudian Nabi SAW bersabda
kepadanya, “Sungguh aku telah menikahkan kamu dengannya dengan apa yang kamu
miliki dari Al-Qur’an itu”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim]

Hadis ini adalah perintah Rasulalah Saw sendiri pada laki-laki tersebut untuk
mencari seuatu yang dapat dijadikan mahar. Perintah itu menunjukkan bahwa
Rasulullah Saw tetap menyuruhnya untuk mencari sampai beberapa kali, sampai
beliau mengatakan meskipun sebentuk cincin dari besi, dalam hadis tersebut. Pertama,
Rasulullah Saw menyuruh mencari sesuatau untuk dijadikan mahar. Kata sesuatu pada
dasarnya mencangkup segala sesuatu baik bernilai atau tidak bernilai, namun ketika
Rasulallah Saw mengatakan meskipun cincin dari besi dapatlah dipahami bahwa yang
dimaksud dengan sesuatu sebagai mahar dalam hadis di atas adalah sesuatu yang
bernilai, maka tidak dapat dijadikan mahar yang tidak bernilai seperti sebiji padi.

Hadis di atas menunjukkan bahwa mahar sangat penting, maka setiap mempelai laki-
laki wajib memberi mahar sebatas kemampuannya. Hadits ini juga menjadi indikasi
bahwa agama Islam sangat memberi kemudahan dan tidak bersifat memberatkan.
Sebagaimana dalam hadis tersebut menjelaskan bahwa ketika seseorang yang tidak
mempunyai apa-apa untuk dijadikan maskawin melainkan hanya hafalan al-Quran
yang ia punya, maka cukuplah baginya mengajarkan hafalan al-Quran itu sebagai
maskawin, begitulah kewajiban memberi mahar kepada calon istrinya.

Nabi Muhammad Saw tidak pernah memberikan batasan pada mahar, karena
kebiasaan dalam memberikan mahar berbeda-beda. Selain itu tingkat ekonomi setiap
orang berbeda-beda pula, sehingga tidak mungkin diberikan batasan kepada mereka,
dengan tidak adanya petunjuk yang pasti tentang mahar maka ulama sepakat
menetapkan bahwa tidak ada batas maksimal bagi sebuah mahar.

2. Kedudukan Mahar
Para ulama madzhab sepakat bahwa mahar bukanlah salah satu syarat atau
rukun akad, tetapi merupakan suatu konsekuensi adanya akad. Mahar merupakan
akibat dan salah satu hukum dari sebagi hukum dalam suatu perkawinan yang shahih,
dan hubungan sebadan sesudah terjadinya perkawinan yang fasid (batal), serta
hubungan sebadan yang disebebkan kesamaran. Mahar wajib atas suami untuk istrinya
dengan adanya akad nikah yang shahih.

Islam sangat menentang deskriminasi laki-laki terhadap wanita dan inilah


keistimewaan syari’at Islam. Kedudukan wanita apada zaman Jahiliyah sangat nista,
sebagai budak yang sangat hina. Mereka diperjual belikan sebagaimana barang
dagangan yang murah dan sama sekali tidak dihormati. Mereka berpindah-pindah dari
satu tangan ke tangan yang lain, tak ubahnya barang dagangan, dari satu ahli waris ke
ahli waris lainnya.

Pada masa itu apabila seorang laki-laki meninggal, maka sanak kerabatnya dapat
mewarisi istrinya sebagaimana mereka mewarisi harta kekayaannya. Islam datang
untuk menyelamatkan kaum wanita dari kedzaliman dan penindasan tersebut. Islam
datang bukan hanya mengembalikan atau menempatkan mereka pada posisi yang
terhormat, tetapi juga mengakui kemanusiaan mereka serta hak-hak yang mereka
miliki, sebab pengakuan terhadap hak dan kemanusiaan tidak mereka terima pada
sistem perundang-undangan buatan manusia.

Pada zaman jahiliyah hak perempuan itu dihilangkan dan disia-siakan,


sehingga walinya semena-mena dapat menggunakan hartanya dan tidak memberikan
kesempatan untuk mengurus hartanya serta menggunakannya, lalu Islam datang
menghilangkan belenggu ini. Istri di beri hak mahar serta suami diberikan kewajiban
membayar mahar kepadanya bukan kepada ayahnya. Turunlah firman Allah ayat 19
surat an-Nisa’: Artinya :”Wahai orang-orang beriman, tidak halal bagi kamu
mewarisi perempuan dengan jalan paksa, dan janganlah kamu menyusahkan mereka
karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan” (Q.S
an-Nisa’: 19).

Mahar yang diberikan, boleh berupa barang (harta kekayaan) dan boleh juga
berupa jasa atau manfaat (mahar non materi). Berupa barang, diisyaratkan haruslah
barang itu berupa sesuatu yang mempunyai nilai atau harga, halal dan suci, sedangkan
kalau berupa jasa atau manfaat, haruslah berupa jasa atau manfaat dalam arti yang
baik. Dasar yang membolehkan hal ini adalah yang menerangkan bahwa Rasulullah
pernah menikahkan sahabatnya dengan mahar berupa sebentuk cincin yang terbuat
dari besi. Demikian pula, Beliau pernah menikahkan sahabat lain dengan mahar
berupa jasa dari calon suami dengan mengajarkan al-Qur’an kepada calon istrinya.

3. Tujuan Mahar

Salah satu usaha Islam dalam memperhatikan dan menghargai perempuan yaitu
memberi hak untuk memegang usahanya. Di zaman Jahiliah hak perempuan dan
dihilangkan dan disia-siakan, lalu Islam datang mengembalikan hak-hak itu.
Kepadanya diberi hak mahar dan kepada suami diwajibkan memberi mahar.kepadanya
bukan kepada ayahnya dan kepada orang yang paling dekat kepadanya. Mahar adalah
bagian esensial pernikahan dalam Islam. Tanpa mahar sebuah pernikahan tidak dapat
dinyatakan telah dilaksanakan dengan benar.

Mahar harus ditetapkan sebelum pelaksanaan akad nikah nikah Merupakan hak
mutlak seorang perempuan untuk menentukan besarnya mahar. Apabila mahar sudah
ditentukan bentuk dan besar kecilnya, maka barang itulah yang wajib dibayarkan.
Tetapi bila tidak ada ketentuan sebelumnya dan tidak disebutkan bentuknya di waktu
akad nikah, maka bagi mempelai pria kepada calon mempelai perempuan, baik berupa
uang, barang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Para Imam mazhab (selain Imam Malik) sepakat bahwa mahar bukanlah salah
satu rukun akad, tetapi merupakan salah satu konsekuensi adanya akad. Karena itu,
akad nikah boleh dilakukan tanpa (menyebut) mahar. Apabila terjadi percampuran,
ditentukanlah mahar, dan jika kemudian kemudian si istri ditalak sebelum dicampuri
maka dia tidak berhak atas mahar, tetapi harus diberi mut'ah yaitu pemberian sukarela
dari suami berdasarkan bentuk pakaian, cincin, dan sebagainya. Abdur Rahman al-
Jaziri mengatakan mahar berfungsi sebagai pengganti (muqabalah) istimta’ dengan
istrinya. Sedangkan sebagian ulama Malikiyah mengatakan bahwa mahar berfungsi
sebagai imbalan jasa pelayanan seksual dan Abu Hasan Ali memposisikan mahar
sebagai alat ganti yang wajib dimiliki perempuan karena adanya akad nikah

4. Kadar dan Macam-macam Mahar

1. Kadar Mahar

Mengenai besarnya mahar, para fuqaha telah sepakat bahwa bagi mahar itu tidak
ada batas tertinggi. Kemudian mereka berselisih pendapat tentang batas terendahnya.

Imam syafii, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan Fuqaha Madinah dari kalangan Tabi’in
berpendapat bahwa mahar tidak ada batas minimalnya. Segala sesuatu yang dapat
menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat menjadikan mahar. Pendapat ini juga
dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari kalangan pengikut Imam Malik.
Sebagian fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya.
Imam Malik dan para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit
seperempat dinar emas murni, atau perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang
yang sebanding berat emas perak tersebut.
Imam Abu hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu adalah sepuluh
dirham.
Riwayat lain ada yang mengatakan lima dirham, ada lagi yang mengatakan empat
puluh dirham.

2. Macam-macam Mahar

Mengenai kewajiban pembayaran mahar, para fuqaha telah sepakat bahwa mahar
wajib diberikan oleh seorang mempelai laki-laki kepada mempelai wanita. Waktu
pemberian mahar biasa dilakukan pada waktu akad pernikahan. Mahar yang
dimaksudkan terdiri dari beberapa macam :
a. Mahar Musamma

Mahar musamma adalah mahar yang telah ditetapkan bentuk dan jumlahnya
dalam shighat akad. Mahar musamma ada dua macam, yaitu :
– Mahar musamma mu’ajjal, yakni mahar yang segera diberikan oleh calon suami
kepada calon istrinya. Menyegerakan pemberian mahar hukumnya sunnat.
– Mahar musamma ghair mu’ajjal, yaitu mahar yang pemberiannya
ditangguhkan.Dalam kaitannya dengan pemberian mahar, wajib hukumnya
membayar mahar musamma apabila terjadi dukhul, apabila salah seorang dari suami
atau istri meningal dunia sebagaimana disepakati oleh para ulama, apabila telah
terjadi khalwat (bersepi-sepi), suami wajib membayar mahar (Kamal Mukhtar,
1990:86).
Mahar tidak termasuk rukun dan syarat pernikahan. Hanya saja, menjadi kewajiban
suami untuk membayarnya. Apabila salah seorang suami meninggal dunia, sementara
dia belum membayar mahar kepada istrinya, pembayarannya diambil dari harta
peninggalannya dan dibayarkan oleh ahli warisnya. Hal itu disebabkan mahar yang
belum dibayar termasuk ke dalam utang-piutang. Apabila istrinya membebaskan
utang mahar tersebut, tidak ada kewajiban ahli waris untuk membayarnya.
Suami yang menalak istrinya sebelum dukhul wajib membayar setengah dari mahar
yang telah diakadkan, sebagaimana disebutkan dalam al-Quran suroh Al-Baqarah
ayat 237:
ْ‫ضةً فَنِصْ فُ َما فَ َرضْ تُ ْم اِ ۤالَّ ۤاَ ْن يَ ْعفُوْ نَ اَوْ يَ ْعفُ َواالَّذي‬ َ ‫َواِ ْن طَلَّ ْقتُموْ ه َُّن ِم ْن قَ ْب ِل اَ ْن تَ َمسُوْ ه َُّن َوقَ ْدفَ َرضْ تُ ْم لَهُنَّفَ ِر ْي‬
‫هّٰللا‬
ِ َ‫ْۗم اِ َّن َ بِ َما تَ ْع َملوْ نَ ب‬vyْ ّۗ ‫االفَضْ َل بَ ْينَ ُك‬
٠‫ص ْي ُر‬ ْ ‫ح َواَ ْن تَ ْعفُوْ ۤااَ ْق َربُ لِلتَّ ْق ٰو ۗى َوالَتَ ْن َس ُو‬
ِ ۗ َ ‫بِيَ ِد ٖه ُع ْق َدةُالنِّكا‬
Artinya:“Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu sentuh (campuri),
padahal kamu sudah menentukan maharnya, maka (bayarlah) seperdua dari yang
telah kamu tentukan, kecuali jika mereka (membebaskan) atau dibebaskan oleh orang
yang akad nikah ada di tangannya.orang yang memegang ikatan pembebasan itu lebih
dekat kepada taqwa. Dan janganlah kamu lupa pada kebaikan di antara kamu.
Sungguh, Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.”
(Q.S. Al-Baqarah:237)
b. Mahar Mitsil

Mahar mitsil ialah mahar yang jumlahnya ditetapkan menurut jumlah yang biasa
diterima oleh keluarga pihak istri, karena pada waktu akad nikah, jumlah mahar itu
belum ditetapkan bentuknya. Allah SWT. berfirman dalam surat An-Nisa ayat 236,
yang artinya:“Tidak ada dosa bagimu jika kamu menceraikan istri-istrimu yang belum
kamu sentuh (campuri) atau belum kamu tentukan maharnya. Dan hendaklah kamu
beri mereka mut’ah bagi yang mampu menurut kemampuannya dan bagi yang tidak
mampu menurut kesanggupannya, yaitu pemberian dengan cara yang patut, yang
merupakan kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Q.S. Al-Baqarah :
236)
Menurut Imam Malik dan para pengikutnya, berdasarkan ayat di atas, seorang suami
boleh memilih salah satu dari tiga kemungkinan. Apakah ia menceraikan istrinya
tanpa menentukan maharnya atau ia menentukan mahar mitsilnya. Sebagaimana pada
ayat di atas dijelaskan secara rinci pada kalimat, “hendaklah kalian berikan suatu
mut’ah menurut kemampuanmu.”
Adapun kemungkinan yang kedua dipandang akan memberatkan pihak bekas suami,
sedangkan pihak istri dapat meminta mahar yang tinggi. Kemungkinan ketiga, yaitu
membayar mahar mitsil dipandang lebih adil dan bijaksana, karena hal itu didasarkan
kepada kemampuan pihak suami dengan mengacu pada mahar serupa yang biasa
diterima oleh pihak istri.
Kaitannya dengan penundaan pembayaran mahar, para fuqaha berbeda pendapat.
Sebagian fuqaha melarang menunda pembayaran mahar, sementara sebagian ulama
membolehkan. Imam Malik menegaskan bahwa boleh menunda pembayaran mahar,
tetapi apabila suami hendak menggauli istrinya, hendaknya ia telah membayar
separuhnya. Cara penundaan pembayaran mahar harus tentu waktunya dan tidak
terlalu lama ditunda-tunda. Oleh karena itu, batas waktunya harus disepakati oleh
kedua belah pihak (Ibnu Rusyd,1990:394).

Dianjurkan untuk menunda pembayaran mahar dengan batas waktu yang jelas
dan tidak sampai tibanya ajal salah satu pihak, baik pihak suami atau istrinya. Al-
Auza’i (1990:394) berpendapat bahwa menunda pembayaran mahar dibolehkan
meskipun sampai kematian atau terjadinya perceraian. Penundaan pembayaran mahar
tidak terbatas sebagaimana dalam jual beli karena penundaan pembayaran mahar
bersifat badah. Yang penting, suami tetap wajib membayar.
c. Mahar yang Tidak Ditentukan Waktu Akad

Para ulama ahli fiqh telah sepakat bahwa apabila akad nikah dilaksanakan tanpa
menentukan mahar (nikah tafwidh), hukumnya boleh dan nikahnya tetap sah,
sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 236. Meskipun perkawinannya
itu sah, suami belum boleh mencampuri istrinya karena ia belum memberikan mahar
kepadanya.
Seorang suami tidak berdosa apabila menceraikan istrinya sebelum menyetubuhi dan
belum pula menetapkan jumlah maharnya. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jika
terdapat syarat nikah tanpa mahar sama sekali, perkawinannya batal.
Demikian pula, menurut Ibnu Hazm. Sayyid Sabiq (1992:65) mengatakan bahwa
setiap syarat di luar ketentuan Allah adalah batal.Salah satu adat kebiasaan tertua
yang dilegalisasi oleh ajaran Islam adalah keharusan suami membayar mahar kepada
istrinya, baik dibayar dengan cara kontan maupun tidak kontan. Hak istri atas harta
mahar secara mutlak bukan hak suaminya. Oleh karena itu, suami menanggung beban
tanggung jawab dengan memikul kewajiban untuk membayarnya. Cara-cara
pelaksanaan pembayaran mahar adalah sebagai berikut:
– Mahar dibayar dengan cara kontan;
– Mahar dibayar dengan cara ditangguhkan sampai batas waktu yang disepakati;
– Mahar dibayar dengan cara dicicil sampai lunas; danMahar dibayar dengan cara
pemberian uang muka, sisanya diangsur atau dibayarkan sekaligus sesuai perjanjian.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan

Mahar merupakan pemberian yang dilakukan oleh pihak mempelai laki- laki
kepada mempelai wanita yang hukumnya wajib. Dengan demikian, istilah shadaqah,
nihlah, dan mahar merupakan istilah yang terdapat dalam al-Qur’an, tetapi istilah
mahar lebih dikenal di masyarakat, terutama di Indonesia.

Kewajiban pemberian mahar oleh calon suami juga merupakan satu gambaran
dari sebuah kemauan dan tanggung jawab dari suami untuk memenuhi nafkah yang
jelas diperlukan dalam kehidupan berumah tangga. Yang berkewajiban memberi
nafkah (mahar dan kebutuhan hidup rumah tangga) hanyalah laki-laki, karena memang
menjadi kodrat bagi laki-laki bahwa ia memiliki tanggung jawab dan kemampuan
untuk berusaha memenuhi kebutuhan dan mencari rezeki, sedangkan tugas dari
seorang wanita dalam keluarga adalah menjaga rumah tangga, terutama mendidik
anak. Walau dalam kenyataannya tidak sedikit kaum perempuan yang mampu
memenuhi kebutuhan rumah tangganya dengan bekerja sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Ismatul Maula. Mahar, Perjanjian Perkawinan Dan Walimah Dalam Islam. Khuluqiyya.
Jurnal Kajian Hukum dan Studi Islam. Stai Al-hikmah 2 Brebes.
Husni Fuaddi dan Ramanitya Dewi Putri. Mahar Dalam Tinjauan Perspektif Islam.
Ahkam: Jurnal Syariah Dan Hukum. Vol. 1, No. 2, April 2021.
Mahalli, Ahmad Mudjab. 2002. Wahai Pemuda Menikahlah. Cet. Ke-1, Jogjakarta:
Menara Kudus
Mugniyah, Muhammad Jawad. 2001. Fiqh Lima Madzhab, Terj. Afif Muhammad,
Jakarta: Lentera Basritama.
Said Abdul Aziz Al-Jaudul. 1992. Wanita di Bawah Naungan Islam. Jakarta: CV
AlFirdaus.
Syarifuddin, Amir. 2009. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqih
Munahakat dan Undang-undang Perkawinan), Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. 2001. Hukum-hukum Fiqih Islam (Tinjauan
Antar Mazhab), Cet. Ke-2. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fanani, Fath Al- Mu’in, Semarang: Toha Putra.

Anda mungkin juga menyukai