Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

TAQRIB MUNAKAHAT MAHAR


Disususn Guna Memenuhi Tugas Taqrib Munakahat
Ustadzah Siti Mu’alimatus Shofiyyah, S.IP.

Disusun Oleh:
Rosidatul Aeni (Tsalis B)

PONDOK PESANTREN
LUHUR WAHID HASYIM
SEMARANG
2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis haturkan kepada Allah SWT


yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya, sehingga dapat
menyelesaikan Makalah Munakahat ini dengan baik dan tepat waktu.
Shalawat serta salam semoga terlimpah selalu kepada baginda nabi besar
kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya serta
seluruh umat yang menyakini kebenarannya. Makalah Munakahat ini
dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat UAS (Ujian Akhir
Semester) Kitab Taqrib Munakahat Madrasah Diniyah Pondok Pesantren
Putri Luhur Wahid Hasyim Semarang.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Kritik dan saran sangat diharapkan untuk memperbaiki dimasa
yang akan datang. Semoga makalah ini bermanfaat untuk penulis dan
pembaca. Terimakasih.

Penulis

Rosidatul Aeni

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN COVER......................................................................................i
KATA PENGANTAR....................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1
1.1 Latar Belakang............................................................................................1
1.2 Rumusan Makalah......................................................................................
1.3 Tujuan.........................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................
2.1 Pengertian Mahar........................................................................................
2.2 Ayat Al-Qur’an dan Hadits Tentang Mahar...............................................
2.3 Jenis-jenis Mahar........................................................................................
2.4 Pandangan 4 Madzhab Tentang Mahar......................................................
BAB III PENUTUP.........................................................................................
3.1 Kesimpulan.................................................................................................
3.2 Saran ..........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Agama Islam memiliki keistimewaan yang diantaranya adalah
memperhatikan dan menjunjung tinggi kedudukan wanita. Penghargaan
tersebut berupa memberikan hak kepada kaum wanita untuk memegang
otoritasnya, yakni menerima mahar. Pada zaman Jahiliyah, hak wanita
dihilangkan dan disia-siakan. Sehingga para wali dapat dengan semena-
mena memanfaatkan hartanya dengan tidak memberi kesempatan kepada
wanita yang dibawah perwaliannya itu untuk mengurus dan menggunakan
hak miliknya sendiri. Kemudian datanglah Islam yang membawa rahmat
keseluruhan alam (Syamsuddin Muhammad, 1938: 328).
Mahar merupakan pemberian dari calon mempelai pria kepada
mempelai wanita, baik berupa barang, uang atau jasa yang tidak
bertentangan dengan hukum Islam, sebagai bentuk kesungguhan dan
cermina kasih saying calon suami terhadap calon istrinya, walau
bagaimanapun mahar tidaklah merupakan rukun nikah atau syarat sahnya
suatu pernikahan (Ahmad Sarwat, 2009: 61)
Selain itu, kompliasi hukum Islam, kewajiban membayar mahar
terdapat pada pasal 30 Bab V yang khusus mengatur masalah mahar
(Soraya Novia, 2016: 8). Hal ini merupakan suatu indikasi adanya usaha
Islam dalam memperhatikan dan menghargai kedudukan istri, yaitu
memberi hak otoritas untuk memegang urusannya.
Adapun Hadits Nabi saw terkait dengan mahar

‫ زو ج النبي صلي هللا عليه وسلم رجال امرأة بخا تم من حديد‬:‫و عن سهل سعد رضي هللا عنهما قل‬
‫رواه روا البخارئ مسل م‬
“ Dari Sahl bin Sa’ad ra, ia berkata: Rasulullah saw pernah
mengawinkan seorang lelaki dengan seorang perempuan dimana
maskawinnya adalah cincin yang terbuat dari besi.” (HR Bukhari
Muslim).

1
Hadits tersebut menunjukkan bahwa kewajiban memberikan mahar
sekalipun sesuatu yang sedikit. Walaupun mahar itu wajib, namun dalam
penentuannya tetaplah harus mempertimbangkan asas kesederhanaan dan
kemudahan. Maksudnya, bentuk mahar tidak boleh mahar yang dianggap
masih wajar terhadap kondisi calon suami (Muhammad Bagir, 2008: 131).
Ibnu Thaimiyah berkata, “lelaki yang kaya dan mampu secara
finansial boleh memberikan mahar dalam jumlah besar kepada perempuam
yang dinikahinya”.Tetapi jika calon suami tidak mampu dalam hal
ekonomi atas pemintaan mahar mempelai wanita untuk memenuhinya,
maka memberikan mahar dalam jumlah besar itu makruh hukumnya (Abu
Malik Kamal, 2008: 176).
1.2 Rumusan Makalah
1. Apa Pengertian Mahar ?
2. Bagaimana Dalil Ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Tentang Mahar ?
3. Apa saja Jenis-jenis Mahar ?
4. Berapa Jumlah Mahar yang pernah dicontohkan Rasulullah dan
Sahabat?
5. Bagaimana Pandangan 4 Madzhab Terkait Mahar ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui Pengertian Mahar.
2. Dalil Ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Tentang Mahar.
3. Mengetahui Jenis-jenis Mahar
4. Mengetahui Jumlah Mahar yang pernah dicontohkan Rasulullah dan
Sahabat.
5. Mengetahui Pandangan 4 Madzhab Terkait Mahar.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Mahar


Mahar adalah pemberian yang wajib dari calon mempelai laki-laki
untuk calon mempelai perempuan yang sesuai dengan kesepakatan atau
yang sudah disepakati. Kata mahar yang telah menjadi bahasa Indonesia
berasal dari Bahasa Arab al-mahr, jama’nya almuhur atau al-muhurah.
Kata yang semakna dengan mahar adalah al shadaq, nihlah
faridhah, air dan ‘ala’ia serta nikah. Kata-kata tersebut dalam Bahasa
Indonesia diterjemahkan dengan mahar atau maskawin. “Mahar secara
etimologi artinya maskawin dan secara terminologi adalah pemberian
wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon
suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih dari seorang istri kepada
suami”. (Abdul Rahman Ghazali, 2010: 84).
Dasar hukum mahar adalah wajib karena merupakan syarat dalam
nikah akan tetapi juga ada juga yang mengatakan rukun nikah. Dalil
pensyariatan mahar, Allah SWT berfirman dalam Al-Qu’an Surah An-
Nisa’ ayat 4:
‫صدُقاَتِ ِهنَّ نِ ْحلَة‬ ََّ ‫َوآت ُو ْا الن‬
َ ‫ساء‬
” Berikanlah maskawin (mahar) kepada Wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan”.
Dalam penafsiran terhadap ayat ini menunjukkan bahwa pemberian
mahar kepada istri wajib hukumnya. Ini adalah ijma’ ulama dan tidak ada
satupun dari mereka yang menentang pendapat ini”. (Abu Malik Kamal,
2008: 175).
2.2 Dalil Ayat-ayat Al-Quran dan Hadits Tentang Mahar
Islam sangat memperhatikan dan menghargai seorang wanita
dengan memberi hak kepadanya ketika terjadi perkawinan maka akan lahir
kewajiban-kewajiban dan hak-hak bagi suami atas istrinya begitu pula
sebaliknya. Dasar hukum memberikan mahar bagi calon istri ditetapkan

3
dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Berikut merupakan beberapa dalil-dalil
Al-Qur’an dan Hadits Nabi tentang mahar.
Dalil mengenai mahar bagi calon istri ditetapkan dalam Al-Qur’an
surah an-Nisa’ ayat 4 yaitu:

Artinya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu


nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang
hati, Maka makanlah (ambilah) pemberian itu (sebagai makanan) yang
sedap lagi baik akibatnya.
Ayat tersebut menjelaskan adana kewajiban memberikan mahar
pada perempuan yang akan dinikahi. Mahar tersebut merupakan hak
mutlak bagi perempuan, bukan hak ayah atau saudara laki-laki perempuan
tersebut.
Perintah untuk memberikan mahar juga tercantum dalam al-Quran
surah an-Nisa’ ayat 24 yaitu:

Artinya: ….Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di


antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna).
Dalam ayat lain juga dijelaskan tentang kewajiban memberikan
mahar sebagaimana dalam al-Qur’an surah an-Nisa’ ayat 25 yaitu:

Artinya: Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka,


dan berilah maskawin mereka menurut yang patut.
Selain dalam al-Qur’an dasar hukum mahar disebutkan pula dalam
Hadits Rasulullah sebagai berikut:

4
Artinya: “Dari Ibnu Abbas ia berkata : Ketika Ali menikahi
Fatimah, Rasulullah saw berkata kepada Ali : berikanlah sesuatu kepada
Fatimah, Ali berkata: saya tidak memiliki sesuatu”. Nabi
berkata:”dimana baju besimu” (HR. Abu Dawud).
Nabi sangat menekankan kepada Ali agar memberikan sesuatu
apapun kepada Fatimah anak beliau sebagai mahar walau hanya baju besi.
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Salamah bin
‘Abdurrahman menerangkan bahwa Nabi selalu memberikan mahar atau
shadaq kepada istri-istri beliau. Sebagaimana Hadits berikut:

Artinya: “Dari Abu Salamah bin Abdurrahman r.a sesungguhnya ia


berkara: “Aku pernah bertanya kepada Aisyah r.a: “Berapakah maskawin
Rasulallah saw? Ia menjawab maskawin Rasulullah saw kepada istri-
istrinya adalah sebesar dua belas “uqiyah” atau satu nasy”. Aisyah r.a
bertanya: Tahukah satu nasy?. Abu Salamah menjawab:Tidak”. Aisyah r.a
berkata:”Yaitu setengah uqiyah sama dengan 500 dirham. Itulah maskawin
Rasulullah saw kepada istrinya” (HR. Muslim).
2.3 Jenis-jenis Mahar
Ulama fikih sepakat bahwa mahar itu ada dua macam, yaitu Mahar
Musamma dan Mahar Mitsil (Sepadan).
a. Mahar Musamma
Mahar Musamma yaitu “mahar yang sudah disebut atau
dijanjikan kadar dan besarnya Ketika akad nikah”, atau “mahar yang
dinyatakan kadarnya pada waktu akad nikah”. Ulama fikih sepakat
bahwa dalam pelaksanaannya, mahar musamma harus diberikan
secara penuh apabila:
1. Telah bercampur (bersenggama). Hal ini Allah SWT berfirman dalam
Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat 20:

5
Artinya: “Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri
yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di
antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil
Kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan
mengambilnya Kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan
(menanggung) dosa yang nyata.
2. Salah satu dari suami istri meninggal dunia.
Demikian menurut ijma’. Pada dasarnya, yang
bertanggungjawab membayar maharadalah suami, karena ia telah
berjanji waktu akad nikah akan membayar kepada istrinya. Apabila
suami meninggal dunia dan ia belum lagi membayar “mahar
musamma”, maka ditetapkan sebagai hutang. Pembayarannya diambil
dari harta yang ditinggalkannya sebelum hart aitu dibagikan kepada
ahli warisnya.
Apabila suami yang meninggal dunia itu miskin, maka ahli
warisnyalah yang membayar. Kecuali kalua istrinya merelakan, maka
almarhum suami bebas dari hutangnya. Dalam hal ini istri ditalak oleh
suaminya sebelum terjadi dukhul dan jumlah maskawin telah
ditetapkan,maka suami wajib membayar separuh dari mahar yang
telah ditetapkan.
3. Menurut Imam Abu Hanifah, apabila telah terjadi khalwat, maka
wajib uami membayar mahar. Sedang Imam Syafi’I berpendapat
bahwa terjadinya khalwat tidak menyebabkan wajib membayar mahar.
Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami
telah bercampur dengan istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan
sebab-sebab tertentu, seperti ternyata istrinya mahram sendiri, atau
dikira perawan ternyata janda, atau hamil dari bekas suami lama.
Akan tetapi, kalua istri dicerai sebelum bercampur, hanya wajib

6
dibayar setengahnya. Bersadarkan firman Allah SWT dalam Al-
Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 237:

Artinya: “Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu


bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah
menemukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang
telah kamu tentukan itu”.
Apabila bila perceraian terjadi sebelum hubungan kelamin dan
sebelumnya jumlah mahar tidak dijelaskan dalam akad, maka tidak
ada kewajibn mahar. Sebagai imbalannya Allah mewajibkan apa yang
Bernama mut’ah, yaitu pemberian tertentu yang nilainya diserahkan
kepada kemampuan mantan suami. Hal ini dijelaskan secara langsung
oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah yat 236:

Artinya: Tidak ada halangannya atas kamu jika kamu


menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengannya atau
sebelum kamu menetapkan maharnya. Hendaklah kamu berikan suatu
mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut
kemampuannya dan orang miskin menurut kemampuannya juga, yaitu
pemberian menurut yang patut, yang demikian itu merupakan
ketentuan bagi orang yang berbuat kebajikan”.
b. Mahar Mitsil
Mahar mitsil yaitu “mahar yang tidak disebut besar kadarnya
pada saat sebelum ataupun Ketika terjadi pernikahan”, atau “mahar
yang diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah diterima oleh
keluarga terdekat, agak jauh dari tetangga sekitarnya, dengan
megingat status sosial, kecantikan dan sebagainya”. Apabila terjadi
demikian, maka mahar itu mengikui mahar saudara perempuan

7
pengantin Wanita. Apabila tidak ada, maka mitsil itu beralih dengan
ukuran Wanita lain yang sederajat dengan dia. Mahar mitsil juga
terjadi dalam keadaan sebagai berikut:
1. Apabila tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya Ketika
berlangsung akad nikah, kemudian suami telah bercampur dengan
istri, atau meninggal dunia sebelum bercampur.
2. Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan suami telah
bercampur dengan istri dan ternyaa nikahnya tidak sah.
2.4 Jumlah Mahar Yang Pernah Dicontohkan Rasulullah dan Sahabat
Berikut merupakan contoh mahar yang pernah diberikan pada
masa Rasulullah saw dan para sahabat kepada istri mereka yaitu:
a. Dinar dan Dirham
Dinar dan dirham adalah salah satu bentuk mahar yang paling
popular sejak zaman Rasulullah saw dan para sahabat. Dinar adalah
emas dengan kadar 22 karat sebesar 4,25 gram. Sedangkan dirham
adalah perak murni dengan berat 2,975 gram. Terdapat keutamaan
dinar dan dirham yang telah disebutkan dlam hadits berikut:
“Dinar (emas) dan dirham (perak) adalah stemple Allah SWT
di muka bumi-Nya, barangsiapa yang dating dengan mempergunakan
stemple tuhan-Nya, maka akan dcukupi semua kebutuhannya” (HR.
Thabrani).
b. Hafalan Al-Qur’an
Selain mahar yang diberikan dalam bentuk dinar dan dirham,
ada pula mahar yang diberikan dalam bentuk hafalan ayat-ayat al-
Qur’an. Hal ini juga pernah terjadi pada zaman Rasulullah SAW.
“Dari Sahal bin Sa’ad bahwa Rasulullah SAW didatangi
seorang perempuan yang berkata, “Ya Rasulullah, kawinkan dengan
aku saja jika kamu tidak ingin menikahinya”.
Rasulullah berkata, “Punyakah kamu sesuatu untuk ijadikan
mahar?”. Ia berkata, “Tidak, kecuali hanya sarungku ini”. Nabi

8
menjawab, “Carilah sesuatu”. Ia berkata, “Cariah walau cincin dari
besi.” Ia mencari lagi dan tidak juga mendapatkan apa-apa”.
Lalu Nabi berkata lagi, “Apakah kamu menghafal Al-
Qur’an?”. Dia menjawab, “Ya, surah ini dan itu” sambal
menyebutkan surah yang dihafalkannya. Berkata Nabi, “Aku telah
menikahkan kalian berdua dengan mahar hafalan Al-Qur’an” (HR.
Bukhari dan Muslim).
c. Memerdekakan
Mahar berbentuk non materi yang pernah Rasulullah SAW
berikan kepada salah satu istrinya, yakni Shafiyah berupa
kemerdekaan. Rasulullah SAW memerdekakan Shafiyah karena pada
waktu perang khalbar, ia menjadi tawanan perang, kemudian
Rasulullah SAW membebaskannya.
“Diriwayatkan dari Anas r.a dari Rasulullah SAW, bahwa
beliau memerdekakan Shafiyah dan menjadikan kemerdekaannya
sebagai maharnya” (HR. Bukhari).
d. Masuk Islam
Dalam sejarah Islam, Ummu Sulaim dikenal sebagai
perempuan dengan mahar termahal di dunia. Mahar tersebut bukanlah
dalam bentuk dinar atau dirham yang banyak, melainkan masuknya
Abu Thalhah ke dalam Islam yang saat itu masih menjadi kafir.
Ummu Sulaim mau menikah dengan Abu Thalhah dengan
syarat, lelaki tersebut harus masuk Islam. Syarat ini merupakan bukti
keimanan dan kecintaan Ummu Sulaim yang luar biasa dengan Rabb-
nya.
Ummu Sulaim tidak mensyatarkan harta, kedudukan, dan yang
lainnya sebagai mahar. Pandangan pertama dan yang didahulukan
adalah kesalehan suami. Meskipun Abu Thalhah telah membujuknya
dengan harta, namun ia menolak selain Islam.

9
2.5 Pandangan 4 Madzhab Terkait Mahar
Berikut merupakan pandangan 4 Madzhab terkait mahar yaitu:
a. Madzhab Hanafi
Menurut dhahirul madzhab Hanafi menyatakan tidak boleh.
Lebih jelasnya adalah bahwa jika seorang merdeka menikah dengan
mahar mengajarkan al-Qur’an adalah tidak boleh, maka bagi istri
adalah mahar mitsil. Sedangkan perkawinan dengan mahar engajarkan
istri semua isi al-Qur’an atau sebagainya atau sbagian hukum agama
yang berupa perkara halal atau yang haram.
Maka menurut Fuqaha Madzhab Hanafi Mutaqaddim tidak
sah. Karena yang disebutkan tadi bukanlah harta karena mengajarkan
al-Qur’an dan perkara lain yang sejenisnya yang berupa ketaatan dan
kedekatan kepada Allah swt tidak sah diberikan upah menurut
Madzhab Hanafi. Sedangkan para Fuqaha Madzhab Hanafi
Muta’akhirin memberikan fatwa membolekan al-Qur’an dan hukum-
hukum agama karena kebutuhan akibat perubahan kondisi dan
kesibukan manusia dalam perkara kehidupan, maka sang guru tidak
bisa mengajar tanpa upah. Oleh karena itu, boleh menjadikan
pengajaran al-Qur’an dan hukum-hukum agama sebagai mahar.
b. Madzhab Maliki
Menurut madzhab Maliki, mahar adalah sesuatu yang dapat
dihargakan secara syari’at yang berupa barang, hewan atau bangunan
yang suci dan tidak bernajis karena yang bernajis tidak bisa
dihargakan secara syari’at dan tidak bisa dimanfaatkan secara syari’at.
Madzhab Maliki berpendapat bahwa non materi pada mulanya
tidak patut dijadikan mahar ketika disebut sebagai mahar. Dan Ibnu
Qosim berkata patut dijadikan mahar tetapi makruh dan Sebagian
imam-imam Maliki memperbolehkannya tanpa ada hukum makruh.
Dan yang mu’tamad adalah pendapat dari Imam Malik, akan tetapi
Ketika seseorang menyebutkan kemnfaatan dari hal-hal ini sebagai
mahar, maka sesungguhnya akad tersebut sah mnurut pendapat yang

10
mu’tamad. Tidak boleh memberikan mahar yang berupa manfaat yang
tidak berhak mendapatkan mbalan berupa harta. Manfaat yang seperti
ini tidak sah sebagai mahar.
c. Madzhab Syafi’i
Batasan yang bisa dijadikan mahar menurut Madzhab Syafi’I
adalah beliau berpendapat bahwa semua yang bisa dijadikan barang
jualan bisa dijadikan mahar. Atau semua yang bisa dijadikan harga
atau sewaan bisa dijadikan mahar meskipun jumlahnya ssedikit. Yaitu
semua barang yang dapat dihargakan, baik dalam bentuk tunai
maupun utang, tunai maupun dengan tempo yang berupa pekejaan
serta manfaat yang dapat diketahui.
Seperti menggembala dombanya dalam tempo yang diketahui,
menjahit bajunya, mengembalikan budaknya yang kabur dari tempat
tertentu, melayaninya dalam waktu yang diketahui, mengajarkan al-
Qur’an atau syair yang diperbolehkan, atau sastra atau mengajarkan
menulis atau suatu ketrampilan tertentu, serta berbagai manfaat
lainnya yang diperbolehkan.
d. Madzhab Hanbali
Madzhab Hanbali berpendapat bahwa beliau memperbolehkan
mahar dengan ayat al-Qur’an atau jasa bila ia tidak mampu
memberikan yang lain, agar tidak ada persetubuhan antara laki-laki
dan perempuan sebelum melakukan sesuatu sebagai mahar.
Seorang merdeka sah menikah dengan wanita dengan mahar
melayaninya dengan waktu tertentu atau dengan mendatangkan
pelayan merdeka untuk melayani mempelai Wanita dalam waktu
tertentu, lebih-lebih jika yang didatangkan adalah pelayan hamba
sahaya.

11
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Mahar merupakan pemberian wajib dari calon suami kepada calon
istri sebagai bentuk ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa
cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya, atau suatu pemberian
wajib dari calon suami baik dalam bentuk benda maupun jasa.
Agama tidak menetapkan jumlah minimal maupun jumlah
maksimal dari mahar. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan dan
kemampuan manusia dalam memberikannya. Saling menghormati dan
menjaga satu sama lain menjadi titik penting dalam mempelajari konsep
mahar dalam perspektif hukum dan Pendidikan islam.
Dengan demikian, untuk kaum perempuan kehadiran Islam
menghilangkan belenggu tradisi yang menghilangkan hak wanita dan
disia-siakan tersebut. Perempuan diberikan hak untuk mendapatkan mahar,
bukan atas hak kepada walinya.
3.2 Saran
Hendaknya anjuran untuk memberikan mahar dengan tulus dan
penuh kasih saying itu sungguh-sungguh diperhatikan dan diamalkan oleh
setia calon mempelai laki-laki. Karena dengan memberikan mahar dengan
ketulusanlah yang dapat memberikan keharmonisan dalam kehidupan
berumah tangga. Kemudian diharapkan juga kepada wali supaya tidak
memberatkan mahar bagi calon suami yang hendak melamar anaknya,
agar pernikahan yang dijalankan bisa berjalan dengan baik dan lebih
bermanfaat, karena mahar yang mudah itu adalah lebih banyak berkahnya.
Perbedaan pendapat dikalangan ulama dalam suatu kasus
merupakan suatu hal yang manusiawi dan hendaknya tidak menjadi
sumber konflik atau sumber perpecahan di kalangan umat islam. Ada
khilaf perbedaan pendapat adalah suatu rahmat yang denganya dapat
menambah cakrawala ilmu pengetahuan dalam bidang agama.

12
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rahman Ghazaly, dkk., 2010, Fiqh Muamalat. Jakarta: Kencana


Prenada Media Group.
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, Jakarta:
Pustaka at-Tazkia, 2008.
Ahmad Sarwat, Lc. 2009. Fiqih Niqah. Jakarta: Kampus Syariah.
Muhammad Bagir, Fiqih Praktis II, Bandung: Karisma, 2008.
Soraya Novia. 2016. Jurnal Analisis Yuridis Terhadap Hak-hak
Perempuan. Yogyakarta: UIN SUKA.
Syamsuddin Muhammad. 1938. Nihayah Al-Muhtaj. Mesir: Musthafa Al-
Baby Al-Halaby.

13

Anda mungkin juga menyukai