Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

MAHAR
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Fikih Munakahat
Dosen Pengampu:
Drs. Ali Makhfud, MA

Disusun Oleh Kelompok 2:


 Suci Leo Anita (2223.01.062)
 Lili Rahmawati (2223.01.002)
 Siti Sarah (2223.01.035)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM BINAMADANI TANGERANG

2023/2024
KATA PENGANTAR

Assalamuálaikum wr.wb

Syukur Alhamdulillah atas segala limpahan karunia Allah SWT. Atas izin-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Tidak lupa pula kami kirimkan shalawat serta salam
kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Beserta Keluarganya, para sahabatnya, dan
seluruh umatnya yang senantiasan istiqomah hingga akhir zaman.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Fikih
Munakahat
Dimana di dalamnya membahas tentang Pengertian Mahar, dan Macam-Macam Mahar

Semoga Makalah ini dapat memberi manfaat kepada semua pihak, bagi kami khususnya dan
bagi teman-teman mahasiswa pada umumnya. Kami sadar bahwa makalah ini belum sempurna
dan masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari semua pihak yang membaca.

Wassamuálaikum wr. wb

Tangerang 25 Mei 2023

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................................ 2


DAFTAR ISI ................................................................................................................................... 3
BAB I ........................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ............................................................................................................................ 4
A. Latar Belakang ............................................................................................................................. 4
B. Rumusan Masalah ....................................................................................................................... 5
C. Tujuan Masalah ........................................................................................................................... 5
BAB II .......................................................................................................................................... 6
PEMBAHASAN ............................................................................................................................. 6
A. Penger an Mahar ....................................................................................................................... 6
B. Kadar (Jumlah Mahar)..................................................................................................................... 8
C. Syarat-Syarat Mahar ........................................................................................................................ 9
A. Bentuk Mahar ........................................................................................................................... 10
B. Macam-Macam Mahar.............................................................................................................. 11
C. Gugur/Rusaknya Mahar ............................................................................................................ 12
BAB III ....................................................................................................................................... 13
PENUTUP ................................................................................................................................... 13
Kesimpulan ........................................................................................................................................ 13
DAFTAR PUSAKA ........................................................................................................................ 13

3
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Mahar termasuk keutamaan agama Islam dalam melindungi dan memuliakan kaum wanita
dengan memberikan hak yang dimintanya dalam pernikahan berupa mahar kawin yang besar
kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua belah pihak karena pemberian itu harus
diberikan secara ikhlas. Para ulama fiqh sepakat bahwa mahar wajib diberikan oleh suami kepada
istrinya baik secara kontan maupun secara tempo, pembayaran mahar harus sesuai dengan
perjanjian yang terdapat dalam aqad pernikahan. Mahar merupakan pemberian yang
dilakukan oleh pihak mempelai laki-laki kepada mempelai wanita yang hukumnya
wajib. Dengan demikian, istilah shadaqah, nihlah, dan mahar merupakan istilah yang
terdapat dalam al-Qur’an, tetapi istilah mahar lebih di kenal di masyarakat, terutama
di Indonesia. Dikalangan masyarakat itu terdiri dari keluarga yang meliputi Bapak,
Ibu, dan anak-anaknya. Terbentuknya sebuah keluarga di awali dari pernikahan antara
laki-laki dan perempuan. Nah dalam melaksanakan acara pernikahan itu biasanya
dirayakan dengan acara yang berbagai macam jenis tergantung keinginan sang
penganten dan adat istiadat setempat.
Mahar (maskawin) memiliki makna yang cukup mendalam. Dalam Pasal 1
huruf d Kompliasi Hukum Islam (KHI), mahar (maskawin) adalah pemberian dari
calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang
atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Terkait dengan pemberian
tersebut, maka maskawin dapat disebut sebagai aset (harta) karena berbentuk barang,
uang atau jasa.
Harta perolehan dari pemberian laki-laki (suami), dapat juga dibagikan wanita
(istri) kepada suami, orangtua/wali atau siapa saja yang wanita kehendaki untuk
diberikan harta tersebut contohnya mahar (maskawin) 100 pohon kelapa, dibagikan
kepada orangtua 20 pohon kelapa, sisanya untuk dirinya begitu juga dengan harta
lainnya. Akan tetapi yang tidak bolehnya yaitu ketika mahar (maskawin) atau harta

4
tersebut digunakan oleh orang lain tanpa sepengetahuan pemilik misalnya mahar
(maskawin) mobil avanza dipakai bahkan hingga dijual oleh suami tanpa
sepengetahuan istri.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Mahar?


2. Berapa Kadar Jumlah Mahar?

3. Apa Saja Syarat-Syarat Mahar ?


4. Apa Saja Macam-Macam Mahar?
C. Tujuan Masalah

1. Untuk Mrngetahui Pengeertian Mahar

2. Untuk Mengetahahui Kadar Jumlah Mahar


3. Untuk Mengetahui Syarat-Syarat Mahar

4. Untuk Mengetahui Macam-Macam Mahar

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Mahar
Mahar (‫( صداق‬secara etimologi artinya maskawin. Secara terminologi, mahar
ialah “ Pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati
calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon
suaminya” .1 Mahar adalah harta yang berhak didapatkan oleh seorang istri yang
harus diberikan oleh sang suami; baik karena akad maupun persetubuhan hakiki
Dalam kamus Al-Munawwir, kata mahar artinya maskawin . Dalam kamus besar
bahasa Indonesia mahar adalah pemberian wajib berupa uang atau barang dari
mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah
Mahar merupakan suatu pemberian dalam perkawinan dari mempelai lelaki
kepada mempelai perempuan dan khusus menjadi harta miliknya sendiri. 2Secara
umum kata lain yang dipergunakan untuk mahar di dalam Al-Qurán Qur’an
adalah “Ajr” (‫( اجر‬berarti penghargaan serta hadiah yang diberikan kepada
pengantin putri. Sesungguhnya “Ajr” (‫( اجر‬adalah sesuatu yang diberikan dan tak
dapat hilang. Kata “ Shadaqah” (‫( صداق‬juga dipergunakan di dalam Al-Qur’an
untuk menekankan pemberian/nafkah dalam kehidupan keluarga. Kata “Faridhah”
dalam Al-quran, yang secara harfiah adalah nafkah yang diwajibkan atau suatu
bagian yang telah ditekankan . 3Pengarang kitab al-‘Inaayah ‘Alaa Haamisyi al-
Fathi mendefinisikan mahar sebagai harta yang harus dikeluarkan oleh suami
dalam akad pernikahan sebagai imbalan persetubuhan, baik dengan penentuan
maupun dengan akad.
Sedangkan sebagian mazhab Hanafi mendefinisikannya sebagai sesuatu yang
didapatkan seseorang perempuan akibat akad pernikahan ataupun persetubuhan.

1
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Kencana, 2010), Cet. ke-4, Ed. ke- 1, h. 84.
2
Achmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya : Pustaka Progresif,
1997), h. 1363.
3
Abdur Rahman I. Doi, Perkawinan Dalam Syariat Islam, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1992), Cet. Ke-1, h. 63-64

6
4
Mazhab Maliki mendefinisikannya sebagai sesuatu yang diberikan kepada
seorang istri sebagai imbalan persetubuhan dengannya. Mazhab Syafi’i
mendefinisikan sebagai sesuatu yang diwajibkan sebab pernikahan atau
persetubuhan, atau lewatnya kehormatan perempuan dengan tanpa daya, seperti
akibat susuan dan mundurnya para saksi . Mazhab Hambali mendefinisikan
sebagai pengganti dalam akad pernikahan, baik mahar ditentukan di dalam akad,
atau ditetapkan setelahnya dengan keridhaan kedua bela pihak atau hakim. Atau
pengganti dalam kondisi pernikahan, seperti persetubuhan yang memiliki syubhat,
dan persetubuhan secara paksa. Mahar adalah Pemberian seorang suami kepada
istrinya pada waktu berlangsungnya akad atau sebab akad sebagai pemberian
wajib. Mahar juga didefinisikan sesuatu yang diserahkan oleh calon suami kepada
calon istri dalam rangka akad perkawinan antara keduanya, sebagai lambang
kecintaan calon suami terhadap calon istri serta kesediaan calon istri untuk
menjadi istrinya.5
Mahar ini memiliki sepuluh nama, yaitu : mahar, shidaaq, atau shadaqah,
nihlah, ajr, faridhah, hibaa’, ‘uqr, ‘alaa’iq, thaul. Mahar dalam istilah arab disebut
ash-shadaaq yang berasal dari kata ash-shidq, untuk menunjukkan ungkapan
perasaan betapa kuatnya cinta (keinginan) sang suami terhadap istri. Kata ini
mempunyai delapan nama yang yang terangkum dalam syair berikut : ‫صداق و مهر‬
‫“ ﻧﺤﻠﺔ و فريضﺔ ﺣﺒﺎء و اجر ﺛﻢ ﻋﻘر ﻋﻼﺋﻖ‬Mahar itu mempunyai delapan nama, yakni :
shadaaq, mahr, nihlah, faridhah, hiba’, ajr, ‘uqr, dan ‘alaiq”9 . Imam Syafi’i
mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang laki-
laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya.
Disisi lain bahwa maskawin (mahar) juga masuk dalam unsur pendapatan dan
beban. Pendapatan bagi wanita dan beban bagi laki-laki. Artinya pendapatan bagi
wanita karena telah memperoleh maskawin (harta) pemberian dari laki-laki yang
melamar atau yang akan menikahinya. Sedangkan dapat disebut beban karena
laki-laki telah mengeluarkan hartanya sebagai maskawin untuk diberikan kepada
wanita yang dilamar atau yang akan dinikahinya. Pendapatan dan beban tersebut
timbul karena terjadi aktivitas pernikahan.

4
Wahbah Az-Zuhaili, Op. Cit. h. 230
5
Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Islam, (Jakarta : Kencana, 2012), Ed.
Revisi, h. 285

7
Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita dengan
memberi hak kepadanya, di antaranya adalah hak untuk menerima mahar. Mahar hanya
diberikan oleh calon suami kepada calon istri, bukan kepada wanita lainnya atau
siapapun, walaupun sangat dekat dengannya. Orang lain tidak boleh menjamah apalagi
menggunakannya meskipun oleh suaminya sendiri, kecuali dengan rida dan
kerelaan istri. Firman Allah SWT dalam surat An- Nisa’ ayat 4 :
“Berikanlah mas kawin atau (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada
kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (senagai makan) yang sedap lagi baik akibatnya.
(Q.S.An-Nisa : 4).
B. Kadar (Jumlah Mahar)
Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari
maskawin. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam
memberikannya. Orang yang kaya mempunyai kemampuan untuk memberi maskawin yang lebih
besar jumlahnya kepada calon istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada yang
hampir tidak mampu memberinya6. Oleh karena itu, pemberian mahar diserahkan menurut
kemampuan yang bersangkutan disertai kerelaan dan persetujuan masing-masing
pihak yang akan menikah untuk menetapkan jumlahnya. Hanya saja, memang ada anjuran untuk
mempermudah mahar. Artinya, mahar yang mudah dijangkau oleh mempelai pria itulah yang
dianjurkan sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
”Sesungguhnya pernikahan yang paling besar pahalanya adalah yang paling ringan
biayanya.”
Imam Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan Fuqaha Madinah dari kalangan Tabi’in
berpendapat bahwa mahar tidak ada batas minimalnya. Segala sesuatu yang dapat
menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan mahar. Pendapat ini juga
dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari kalangan pengikut Imam Malik.
Sebagian fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya. Imam
Malik dan para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar emas
murni, atau perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang yang sebanding berat emas perak
tersebut. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu adalah

6
Kamal Muhktar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan (Jakarta : Bulan Bintang,1994), Hal. 82

8
sepuluh dirham. Riwayat yang lain ada yang mengatakan lima dirham, ada lagi yang mengatakan
empat puluh dirham.
Pangkal silang pendapat ini, menurut Ibnu Rusydi, terjadi karena dua hal, yaitu :
1. Ketidak jelasan akad nikah itu sendiri antara kedudukannya sebagai salah satu
jenis pertukaran, karena yang dijadikan adalah kerelaan menerima ganti, baik
sedikit maupun banyak, seperti halnya dalam jual beli dan kedudukannya sebagai
ibadah yang sudah ada ketentuan. Demikian itu, karena ditinjau dari segi bahwa
dengan mahar itu laki-laki dapat memiliki jasa wanita untuk selamanya, maka
perkawinan itu mirip dengan pertukaran. Tetapi, ditinjau dari segi adanya
larangan mengadakan persetujuan untuk meniadakan mahar, maka hal itu mirip
dengan ibadah7
2. Adanya pertentangan antara qiyas yang menghendaki adanya pembatasan mahar dengan
mahfum hadis yang tidak menghendaki adanya pembatasan. Qiyas yang menghendaki
adanya pembatasan adalah seperti pernikahan itu ibadah, sedangkan ibadah itu sudah ada
ketentuannya.
Mereka berpendapat bahwa sabda Nabi Saw, “nikahlah walaupun hanya dengan cincin
besi” adalah dalil bahwa mahar itu tidak mempunyai batasan terendahnya. Karena, jika
memang ada batas terendahnya tentu beliau menjelaskannya.
C. Syarat-Syarat Mahar
Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut.
1) Harga berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga walaupun tidak ada
ketentuan banyak atau sedikitnya mahar, mahar sedikit, tapi bernilai tetap
sah disebut mahar
2) Barangnya suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan memberikan
khamar, babi, atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga
3) Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang milik
orang lain tanpa seizinnya namun tidak termasuk untuk memilikinya karena berniat
untuk mengembalikannya kelak. Memberikan mahar dengan barang
hasil ghasab tidak sah, tetapi akadnya tetap sah.
4) ukan barang yang tidak jelas keadaannya. Tidak sah mahar dengan memberikan barang
yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya.

7
H. Abd. Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat (Jakarta, Prenada Media, 2003), Hal. 88-89

9
D. Bentuk Mahar
Pada prinsipnya maskawin harus bermanfaat dan bukanlah sesuatu yang
haram dipakai, dimiliki, atau dimakan. Ibn Rusyd mengatakan bahwa mahar harus
berupa sesuatu yang dapat ditukar dan ini terkesan harus berbentuk benda sebab
selain berbentuk benda tidak dapat ditukar tampaknya tidak dibolehkan. Namun,
menurut Rahmat Hakim, sesuatu yang bermanfaat tidak dinilai dengan ukuran
umum, tetapi bersifat subjektif sehingga tidak selalu dikaitkan dengan benda.
Dalam hal ini, calon istri mempunyai hak untuk menilai dan memilihnya, ini
sangat kondisional. Artinya, dia mengetahui siapa dia dan siapa calon suami
Boleh dijadikan maskawin apa saja yang dapat dimiliki dan dapat ditukarkan,
kecuali benda-benda yang diharamkan Allah, seperti khamar, daging babi, dan
sebagainya. Begitu pula benda-benda yang tidak bisa dijadikan hak milik. 8
Ada pula mahar yang berbentuk upah yaitu seorang laki-laki mengawini
seorang wanita yang maharnya diberikan dengan cara; laki-laki mengambil
mengambil upah dari sesuatu pekerjaan kepada pihak istri. Perkawinan dengan
mahar berupa upah ini disebut nikah bil ijaarah 9.
Mahar yang seperti ini dibolehkan oleh agama. Dasarnya perbuatan Nabi
SAW, yaitu Nabi Muhammad SAW membolehkan seorang laki-laki mengawini
seorang wanita dengan maharnya mengajarkan ayat-ayat Al- Qur’an kepada calon
istrinya. Rasulullah SAW bersabda :
“Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'man Telah menceritakan kepada
kami Hammad bin Zaid dari Abu Hazim dari Sahl bin Sa'dari radliallahu 'anhu,
bahwa seorang wanita mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan
menawarkan dirinya pada beliau, maka beliau pun bersabda: "Hari ini aku tak
berhasrat pada wanita." Tiba-tiba seorang laki-laki berkata, "Wahai Rasulullah,
nikahkanlah aku dengannya." Maka beliau bertanya: "Apa yang kamu miliki
(untuk dijadikan sebagai mahar)?" ia menjawab, "Aku tidak punya apa-apa."
Beliau bersabda: "Berikanlan ia (mahar) meskipun hanya cincin besi." Laki-laki
itu berkata, "Aku tak punya apa-apa." Akhirnya beliau bertanya: "Apa yang kamu

8
Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1993), Cet. Ke – 3,
h.84.
9
Ibid. h. 85

10
hafal dari Al Qur`an?" laki-laki itu menjawab, "Surat ini dan ini." Beliau
bersabda: "Aku telah menikahkanmu dengan wanita itu dan sebagai maharnya
adalah hafalan Al Qur`anmu."(HR. Bukhari).
E. Macam-Macam Mahar
Ulama fiqih sepakat bahwa mahar itu ada dua macam, yaitu:
1) Mahar Mussama
Mahar Musamma, yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan
kadar dan besarnya ketika akad nikah. Atau, mahar yang dinyatakan kadarnya
pada waktu akad nikah. 10
Ulama fikih sepakat bahwa, dalam pelaksanaannya, mahar musamma harus
diberikan secara penuh apabila :
a.) Telah bercampur (bersenggama). Sebagaimana firman Allah SWT pada surat An-
Nisa ayat 20.“Maksudnya Ialah: menceraikan isteri yang tidak disenangi dan kawin
dengan isteri yang baru. Sekalipun ia menceraikan isteri yang lama itu bukan
tujuan untuk kawin, Namun meminta kembali pemberian-pemberian itu
tidak dibolehkan
b. ) Salah satu dari suami istri meninggal. Dengan demikian menurut
ijma’. Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami
telah bercampurdengan istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan sebab
tertentu, seperti ternyata istrinya mahram sendiri, atau dikira perawan
ternyata janda, atau hamil dari bekas suami lama. Akan tetapi, kalau istri dicerai
sebelum bercampur, hanya wajib dibayar setengah. jika kamu menceraikan isteri-isterimu
sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah
menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu
tentukan itu (Qs Al-Baqarah: 237)
2) Mahar Mitsli (Sepadan)
Mahar Mitsli yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum
ataupun ketika terjadi pernikahan. Atau mahar yang diukur (sepadan) dengan
mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat, agakjauh dari tetangga
sekitarnya, dengan memerhatikan status sosial, kecantikan, dan sebagainya

10
M. Abdul Mujid dkk, Kamus Istilah Fikih, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1995), Hal. 185

11
Bila terjadi demikian (mahar itu disebut besar kadarnya pada saat sebelum atau
ketika terjadi pernikahan), maka mahar itu mengikuti maharnya
saudara perempuanpengantin wanita (bibi, bude), uwa perempuan(Jawa
Tengah/Jawa Timur), ibu uwa (Jawa Banten) , anak, perempuan, bibi/bude). Apabila
tidak ada, mahar mitsliitu beralih dengan ukuran wanita lain yang sederajat
dengan dia.
Mahar Mitsli Juga Terjadi Dalam Keadaan Sebagai Berikut :
a.) Apabila tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya ketika berlangsung akad nikah,
kemudian suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur.
b.) Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan suami telah bercampur dengan istri
dan ternyata nikahnya tidak sah11
Nikah yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya disebut
nikah tafwid. Hal ini menurut jumhur ulama dibolehkan. Firman Allah SWT, yg
artinya :Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-
isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan
maharnya. (Al-Baqarah : 236) Ayat tersebut menunjukkan bahwa seorang
suami boleh menceraikan istrinya sebelum digauli dan belum juga ditetapkan
jumlah maharnya tertentu kepada istrinya itu.
F. Gugur/Rusaknya Mahar
Mahar yang rusak bisa terjadi karena barang itu sendiri atau karena sifat-sifat
barang tersebut, seperti tidak diketahui atau sulit diserahkan, mahar yang rusak
karena zatnya sendiri, yaitu seperti khamar yang rusak karena sulit dimiliki atau diketahui,
pada dasarnya disamakan dengan jual beliyang mengandung lima persoalan pokok,
yaitu:
a. Barangnya tidak boleh dimiliki
b. Mahar digabungkan dengan jual beli
c. Penggabungan mahar dengan pembelian
d. Cacat dalam mahar dan persyaratan pada mahar
Mengenai gugurnya mahar, suami bisa terlepas dari kewajibannya untuk membayar mahar
seluruhnya apabila perceraian sebelum persetubuhan datang dari pihak istri.

11
M. Abdul Mujib dkk , Op.Cit ., Hal. 185

12
Begitu juga mahar dapat gugur apabila istri yang belum digauli melepaskan
maharnya atau menghibahkan padanya.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai
ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon
suaminya.Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon
istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dan lain sebagainya).
Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari maskawin.
Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam memberikannya. Orang
yang kaya mempunyai kemampuan untuk memberi maskawin yang lebih besar jumlahnya
kepada calon istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada yang hampir tidak mampu
memberinya. Mahar boleh dilaksanakan dan diberikan dengan kontan atau utang, apakah mau
dibayar kontan sebagian dan utang sebagian. Kalau memang demikian, maka disunahkan
membayar sebagian.

DAFTAR PUSAKA

Ghozali Rahman Abdul , Fiqh Munakahat, (Jakarta : Kencana, 2010)


Munawwir, Warson Achmad Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
(Surabaya : Pustaka Progresif, 1997)
Rahman I Abdur . Doi, Perkawinan Dalam Syariat Islam, (Jakarta : PT Rineka Cipta,
1992),
Shomad Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Islam, (Jakarta :
Kencana, 2012)
Muhktar Kamal, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan (Jakarta : Bulan
Bintang,1994),
Ghazali. Rahman Abd. , Fiqih Munakahat (Jakarta, Prenada Media, 2003),

13

Anda mungkin juga menyukai