Anda di halaman 1dari 21

Hibah, Wakaf dan Sedekah

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas pada Mata Kuliah Fiqih Ibadah dan
Muamalah
Dosen Pengampu:
Drs. Rusdi, M.Ag

Disusun Oleh:

Yasir Aqil 11220110000013


Nurul Fajriyah 11220110000020
Brillian Leonny 11220110000034

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2023 M/1444 H
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim,
Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-
Nya berupa ilmu pengetahuan, petunjuk dan kesehatan, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah dengan tema “Hibah, Wakaf dan Sedekah”.
Shalawat serta salam semoga tercurah limpahkan kepada baginda Nabi Muhammad saw.
kepada keluarganya, sahabatnya, serta kepada para pengikutnya. Semoga kita semua bisa
mendapatkan syafaat-nya pada hari kiamat nanti, aamiin.
Penulisan makalah ini di tujukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fiqih Ibadah
dan Muamalah. Adapun isi dari makalah yaitu menjelaskan tentang Hibah, Wakaf dan
Sedekah .
Kami berterima kasih kepada Prof. Dr. selaku dosen pengampu mata kuliah Fiqih Ibadah dan
Muamalah yang telah memberikan arahan serta bimbingan, dan juga kepada semua pihak
yang telah membantu baik langsung maupun tidak langsung dalam penulisan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih terbilang jauh dari kata sempurna. Hal ini
semata-mata karena keterbatasan kemampuan kami. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang positif dari semua pihak agar makalah ini dapat menjadi
lebih baik dan berguna di masa yang akan datang. Meskipun demikian, penulis berharap
semoga makalah ini bisa bermanfaat untuk kita semua, aamiin.

Ciputat, 18 April 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................................2
DAFTAR ISI........................................................................................................................................3
BAB I....................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN................................................................................................................................3
A. Latar Belakang........................................................................................................................3
B. Rumusan Masalah...................................................................................................................4
BAB II..................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN...................................................................................................................................5
A. Pendidikan Keimanan.............................................................................................................5
B. Q.S Yasin Ayat 77- 83.............................................................................................................11
C. Q.S Al-Waqiah Ayat 57-74.....................................................................................................20
D. Nilai-Nilai Pendidikan dan Implementasinya......................................................................32
BAB III...............................................................................................................................................34
PENUTUP..........................................................................................................................................34
Simpulan........................................................................................................................................34
Saran...............................................................................................................................................36
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah
Untuk mendekatkan pada sasaran yang diharapkan, maka perlu dirumuskan beberapa pokok
permasalahan. Adapun pokok permasalahan yang akan dilampirkan adalah sebagai berikut:

1. Menjelaskan Pendidikan Keimanan

2. Bagaimana Penjelasan Q.S Yasin Ayat 77- 83 dan tafsirnya

3. Bagaimana Penjelasan Q.S Al- Waqiah 57- 74 dan tafsirnya

4. Nilai pendidikan yang terkandung dalam ayat yang di bahas sekaligus


implementasinya
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hibah
Hibah secara bahasa, berasal dari kata Wahaba yang memiliki arti lewat dari satu tangan
ke tangan yang lain atau kesadaran untuk melakukan kebaikan atau pemberian, atau bisa
diambil juga dari kata hubub ar-rih (angin yang menghembus) atau ibra (membebaskan
hutang). Secara terminologis hibah merupakan pemberian hak milik secara langsung dan
mutlak atas suatu benda ketika masih hidup tanpa adanya imbalan.1
Terdapat dua definisi lain yang dikemukakan yaitu; pertama menurut jumhur ulama,
hibah adalah akad yang menyebabkan adanya kepemilikan tanpa mengharapkan imbalan
yang dilakukan semasa hidup seseorang secara sukarela. Kedua menurut ulama hanabilah
yang mengartikan lebih rinci dan komprehensif; hibah berarti pemberian kepemilikan yang
dilakukan orang dewasa yang cerdas dengan sejumlah harta yang diketahui jumlahnya
maupun yang sulit diketahui jumlahnya, harta tersebut memang ada, dapat diserahkan ketika
masih hidup dan tanpa imbalan.2
1. Dasar hukum hibah.
Dasar hukum hibah berasal dari Al- Qur’an dan Hadist Rasulullah Saw, yaitu:
a) Q.S An-Nisa: 4

‫ص ُد ٰقتِ ِه َّن حِن ْلَةً ۗ فَاِ ْن ِطنْب َ لَ ُك ْم َع ْن َش ْي ٍء ِّمْنهُ َن ْف ًسا فَ ُكلُ ْوهُ َهنِْيۤـًٔا َّم ِريْۤـًٔا‬ َ ‫َواٰتُوا الن‬
َ َ‫ِّساۤء‬
Artinya: Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan
kepada kamu sebagian dari (mahar) itu dengan senang hati, terimalah dan
nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.
b) Q.S Al-Baqarah: 177

ِّ ‫الساۤ ِٕىلِنْي َ َو ِىف‬


ِ ۚ ‫الرقَا‬
‫ب‬ َّ ‫َواٰتَى الْ َم َال َع ٰلى ُحبِّهٖ ذَ ِوى الْ ُق ْرىٰب َوالْيَت ٰٰمى َوالْ َم ٰس ِكنْي َ َوابْ َن‬
َّ ‫السبِْي ۙ ِل َو‬
Artinya: orang yang memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat,
anak yatim, orang miskin, musafir, peminta-minta, dan (memerdekakan)
hamba sahaya;
c) Hadist Rasulullah Saw; dari abu Hurairah ra, Rasulullah Saw bersabda:
“Saling memberi hadiahlah kamu semua (maka) kamu akan saling
mencintai.” (HR. Imam Malik) dan hadist yang berbunyi; “ Dari abu
Hurairah ra bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Janganlah menghina
seseorang tetangga yang memberi hadiah walaupun hanya kuku kambing.”
(HR Buhkori, Muslim dan Tirmidzi)3

1
Dr. Mardani, Fiqih Ekonomi Syariah, Predana Media Grup, Jakarta(2013) hlm 340
2
AH. Azharuddin Lathif, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Uin Jakarta Press, 2005) hlm 177
3
Ibid, hlm 178
2. Rukun Hibah
Hibah adalah salah satu bentuk pemberian yang diberikan oleh seseorang kepada
orang lain dengan adanya akad, dan dalam hal akad pasti terdapat ikatan-ikatan
penjanjian yang disepakati antara seorang dengan orang lain. Dan dalam hal ini hibah
mempunyai rukun-rukun serta syarat-syarat yang harus ada, yang menjadi sahnya
hibah. Menurut ulama Hanafiyah, rukun hibah adalah ijab dan qobul sebab keduanya
termasuk akad seperti halnya jual-beli. Selain itu sebagian ulama Hanafiyah
berpendapat bahwa qobul dari penerima hibah bukanlah rukun, dengan demikian
dicukupkan dengan adanya ijab dari pemberi. Hal hibah menurut bahasa adalah
sekedar pemberian dan qobul hanyalah dampak dari adanya hibah, yakni pemindahan
hak milik.4
Menurut jumhur ulama, rukun hibah ada empat yaitu5:
a. Orang yang menghibahkan
b. Orang yang menerima hibah
c. Benda yang dihibahkan
Menurut sebagian ulama, ijab kabul juga merupakan salah satu bagian dari
rukun hibah.6 Bahkan menurut Imam Maliki dan Imam Syafi’I berpendapat,
“kabul” merupakan unsur penting dalam rukun hibah. Mazhab Hanafi
berpendapat bahwa ijab itu saja sudah cukup, dan itulah yang paling sahih.
Sedangkan mazhab Hambali berpendapat bahwa hibah itu sah dengan pemberian
yang menunjukkan kepadanya, karena tidak ada sunah yang mensyaratkan ijab
kabul dan serupa itu.7 Oleh sebab itu, ada sebagian ulama yang berpendapat wajib
melaksanakan ijab kabul dalam hibah dan ada pula yang berpendapat jika ijab
kabul itu boleh tidak dilaksanakan dalam hibah.
3. Syarat-syarat Hibah
a. Syarat orang yang memberikan Hibah(wahib)
Telah dikemukakan Muhammad Syarbani Khatib dalam kitab Mughni Al-
Muhtaj, sebagai berikut:
“Maka disyaratkan terhadap orang yang menghibahkan adalah memiliki,
mempunyai hak untuk mentassarrufkan hartanya8
Dari pernyataan tersebut dapat dipahami ada dua persyaratan bagi orang-orang
yang akan menghibahkan hartanya:
- Orang yang memiliki, yaitu orang yang mempunyai hak milik penuh
terhadap harta yang dihibahkan, baik secara hakikat maupun secara
hukum. Maka tidak sah menghibahkan sesuatu yang belum jelas
kepemilikannya seperti penghibahan ikan yang berada di laut atau hewan
yang pada hutan belantara.

4
Racmat Syafe’i, Fiqh Muamalah ( Bandung: Pustaka Setia, 2001) Hlm 244
5
Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, dan Sapiudin Shidiq, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Kencana,2010), hal
158.
6
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012), hal 344.
7
Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010),
hal 360.
8
Muhammad Syarbaini Khatib, Mughni al-Muhtaj, Juz II, Dar Fikr Beirut, 1973, hlm. 397
- Mukallaf artinya, baligh karena orang mukallaf ini mempunyai
pertimbangan dan mempertanggungjawabkan perbuatannya.
- Melakukan perbuatan tersebut atas kemauan sendiri dan penuh kerelaan,
bukan dipaksan dan terpaksa.
- Bukan orang yang dibatasi haknya karena alasan tertentu.
b. Orang yang menerima Hibah (Mauhub lahu)
- Disyaratkan benar-benar ada ketika hibah diakadkan. Maka tidak sah hibah
kepada anak yang masih berada dalam kandungan, hibah merupakan akad
langsung yang tidak boleh dikaitkan dengan waktu tertentu.
c. Harta yang dihibahkan (Mauhub)
- Barang yang dihibahkan diharuskan milik sempurna dari pihak penghibah,
yang berarti bahwa hibah tidak sah bila sesuatu yang dihibahkan itu bukan
milik seluruhnya pihak penghibah.
- Barang yang dihibahkan harus sesuatu yang dibolehkan oleh Islam.
- Dapat dimiliki dzatnya, yaitu benda yang dihibahkan dapat dipindah
tangankan kepada yang menerima hibah, maka tidak boleh menghibahkan
air di sungai.
- Harta atau barang yang dihibahkan harus telah terpisah dari harta milik
penghibah.9
4. Macam-macam Hibah.
Ada dua macam hibah yang dikenal dalam fiqih yaitu:
1) Hibah manfaat, yang biasa dikenal dengan umriy, yaitu penerima hibah boleh
memanfaatkan benda yang dihibahkan selama penerima hibah masih hidup,
jika penerima meninggal, maka benda yang dihibahkan harus dikembalikan
kepada penghibah. Hibah manfaat terdiri dari hibah berwaktu (hibah
muajjalah) dan hibah seumur hidup (al amri). Hibah muajjalah dapat juga
dikategorikan sebagai pinjaman karena setelah lewat jangka waktu tertentu,
barang yang dihibahkan manfaatnya harus di kembalikan.
2) Hibah barang adalah ketika pemberi memberikan harta maupun barang yang
memiliki manfaat atau nilai kepada penerima dengan tanpa tendensi harapan
apapun. Contohnya, seseorang menghibahkan sepeda motor, mobil, pakaian,
dan sebagainya.10
5. Pencabutan Hibah
Kebanyakan Para ulama berpendapat bahwa haram hukumnya menarik
kembali hibah yang telah diberikan, kecuali hibah dari orang tua kepada anaknya.
Pendapat ini didasarkan atas sebuah hadist yang diriwayatkan dari Thawus oleh Imam
Nasa’I, yaitu sebagai berikut:
“Dari Thawus , sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda; Seseorang tidak boleh
menghibahkan sesuatu kemudian mengambil lagi hibahnya, kecuali hibah orang tua
kepada anaknya. Perumpamaannya orang yang memberi hibah kemudian mencabut
hibahnya seperti anjing yang memakan muntahnya.” (H.R An- Nasa’i)11
Imam Abu Daud juga meriwayatkan sebuah hadist yaitu:
“ Dari Thawus , dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, dari Nabi Muhammad Saw, beliau
bersabda: “tidak halal bagi seseorang untuk memberikan atau menghibahkan sesuatu
9

10

11
Kasuwi Saiban, Hukum Waris Islam, (Malang: UM Press, 2007), hlm 72
kemudian mencabut kembali, kecuali ayah yang memberi kepada anaknya” (H.R Abu
Daud).12
Dari dua hadist diatas dapat disimpulkan bahwa seseorang yang telah
memberikan suatu hibah kepada orang lain tidak diperkenankan mencabutnya
kembali kecuali jika hibah tersebut dilakukan orang tua kepada anaknya. Hal ini juga
ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 212 yang berbunyi: “Hibah tidak
dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua terhadap anaknya.”13
Hibah yang dapat dicabut, diantaranya sebagai berikut:
a. Hibahnya orang tua (bapak) terhadap anaknya, karena bapak melihat bahwa
mencabut itu demi menjaga kemaslahatan anaknya.
b. Bila dirasakan ada unsur ketidak adilan diantara anak-anaknnya, yang
menerima hibah.
c. Apabila dengan adanya hibah itu ada kemungkinan menimbulkan iri hati dan
fitnah dari orang lain.
6. Pemberian Ayah Kepada Anaknya.
Menurut sebagian ahli hukum Islam, penyamaan terhadap anak-anak dalam
pemberian hibah bukan hal yang wajib dilaksanakan, tetapi sunnah saja. Bahkan,
sebagian ahli hukum Islam itu menyatakan bahwa perlunya penyamaan anak-anaknya
dalam pemberian hibah adalah lemah. Pendapat yang mewajibkan menyamakan
pemberian pada anak-anaknya dan larangan pemberian semua harta berupa hibah
kepada anak-anaknya ialah pendapat yang kuat.14
Hibah seorang ayah kepada anak-anaknya menurut Pasal 211 Kompilasi
Hukum Islam (KHI) dapat juga diperhitungkan sebagai warisan ketika harta orang tua
dihibahkan kepada anaknya ataupun harta anak yang dihibahkan kepada orang tuanya.
Menurut Abdul Ghofur Anshori, dalam Pasal 211 ini Kompilasi Hukum Islam (KHI)
tidak memberikan patokan secara jelas kapan suatu hibah kepada anak diperhitungkan
sebagai warisan. Namun Abdul Ghofur Anshori menegaskan terdapat 2 (dua) hal yang
dapat dijadikan patokan antara lain:
a. Harta yang diwarisi sangat kecil, sehingga jika hibah yang diterima salah
seorang anaktidak diperhitungkan sebagai warisan, ahli waris yang lain tidak
memperoleh pembagianwaris yang berarti.
b. Penerima hibah berkecukupan, sedangkan ahli waris yang lain tidak
berkecukupan, sehingga penghibahan itu memperkaya yang sudah kaya dan
memelaratkan yang sudah melarat. Oleh karena itu pantas dan layak untuk
diperhitungkan hibah sebagai warisan.
Para ulama sebagaimana dikutip oleh Abdul Rahman Ghazaly, dkk, sepakat bahwa
seorangayah harus memperlakukan anak-anaknya dengan perlakuan yang adil.
Seorang ayah tidak diperbolehkan melebihkan hibah kepada sebagian anak-anaknya
di atas anakanak yang lain, karena perlakuan seperti itu akan menanamkan
permusuhan dan memutuskan hubungan silaturahmi yang diperintahkan oleh Allah.

12
Ibid, hlm 72
13
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992), hlm 387
14
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah MadaUniversity
Press, 2011), hal 94.
Perbuatan seorang ayah dengan melebihkan hibah kepada salah seorang anaknya ialah
perbuatan curang sehingga hendaklah ia menarik kembali hibahnya.15
Berdasarkan pendapat-pendapat para ahli di atas terkait hibah seorang ayah
kepada anaknya, sebenarnya terdapat kesatuan pendapat yaitu seorang ayah harus
lebih mengutamakan keadilan untuk anak-anaknya sehingga seorang ayah tidak boleh
memberikan hibah kepada salah seorang anaknya saja. Seorang ayah tidak boleh
melebihkan anaknya yang satu di atas anak-anak yang lain. Apabila hal ini sudah
terjadi, maka si ayah harus menarik kembali hibahnya tersebut.
7. Hibah Umra’ dan Ruqbah.
a. Hibah ‘Umra menurut Sayyid Sabiq ‘umra adalah semacam hibah yaitu
seseorang menghibahkan sesuatu kepada orang lain selma dia hidup, dan bila
yang diberi hibah itu meninggal maka barang itu kembali lagi kepada
penghibah.
Contohnya, jika seseorang memberi tempat tinggal kepada orang lain
untuk selama orang yang diberi hibah masih hidup, maka jika ia meninggal
dunia hibah tersebut menjadi hak milik orang yang memberi hibah kembali.
Dinamakan hibah Umra’ karena hibah tersebut dibatasi dengan umur. Orang
yang mengucapkan umra disebut sebagai mu’mir, dan benda yang di umra’
kan disebut mu’mar.
Bentuk hibah seperti ini diperselisihkan oleh para ulama fiqih seperti
Abu hanifah, Imam Syafi’I, Ats-tsauri dan Imam Ahmad ibn Hambal, hibah
seperti ini dianggap sebagai hibah yang terputus, berarti hibah yang hanya
memberikan pokok.
b. Hibah Ruqbah, Ruqbah memiliki arti mengintai. Hibah ini hampir sama
dengan hibah umra’ hanya saja persyaratan hibah umra’ lebih ditekankan pada
pemberi hibah yang akan menjadi akhir dalam hak kepemilikan.
Dalam pemberian bersyarat pada hibah ruqbah, jika syarat itu ada
maka barang yang dihibahkan untuk yang menerima hibah, jika syarat itu
tidak ada maka barang yang dihibahkan menjadi milik penghibah. Contohnya
jika ada seseorang berkata “ Aku berikan rumah ini kepadamu selama kamu
masih hidup, jika kamu meninggal dunia lebih dulu maka rumah itu kembali
kepadaku. Dan jika aku meninggal lebih dulu maka rumah itu menjadi
milikmu dan keturunanmu”, seolah-olah ia mengatakan “ rumah itu milik yang
paling akhir meninggal dunia diantara kita”. Maka dinamakan Ruqba karena
masing-masing dari dua orang tersebut mengawai (menanti) kematian yang
lain.
Sebagian fuqaha’ berpendapat membolehkan umra’ dan melarang
ruqba karena ruqba menggantungkan kepemilikan yang hal itu belum jelas
akhirnya. Tetapi mayoritas ulama membolehkan keduanya berdasarkan hadist
dari Jabir Ra bahwasannya ia berkata, Rasulullah Saw bersabda:
“Umra’ boleh bagi yang melakukannya dan Ruqba juga boleh bagi
yang melakukannya.” (H.R Abu Dawud dan Tirmidzi)16

15
Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, dan Sapiudin Shidiq, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Kencana,2010), hal
165.
16
Ibid, hlm 167
8. Hikmah Hibah.

B. Wakaf
1. Pengertian dan hukum wakaf

Wakaf secara bahasa berasal dari kata "waqafa" yang berarti habasa (menahan) dan Al
man'u (menghalangi). Dalam mendefinisikan wakaf para ulama fikih berbeda pendapat.
Abu Hanifah berpendapat bahwa wakaf adalah : "Menahan benda milik orang yang
berwakaf dan menyedekahkan manfaatnya untuk kebaikan"
Berdasarkan definisi ini, Abu Hanifah menyatakan bahwa akad wakaf bersifat tidak mengikat
(ghairu lazim) dalam pengertian orang yang berwakaf dapat saja menarik kembali wakafnya
dan menjualnya Ini berarti wakaf menurut Abu Hanifah tidak melepaskan hak kepemilikan
wakif secara mutlak dan benda yang telah diwakafkannya. Wakaf baru bersifat mengikat
menurut Abu Hanifah dalam keadaan: (1) Apabila ada keputusan hakim yang menyatakan
wakaf itu bersifat mengikat, (2) Peruntukan wakaf adalah untuk masjid (3) wakaf itu
dikaitkan dengan kematian wakaf.
Menurut ulama malikiyah, wakaf adalah : "Wakaf adalah menjadikan manfaat harta
wakif berupa sewa ataupun hasilnya seperti dirham (uang) untuk orang-orang yang berhak
dengan sighat tertentu dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan dengan kehendak wakif"
Pendapat malikiyah hampir sama dengan pendapat Abu Hanifah, yaitu akad wakaf tidak
melepaskan hak kepemilikan wakif dari harta yang diwakafkannya, hanya saja wakif
melepaskan hak penggunaan harta yang diwakafkan tersebut Orang yang mewakafkan
hartanya menahan penggunaan harta yang diwakafkan dan membolehkan pemanfaatan
hasilnya untuk tujuan kebaikan dalam jangka waktu tertentu. Dalam hal ini ulama Malikiyah
tidak mempersyaratkan wakaf itu untuk selama-lamanya.
Sementara itu mayoritas ulama dari kalangan Syafi'iyah,hanbaliah,as syaibani, dan
Abu Yusuf mendefinisikan wakaf dengan : "Menahan yang dapat dimanfaatkan dengan
tetapeya zat benda yang menghalangi wakif dan lainnya dari tindakan hukum yang
dibolehkan atau tindakan hukum yang bertujuan untuk kebaikan dan mendekatkan din kepada
Allah Ta ala"
Dalam Pasal 1 Undang- Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dirumuskan
bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau jangka waktu terit sal
dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteran umum menurut syariat.
Allah berfirman Dalam surah Al Baqarah ayat 267 :
َ ‫ض ۗ َواَل تَيَ َّم ُموا ْالخَ بِي‬
َ‫ْث ِم ْنهُ تُ ْنفِقُوْ ن‬ ِ ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اَ ْنفِقُوْ ا ِم ْن طَيِّ ٰب‬
ِ ْ‫ت َما َك َس ْبتُم َو ِم َّمٓا اَ ْخ َرجْ نَا لَ ُك ْم ِّمنَ ااْل َر‬
‫َولَ ْستُ ْم بِ ٰا ِخ ِذ ْي ِه آِاَّل اَ ْن تُ ْغ ِمضُوْ ا فِ ْي ِه ۗ َوا ْعلَ ُم ْٓوا اَ َّن هّٰللا َ َغنِ ٌّي َح ِم ْي ٌد‬
"Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik
dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu. Janganlah kamu memilih
yang buruk untuk kamu keluarkan, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan
dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Mahakaya,
Maha Terpuji.(Q.S. Al-Baqarah: 267).
Kata "anfiqu" pada ayat diatas nafkahkanlah harta pada jalan terbaik,wakaf adalah
menafkahkan harta pada jalan kebenaran
Wakaf hukumnya adalah Sunnah dan sangat dianjurkan oleh agama. Sebagaimana firman
Allah dalam surah Al- hajj ayat 77 :

َ‫َوا ْف َعلُوا ْالخَ ْي َر لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُوْ ۚن‬


"Dan berbuatlah kebaikan, agar kamu beruntung."(QS. Al-Hajj: 77).
2. Rukun dan syarat wakaf
Menurut ulama Hanafiyah rukun wakaf adalah shighat, yaitu lafal menunjukkan atas makna
wakaf. Rukun wakaf menurut ulama ini adalah ijab, yaitu pernyataan yang bersumber dari
wakif yang menunjukkan kehendak wakaf, sedangkan qabul dari mauquf alaih tidak termasuk
rukun wakaf.
Adapun rukun wakaf menurut jumhur ulama ada 4,yaitu ;
a. Waqif (orang yang mewakafkan)
Wakif disyaratkan cakap hukum,yani dewasa,sehat akal dan pikiran(baligh
berakal),merdeka,cerdas. Disamping itu, disyaratkan wakif merupakan pemilik yang sah dari
harta yang diwakafkan. Dalam Pasal 215 KHI dan Pasal 1 PP No 28 Tahun 1977 disebutkan,
wakif adalah orang atau badan hukum yang mewakafkan benda miliknya dengan syarat-
syarat seperti yang tertuang dalam Pasal 217 KHI: Badan-badan Indonesia dan orang-orang
yang telah dewasa, dan orang yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan
hukum atas kehendak sendiri dapat mewakafkan benda miliknya dengan memerhatikan
peraturan perundangan yang berlaku. Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
dinyatakan wakif harus: dewasa, berakal sehat, tidak terhalang melakukan perbuatan hukum
dan pemilik sah harta benda wakaf.
b. Mauquf (benda yang diwakafkan )
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan syarat mauquf,namun mereka sepakat
dalam beberapa hal, seperti mauquf haruslah benda yang bisa dimanfaatkan menurut
syariat( mal mutaqawwimin) , jelas diketahui bendanya,milik sempurna wakif.
Ulama Hanafiyah mensyaratkan harta wakaf sebagai berikut :
1) Benda wakaf berupa mal mutaqawwimin dan bukan benda yang bergerak, tidak sah
mewakafkan sesuatu yang berupa manfaat, seperti hak-hak yang bersifat kendaraan,
misalnya hak irtifaq karna hak irtifaq menurut Hanafiyah tidak termasuk harta,tidak
sah mewakafkan narkoba karna narkoba tidak dibenarkan memanfaatkannya menurut
syariat (mal ghoiru mutaqawwimin)
2) Benda wakaf itu jelas diketahui, jelas ukurannya,tempatnya.
3) Benda wakaf merupakan milik sempurna wakif karna wakaf menggugurkan
kepemilikan yakni dipindahkan kepemilikan nya.
4) Harta wakaf itu harta yang terpisah, tidak mengikut pada yang lain apabila harta yang
dapat dibagi dan dapat diserahterimakan.

c. Mauquf alaih (penerima wakaf atau tujuan wakaf)


Mauquf alaih disyaratkan wakaf yang diberikan untuk kebaikan, mendekatkan diri kepada
Allah untuk keluarga. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 22
dinyatakan: "Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, benda hanya dapat
diperuntukkan untuk: memfasilitasi sarana ibadah, sarana pendidikan dan kesehatan,
membantu fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa, dan atau tujuan memajukan
kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan
perundang-undangan."23 Tujuan wakaf ini dinyatakan oleh wakif ketika melafalkan ikrar
wakaf.
d. Shiqat wakaf (ikrar wakaf)
Ikrar wakaf adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan benda miliknya.
Syarat-syarat wakaf sebagai berikut:
1) Shigat wakaf harus bersifat ta'bid (untuk selama-lamanya) menurut jumhur ulama
selain malikiyah wakaf tidak sah apabila ditentukan waktunya.
2) Shigot bersifat mu'jiz, yakni wakaf tidak disertai syarat tertentu atau masa tertentu itu
merupakan pendapat jumhur ulama.
3) Iltizam, wakaf iya menurut jumhur ulama bersifat mengikat
4) Shigat tidak diiringi batal, syarat yang bertentangan dengan tabiat wakaf.
5) Menyebutkan mauquf alaih secara jelas dalam shigot wakaf.
6) Shigot dinyatakan dengan lafal shorih (jelas).
Demi tertibnya hukum dan administrasi untuk menghindari penyalah gunaan benda wakaf,
pemerintah mengeluarkan peraturan bahwa ikrar wakaf yang dilaksanakan wakif kepada
Nazir di hadapan PPAIW (Pejabat pembuat akta ikrar wakaf) yang disaksikan oleh 2 orang
saksi, dinyatakan secara lisan dan tulisan serta tertuang dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW.
3. Macam macam wakaf
Menurut Sayid Sabiq, wakaf terbagi kepada dua, yakni:
A. Waqaf ahli/zurry, yaitu wakaf yang ditujukan untuk anak-cucu, kaum kerabat dan
keturunan di bawahnya. Karena wakaf ini adalah wakaf yang diperuntukkan untuk
orang-orang tertentu, wakaf ini dinamakan juga dengan wakaf khusus. Wakaf seperti
ini telah dipraktikkan pada masa Rasulullah di mana Abu Thahah telah mewakafkan
sebagian hartanya untuk kerabat anak-anak pamannya. (Mutafaq 'Alaih, hadis
diterima dari Anas).

B. Waqaf khairi, yaitu wakaf yang diperuntukkan untuk kebaikan dan kepentingan
kemaslahatan umum. Wakaf ini dinamakan juga dengan wakaf umum.
Untuk mengetahui dan membedakan antara kedua bentuk wakaf ini adalah dari shighat yang
diikrarkan oleh wakif ketika akad wakaf dilakukan.17
4. Hukum menukar dan menjual harta wakaf
Di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, dalam Pasal 40
dijelaskan harta wakaf yang sudah diwakafkan dilarang:
a. Dijadikan jaminan
b. Disita
c. Dihibahkan
d. Dijual
e. Diwarisi
f. Ditukar
g. Dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.
Dalam undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf Bab IV Pasal 41 ada
legalitas terhadap tukar menukar benda wakaf, masyarakat Indonesia yang mengikuti
pendapat imam Syafi'i benda wakaf tidak boleh diutak-atik walaupun demi kepentingan
manfaat sekalipun.18
Dalam pandangan fiqih,ulama berbeda pendapat mengenai hukum menukar atau
menjual harta benda wakaf. Dikalangan mazhab Syafi'i dan maliki sangat menekankan
keabadian wakaf walaupun harta benda wakaf sudah rusak, tidak boleh dilakukan perubahan
dengan benda yang lain atau tidak menghasilkan sesuatu. Namun mazhab Hanafi dan mazhab
Hambali menyatakan bahwa boleh saja mengubah harta wakaf karena sudah tidak memiliki
nilai manfaat lagi, diganti yang lebih bermanfaat untuk masyarakat umum. Kebolehanitu,
baik dengan alasan supaya benda wakaf tersebut bisa berfungsi atau mendatangkan maslahat
sesuai dengan tujuan wakaf.
Syaikh Al-Anshari dan banyak ulama mazhab ahli ijtihad lainnya "penukaran harta
wakaf baik itu dengan cara dijual kemudian hasil penjualannya dimanfaatkan atau harta
wakaf tersebut ditukar maka hukumnya dia menepati posisi yang sama dengan harta yang
diwakafkan sebelumnya dan menukar harta wakaf tersebut harus sama manfaatnya dengan
manfaat harta wakaf yang pertama " sedangkan Menurut Ulama Mazhab Hambali, hukum
asal penukaran harta wakaf dengan jalan menjual adalah haram, tetapi hal ini dibolehkan
dalam keadaan darurat demi menjaga tujuan wakaf yaitu agar barang wakaf dapat
dimanfaatkan oleh Umat, namun apabila harta barang wakaf hanya rusak sebagian maka
tidak boleh dijual, sebab hukum asal penukaran dengan cara menjual adalah haram.1920

17
Dr. Rozalinda, M.Ag. Fikih Ekonomi Syariah : prinsip dan implementasinya pada sector keuangan syariah
(Depok, rajawali pers, 2019) hlm. 309-319
18
Peraturan perundang-undangan perwakilan, Departemen Agama Direktorat Jenderal bimbingan masyarakat
islam, 2016 hlm. 17
19
Muhammad jawad mughniyah, Fiqih lima mazhab : ja’fari, Hanafi, maliki dan syafi’I, hambali, Terjemah
masykur AB dkk, Lantera, Jakarta, 2005, hlm. 676
20
Muhammad abid abdullah Al-kabisi, Hukum Wakaf: Kajian Komteporer Pertama dan Terlengkap tentang
Fungsi dan Pengolahaan Wakaf serta Penyelesaian Atas Sengketa, ed: Khaeron Sirin, Terjemah Ahrul Sani
5. Hikmah wakaf
1. Mendekatkan diri kepada Allah
2. Wakaf menanamkan rasa Zuhud dan melatih menolong orang lain
3. Menghidupkan lembaga-lembaga sosial maupun keagamaan demi syiarnya Islam
4. Membantu kaum dhuafa yang lemah,tidak mampu usaha karna kekurangan modal dan
tidak mempunyai penghasilan sama sekali
5. Menghindari harta yang sia-sia,wakaf disamping ditujukan untuk kepentingan ibadan
dan sosial masyarakat, wakafpun dapat ditujukan untuk pemberdayaan ekonomi
umat21
C. Sedekah
1. Pengertian Sedekah
Secara bahasa kata sedekah berasal dari bahasa arab “‫”ص ’ َدقَة‬
َ yang berarti
tindakan yang benar, atau segala perilaku yang baik dan benar untuk mencari
keridhaan dari Allah dan mengharapkan keberkahan darinya, secara istilah sedekah
memiliki arti pemberian suatu benda atau barang dari seseorang kepada orang lain
tanpa menggantinya atau mengharap imbalan karena ia hanya mengharapkan
keridhaan dari Allah SWT. 22
2. Hukum Sedekah
Hukum sedekah adalah sunnah, disyaratkan karena dalam pelaksanaan
sedekah terdapat unsur memberikan pertolongan kepada orang-orang yang
membutuhkan. Sedekah juga dapat dikatakan wajib apabila kita melihat orang yang
sangat membutuhkan pertolongan kita. Adapula hukum sedekah menjadi makruh
apabila barang yang kita berikan itu jelek atau tidak layak pakai. Dan sedekah dapat
dikatakan haram apabila barang yang kita sedekahkan digunakan untuk maksiat dan
kejahatan23. Dasar hukum sedekah adalah surat Al-Baqarah ayat 271 dan hadist
Riwayat bukhari dan muslim. Dalam Al-Qur’an banyak ayat yang menganjurkan
untuk bersedekah diantaranya yang terdapat dalam surat Al-Baqarah: 271 yang
berbunyi:
ۗ ‫ت فَنِعِ َّما ِه ۚ َي َواِ ْن خُتْ ُف ْوَها َوُتْؤ ُت ْوَها الْ ُف َقَراۤءَ َف ُه َو َخْيٌر لَّ ُك ْم ۗ َويُ َكفُِّر َعْن ُك ْم ِّم ْن َسيِّاٰتِ ُك ْم‬ َّ ‫اِ ْن ُتْب ُدوا‬
ِ ‫الص َد ٰق‬
‫َوال ٰلّهُ مِب َا َت ْع َملُ ْو َن َخبِْيٌر‬
Artinya:
Jika kamu menampakkan sedekahmu, itu baik. (Akan tetapi,) jika kamu
menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, itu lebih baik
bagimu. Allah akan menghapus sebagian kesalahanmu. Allah Maha Teliti terhadap
apa yang kamu kerjakan.
Hadistnya:

Faturrahman dan rekan-rekan KMCP,( Cinere, IIMaN Press, Depok, 2004) hlm. 373
21
Dr. Rozalinda, M.Ag. op cit, hlm. 321
22
Drs. Jamil Rusdi, M.Ag, Fiqih Ibadah Muamalah (Jakarta: Cinta Buku Media) h. 160
23
Rifka Ayu S, Pengertian Shadaqah, Keutamaan, Hukum, dan Jenisnya (2022, Januari 31).
https://www.liputan6.com/hot/read/4873935/pengertian-shadaqah-keutamaan-hukum-dan-jenis-jenisnya-
yang-perlu-diketahui diakses pada 28 mei 2023 pukul 12.00.
‫عن حارثه بن وهب قال مسعت النيب صلى اهلل عليه وسلم يقول قصد فؤا قالة أين عليكم زمان ميشي‬
‫الرجل أو جنت هبا باألمس لقبلتها ما ما ليوم فال حاجة يف هبا‬
ّ ‫قول‬
ُ َ‫الرجل يعد فيه فال جيد من يقبلها ي‬
)‫( رواه البخاري ومسلم‬

Artinya:
Dari Haritsah bin Wahab r,a, dia tlah berkata: Aku mendengar Nabi saw
bersabda:"Bersedekahlah kamu sekalian sebab sesungguhnya nanti akan datang suatu
masa padamu diamana seseorang berjalan membawa sedekahnya,maka ia
tidakmenjumpai seorangpun yang menerimanya, seorang berkata:Seandainyakamu
membawa kemarin,niscaya aku terima,Adapun pada hari ini aku sudah tidak
membutuhkannyalagi!". (HR Bukari dan Muslim)

3. Sedekah yang Tidak Diperbolehkan


Sedekah merupakan kegiatan yang dianjurkan dalam islam, namun kita harus
berhati-hati karena ada beberapa jenis sedekah yang dilarang dalam islam.
Diantaranya:
a. Sedekah Orang Memiliki Hutang
Orang yang memiliki hutang sama dengan masih menahan hak orang lain.
Dari pada diberikan untuk bersedekah, lebih baik digunakan untuk melunasi
hutangnya terlebih dahulu. Allah Subhanahu wa Ta’ala melaknat orang yang
berniat tidak membayar hutangnya.
b. Sedekah dari Harta Haram
Selain itu seorang muslim juga dilarang bersedekah menggunakan harta
haram. Baik keharamannya dari cara mendapatkan, ataupun keharaman karena
zatnya. Dalam Agama Islam, niat baik harus ditunaikan dengan cara yang
baik. Harta curian sama saja hak orang lain yang dirampas. Sedangkan
bersedekah adalah memberikan hak kepemilikan kepada orang lain. Maka
tidak akan sah jika bersedekah dengan harta yang sebenarnya merupakan
bukan haknya.
Dalam bersedekah pun meskipun hak kepemilikan dipegang secara penuh,
juga tak boleh sembarangan. Akan lebih utama jika sedekah yang dikeluarkan
merupakan harta terbaik yang dimiliki.
c. Sedekah Selain Untuk Allah
Seorang muslim hanya boleh niat karena Allah semata saat
melaksanakannya. Maka dari itu, sedekah dengan niat bukan karena Allah
termasuk dalam sedekah yang tidak dibolehkan dalam Islam. Dengan
demikian seorang muslim jangan sampai bersedekah karena ingin dipandang
oleh manusia. Baik dengan niat pencitraan, sombong dan segala niat buruk
lainnya. Meskipun pelaksanaannya tetap sebuah kebaikan, hal itu merupakan
sedekah yang tidak mendapat pahala.24
4. Perkara yang Dapat Membatalkan Sedekah
24
Baitul Maal Hidayatullah, Sedekah yang Tidak Diperbolehkan, (2021, Mei 18), https://bmh.or.id/sedekah-
yang-tidak-dibolehkan/ diakses pada 28 mei pukul 13.00.
Adapula hal-hal yang dapat membatalkan pahala itu sendiri. Berikut beberapa
penyebab batalnya pahala sedekah:
a. Al-Mann atau Mengungkit ungkit
Al-Mann berasal dari bahasa arab yang berarti mebangkit-bangkitkan.
Ketika kita bersedekah, apabila ada yang mengungkit dan menyebut perbuatan
sedekahnya di hadapan orang lain, maka pahalanya akan hilang seluruhnya
karena orang lain mengetahui perbuatan sedekahnya.
b. Al-Adha atau Menyakiti
Al-Adha bermakna menyakiti. Yang dimaksud disini ialah menyakiti hati
orang yang kita beri sedekah dan hal itu sangat dibenci oleh Allah. Maka dari
itu, barang siapa yang menyakiti hati orang yang menerima sedekah baik
secara perkataan maupun perbuatan maka sedekahnya tidak bernilai pahala.
c. Riya’ atau Menyombongkan
Riya’ memiliki arti memperlihatkan. Perbuatan baik apabila diperlihatkan
secara sengaja maka tidak diperbolehkan. Riya’ juga sangat dibenci oleh Allah
karena memperlihatkan perbuatan baik demi mendapatkan pujian dari orang
lain.
d. Sum’ah atau Membesar-besarkan
Sum’ah berasal dari kata sami’ artinya mendengar. Istilah sum’ah
memiliki makna berbuat amal dengan tujuan agar didengar oleh orang lain
hingga sang pengamal mendapat pujian dan menjadi tenar. Selain itu makna
sum’ah berarti menceritakan dan membesar-besarkan kepada orang lain agar
diistimewakan.
e. Ujub atau Takabur
Ujub atau takabur merupakan sikap menunjukkan kelebihan dan
kehebatan pada diri seseorang. Takabur juga berarti menyombongkan potensi
yang ada dalam dirinyadan menganggap bahwa dirinya paling hebat sehingga
menganggap orang lain lebih rendah darinya.25
5. Bentuk-bentuk Sedekah
Sedekah dalam Islam memiliki arti yang sangat luas bukan hanya berbentuk
materi tetapi mencakup semua kebaikan baik berupa fisik maupun non fisik,maka
sedekah dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Sedekah berbentuk materi seperti sedekah uang makanan,barang dan lain-lain
b. Sedekah berupa kebaikan seperti mendamaikan orang yang bermusuhan
dengan cara adil, menahan diri dari kemungkaran, maʼsiat, membantu orang
lain yang akan menaiki kendaraan, membantu mengangkat barang orang
lain,menyingkirkan benda yang akan mengganggu orang dari tengah jalan
seperti duri, batu, kayu dan lain- lain.
c. Sedekah berupa ucapan seperti: zikir,tasbih,takbir,tahmid,tahlil dan istigfar.26
6. Hikmah dan Manfaat Sedekah
Adapun beberapa pelajaran dan manfaat yang dapat kita ambil dalam
bersedekah antara lain:
a. Sebagai bukti ungkapan syukur kepada Allah Swt atas segala nikmat yang
telah diberikan kepada hambanya.
25
Rifa’I Ahmad, 5 Hal yang Menghilangkan Pahala Sedekah, (2023, Februari 6),
https://www.dompetdhuafa.org/hal-yang-bikin-pahala-sedekah-hilang/ diakses pada 28 mei 2023 pukul 16.00
26
Drs. Jamil Rusdi, M.Ag, Fiqih Ibadah Muamalah (Jakarta: Cinta Buku Media) h. 162
b. Menjauhkan sifat kikir dan sombong.
c. Menambah keberkahan yang kita miliki.
d. Menghapuskan dosa yang kita perbuat.
e. Memberikan bantuan dan pertolongan baik bagi sesama manusia maupun
binatang.
f. Mempererat hubungan silaturrahim dan persaudaraan sesama manusia.

BAB III

PENUTUP
Simpulan
Pendidikan adalah usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-
potensi bawaan baik dalam Jasmani maupun Rohani nya sesuai dengan nilai-nilai yang ada
dalam masyarakat dan kebudayaan. Yang di mana hal tersebut merupakan bentuk bimbingan
atau pimpinan secara sadar oleh Pendidik terhadap perkembangan Jasmani ataupun Rohani
peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Sedangkan Iman sendiri dapat
kita pahami bahwa Iman adalah Suatu keyakinan yang diyakini dan dibenarkan dalam hati
seseorang dengan diikrarkan dengan lisan dan dibuktikan oleh amal perbuatan yang
dilakukan oleh seseorang dari niat hati yang paling tulus dan selalu mengikuti petunjuk dan
jalan Allah SWT serta sunnah nabi Muhammad SAW.

Pendidikan Keimanan adalah penanaman nilai-nilai keimanan dan ketuhanan oleh


seorang yang memiliki pengalaman kegamaan yang lebih banyak dan memiliki kualitas
keimanan yang lebih baik kepada orang yang masih memiliki kualitas keimanan yang masih
lemah tersebut agar menjadi lebih kuat dengan membiasakan mereka melakukan ibadah-
ibadah baik mahdoh atau ghair mahdoh, serta akhlak yang baik sebagai konsekuensi
keimanan mereka dan bukti ketaatan mereka dalam melaksanakan perintah Allah swt. dan
menjauhi larangan-larangan-Nya.

Tafsir Surah Yasin Ayat 78-83 mengingatkan perihal air mani kepada kaum kafir, agar
mereka berfikir bahwa kebangkitan sebelumnya pernah mereka alami. Allah menyuruh Nabi
untuk menjelaskna kepada mereka bahwa tulang-tulang manusia pada hari itu akan disatukan,
lalu dihidupkan kembali. Seperti kayu-kayu yang lapuk bisa digunakan untuk menghidupkan
api, maka begitulah kiranya kejadian pada hari kebangkitan kelak, dan Allah-lah yang
berkuasa atas segalanya. Diakhir penafsiran Tafsir Surah Yasin Ayat 78-83 kembali dijelaskan
penegasan Allah Swt tentang hari kebangkitan, bahwa membangkitkan manusia kembali dari
kematian adalah hal yang mudah bagi Allah, sama seperti ketika ia menciptakan alam
semesta, maka tidak perlu ada keraguan. Di sini, Allah memuji sikap orang beriman yang
mempercayai hari kebangkitan, taat kepada Allah dan Rasul-Nya, sebab itu pula nantinya
mereka mendapatkan balasan yang setimpal di surga.

Tafsir QS. Al-waqiah ayat 57-74 menjelaskan tentang kekuasaan Allah Swt. yang
menunjukkan bahwa Dia berkuasa membangkitkan dan menghisab, lalu Allah menegaskan
bahwa Dia bisa menghidupkan kembali makhluk yang telah mati, Allah Swt. juga
menyebutkan nikmat-Nya Untuk mentauhidkan makhluk sehingga dapat beribadah dan
kemballi kepada-Nya, dengan diberikannya nikmat Allah Swt. yang berlimpah seperti
tanaman, tumbuhan, air dan sumber-sumber api, yang dimana dari sanalah keluar makanan
dan buah-buahan yang menjadi kebutuhan pokok dan kebutuhan pelengkap bagi mereka yang
tidak dapat mereka hitung nikmat-nikmat tersebut.

Nilai Pendidikan yang terkandung didalam QS. Yasin ayat 77-83 adalah sebagai
berikut.

a. Mempelajari tentang manusia dan hakikat manusia.


b. Mempelajari sistem-sistem yang berlaku di alam.
c. Mempelajari alam semesta yang begitu luas. Semuanya itu, setelah dipelajari, akan
ditemukan kondisi, sistem, dan hukum-hukum yang luar biasa. Semuanya itu perlu
disimpulkan bahwa segalanya itu tidak mungkin tercipta dengan sendirinya, tetapi
mestilah ada yang menciptakannya. Penciptanya itu adalah Tuhan (Allah).
d. Mengimani penegasan-penegasan mengenai Allah dalam Al-Qur’an.

Nilai Pendidikan yang terkandung didalam QS. Al-Waqiah ayat 57-74 adalah sebagai
berikut.

a. Allah Maha Pencipta, yang telah menciptakan manusia dan kebutuhan pokoknya dari
tiada: manusia perlu mensucikan-Nya (tasbih), memuji-Nya (tahmid), dan
mengagungkan-Nya (takbir).
b. Allah Maha Pengasih, karena telah menyiapkan kebu- tuhan pokok manusia, yaitu
api, benih, dan air: manusia perlu mensyukuri-Nya.
c. Allah Maha Kuasa, karena tidak ada yang bisa menan- dingi kekuasaan-Nya dalam
mencipta: manusia perlu mememuliakan-Nya (takrim).
d. Di antara materi yang sangat efektif dalam menanamkan keimanan kepada Tuhan
dalam diri manusia ialah pembahasan mengenai penciptaan manusia dan penentu
eksistensi mereka: sperma/ovum, benih, air, dan api.
e. Tujuan pendidikan iman kepada Allah adalah agar manusia percaya Hari Akhir yang
akhirnya membuahkan perbuat baik.

Implementasi Nilai-nilai Pendidikan QS. Yasin yaitu Mendalami pengetahuan tentang


manusia dan alam semesta, dan informasi mengenai manusia dan alam semesta itu dalam Al-
Quran dan Hadis, kemudian mendalami informasi tentang Allah, dan mengimani-Nya.
Metodenya: ceramah, diskusi, tanya jawab, pemberian tugas, kerja kelompok, dan
sebagainya.

Implementasi Nilai-nilai Pendidikan QS. Al-Waqiah yaitu Syukur nikmat dapat


ditanamkan dengan merenungkan betapa banyaknya nikmat Allah yang tidak bisa digantikan
dan membiasakan memuji nama Allah setiap menikmati nikmat-Nya. Metodenya: diskusi,
demonstrasi, dan sebagainya.

Saran
Dengan kerendahan hati, penulis dan penyusun merasakan tulisan ini sederhana dan
jauh dari kata sempurna. Saran dan kritik dari para pembaca, terkhususnya dosen pengampu
mata kuliah Tafsir Tarbawi yakni Prof. Dr. Rif’at Syauqi Nawawi, MA., dan Ridholloh,
M.Pd.I., sangat diperlukan demi kesempurnaan tulisan ini. Dibutuhkannya penyempurnaan
dari berbagai masukan, saran, kritik dan evaluasi agar menjadi lebih lengkap dan bermanfaat
bagi penyusun dan para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Abduh, M. (1976). Risalah Tauhid. Jakarta: Bulan Bintang.


Al-Munawwir, M. W. (1984). Kamus Al-Munawwir. Yogyakarta: Pesantren Al-Munawwir.
Al-Zuhaily, A. (2003). al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari'ah wa al- Manhaj.
Dimasq: Darul Fikri.
Arifin, M. (2010). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
As-Siddiqy, T. H. (1998). Al-Islam I. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
As-Suyuthi, J. (2014). Tafsir Jalalain terj. Bahrun Abu Bakar. Bandung: Sinar Baru
Algensindo.
Djumransjah, M. (2004). Filsafat Pendidikan. Malang: Bayumedia Publishing.
Hamka, P. D. (1994). Tafsir Al-Azhar Juzu' XXIII. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Harun, S. (2013). Tafsir Tarbawi. Banten: UIN Jakarta Press.
Indonesia, D. A. (1989). Al-Qur'an dan Terjemahnya. Bandung: Lubuk Agung.
Kebudayaan, T. P. (2007). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Mahfud, R. (2008). Al-Islam; Pendidikan Agama Islam. Yogyakarta: UIN Malang Press.
Marimba, A. D. (1978). Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma'arif.
Nasih, A. (1981). Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam Jilid I. Semarang: CV. As-Syifa.
Pidarta, M. (2013). Landasan Kependidikan Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia.
Jakarta: Rineka Cipta.
Ramayulis. (2022). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
Shihab, M. Q. (2012). Al-Lubab. Tangerang: Lentera Hati.
Zuhairini, d. (1995). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Anda mungkin juga menyukai