Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH FIQIH MUAMALAH

“HADIAH”

DISUSUN OLEH:

NURLINDA AINI
ARIF RAHMAN
M. TARMIZI

DOSEN PENGAMPU : Dr. MA’SUM ANSHORI, MA

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
BENGKALIS
2020
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena berkat


rahmat dan hidayahnya kepada kita semua dan umur yang panjang yang
kemungkinan sudah kita gunakan untuk menuju jalan yang sudah
diperintahkannya dan meninggal yang dilarangnya. Shalawat serta serta salam
tidak lupa kita hadiahkan kepada junjungan alam Nabi Muhammad SAW karena
telah membawa kita bersama dari alam kebodohan hingga alam yang cerdik
pandai yang kita rasakan sekarang ini. Alhamdulillah dengan itu semua penulis
akhirnya dapat menyelesaikan makalah ini.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya.
Penulis menyadari makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan
makalah ini.

Bengkalis, 07 April 2020

Penulis,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadiah..................................................................................... 2
B. Dasar Hukum Hadiah ............................................................................... 3
C. Syarat dan Rukun Hadiah ....................................................................... 4

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ................................................................................................ 8
B. Saran .......................................................................................................... 8

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam adalah agama yang diridhai oleh Allah SWT dan sebagai rahmat
bagi seluruh alam semesta melalui Nabi Muhammad SAW. Semasa hidup, beliau
selalu berbuat baik dengan amalan shaleh seperti zakat, pemberian hadiah, hibah
dan lain sebagainya. karena islam menganjurkan untuk bershadaqah dengan
tujuan menolong saudara muslim yang sedang kesusahan dan untuk mendapat
ridha Allah SWT.

Shadaqah bisa berupa uang, makanan, pakaian dan benda-benda lain


yang bermanfaat. Dalam pengertian luas, shadaqah bisa berbentuk sumbangan
pemikiran, pengorbanan tenaga dan jasa lainnya bahkan senyuman sekalipun.

Akhir-akhir ini kita sering kali mendengar kata-kata korupsi,suap, dan


lainnya. Dalam makalah ini kita akan mengkaji tentang hadiah, hibah, dan sogok,
di sini kita akan melihat apa itu sogok dan bagaimana kedudukannya dalam Islam,
dan masuk ke hadiah atau hibah kah sogok tersebut!

B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Hadiah?


2. Bagaimana Dasar Hukum Hadiah?
3. Apa Syarat dan Rukun Hadiah?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadiah

Hadiah dalam bahasa Arab berasal dari kata ُ‫الهَ ِديَّة‬. Hadiah adalah
memberikan barang dengan tidak ada tukarannya serta dibawa ke tempat yang
diberi karena hendak memuliakannya.1 Hadiah dalam Islam kerap kali
diserupakan dengan hibah dan sedekah karena dianggap memiliki makna yang
sangat berdekatan. Seperti yang diutarakan Abdul Aziz Muhammad Azzam dalam
bukunya “Fiqh Muamalah; Sistem Transaksi dalam Islam” bahwa hibah,
pemberian (‘athiyah) dan sedekah maknanya sangat berdekatan. Semua berupa
pemberian atas hak milik seseorang sewaktu masih hidup tanpa ada ganti. Karena
penyebutan nama pemberian (‘athiyah) mencakup semuanya baik sedekah (zakat),
dan hadiah.2

Ensiklopedi hukum Islam menyebutkan bahwa hadiah merupakan


pengertian dari hibah, yang mana hibah dimaknai sebagai suatu pemberian atau
hadiah yang dilakukan secara sukarela dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt
tanpa mengharapkan balasan apapun. Sayyid Sabiq mendefinisikan hadiah sebagai
bentuk hibah yang tidak ada keharusan bagi pihak yang diberi hibah untuk
menggantinya dengan imbalan. Sementara itu, menurut Imam Syafi’i yang disebut
dengan hadiah adalah pemberian kepada orang lain dengan maksud untuk dimiliki
sebagai bentuk penghormatan. Pemberian untuk dimiliki tanpa minta ganti disebut
hadiah.

Wahhab Az- Zuhaili membedakan antara hibah, hadiah, sedekah, dan


athiyah meskipun kesemuanya merupakan bentuk pemberian. Wahab Az- Zuhaili
mengatakan jika seseorang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah
dengan memberikan sesuatu kepada orang yang membutuhkan, maka itu adalah
sedekah. Jika sesuatu tersebut dibawa orang yang layak mendapatkan hadiah

1
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung; Sinar Baru Algensindo, 2016), h. 326
2
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalah; Sistem Transaksi dalam Islam, (Jakarta :
Amzah, 2010), h. 437

2
sebagai hadiah untuk menciptakan keakraban, maka itu adalah hibah. Sedangkan
‘athiyah adalah pemberian seseorang yang dilakukan ketika dia dalam keadaan
sakit menjelang kematian.3

Sama halnya yang tertuang dalam Ensiklopedi Fiqh Muamalah


membedakan hadiah dengan hibah. Karena hadiah merupakan pemberian tanpa
imbalan yang dibawa kepada orang yang diberi sebagai bentuk penghormatan dan
kemuliaan, sedangkan hibah adalah pemberian tanpa disertai imbalan. Oleh
karena itu, pemberian harta tidak bergerak tidak termasuk hadiah.4

Berdasarkan keterangan di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan


bahwa hadiah adalah suatu bentuk pemberian yang diberikan secara sukarela
sebagai bentuk penghormatan atau penghargaan terhadap pihak penerima tanpa
disertai dengan penggantian. Hadiah merupakan bagian dari hibah, sedekah dan
athiyah karena masing-masing memiliki persamaan dan berbedaan pada
substansinya.

B. Dasar Hukum Hadiah

Ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis banyak yang menganjurkan penganutnya untuk


berbuat baik dengan cara tolong menolong dan salah satunya dengan bentuk
tolong menolong adalah memberikan harta kepada orang lain yang membutuhkan,
kaitannya dalam hal ini adalah pemberian hadiah yang dimaknai sebagai
pemberian sukarela, Firman Allah :

        


       
        
        
       
        
      
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syiar-syiar
Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan
(mengganggu) binatang-binatang had-ya22, dan bianatang-binatang qalaa-id23,
3
Wahbah az- Zuhaili, Fiqhul Islamy wa Awlaty, Terj. Abdul Hayyie al- Kattani,dkk, “Fiqih Islam
5”, (Jakarta : Gema Insani, 2011). h. 523
4
Abdullah bin Muhammad Ath- Thayyar, et. al. Ensiklopedi Fiqh Muamalah dalam Pandangan 4
Madzhab, (Yogyakarta: Maktabah Al- Hanif, 2009), h. 468

3
dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang
mereka mencari karunia dan keridhaan dari Tuhannya, dan apabila kamu telah
menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali
kebencian (mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu
dari Masjidil Haram, mendorong berbuat aniaya. Dan tolong-menolonglah kamu
dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa... (QS. Al- Maidah: 2)

C. Rukun dan Syarat Hadiah

Menurut Ulama Hanafiah, rukun hadiah adalah ijab dan kabul sebab
keduanya termasuk akad seperti halnya jual-beli. Dalam kitab Al-Mabsuth,
mereka menambahkan dengan qadbhu (pemegang/penerima). Alasannya, dalam
hadiah harus ada ketetapan dalam kepemilikan. Adapun yang menjadi rukun
dalam hadiah yaitu wahib (pemberi), mauhub lah (penerima), mauhub (barang
yang dihadiahkan), shighat (ijab dan qabul).5

Adapun syarat-syarat hadiah yaitu dengan syarat wahib (pemberi hadiah)


dan mauhub (barang). Ulama Hanabilah menetapkan 11 (sebelas) syarat
diantaranya:

a. Hadiah dari harta yang boleh di tasharruf kan.

b. Terpilih dan sungguh-sungguh.

c. Harta yang diperjualbelikan.

d. Tanpa adanya pengganti.

e. Orang yang sah memilikinya.

f. Sah menerimanya.

g. Walinya sebelum pemberi dipandang cukup waktu (usia baliqh)

h. Menyempurnakan pemberian.

i. Tidak disertai syarat waktu.

j. Pemberi sudah mampu tasharruf (merdeka, mukallaf dan rasyid).


5
Rachmad Syafe’i, Fikih Muamalah, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), h.
244.

4
k. Mauhub harus berupa harta yang khusus untuk dikeluarkan.

Adapun yang menjadi syarat untuk wahib (pemberi hadiah) dan mauhub (barang)
yaitu:

a. Syarat Wahib (pemberi hadiah)

Wahib disyaratkan harus ahli tabarru (derma), yaitu berakal, baligh, rasyid
(pintar).

b. Syarat Mauhub (barang)

1) Harus ada waktu dihadiahkan


2) Harus berupa harta yang kuat dan bermanfaat
3) Milik sendiri
4) Menyendiri, menurut ulama Hanafiah, hadiah tidak dibolehkan terhadap
barang bercampur dengan milik orang lain, sedangkan menurut ulama
malikiyah, Hambali dan syafi’iyah, hal itu dibolehkan.
5) Mauhub terpisah dari yang lain, barang yang dihadiahkan tidak boleh bersatu
dengan barang yang tidak dihadiahkan, sebab akan menyulitkan untuk
memanfaatkan mauhub.
6) Mauhub telah diterima atau dipegang oleh penerima.
7) Penerima memegang hadiah atas seizin wahib.

4. Bentuk-Bentuk Hadiah

a. Hadiah dalam perlombaan

Adapun yang dimaksud dalam perlombaan yang berhadiah, ialah perlombaan


yang bersifat adu kekuatan seperti tinju atau lomba lari atau adu keterampilan/
ketangkasan seperti badminton, sepak bola, atau kepandaian seperti main catur.
Pada prinsipnya lomba semacam tersebut diperbolehkan dalam agama, asal tidak
membahayakan keselamatan badan dan jiwa dan mengenai uang hadiah yang
diperbolehkan dari hasil lomba tersebut diperbolehkan oleh agama jika dilakukan
dengan cara-cara sebagai berikut:

5
1) Jika uang atau hadiah lomba itu disediakan oleh pemerintahan atau sponsor
non pemerintahan untuk para pemenang.
2) Jika uang atau hadiah lomba itu merupakan janji dari salah satu dari dua
orang yang berlomba kepada lombanya jika ia dapat dikalahkan lawannya
itu.
3) Jika uang atau hadiah lomba disediakan oleh para pelaku lomba dan mereka
disertai muhallil, yaitu orang yang berfungsi menghalalkan perjanjian lomba
dengan uang sebagai pihak ketiga, yang akan mengambil hadiah itu, jika
jagonya menang tapi ia tidak harus membayar jika jagonya kalah.6

b. Hadiah dalam pembelian suatu barang

Hadiah dalam pembelian suatu barang merupakan bentuk pemberian hadiah yang
diharamkan, jika orang yang membeli kupon dengan harga tertentu, banyak atau
sedikit, tanpa ada gantinya melainkan hanya ikut serta dalam memperoleh hadiah
yang disediakan. Bahkan hal seperti ini termasuk larangan serius (bagi yang
melakukannya dianggap melakukan dosa besar). Karena, termasuk perbuatan judi
yang dirangkai dengan khamar (minuman keras) dalam al-qur’an perbuatan ini
merupakan perbuatan keji sebagaimana dalam firman Allah SWT Dalam Surat
Al-Maidah ayat 90.

     


      
  
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan. (Q.S. Al-Maidah: 90)

c. Hadiah sebagai suap atau sogokan

Untuk menghindari misinterpretasi tentang hadiah dan biasanya, antara


hadiah dengan sogokan, seperti yang dinyatakan Umar bin Abdul ‘Aziz, bahwa
dimana Rasulullah Saw. Hadiah adalah hadiah, tetapi masa ini hadiah bisa saja

6
Nazar Bakry, Problematika Fiqh Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), Ed. 1, Cet. 1,
h.86.

6
berarti sogokan. Serta untuk membedakan antara hadiah dengan tukar menukar,
maka perlu diketahui bagaimana aturan Islam tentang hadiah dapat dilihat dalam
hadis berikut:

Artinya: Abu Hurairah menyatakan, Bahwa Rasulullah apabila diberi makanan,


beliau selalu menanyakan kepada sipemberi hadiah apakah pemberian itu,
hadiah atau sedekah. Jika pemberian itu sedekah, Rasulullah tidak memakannya
dan menyuruh para sahabatnya memakan hadiah dimaksud. Jika dinyatakan
pemberian itu adalah hadiah, Rasulullah menepukkan tangannya dan makan
bersama sahabat. (HR. Bukhari).7

Ketentuan dalam hadis di atas memberikan aturan agar penerima hadiah


tidak hanya bahagia atau senang dalam hadiah yang bakal diterima, akan tetapi
selalu mengidentifikasi hadiah yang diserahkan, termasuk yang boleh diterima
atau tidak.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hadiah adalah pemberian sesuatu kepada seseorang dengan maksud


untuk mmnuliakan atau memberikan penghargaan. Rasulullah SAW
menganjurkan kepada umatnya agar saling memberikan hadiah. Karena yang
demikian itu dapat menumbuhkan kecintaan dan saling menghormati antara
sesama.

7
Ibnu Hajr al-Asqalani, Bulughul Maraam, terj. A. Hassan, Tarjamah Bulughul
Maram, (Bangil: Pustaka Tamaam, 1991), h. 489

7
B. Saran

Dengan selesainya penyusunan makalah ini, kami harapkan masukan


maupun kritik dan saran dari pendamping pada mata kuliah ini, agar pembuat
makalah selanjutnya lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung; Sinar Baru Algensindo,


2016), h. 326

Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalah; Sistem Transaksi


dalam Islam, (Jakarta : Amzah, 2010), h. 437

8
Abdullah bin Muhammad Ath- Thayyar, et. al. Al-Fiqhul Muyassar
Qismul-Mu’amalat, Mausu’ah Fiqhiyyah Haditsah Tatanawalu
Ahkamal-Fiqhil-Islami Bi Ushub Wadhih Lil-Mukhtashshin Wa
Ghairihim, Terj. Miftakhul Khairi, Ensiklopedi Fiqh Muamalah
dalam Pandangan 4 Madzhab, (Yogyakarta: Maktabah Al- Hanif,
2009), h. 468

Rachmad Syafe’i, Fikih Muamalah, (Bandung: CV. Pustaka Setia,


2001), h. 244.

Nazar Bakry, Problematika Fiqh Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1994), Ed. 1, Cet. 1, h.86.

Ibnu Hajr al-Asqalani, Bulughul Maraam, terj. A. Hassan,


Tarjamah Bulughul Maram, (Bangil: Pustaka Tamaam, 1991), h.
489

Anda mungkin juga menyukai