Anda di halaman 1dari 3

LAGENDA BUJANG IKAL SUNGAI JANGKANG

Konon kabarnya, Bujang Ikal adalah nama seekor buaya penunggu yang bersemayam di
Sungai Bantan yang terdapat di Kabupaten Bengkalis. Sungai Bantan merupakan sebuah
sungai yang membelah dua desa yaitu desa Bantan Tua dan Desa Jangkang. Menurut cerita
dari masyarakat setempat, Bujang Ikal merupakan buaya yang tubuhnya bisa mengecil dan
membesar. Jika mengecil, ukuran tubuhnya hanya kira-kira sehasta dan jika membesar maka
tubuhnya sama panjang dengan jembatan yang melintang di atas Sungai Bantan, kurang lebih
empat meter.
Alkisah, pada masa lampau di tanah Bantan, hiduplah seseorang yang bernama Raja Betatah.
Taja Betatah mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Semongkong.
Mereka tinggal di sekitar tepian sungai dan hidup dari hasil tangkapan ikan serta mencari
kayu di dalam hutan.
Namun sayangnya, Semongkong selalu saja menyepelekan perintah ayahnya Raja Betatah.
Tak jarang Raja Betatah naik darah diakibatkan perilaku anaknya itu. Semua pekerjaan yang
dilimpahkan kepada Semongkong, jarang sekali dikerjakan dengan tuntas. Hal itulah yang
menyebabkan Raja Betatah menjadi kesal bahkan tak jarang mengeluarkan kata-kata yang
tidak layak diucapkan kepada anaknya Semongkong.
Pada suatu petang, Raja Betatah menyuruh Semongkong membeli sesuatu (sejenis minyak)
yang akan digunakannya dalam waktu sesegera mungkin. Raja Betatah pun langsung
memanggil anaknya
“Semongkong….oi Semongkong…” teriaknya.
Namun semongkong yang sedang asyik bermain di tepian sungai tak menghiraukan
panggilan dari ayahnya itu malahan ia semakin asyik bermain. Melihat gelagat seperti itu,
Raja Betitah sudah maklum dan iapun segera meneriaki anaknya dengan suara yang lebih
keras.
“Semongkong…! Semongkong…! apo dikau dah tak punyo telingo. Tepekik-pekik awak
memanggil dio…! cepat kemari Semongkong sebelum aku ni naik darah!” pekik Raja
Betatah, Mendengar gelagat yang tak baik itu, barulah semongkong menghampiri ayahnya
yang sudah menunggu di depan pintu gubuknya itu.
“Kemano Dikau? Dari tadi aku panggil lagi?” Tanya Raja Betatah kepada anaknya
Sambil terkeseng-keseng Semongkong menjawab “Semongkong sedang mencari ikan di tepi
sungai tu Yah..tak dengar Ayah memanggil tadi” jawabnya berbohong.
“Ah..banyak alasan dikau tu. Dahlah…cepat dikau belikan ayah minyak” perintah Raja
Betatah kepada semongkong sembari menyerahkan baki.Semongkong pun segera meraih baki
tersebut dan berlalu dari hadapan ayahnya.
“Jangan lelamo dikau pegi tu…Semongkong” pesan ayahnya dari kejauhan yang tak digubris
oleh Semongkong. Setelah kepergian anaknya, Raja Betatah pun menunggu di rumah. Dalam
hatinya Raja Betatah merasa sedih memikirkan sikap dan prilaku anaknya yang semakin hari
tidak mendengar perkataanya sebagai orang tua.
Kesedihannya itupun berlarut-larut tatkala mengingat kehidupannya yang serba kekurangan
sehingga ia harus kerja bertungkus lumus untuk mempertahankan hidup. Sempat juga Raja
Betatah terpikir, barangkali karena waktunya tidak banyak untuk memberikan perhatian yang
mengakibatkan anaknya Semongkong menjadi anak yang tidak patuh kepada orang tua.
Dalam pada itu, tanpa terasa hari mulai senja tetapi Semongkong anaknya yang ditunggu-
tunggu tidak nampak batang hidungnya. Hatinya mulai risau dan sekaligus marah. Sekejap-
sekejap raja Betatah melihat keluar tapi Semongkong belum juga tampak. Hati yang tadinya
sedih mengingat keberadaan anaknya yang kurang kasih sayang serta perhatian kini berubah
menjadi marah.
Bagaimana tidak? Sudah dipesan supaya tidak berlama-lama, tetap saja Semongkong tidak
memperdulikan pesannya itu.
Akhirnya karena kesal dan marah serta merasa muak hanya duduk menunggu di rumah, Raja
Betatah pun memutuskan untuk mencari Semongkong. Sementara itu hari hampir saja gelap
menandakan sebentara lagi akan malam. Puas raja Betatah mencari keberadaan Semongkong
hingga sampailah di Sungai Bantan.
Merasa letih, Raja Betatah duduk di bawah sebatang pohon seraya berseru “semongkong!
Semongkong! Dimano engkau? ” teriak Raja Betatah berulang-ulang. Tak ada suara sahutan
yang diharapkan oleh Raja Betatah. Namun ternyata Semongkong sedang bersembunyi di
bawah sebuah sampan yang ada di sungai Bantan tersebut.
Semongkong menjadi takut dan terus bersembunyi Mendengar teriak kemarahan ayahnya.
Dan seketika itu juga baru ia teringat ayahnya menyuruh membelikan sesuatu.
Raja Betatah mengulangi teriakannya, “Semongkong! Semongkong! Dimano engkau?”
akhirnya dengan sedikit ketakutan, Semongkong kemudian menyahut dari sampan tempatnya
bersembunyi.
“Aku disini’” jawabnya dengan nada ketakutan. Tak ayal lagi, mendengar suara anaknya
Semongkong itu, Raja Betatah menjadi meradang. Ternyata sedari tadi, Semongkong yang
disuruh membeli minyak justru bermain-main pula di dekat sampan.
“Dikau naik tidak? Cepat naik? Anak tak makan diajo. Awak suruh dio pegi beli minyak,
disini pulak dikau memaen yo? “sungut Raja Betatah. Tapi mungkin karena takut,
Semongkong tetap saja bersembunyi.
Melihat kelakuan Semongkong, kemarahan Raja Betatah menjadi memuncak. “Dikau naik
tak Semongkong, aku pelupuh dikau nanti!” sergahnya makin menjadi-jadi. Tetapi tetap saja
Semongkong tidak naik ke atas sampan malahan ia sesekali menjengahkan kepalanya
kemudian bersembunyi kembali.
Merasa dipermainkan sedemikian rupa, kemudian Raja Betatah pun turun untuk menjemput
Semongkong ke sampan. Sampai di sampan, Semongkong kemudian ditangkap oleh Raja
Betatah. Maka terjadilah upaya penyelamatan dalam bentuk tarik ulur antara Raja Betatah
dan anaknya Semongkong. Yang membuat Raja Betatah bertambah murka adalah
Semongkong berusaha untuk melepaskan dirinya dari cengkeraman tangan ayahnya itu
dengan cara menepis tangan ayahnya sambil tertawa.
Dalam keadaan yang masih marah sekaligus geram yang tak berkesudahan melihat gelagat
anaknya itu, Raja Betatah tanpa sadar mengeluarkan kutukan dan sumpahan.
“Semongkong..!” teriaknya membahana. “Dikau naik tidak!, aku sumpah engkau menjadi
buaya Semonkong..!” teriaknya tanpa kendali.
Seketika itu jua alam menjadi seolah-olah senyap. Yang terdengar hanyalah gema suara Raja
Betitah yang bagaikan halilintar di senja itu. Sungguh kemudian tanpa dinaya Semongkong
anaknya menjadi seekor buaya. Buaya itu kemudian menceburkan dirinya di dalam sungai
Bantan. Kontan saja, Raja Betitah terperangah akan semua kejadian yang baru dialaminya.
Anak satu-satunya kini telah berubah menjadi seekor buaya. Tak kepalang sedih hati Raja
Betitah sekaligus menyesali perkataanya yang pada hakikatnya tidak bersungguh-sungguh.
Namun bak kata pepatah, nasi telah menjadi bubur. Raja Betatah pun menitikkan air matanya
melihat wujud anaknya itu. Ia menyesal atas dirinya sekaligus anaknya yang tak mau
mendengar perkataannya sebagai orang tua. Terpikir oleh Raja Betatah, semua ini tidak akan
terjadi jika seandainya Semongkong menuruti perintahnya untuk membeli minyak.
Kemudian dalam satu sentakan, buaya yang merupakan wujud Semongkong itu meronta dan
pergi meninggalkan ayahnya Raja Betatah dalam ketermanguannya.
Tak ada yang bisa diucapkan Raja Betatah selain dari pekik menyebut nama anaknya
“Semongkong…!”
Kemudian entah bagaimanalah akhirnya buaya sumpahan itu diberi gelar Bujang Ikal. Maka
untuk mengobati kekesalannya itu Raja Betatah selalu melaukan ritual untuk memelihara
buaya tersebu. Hingga akhirnya sampai sekarang, ritual itu dilakukan setiap tahun, atau pada
waktu-waktu tertentu, oleh kerabat yang mempuyai hubungan dengan keluarga dan riwayat
Bujang Ikal itu sendiri.
Karena menurut cerita orang setempat, sesuai dengan sumpah yang pernah didengar, selagi
keluarga keturunan Raja Betatah, maka orang itu tidak akan dimakan oleh buaya Sungai
Bantan tersebut.
Namun menurut kepercayaan masayarakat setempat bahwa Bujang Ikal sebenarnya tidak
mengganggu manusia karena ia juga berasal dari manusia tepatnya seorang anak yang
disumpah oleh orang tuanya akibat tidak mendengar perkataan orang tua alias hungkal

Anda mungkin juga menyukai