Anda di halaman 1dari 4

LEGENDA SI PAHIT LIDAH

Alkisah di suatu tempat bernama Banding Agung terkenal dua jawara gagah berani
bernama Si Pahit Lidah dan Si Mata Empat. Kedua jawara ini sama-sama disegani dan merasa
bahwa dirinya adalah yang terhebat. Karena kesombongannya itu, mereka sepakat untuk beradu
kesaktian di depan umum. Hal itu dilakukan untuk membuktikan siapakah jawara yang terhebat, Si
Pahit Lidah atau Si Mata Empat. Si Pahit Lidah memiliki kemampuan Serunting Sakti yang dapat
memberi kutukan dengan lidahnya yang pahit. Semua orang yang melawan Si Pahit Lidah akan
dengan mudah dikutuk menjadi batu.
Sementara Si Mata Empat diam-diam menyimpan kesaktian yaitu memiliki dua mata di
belakang kepalanya. Itulah alasan Si Mata Empat dengan mudah menghindari serangan lawan dan
selalu menang ketika berkelahi. Kali ini untuk membuktikan kesaktian mereka, dibuatlah tantangan
untuk tidur menelungkup di bawah pohon aren. Agar bisa mengumpulkan kesaktian, mereka sama-
sama diberi waktu untuk bersiap menghadapi adu kesaktian ini yang akan diselenggarakan di tepi
Danau Ranau. Tak disangka, kesempatan tersebut dimanfaatkan Si Mata Empat dengan berbuat
licik agar bisa unggul dari Si Pahit Lidah.
Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu datang, dan mereka segera mengundi siapa yang
akan membuktikan kesaktiannya lebih dulu. Adu kesaktian ini tidak dilakukan dengan cara
berkelahi namun dilakukan dengan sebuat tantangan. Tantangannya adalah salah satu dari mereka
bergantian tidur di bawah pohon aren, sementara lawannya akan memotong tangkai buah dan bunga
aren dari atas pohon. Siapapun yang nantinya tertimpa buah aren itu maka akan kalah dan mengakui
kekuatan lawannya.
Si Mata Empat mengambil kesempatan itu dan mempersilahkan Si Pahit Lidah untuk
naik ke pohon aren. Si Pahit Lidah lalu naik dan memotong dahan buah aren yang akan jatuh
menimpa Si Mata Empat. Tentunya Si Mata Empat dengan mudah bisa menghindar meski Si Pahit
Lidah mencobanya sebanyak tiga kali. Kini giliran Si Pahit Lidah yang harus tidur di bawah pohon
aren, ia sudah merasa bahwa ajalnya telah dekat. ”Pahit lidah apakah kau sudah siap dengan
kematianmu?” kata Si Mata Empat dengan sombongnya. ”Jangan banyak oceh! Cepat potong
buahnya!” jawab Pahit Lidah. Dengan cepat Si Mata Empat memotong buah aren, sementara Si
Pahit Lidah tak sempat menghindar.
Terdengar erangan kesakitan dari bawah pohon, Si Mata Empat melihat Si Pahit Lidah
sudah bersimbah darah dan tak lama kemudian tewas dengan mengenaskan. Si Mata Empat tertawa
puas melihat nasib lawannya, apalagi kini terbukti bahwa dia adalah jawara terkuat di wilayah
tersebut. Namun melihat tubuh Si Pahit Lidah terkulai lemas di tanah, timbul rasa penasaran Si
Mata Empat. Ia berpikir apakah sebutan Si Pahit Lidah adalah benar karena rasa lidahnya yang
pahit? Dikendalikan oleh rasa penasaran itu, tanpa sadar Si Mata Empat menyentuh lidah lawannya
yang telah mati dengan ujung jari, lalu mengecapnya.
Si Mata Empat terkejut karena lidah lawannya itu terasa lebih pahit bahkan dibanding
dengan brotowali. Tanpa sadar apa yang dikecapnya adalah racun mematikan yang memang
dimiliki Si Pahit Lidah. Seketika tubuh Si Mata Empat membiru dan ia lalu tewas di tempat yang
sama. Akibat terlalu sombong, Si Mata Empat tak bisa menikmati kemenangannya dan malah tewas
karena racun lawan yang ia binasakan. Kedua jawara itu lantas dimakamkan oleh penduduk
setempat di tepi Danau Ranau yang menjadi tempat pertarungan tersebut.

LEGENDA ULAR KEPALA TUJUH


Alkisah, di sebuah pulau di Bengkulu, Sumatera selatan berdirilah sebuah kerajaan yang dikenal
dengan nama Kutei Rukam dan dipimpin oleh seorang raja bernama Raja Bikau Bermano. Sang raja mempunyai
delapan orang putra.
Pada suatu waktu, sang raja melaksanakan upacara perkawinan untuk putranya yang bernama Gajah
Meram. Sang putra menikahi seorang putri, Putri Jinggai yang berasal dari Kerajaan Suka Negeri.
Mulanya, upacara pernikahan tersebut berlangsung lancar dan meriah. Namun ketika Gajah Meram
dan Putri Jinggai melaksanakan upacara prosesi mandi bersama di tempat pemandian suci yaitu pemandian Aket
yang berada tepat di tepi Danau Tes, tiba-tiba kedua mempelai menghilang dan tidak ada seorang pun yang tau
dimana keberadaan mereka pada saat itu.
Hal itu terdengar hingga ke istana, dimana Raja dan sang permaisuri tinggal. Mereka pun merasa
cemas dikarenakan sang putra beserta calon istrinya belum kembali ke istana sesuai dengan waktu yang sudah
ditentukan. Oleh karena rasa khawatir yang semakin menjadi-jadi, sang raja pun memerintahkan beberapa orang
hulubalang untuk mencari dua mempelai tersebut.
Alangkah terkejutnya para hulubalang saat mengetahui bahwa Gajah Meram dan Putri Jinggai tidak
ada di tempat prosesi pemandian tersebut. Dan setelah mencari selama beberapa waktu di tepi Danau Tes, mereka
pun kembali ke istana.“Ampun, Baginda Raja! Kami tidak menemukan keberadaan Gajah Meram dan Putri
Jinggai.” lapor salah seorang hulubalang. “Apa katamu? Yang benar saja!” Tanya sang raja panik disertai emosi.
“Benar Baginda. Kami sudah menyusuri area di sekitar Batu Bandung dan Batu Kuning tetapi kami tidak dapat
menemukan mereka.” Jawab seorang hulubalang secara hormat. “Kalau begitu, kemana mereka pergi?” Tanya
sang raja dengan panik. “Ampun, Baginda! Kami tidak tahu sama sekali kemana mereka pergi.” Jawab para
utusan hulubalang.
Mendengar jawaban para hulubalang, Raja Bikau Bermano terdiam. Dirinya sudah dipenuhi dengan
rasa cemas dan gelisah terhadap hilangnya sang putra mahkota dan calon istrinya. Kegelisahan itu pun mulai
menjadi-jadi, ia berjalan kesana - kemari sambil mengelus-ngelus jenggotnya yang sudah memutih. “Bendahara!
Kumpulkan seluruh hulubalang dan keluarga istana sekarang juga!” Perintah sang Raja. Tak butuh waktu lama
para hulubalang beserta keluarga istana pun berkumpul. “Wahai rakyatku! Apakah ada satu di antara kalian yang
mengetahui keberadaan putraku dan calon mantu ku?” tanya sang Raja tegas
Tidak seorangpun yang bisa menjawab pertanyaan sang raja. Suasana berubah menjadi sangat hening.
Dalam keheningan itu, tiba-tiba seorang Tun Tuai (orang tua) yang merupakan kerabat Putri Jingai dari Kerajaan
Suka Negeri pun akhirnya membuka suara. “Hormat hamba, Baginda. Jika diizinkan, hamba ingin
mengungkapkan sesuatu.” Ucap seorang Tun Tuai. “Apakah itu, Tun Tuai! Apakah kamu mengetahui keberadaan
mereka?” Tanya sang Raja penasaran. “Ampun, Baginda. Setahu hamba, Gajah Meram dan Putri Jingga diculik
oleh Raja Ular yang bertahta di bawah Danau Tes.” Jawab Tun Tuai secara hormat. “Raja Ular sangatlah sakti,
Baginda! Ia juga sangat licik, kejam dan suka mengganggu manusia yang sedang mandi di Danau Tes.”
Tambahnya. “Apakah yang kamu katakan itu benar, Tun Tuai?” Tanya sang Raja memastikan. “Benar, Baginda.”
Jawab Tun Tuai sopan. “Kalau begitu sekarang juga kita harus menyelamatkan putraku dan calon menantuku.
Kita tidak berlarut-larut dalam kesedihan ini.” Perintah sang raja tegas. “Tapi bagaimana caranya, Baginda?”
Tanya seorang hulubalang. sang Raja pun terdiam. Kebingungan mulai merasuki dirinya. Ia bingung bingung
bagaimana ia bisa membebaskan putra dan calon menantunya dari Raja Ular yang kejam. “Ampun, Ayahanda!”
Sahut Gajah Merik, putra bungsu sang Raja. “Ada apa, Putraku?” Tanya sang Raja sambil melihat ke arah putra
bungsunya itu. “Izinkan saya menyelamatkan abang dan calon istrinya dari Raja Ular.” Pinta Gajah Merik kepada
ayahnya.
Semua orang yang berada disitu sangat terkejut, terutama sang Raja. Bagaimana bisa anak bungsunya
yang baru berumur 13 tahun mempunyai keberanian untuk melawan Raja Ular? “Apakah Ananda benar-benar
sanggup melawan Raja Ular itu?” Tanya ayahnya “Sanggup, Ayahanda!” Jawab Gajah Merik “Apa yang akan
kamu lakukan nanti, Putraku?” Abangmu saja yang sudah dewasa tidak bisa melakukan apa-apa untuk melawan si
Raja Ular itu.” Perjelas sang Raja kepada Gajah Merik. “Ampun, Ayahanda! Ananda ingin bercerita kepada
Ayahanda, ibu dan semua orang yang hadir disini. Sebenarnya, sejak umur 10 tahun Ananda hampir setiap malam
didatangi mimpi oleh seorang kakek yang mengajarkan Ananda ilmu kesaktian.”Cerita Gajah Merik.
Mendengar cerita putra bungsunya tersebut, sang Raja tersenyum. Ia bangga dengan putra bungsunya
itu, walaupun memiliki ilmu kesaktian ia tidak pernah sekalipun memamerkannya pada orang lain, termasuk
kepada keluarganya. “Apakah yang kamu katakan itu benar, Putraku?” Tanya sang Raja memastikan. “Benar,
Ayahanda!” Jawab Gajah Merik. “Baiklah! Kalau begitu, besok kami boleh pergi membebaskan abangmu beserta
calon istrinya. Dengan syarat, kau harus pergi bertapa di Bandar Agung untuk memperoleh senjata pusaka.” Ujar
sang Raja “Baik, Ayahanda!” Jawab Gajah Merik
*****
Keesokan harinya, Gajah Merik berangkat untuk bertapa di Bandar Agung yang terletak di antara
Desa Merambung dan Batu Kuning. Ia bertapa selama tujuh hari tujuh malam. Walaupun umurnya yang masih 13
tahun, Gajah Merik bertapa dengan penuh konsentrasi tanpa makan dan minum. Usai melaksanakan tapanya,
Gajah Merik pun akhirnya memperoleh pusaka berupa sebilah keris dan sehelai selendang. Keris tersebut
mempunyai kekuatan untuk membuat jalan di dalam air, sehingga Gajah Merik bisa mencapai tempat tujuan tanpa
menyelam. Sementara, selendang tersebut bisa berubah wujud menjadi sebuah pedang.
Setelah mendapatkan kedua pusaka tersebut, Gajah Merik kembali ke istana. Namun, ketika sampai di
kampung Telang Macang, ia melihat para prajurit sedang menjaga perbatasan Kerajaan Kutei Rukam dan Suka
Negeri. Karena ia tidak ingin para prajurit melihatnya, Gajah Merik memutuskan untuk terjun ke Sungai Air
Ketahuan untuk menuju Danau Tes.Dengan memegang keris pusakanya itu, Gajah Merik mampu berjalan di
dalam air seakan-akan ia berjalan di daratan, dan ia tidak tersentuh dengan air sedikit pun.
Semula Gajah Merik berniat untuk kembali ke istana, namun ketika sampai di Danau Tes ia berubah
pikiran untuk segera mencari si Raja Ular. Gajah Merik pun langsung menyelam hingga ke dasar Danau Tes. Tak
perlu waktu lama, ia pun melihat tempat persembunyian si Raja Ular tersebut.
Ia melihat sebuah gapura di depan mulut gua yang paling besar. Tanpa berpikir panjang, ia langsung
menuju mulut gua itu. Namun, baru saja ia hendak memasuki mulut gua tersebut, tiba-tiba ia dihadang oleh dua
ekor ular besar. “Hai, manusia! Kamu siapa? Berani sekali kamu masuk ke sini!” Ancam salah satu dari ular
penjaga tersebut. “Saya adalah Gajah Merik, saya datang ke sini hendak membebaskan abang saya.” Jawab Gajah
Merik tegas. “Kamu dilarang masuk!” cegat ular itu. Gajah Merik merasa tertantang, maka terjadilah perkelahian
sengit antara Gajah Merik dengan kedua ular penjaga tersebut. Mula-mulanya ular tersebut dapat melakukan
perlawanan pada Gajah Merik, namun beberapa saat kemudian mereka dapat dikalahkan oleh Gajah Merik.
Setelah itu, Gajah Merik terus menyusuri lorong gua hingga masuk ke dalam. Ia melewati setiap pintu
dan selalu dihadang dua ular besar penjaga. Namun, Gajah Merik tidak pernah kalah dalam melawan para ular
penjaga tersebut. Ketika akan melewati pintu ketujuh, Gajah Merik mendengar suara tertawa terbahak-bahak.
“HA..HA...HA.., anak manusia, anak manusia!” “Hei, Raja Ular keluarlah kamu dari tempat persembunyianmu
jika kau berani!” Tantang Gajah Merik. Merasa dirinya ditantang, Raja Ular pun mendesis. Desisannya
menimbulkan asap, dan kumpulan asap-asap tersebut berubah menjadi seekor ular raksasa. “Hebat sekali! Kau
anak kecil. Tidak ada seorang manusia pun yang berani masuk ke istanaku. Kamu siapa dan apa maksud
kedatanganmu kesini?” Tanya Raja Ular dengan suara yang menggelegar. “Aku Gajah Merik, putra bungsu Raja
Bikau Bermano dari Kerajaan Kutei Rukam.” Aawab Gajah Merik tegas. “Lepaskan abangmu dan calon istrinya
sekarang juga! Atau aku musnahkan istana ini.” ancam Gajah Merik.
“HA...HA...HA…, dasar anak kecil! Aku akan melepaskan abangmu dan calon istrinya, tetapi kau
harus memenuhi syarat-syarat ku.” Ujar Raja Ular. “Baiklah! Apa syaratnya?” Tanya Gajah Merik tegas.
“Pertama, kau harus menghidupkan kembali semua penjagaku yang sudah kau bunuh. Kedua, kau harus
mengalahkan aku.” Jawab Raja Ular sambil tertawa terbahak-bahak. “Baiklah, kalau itu maumu, dasar iblis!” Seru
Gajah Merik. Dengan ilmu kesaktiannya yang tinggi, diperoleh dari sang kakek yang datang ke mimpinya hampir
tiap malam, Gajah Merik dapat menghidupkan kembali para ular penjaga yang sudah mati tadinya. Hanya dengan
satu kali mengusap mata ular-ular tersebut, Gajah Merik dapat mengembalikan mereka seperti semula.
“Aku sangat kagum padamu, anak kecil! Kau telah memenuhi syarat pertamaku. Tetapi kau pasti tidak
bisa memenuhi syarat kedua ku. Kau tidak akan bisa mengalahkan ku!” ujar Raja Ular dengan angkuh. “Tunjukan
saja kesaktianmu, kalau kau berani, hei Iblis!” Jawab Gajah Merik menantang.Tanpa berpikir panjang, Raja Ular
mulai mengibaskan ekornya ke arah Gajah Merik. Gajah Merik yang sedari tadi sudah bersiap, dengan lincahnya
ia menghindari serangan pertama dari si Raja Ular. Oleh karena itu, perkelahian sengit pun dimulai. Keduanya
pun saling bergantian mengeluarkan jurus andalan masing-masing. “Aduhhh.. Ini sakit sekali!” Jerit Raja Ular
menahan rasa sakit. Melihat Raja Ular yang sudah tidak berdaya, Gajah Merik mundur beberapa langkah untuk
berjaga-jaga serangan dari Raja Ular lagi. Mendengar pengakuan itu, Gajah Merik pun bergegas membebaskan
abangnya dan calon istrinya dari sebuah ruangan yang di kunci oleh si Raja Ular. Sementara itu seluruh orang di
kerajaan Raja Bikau Bermano dilanda kecemasan, pasalnya sang putra bungsu belum kembali ke istana selama
dua minggu lamanya.
Oleh karena itu, sang Raja memerintah para hulubalang untuk menyusul Gajah Merik di Tepat Topes.
Namun, sebelum para hulubalang berangkat ke Tepat Topes, salah satu mereka ditugaskan untuk menjaga di tepi
Danau Tes. Tak lama, hulubalang yang ditugaskan berjaga-jaga di Danau Tes tersebut, tergesa-gesa balik ke
istana. “Ampun, Baginda! Gajah Merik telah kembali bersama Gajah Meram dan Putri Jinggai dengan selamat.”
Lapor si hulubalang. “Ah bagaimana mungkin? Bukannya Gajah Merik masih melakukan peratapan di Tepat
Topes?” Tanya sang Raja memastikan.
“Ampun, Baginda! Saya sedang berjaga-jaga di danau dan tiba-tiba saya melihat kemunculan Gajah
Merik disertai dengan Gajah Meram dan Putri Jinggai. Rupanya, setelah bertapa selama tujuh hari tujuh malam,
Gajah Merik tidak langsung kembali ke istana. Melainkan, ia melanjutkan perjalanannya menuju istana Raja Ular
untuk menyelamatkan Gajah Meram dan Putri Jinggai.” Jelas hulubalang itu. “Ooo, begitu.” Jawab Raja sambil
tersenyum.
Tidak beberapa lama kemudian, Gajah Merik, Gajah Meram dan Putri Jinggai datang ke istana dengan
dikawal oleh beberapa hulubalang yang bertugas. Kedatangan mereka bertiga disambut dengan gembira oleh
seluruh keluarga di istana. Kabar kembalinya mereka bertiga menyebar ke pelosok negeri dengan cepat, semua
orang pun ikut bergembira. Oleh karena itu, sang Raja mengadakan pesta perayaan selama tujuh hari tujuh malam,
dan menyerahkan tahtanya kepada Gajah Meram. “Ampun, Ayahanda! Tetapi, yang paling berhak atas takhta
kerajaan ini adalah Gajah Merik. Dialah yang paling berjasa atas negeri ini dan ia juga telah menyelamatkan saya
dan Putri Jinggai.” Kata Gajah Meram.
“Baiklah, jika kamu tidak keberatan. Bersediakan kamu menjadi Raja dari istana yang kita banggakan
ini, anakku?” Tanya sang Raja kepada Gajah Merik. “Ampun, Ayahanda! Ananda bersedia menjadi raja, tapi
ananda mempunyai satu permintaan.” jawab Gajah Merik memberi syarat. “Apakah permintaanmu itu, putraku?”
Tanya sang Raja Penasaran. “Jika Ananda menjadi, bolehkah Ananda mengangkat Raja Ular beserta pengikutnya
menjadi hulubalang kerajaan ini?” Pinta Gajah Merik kepada ayahnya. Permintaan Gajah Merik pun dikabulkan
oleh Raja. Akhirnya si Raja Ular dan pengikutnya yang berhasil di taklukkan menjadi hulubalang Kerajaan Kutei
Rukam. Kisah petualangan Gajah Merik ini kemudian melahirkan cerita tentang Ular kepala Tujuh. Ular tersebut
dipercayai masyarakat Lebong sebagai penunggu Danau Tes. Dan sarangnya berada di Teluk Lem sampai di
bawah pondok Lucuk. Oleh karena itu masyarakat sana sangat menjaga ucapan mereka saat melintasi danau
tersebut, dan mereka percaya jika mereka berkata sembrono, akan ada hal buruk yang menimpa mereka.

Anda mungkin juga menyukai