Anda di halaman 1dari 17

KEDUDUKAN MAHAR DALAM HUKUM ISLAM

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas

Guna Memperoleh Gelar Magister

Kenotariatan Mata Kuliah Harta Keluarga

Harta Perkawinan

OLEH

CALVIN ULRI ROMPAS SUMUAL

NPM : 2020010461032

UNIVERSITAS JAYABAYA

MAGISTER KENOTARIATAN

JAKARTA TIMUR

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena kasih,

pertolongan, serta penyertaan-Nya dalam kehidupan penulis sehingga sampai

sekarang masih diberikan kesehatan, pengetahuan, serta kesempatan dan kemampuan

kepada penulis untuk menyelesaikan tugas makalah ini.

Dalam penulisan makalah ini tidak sedikit kendala yang di hadapi, namun

dengan penuh perjuangan dan keyakinan maka makalah yang berjudul “Kedudukan

Mahar Dalam Hukum Islam” yang di susun sebagai salah satu syrat akademik

untuk memperoleh nilai Hukum Harta Keluarga Harta Perkawinan pada kuliah

Kenotariatan Universitas Jayabaya Jakarta Timur, boleh selesai dengan baik.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen Hukum Harta Keluarga

Harta Perkawinan, bapak Prof. Dr. Drs. H. Abdul Manan, SH.,S. IP., M. Hum,

karena telah memberikan tugas berupa makalah ini untuk membantu proses belajar

dan menambah wawasan penulis.

Jakarta Timur, Oktober 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

Judul...............................................................................................................................1

Kata Pengantar...............................................................................................................2

Daftar Isi........................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.................................................................................4

B. Rumusam Masalah..........................................................................7

C. Tujuan Penelitian.............................................................................8

D. Manfaat Penelitian..........................................................................8

E. Metode Penelitian.............................................................................8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Hukum Waris..........................................................9

B. Macam-macam Mahar....................................................................10

C. Syarat-syarat Mahar.......................................................................10

BAB III PEMBAHASAN

Kedudukan Mahar Dalam Hukum Islam.............................................12

BAB IV PENUTUP

Kesimpulan..........................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................17
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mahar termasuk keutamaan agama Islam dalam melindungi dan memuliakan

kaum wanita dengan memberikan hak yang dimintanya dalam pernikahan berupa

mahar kawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua belah pihak

karena pemberian itu harus diberikan secara ikhlas. Para ulama fiqih sepakat bahwa

mahar wajib diberikan oleh suami kepada istrinya baik secara kontan maupun secara

tempo, pembayaran mahar harus sesuai dengan perjanjian yang terdapat dalam aqad

pernikahan. Para ulama sepakat bahwa mahar merupakan syarat nikah dan tidak boleh

diadakan persetujuan untuk meniadakannya. 1

Mahar yang diberikan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan bukan

diartikan sebagai pembayaran, seolah-olah perempuan yang hendak dinikahi telah

dibeli seperti barang. Pemberian mahar dalam syariat Islam dimaksudkan untuk

mengangkat harkat dan derajat kaum perempuan yang sejak zaman Jahiliyah telah

diinjak-injak harga dirinya. Dengan adanya pembayaran mahar dari pihak mempelai

laki-laki, status perempuan tidak dianggap sebagai barang yang diperjual belikan,

sehingga perempuan tidak berhak memegang harta bendanya sendiri atau walinya pun
2
dengan semena-mena boleh menghabiskan hak-hak kekayaannya. Dalam syariat

Islam, wanita diangkat derajatnya dengan diwajibkannya kaum laki-laki membayar

1
Ibnu Rusyd, Terjemah Bidayatul Mujtahid, Penerjemah: M. A. Abdurrahman dan A.
Harits Abdullah, Semarang: CV. Asy. Syifa’, 1990, hlm. 385.
2
Sayyid sabiq, Fiqih Sunnah 2, Ter. Nor Hasanudin, Cet 1. Jakarta: Pena Pundi
Aksara 2006.hlm. 40.
mahar jika menikahinya. Pengangkatan hak-hak perempuan pada zaman Jahiliyah

dengan adanya hak mahar bersamaan pula dengan hak-hak perempuan lainnya yang

sama dengan kaum laki-laki, sebagaimana adanya hak waris dan hak menerima

wasiat. 3

Salah satu keistimewaan Islam ialah memperhatikan dan menghargai

kedudukan wanita, yaitu dengan memberikan hak untuk memegang dan memiliki

sesuatu. Setelah itu, Islam datang dengan menghilangkan belenggu tersebut,

kemudian istri diberi hak mahar ( maskawin), dan kepada suami diwajibkan untuk

memberikan mahar kepada istrinya, bukan kepada ayahnya atau siapapun yang dekat

denganya. Dan orang lain tidak boleh meminta harta bendanya walaupun sedikit,

meskipun oleh suaminya sendiri, kecuali dengan mendapatlkan ridho kerelaan istri.4

Mahar ditetapkan sebagai kewajiban suami kepada istrinya, sebagai tanda

keseriusan laki-laki untuk menikahi dan mencintai perempuan, sebagai lambang

ketulusan hati untuk mempergaulinya secara ma’ruf.5 Mahar adalah pemberian calon

suami kepada calon istri baik berbentuk barang, uang atau jasa, yang tidak

bertentangan dengan hukum islam. Untuk itu mahar adalah hubungaan yang

menumbuhkan tali kasih sayang dan saling mencintai antara suami istri.6

3
Amin Nurudin, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta:Prenada Media,cet
1.2004) hlm. 54.
4
Abd. Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat,”seri buku daras”, Jakarta: Prenada Media,
2003, hlm. 84-85.
5
Muhammad Husain, Fiqih Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan
Gender, Yogjakarta: LKIS 2001, hlm.108-109.
6
Djaman Nur, Fiqih Munakahat, Semarang: CV Toha Putra, 1993, hlm. 83
Mahar termasuk keutamaan dalam agama Islam dalam melindungi dan

memuliakan kaum wanita dengan memberikan hak yang dimintanya dalam

pernikahan berupa mahar perkawinan yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan

kedua belah pihak karena pemberian itu harus diberikan secara ikhlas.7

Di kalangan masyarakat itu terdiri dari keluarga yang meliputi Bapak, Ibu, dan

anak-anaknya. Terbentuknya sebuah keluarga di awali dari pernikahan antara laki-laki

dan perempuan.8 Dalam melaksanakan perkawinan biasanya dirayakan dengan acara

yang berbagai macam jenis tergantung keinginan kedua mempelai.

Islam telah mengangkat derajat kaum wanita, karena mahar diberikan sebagai

tanda penghormatan kepadanya. Bahkan andai kata suatu perkawinan itu berakhir

dengan perceraian mahar itu tetap merupakan hak milik istri dan suami tidak berhak

mengambil kembali kecuali dalam kasus khulu’ yaitu perceraian terjadi karena

permintaan istri. Dalam masalah ini istri harus mengembalikan semua mahar yang

telah dibayarkan kepadanya.9

Dengan demikian, mahar merupakan hak istri yang diterima dari suaminya,

pihak suami memberinya dengan suka rela atas persetujuan kedua belah pihak antara

istri dan suami. Pemberian suami dengan suka rela tanpa mengharap imbalan sebagai

tanda kasih sayang dan tanggung jawab suami atas istri atas kesejahteraan

7
Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat, (Jakarta : Rajawali Pers, 2010),
hlm.38
8
Kamal Muhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1994), hlm.81
9
Abdur Rahman I.Doi, Perkawinan dalam Syari’at Islam, Jakarta : PT Rineka Cipta,
1992, hlm.64
keluarganya.10 Apabila mahar sudah diberikan suami kepada istrinya, maka mahar

tesebut menjadi milik istri secara individual. 11 Penyerahan mahar dilakukan secara

tunai. Namun apabila calon mempelai wanita menyetujui penyerahan mahar boleh

ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau sebagian, maka mahar boleh ditangguhkan.

Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi utang calon mempelai pria.12

Undang-undang perkawinan tidak mengatur mengenai mahar. Hal ini karena mahar

bukan merupakan rukun dalam perkawinan.

Oleh karena itu penulis akan memberikan pengertian mahar, macam-macam

mahar, syarat-syarat terjadinya mahar, dan juga agar pembaca dapat memahami

“Kedudukan Mahar Dalam Hukum Islam”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang terdapat dialam latar belakang di atas, maka

permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Apakah Perngertian Mahar, macam-macam Mahar dan Syarat dari Mahar ?

2. Bagaimanakah kedudukan Mahar dalam Hukum Islam

10
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan
Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam, Jakarta : PT Bulan Bintang, 1998, hlm.219
11
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta : PT Rineka Cipta, 2005, hlm.55
12
Ahmd Rofiq Hukum Islam Di Indonesia Jakarta :Raja Grafindo Persada 2003 hlm.
104
C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang di kemukakan di atas, maka tujuan

dalam penelitian ini adalah :

A. Untuk memahami Mahar

B. Untuk mengetahui macam-macam Mahar.

C. Untuk memahami syarat dari Mahar.

D. Mengetahui Kedudukan Mahar dalam Hukum Islam

D. Manfaat Penulisan

Penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Praktis

Memberikan gambaran kepada pembaca tentang Mahar

2. Manfaat Teoritis

Memperluas wawasan dan pengetahuan tentang Mahar.

E. Metode Penelitian

Penelitian adalah Merupakan Kegiatan Ilmiah guna menemukan,

mengembangkan atau menguji kebenaran suatu ilmu pengetahuan yang dilaksanakan

secara metodologis, berarti dengan menggunakan metode-metode yang bersifat

ilmiah, sedangkan sistematis berarti sesuai dengan pendoman atau aturan yang

berlaku untuk karya ilmiah.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Hukum Mahar

Secara umum, kata lain yang dipakai untuk mahar dalam Al-Qur’an adalah

“Ajr”. Ajr ini berarti penghargaan serta hadiah yang diberikan kenapada pengantin

perempuan. Kata “sedekah” juga dipakai dalam Al- Qur’an untuk memberikan

tekanan “pemberian nafkah dalam kehidupan berkeluarga”. Kata lain yang juga

dipakai Al-Qur’an untuk menyebutkan nafkah keluarga adalah “faridhah” yang

terdapat dalam Q.S. an-Nisa ayat 4, yang berarti menjadikan pembayaran mahar

sebagai hal penting bagi sahnya perkawinan.13

Mahar atau maskawin secara etimologi, artinya maskawin. Secara terminologi,

mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan

hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon

suaminya. Mahar dapat dikatakan juga sebagai suatu pemberian yang diwajibkan bagi

calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa

(memerdekakan, mengajar, dan lain sebagainya).14 Mahar menurut HM. Salim Umar,

adalah suatu kewajiban yang harus dibayarkan oleh suami kepada istri sebagai

pengikat dan penghormantan, karena dengan adanya perkawinan, suami telah

merubah status dan nilai dari wanita yang menjadi istrinya.

13
A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 209.
14
Abdul Rahman Ghazali, Op. Cit., hlm. 84.
B. Macam-Macam Mahar

1. Mahar Musamma

Mahar al-musamma adalah mahar yang ditetapkan sebelum akad nikah, dan
15
disebut pada saat akad perkawina. HM. Salim Umar mengatakan bahwa dalam

pelaksaannya, mahar musamma harus diberikan secara penuh apabila:

a) Telah bercampur (dukhul);

b) Apabila salah satu dari suami istri meninggal. Demikian menurut ijma’.

Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila

2. Mahar Mitsil

Mahar mitsil yaitu mahar bagi perempuan seperti dia atau yang sama

dengannya. Menurut HM. Salim Umar, mahar mitsil ini ditentukan dengan mahar

saudara perempuan pengantin wanita yang sudah menikah atau bibinya atau anak

perempuan pamannya yang sudah menikah, tegasnya dengan merujuk status sosial
16
keluarga ayahnya. Contohnya jika bibi dari calon pengantin perempuan

mendapatkan mahar sebesar 1 juta rupiah, maka sebesar itulah mahar yang diterima

mempelai wanita.

C. Syarat-Syarat Mahar

Syarat-syarat mahar adalah sebagai berikut:

a. Mahar itu harus berupa harta yang mempunyai harga (nilai), Karena itu tidak

15
Abd. Shomad. Op. Cit. Hlm. 301.
16
A. Rahman I. Doi, Op. Cit, hlm 210.
sah menjadikan mahar barang yang tidak ada harganya, nilainya.

b. Mahar itu harus jelas dapat diambil manfaatnya oleh orang Islam (halal).

Sesuatu yang haram tidak sah untuk dijadikan mahar seperti khamr, darah,

babi, dan sebagainya. Jika dalam akad nikah disebutkan sesuatu yang haram

sebagai mahar, maka akad sah tetapi maharnya batal. Sebagai gantinya maka

wanita yang bersangkutan berhak menerima mahar mitsil dari suaminya itu.

c. Mahar tidak boleh barang curian. Jika barang curian disebut dalam akad nikah

sebagai mahar maka tidak sah mahar itu, namun akad nikahnya sah dan bagi

wanita itu mendapat mahar mitsil.


BAB III

PEMBAHASAN

KEDUDUKAN MAHAR DALAM HUKUM ISLAM

Sebagaimana telah dijelaskan pada poin sebelumnya, maka secara garis besar

berikut akan diuraikan mengenai kedudukan mahar dalam hukum islam.

1. Wajib Diberikan Oleh Mempelai Pria

Mahar merupakan kewajiban yang harus di berikan oleh calon mempelai laki-

laki kepada mempelai wanita. Mahar yang diberikan sendiri merupakan persetujuan

dari pihak mempelai wanita. Bahkan Rasulullah SAW selalu menjadikan mahar

sebagai pertanyaan yang beliau utrakan pada setiap keinginan seorang umat yang

ingin menikah. Tentunya hal ini menyiratkan betapa pentinh nilai mahar tidak hanya

dalam pernikahan namun juga dalam hukum islam.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Hadrad al-Aslami bahwa dia

datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta fatwa tentang

wanita, maka beliau bertanya: “Berapa engkau memberi mahar kepadanya?” Ia

menjawab: “Dua ratus dirham.” Beliau bersabda: “Seandainya kalian mengambil dari

Bathha’, niscaya kalian tidak menambah.”

2. Bersifat Tidak Memberatkan

Ahmad meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Di antara

kebaikan wanita ialah memudahkan maharnya dan memudahkan rahimnya.”

Akhir-akhir ini muncul fenomena jumlah mahar yang fantastis, biasamya


mereka merupakan publik figur yang pastinya selalu disorot kehidupannya. Islam

sendoro tidak membatasi berapa jumlah mahar yang bisa diberikan baik batas

minimal maupun maksimal. Meskipun demikian melihat bagaimana pentingnya

kedudukan mahar dalam pernikahan islam, maka tentu sebaiknya mahar tidaklah

bersifat memberatkan sebagaimana kewajiban istri terhadap suami dalam islam .

Meskipun sang mempelai pria masuk kedalam kategori mampu namun sebaiknya

mahar yang dimintakan tidak memberatkan dan mudah diperoleh demi lancarnya

prosesi pernikahan.

3. Tidak Harus Berbentuk Benda

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi Radhiyallahu

anhu, ia mengatakan, “Aku berada di tengah kaum di sisi Rasulullah Shallallahu

‘alaihi wa sallam, tiba-tiba seorang wanita berdiri lalu mengatakan: ‘Wahai

Rasulullah, sesungguhnya dia menghibahkan dirinya kepadamu, maka bagaimana

pendapatmu mengenainya ? (Dalam riwayat Malik: “Sesungguhnya aku

menghibahkan diriku kepadamu”). Beliau tidak menjawabnya sedikit pun. Kemudian

ia berdiri kembali lalu berkata: ‘Wahai Rasulullah, dia menghibahkan dirinya

kepadamu, maka bagaimana pendapatmu mengenainya?’ Beliau tidak menjawabnya

sedikit pun. Kemudian dia berdiri untuk ketiga kalinya lalu berkata: ‘Dia telah

menghibahkan dirinya kepadamu, maka bagaimana pendapatmu mengenainya?’ Lalu

seorang pria berdiri dan mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, nikahkanlah aku

dengannya?’ Beliau bertanya, ‘Apakah engkau mempunyai sesuatu?’ Ia menjawab:

‘Tidak.’ Beliau bersabda: ‘Pergilah, lalu carilah walaupun cincin yang terbuat dari

besi!’ Ia pun pergi dan mencari, kemudian datang seraya mengatakan: ‘Aku tidak

mendapatkan sesuatu, dan tidak pula mendapatkan cincin dari besi.’ Beliau bertanya:
‘Apakah engkau hafal suatu surat dari al-Qur-an?’ Ia menjawab: ‘Aku hafal ini dan

itu.’ Beliau bersabda: ‘Pergilah, karena aku telah menikahkanmu dengannya, dengan

mahar surat al-Qur-an yang engkau hafal.”

Meskipun pada umumnya mahar berbentuk benda, namun islam tidak

mensyaratkan ketentuan yang mengharuskan hal ini. Bahkan jika anda tidak memiliki

harta benda sama sekali untu dijadikan sebagai mahar. Maka hafalan satu surah dari

Al-Quran juga dapat digunakan sebagai mahar. Tentunya hal ini harus

dikonsultasikan dengan calon mempelai perempuan. Agar tidak terjadi kesalah

pahaman yang dapat merusak esensi dari sakralnya momen pernikahan.

4. Merupakan Permintaan Dari Mempelai Wanita

Mahar sendiri merupakan permintaan yang diajukan oleh mempelai wanita.

Namun, tentu sifatnya tidak mutlak sebab, tergantung pada kemampuan mempelai

pria serta negosiasi dari kedua belah pihak keluarga. Ini berarti bahwa sang calon

mempelai wanitalah yang menentukam sebera besar ia mengajukam permintaan

mahar kepada calon mempelai pria. Namun, jika berpatokan pada hadist dan sabda

Rasulullah, seorang wanita disarankan agar mengajukan mahar yang ringan dan

mudah.

5. Mahar Merupakan Simbol Kebanggaan Bagi Perempuan

Mahar sekali lagi bukan menjadi alat atau standar dalam melihat kualitas calon

mempelai. Paradigman yang berlaku diIndonesia biasanya masih menggunakan adat

yang kental dimana seorang gadis yang memiliki pendidikan mumpuni dan dari

keluarga berada pasti akan mendapatkan mahar yang mahal. Meskipun demikian

tentunya hal ini bukam menjadi sebuah hal yang layak dibanggakan atau dipamerkan
didepan umur sebagaimana hukum pamer dalam islam . Apalagi sampai membuat

kebanggaan hingga menjadikan diri angkuh dan merasa lebih baik dari wanita

lainnya.

6. Mahar Harus Didapatkan Dengan Jalan yang Halal

Mengingat betapa pentingnya kedudukan mahar makan tentu juga harus

dilihat bagaimana proses untuk mendapatkannya. Sebab pernikahan merupakan

sebuah prosesi yang sakral dan memiliki nilai historical yang penting. Maka jangan

sampai tercoreng akibat adanya mahar yang diperoleh dengan cara yang tidak halal,

seperti dari hasil mencuri atau berbuat kejahatan. Tentunya apapun yang diperoleh

dari jalan haram maka akan berpengaruh pada hukum pernikahan yang juga akan

menjadi haram.

7. Kepemilikan Atas Mahar Merupakan Hak Mutlak Istri

Mahar sendiro merupakan hak mutlak yang dimiliki oleh seorang istri.

Sehingga sang suami tidak bisa meminta kembali atau menggunakannya tanpa

pesetujuan sang istri. Hal tersebut tertuang dalam Firman Allah SWT, dalam QS. An-

Nisa: 4, yang artinya:

“Berikanlah Maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai

pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan

kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, makanlah

(ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”
BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

Di dalam Kompilasi Hukum Islam , mahar adalah pemberian dari calon

mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa

yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Mahar merupakan hak calon mempelai

wanita untuk menerima pemberian dari calon mempelai pria.

Mahar juga disebut dengan istilah ajr yang berarti upah, hal itu

dimaksudkan mahardiposisikan sebagai upah atau ongkos dalam mempergauli istri

secara halal dan adalah pemberian yang wajib diberikan oleh suami dengan sebab

adanya akad atau adanya pernikahan.

Hukum Islam tidak mengatur batasan nilai minimal suatu mahar, karena

besarnya suatu Mahar diserahkan kepada kesepakatan calon mempelai pria dan calon

mempelai wanita. Asalkan mereka sepakat, tentunya mahar tersebut pun sah-sah saja

berapapun nilainya.
DAFTAR PUSTAKA

Ibnu Rusyd, Terjemah Bidayatul Mujtahid, Penerjemah: M. A. Abdurrahman dan A.

Harits Abdullah, Semarang: CV. Asy. Syifa’, 1990

Sayyid sabiq, Fiqih Sunnah 2, Ter. Nor Hasanudin, Cet 1. Jakarta: Pena Pundi Aksara

2006

Amin Nurudin, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta:Prenada Media,cet


1.2004)

Abd. Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat,”seri buku daras”, Jakarta: Prenada Media,
2003

Muhammad Husain, Fiqih Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender,
Yogjakarta: LKIS 2001

Djaman Nur, Fiqih Munakahat, Semarang: CV Toha Putra, 1993

Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat, (Jakarta : Rajawali Pers, 2010)

Kamal Muhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1994)

Abdur Rahman I.Doi, Perkawinan dalam Syari’at Islam, Jakarta : PT Rineka Cipta,
1992

Anda mungkin juga menyukai