Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PERBANDINGAN HUKUM KELUARGA ISLAM

KEDUDUKAN MAHAR DAN NAFKAH


TINJAUAN PERUNDANG UNDANGAN
HUKUM KELUARGA ISLAM KONTEMPORER

“Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Jurusan
Syariah dan Hukum Islam, Prodi Hukum Keluarga Islam ”

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 10

AKBAR

MAHYUDDIN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BONE

TAHUN PELAJARAN 2020/2021


KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah
Subhana Wataala yang telah melimpahkan rahmat serta hidayahnya sehingga
kami mampu menyelesaikan penulisan makalah “Kedudukan Mahar dan Nafkah”
ini dan tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada teman-teman yang ikut
berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini.

Sarana penunjang makalah ini kami susun berdasarkan referensi yang


bermacam-macam. Hal ini dengan tujuan untuk membantu para mahasiswa untuk
mengetahui, memahami, bahkan menerapkannya.

Namun demikian, dalam penulisan makalah ini masih terdapat kelemahan


dan kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik dari berbagai pihak sangat di
harapkan.

Akhirul kalam, semoga yang tersaji ini dapat memberikan bantuan kepada
para mahasiswa dalam menyelenggarakan proses belajar mengajar di kampus.
Aamiin.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.

Bone, 05 Mei 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................i

DAFTAR ISI................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...........................................................1

a) Latar Belakang...................................................................1
b) Rumusan Masalah..............................................................2
c) Tujuan Penulisan................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.............................................................3

a) Kedudukan Mahar dalam UU HKI Kontemporer.............3


b) Kedudukan Nafkah dalam UU HKI Kontemporer...........8

BAB III PENUTUP.....................................................................13

a) Kesimpulan........................................................................13
b) Saran..................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA...................................................................14

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Mahar adakalanya disebutkan pada saat akad nikah berlangsung dan

diserahkan setelah selesainya akad nikah dan terkadang pula tidak diserahkan,

hanya disebutkan jenis maharnya. Oleh karena itu Diperlukan regulasi aturan

yang mengatur ketentuan mahar dengan tetap berpedoman aturan berdasarkan

fikih serta adanya pengakuan sosial (dalam masyarakat) bahwa mahar adalah

hak mutlak perempuan yang harus dimiliki, bukan sekedar pengucapan

formalitas dalam akad nikah.1

Nafkah merupakan hak isteri dan anak-anak untuk mendapatkan

makanan, pakaian dan kediaman, serta beberapa kebutuhan pokok lainnya dan

pengobatan, bahkan sekalipun si isteri adalah seorang wanita yang kaya.

Setiap keluarga selalu berusaha untuk tetap menjalankan hidup di

dunia ini, sang suami berkewajiban untuk memberikan hak istri dan anak

dalam bentuk nafkah dan pemeliharaan karena istri dan anak tidak mungkin

kenyang atau bisa hidup dengan namanya cinta.


Perbincangan mengenai hak ataupun kewajiban yang bersifat materi,

seperti nafkah dibahas dalam fiqh sebagai bagian dari kajian fiqh keluarga (al-

ahwal al-syakhshiyah) Al-Qur’an yang tidak memberikan ketentuan yang jelas

dan pasti mengenai berapa besarnya ukuran nafkah seorang suami kepada

isteri baik berupa batas maksimal maupun batas minimal. Tidak adanya

ketentuan yang menjelaskan berapa ukuran nafkah secara pasti, justru

menunjukkan betapa fleksibelnya Islam dalam menetapkan aturan nafkah.2

1
Harijah Damis, “Konsep Mahar Dalam Perspektif Fikih dan Perundang-Undangan”,
Kajian Putusan Nomor 23 K/AG/2012, Jurnal Yudisial Vol. 9, No. 1, April 2016, h. 20.
2
Muttabi, “Nafkah dan Hak Anak” dalam http://www.ulahcopas.site/2016/04/nafkah-
dan-hak-anak.html, 04 Mei 2021.

1
2

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Kedudukan Mahar dalam Keluarga Islam?
2. Bagaimana Kedudukan Nafkah dalam Keluarga Islam?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Kedudukan Mahar dalam Keluarga Islam
2. Untuk mengetahui Kedudukan Nafkah dalam Keluarga Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kedudukan Mahar dalam Perundang Undangan Hukum Keluarga
Islam Kontemporer

Mahar sebagai salah satu hak perempuan dalam perkawinan tidak

diatur pada UU no 16 thn 2019 tentang Perkawinan. Pada UU tersebut

hanya menyebut secara umum bahwa perkawinan adalah sah apabila

dilakukan menurut masing-masing hukum agamanya. Pada Pasal 2 ayat

(1) disebutkan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan

menurut hukum masing masing agamanya dan kepercayaannya itu”.3

Mahar hanya diatur secara lengkap pada Kompilasi Hukum Islam.

Penyelesaian sengketa mahar menjadi kewenangan pengadilan agama

yang diatur secara eksplisit pada Pasal 37 KHI sebagai berikut: “Apabila

terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar, penyelesaiannya

diajukan ke Pengadilan Agama.”4

Kewajiban memberikan mahar atau maskawin diatur pada Pasal 30

dan Pasal 34 Inprers nomor I thn 1991 tentang KHI. Dari ketentuan kedua

pasal tersebut dipahami bahwa:5


1. Bagi calon mempelai pria wajib memberikan mahar kepada calon

mempelai wanita yang jumlah, jenis, dan bentuknya berdasarkan

kesepakatan kedua belah pihak.

3
Harijah Damis, “Konsep Mahar Dalam Perspektif Fikih dan Perundang-Undangan”, h.
26.
4
Harijah Damis, “Konsep Mahar Dalam Perspektif Fikih dan Perundang-Undangan”, h.
27.
5
Harijah Damis, “Konsep Mahar Dalam Perspektif Fikih dan Perundang-Undangan”, h.
28.

3
4

2. Mahar merupakan pemberian wajib, tidak termasuk rukun perkawinan,

sehingga kelalaian tidak menyebut mahar pada saat akad nikah

berlangsung tidak mengakibatkan perkawinan tidak sah.

3. Mahar dapat dihutang oleh mempelai pria.

Apabila terjadi perceraian, baik cerai hidup maupun cerai mati,

penyerahan mahar diatur pada Pasal 35 dan Pasal 38. Dari ketentuan kedua

pasal tersebut dipahami bahwa:6

1. Suami yang menalak istrinya setelah berhubungan wajib membayar

setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah.

2. Apabila suami yang meninggal dunia setelah berhubungan seluruh

mahar yang ditetapkan menjadi hak penuh istrinya.

3. Apabila perceraian terjadi setelah berhubungan, tetapi besarnya mahar

belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsil.

4. Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi

calon mempelai tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan

mahar dianggap lunas.

5. Apabila istri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami

harus menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama


penggantinya belum diserahkan, mahar masih dianggap belum bayar.

6
Harijah Damis, “Konsep Mahar Dalam Perspektif Fikih dan Perundang-Undangan”, h.
28.
5

Selanjutnya, untuk penyerahan mahar, diatur pula pada Pasal 32

dan 33. Pada ketentuan pasal tersebut dipahami bahwa:7

1. Mahar yang telah diserahkan secara tunai dan telah diterima oleh

mempelai wanita, sejak saat penerimaan mahar itu menjadi hak pribadi

wanita tersebut.

2. Penyerahan mahar dapat ditangguhkan sebagian dan seluruhnya atas

persetujuan mempelai wanita.


3. Mahar yang belum diserahkan pada saat akad nikah berlangsung

menjadi hutang bagi suami.

Bentuk dan jenis mahar yang dibebankan kepada calon mempelai

pria diatur pada Pasal 31: Penentuan mahar berdasarkan asas

kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam. Ada

dua hal yang menjadi pedoman dan menjadi acuan dalam penentuan

bentuk dan jenis mahar:8

1. Mahar ditentukan bentuk dan jenisnya berdasarkan kesepakatan kedua

belah pihak calon mempelai pria dan calon mempelai wanita.

2. Penentuan bentuk dan jenis mahar didasarkan atas asas kesederhanaan

dan kemudahan.

7
Harijah Damis, “Konsep Mahar Dalam Perspektif Fikih dan Perundang-Undangan”, h.
28.
8
Harijah Damis, “Konsep Mahar Dalam Perspektif Fikih dan Perundang-Undangan”, h.
28-29.
6

Kantor Urusan Agama (KUA) dalam melaksanakan akad nikah

berpedoman pada dua pertimbangan hukum, yakni hukum perkawinan

Islam yang dijelaskan melalui fiqh munakahat dan Kompilasi Hukum

Islam (KHI). Kedudukan mahar menjadi syarat sahnya perkawinan karena

tidak ada hukum perkawinan dan undang-undang yang menyatakan bahwa

perkawinan sah walaupun tanpa mahar. Kedua hukum yang berlaku

menyatakan bahwa mahar harus ada secara mutlak dalam perkawinan.


Keharusan adanya mahar dalam perkawinan disebabkan oleh tiga hal:9

Pertama: Adanya firman Allah ‫ﷻ‬. dan hadis yang

mewajibkan calon suami memberi mahar kepada calon istrinya,

sebagaimana dalam surat An-Nisa ayat 4:10

‫ص ُدقَاتِ ِه َّن نِحْ لَةً ۚ فَإِ ْن ِط ْبنَ لَ ُك ْم ع َْن َش ْي ٍء ِم ْنهُ نَ ْفسًا فَ ُكلُوهُ هَنِيئًا َم ِريئًا‬
َ ‫َوآتُوا النِّ َسا َء‬
Terjemahan: “Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada

perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh

kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian

dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah

pemberian itu dengan senanghati.” (Q.S. An-Nisa: 4)

Dengan demikian, tidak ada perselisihan pendapat di kalangan


ulama mengenai kedudukan mahar dalam perkawinan, sebagaimana

pengucapannya dalam ijab qabul perkawinan. Bertitik tolak dari dalil

tersebut, KUA apabila memfasilitasi pernikahan salah satunya

menanyakan kepada mempelai pria tentang mahar yang akan diberikan

9
Wawai.id, “Makalah Mahar Dalam Pernikahan”, dalam http://wawai.id/syiar/makalah-
mahar-dalam-pernikahan/, 04 Mei 2021.
10
tafsirQ, “Surat An-Nisa' Ayat 4”, dalam https://tafsirq.com/index.php/4-an-nisa/ayat-4,
04 Mei 2021.
7

kepada calon mempelai perempuan. Kemudian, apabila telah diketahui

jenis dan jumlah maharnya, pihak wali nikah akan mengucapkan dengan

jelas dalam kalimat ijab, yang akan dijawab pula dengan jelas oleh pihak

mempelai pria dengan jelas, yang disebut dengan qabul.

Kedua: Adanya hadis Rasulullah ‫ﷺ‬. yang menyatakan

bahwa laki-laki wajib memberi mahar kepada calon istrinya, jika perlu

sebelum melakukan dukhul.

َ ً‫قا َ َل لَوْ أَ َّن َر ُﺟﻼًأَ ْعطَى اِ ْم َرأَة‬٠‫م‬٠‫ع َْن َجابِ ِرب ِْن َع ْب ِدﷲِ ٲَ َّن َرسُوْ َل ﷲِص‬
‫ل‬ƒْ ‫صدَاقًا ِم‬
)‫اَيَ َد ْي ِه طَعاَما ً كاَنَ ْتلَهُ َحالَالً (رواه احمدوأبوداود‬
Terjemahan: “Dari Jabir, sesungguhnya Rasulullah

‫ ﷺ‬bersabda: “Seandainya seorang laki-laki memberi

makanan sepenuh dua tangannya saja untuk maskawin seorang

perempuan, sesungguhnya perempuan itu halal baginya.” (H.R. Ahmad

dan Abu Dawud).

Ketiga: Pelaksanaan akad nikah melalui ijab qabul dengan

pengucapan yang jelas diperintahkan oleh hukum perkawinan Islam dan

KHI. Sayyid Sabiq menyebutkan bahwa sighat yang dipergunakan dalam

akad nikah harus jelas, diucapkan tidak terputus dan tidak dibenarkan
terputus-putus. Oleh karena itu, apabila terdapat kekeliruan,

pengucapannya harus diulang. Demikian pula, dalam KHI Pasal 27

dikatakan bahwa ijab dab qabul antara wali dengan calon mempelai pria

harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu. Kekeliruan penyebutan

mahar sama dengan “tidak jelas” dalam mengucapkan ijab qabul yang

merusak sighat akad nikah secara keseluruhan, sehingga wajib diulang.


8

B. Kedudukan Nafkah dalam Perundang Undangan Hukum Keluarga


Islam Kontemporer

Kewajiban suami sebagai kepala keluarga memang tidak terlepas

dari persoalan nafkah karena suami yang sekaligus sebagai ayah dari

anaknya berkewajiban untuk memberikan nafkah kepada seluruh anggota

keluarganya yang terdiri dari isteri dan anak.11 Dasar hukum memberi

nafkah terhadap keluarga wajib atas suami, berdasarkan nash Al Qur’an.

Hal tersebut dijelaskan dalam QS. An-Nisa ayat 34:12

ٍ ƒ‫ع‬ƒْ ƒَ‫ى ب‬ƒ


ƒ‫ ا‬ƒ‫ َم‬ƒِ‫ ب‬ƒ‫ َو‬ƒ‫ض‬ َ ƒ‫ ْع‬ƒَ‫ ب‬ƒُ ‫ل هَّللا‬ƒَ ƒَّƒ‫ ض‬ƒَ‫ ف‬ƒ‫ ا‬ƒ‫ َم‬ƒِ‫ ب‬ƒ‫ ِء‬ƒ‫ ا‬ƒ‫ َس‬ƒِّ‫لن‬ƒ‫ى ا‬ƒƒَ‫ ل‬ƒ‫ َع‬ƒ‫ن‬ƒَ ƒ‫ و‬ƒ‫ ُم‬ƒ‫ ا‬ƒ‫ َّو‬ƒَ‫ ق‬ƒ‫ ُل‬ƒ‫ج ا‬ƒَ ƒِّƒ‫لر‬ƒ‫ا‬
ƒٰ ƒَ‫ ل‬ƒ‫ َع‬ƒ‫ ْم‬ƒُ‫ ه‬ƒ‫ض‬
ƒ‫ ْم‬ƒ‫ل ِه‬ƒِ ƒ‫ ا‬ƒ‫ َو‬ƒ‫ ْم‬ƒَ‫ أ‬ƒ‫ن‬ƒْ ƒ‫ ِم‬ƒ‫ا‬ƒ‫ و‬ƒُ‫ ق‬ƒَ‫ ف‬ƒ‫ ْن‬ƒَ‫ۚ أ‬
Terjemahan: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum

wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (pria) atas

sebagian yang lain (wanita)”. (Q.S An-Nisa : 34).

Karena kelebihan fisik ini maka suami diberi kewajiban memberi

nafkah dan menyediakan tempat tinggal untuk istri dan anak-anaknya. dari

ayat di atas maka dapat disimpulkan bahwa nafkah itu merupakan sebuah

kewajiban yang harus diberikan oleh seorang suami terhadap isterinya. dan

nafkah itu adalah sebuah kebutuhan dan keperluan yang berlaku menurut

keadaan dan tempat.13

11
Muhammad Sulaiman, “Kedudukan Nafkah Dalam Peraturan Perundangundangan
Perkawinan Di Indonesia Dan Yaman” (Skripsi S1, Program Studi Hukum Keluarga Fakultas
Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2017), h. 33.
12
tafsirQ, “Surat An-Nisa' Ayat 34”, dalam https://tafsirq.com/index.php/34-an-nisa/ayat-
34, 04 Mei 2021.
13
Syaikh Hasan Ayub, Fikih Keluarga, terj. M. Abdl Ghoffar E.M (Jakarta: Pustaka al-
Kautsar, 2001), cet Ke-I, h. 383.
9

Para ahli fikih berpendapat bahwa nafkah anak itu menjadi

kewajiban ayah, berdasarkan firman Allah di atas. Sebab kewajiban

memberi nafkah bagi ayah kepada ibu yang sedang menyusui anak itu

adalah untuk anaknya. Karena itu, kewajiban hal ini berlaku selama anak

masih kecil. Hal ini juga berlaku dalam hal nafkah anak-anak yang sudah

dewasa yang senantiasa menderita sakit. kewajiban ini tidak dililmpahkan

kepada orang lain, karena ayat tersebut merujuk kepada ayah.14


Sesuai dengan pendapat Sayyid Sabiq menyatakan bahwa syarat

bagi perempuan berhak menerima nafkah:15 Ikatan perkawinan sah,

Menyerahkan dirinya kepada suaminya, Suaminya dapat menikmati

dirinya, Tidak menolak apabila diajak pindah ke tempat yang dikehendaki

suaminya, Kedua-duanya saling dapat menikmati.

Keempat imam mazhab sepakat bahwa memberikan nafkah itu

hukumnya wajib setelah adanya ikatan dalam sebuah perkawinan. Akan

tetapi memiliki perbedaan mengenai kondisi, waktu dan tempat, perbedaan

tersebut terletak pada waktu, ukuran, siapa yang wajib mengeluarkan

nafkah dan kepada siapa saja nafkah itu wajib diberikan. Keempat imam

mazhab sepakat bahwa nafkah meliputi, pangan dan tempat tinggal.16

Adapun dalam Peraturan Perundang-undangan Kedudukan tentang

nafkah dijelaskan dalam UU no 16 thn 2019, Kewajiban yang dibebankan


14
Muhammad Ali Manan, Mu’ammal Hamidy, Imron A. Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam
Ash-Shabuni, (Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 2003), Cet ke-1, h. 295.
15
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz 2, (Kairo: Dar al-Fath Li Al- A’lam Al-Araby,
1997), h. 228.
16
Abdur Rohman Al-jaziri, Fiqh ala Mazahib al-Arba‟ah, Juz 4, (Mesir: Al- Maktabah
Al-Tijariyyah Al Kubro, 1969), h.553.
10

oleh UU ini terhadap suami adalah kewajiban memberikan nafkah.

Mengenai hak dan kewajiban suami isteri yang terdiri dari 5 pasal:17
Pasal 30
Suami-isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan
rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat.
Pasal 31
1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama
dalam masyarakat.
2) Masing- masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
Pasal 32
1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
2) Rumah tempat tinggal yang di maksud pada ayat (1) pasal ini
ditentukan oleh suami-isteri bersama.
Pasal 33
Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati,
setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.
Pasal 34
1) Suami wajib, melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
2) Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada pengadilan.
Pada bagian ketiga diatur kewajiban suami yaitu dalam pasal 80

KHI yang terdiri dari 7 ayat. Ayat-ayat yang merupakan pengulangan

17
Republik Indonesia, Undang-undang No 16 tahun 2019 tentang Perkawinan, bab VI,
Pasal 30-34.
11

yaitu pasal 80 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam adalah pengulangan dari

ketentuan pasal 34 ayat (1) UU no 16 thn 2019 Tentang Perkawinan,

sedangkan ayat-ayat yang lain merupakan ketentuan baru yang belum

diatur sebelumnya adapun yang diatur dalam kedua ayat tersebut adalah:

“Suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya, akan

tetapi mengenal hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting

diputuskan oleh suami isteri secara bersama.” Dalam pasal 80 ayat (3)
dijelaskan pula: Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada

isterinya dan memberikan kesempatan belajar pengetahuan yang berguna

dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa. Pada pasal 80 ayat (4) lebih

di jelaskan secara umum yaitu susuai dengan penghasilannya suami

menanggung:18

1) Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri

2) Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri

dan anak.

18
Muhammad Sulaiman, “Kedudukan Nafkah Dalam Peraturan Perundangundangan
Perkawinan Di Indonesia Dan Yaman”, h. 45.
12

Mengenai kewajiban suami terhadap isteri diatas. Kompilasi

Hukum Islam mengatur bahwa kewajiban dalam pasal di atas mulai

berlaku sejak adanya tamkin sempurna. Ketentuan ayat ini menjelaskan

bahwa secara yusridis formal suami berkewajiban memenuhi (pasal 80

ayat 4 huruf a) dan apabila isteri itu terikat oleh perkawinan yang sah, dan

isteri mempunyai kapasitas serta telah berperan sebagai isteri.19

Apabila ia tidak berperan sebagai isteri, baik karena ia kurang atau


tidak mempunyai kapasitas untuk itu, atau ia mempunyai kapasitas

dimaksud tetapi enggan berperan sebagai isteri maka kewajiban suami

untuk memberikan nafkah kepadanya menjadi gugur karena isteri di

kategorikan nusyuz. Ketentuan ini diatur dalam pasal 80 ayat 5 yaitu:

Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri

nusyuz. Kalau dalam pasal ini sikap isteri yang menyebabkan gugur hak

nafkah, maka dalam pasal 80 ayat (6) diatur bahwa isteri dapat

membebaskan suami dari kewajiban terhadap dirinya.20

19
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: CV Akademika
Pressindo, 2007), h. 133.
20
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 132.
13

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Berdasarkan tiga pertimbangan mengenai kedudukan mahar yang telah

dijelaskan diatas, dalam perspektif fiqh munakahat, pelaksanaan akad nikah

dalam konteks kedudukan mahar dalam perkawinan yang dilaksanakan di

KUA adalah sebagai tindakan berhati-hati melaksanakan hukum Islam dan

undang-undang yang berlaku. Disebabkan perkawinan merupakan perjanjian

yang sakral yang harus diakadkan secara sempurna dengan atas nama Allah

‫ﷻ‬. dengan tidak memandang sepele terhadap kekeliruan yang terdapat

dalam kalimat ijab dan qabul.

Para ahli fikih berpendapat bahwa nafkah anak itu menjadi kewajiban

ayah, berdasarkan firman Allah di atas. Sebab kewajiban memberi nafkah bagi

ayah kepada ibu yang sedang menyusui anak itu adalah untuk anaknya.

Karena itu, kewajiban hal ini berlaku selama anak masih kecil. Hal ini juga

berlaku dalam hal nafkah anak-anak yang sudah dewasa yang senantiasa

menderita sakit. kewajiban ini tidak dililmpahkan kepada orang lain, karena
ayat tersebut merujuk kepada ayah.

B. Saran

Demikian makalah yang telah kami susun apabilah terdapat

kesalahan penggunaan kata dan kesalahan pengetikan mohon dimaafkan

atas perhatiannya terima kasih, lebih dan kurangnya saya mohon maaf

sebanyak banyaknya, Wassalam.


DAFTAR PUSTAKA
Ayub, Syaikh Hasan. Fikih Keluarga, terj. M. Abdl Ghoffar E.M. Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2001, cet Ke-I.
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: CV Akademika
Pressindo, 2007.
Damis, Harijah. “Konsep Mahar Dalam Perspektif Fikih dan Perundang-
Undangan”. Kajian Putusan Nomor 23 K/AG/2012. Jurnal Yudisial Vol. 9,
No. 1, April 2016.
Al-jaziri, Abdur Rohman. Fiqh ala Mazahib al-Arba‟ah, Juz 4. Mesir: Al-
Maktabah Al-Tijariyyah Al Kubro, 1969.
Manan, Muhammad Ali. Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni. Surabaya:
PT Bina Ilmu Offset, 2003, Cet ke-1.
Muttabi. “Nafkah dan Hak Anak” dalam http://www.ulahcopas.site/2016/04/
nafkah-dan-hak-anak.html, 04 Mei 2021.
Republik Indonesia. Undang-undang No 16 tahun 2019 tentang Perkawinan. bab
VI, Pasal 30-34.
Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Juz 2. Kairo: Dar al-Fath Li Al- A’lam Al-Araby,
1997.
Sulaiman, Muhammad. “Kedudukan Nafkah Dalam Peraturan
Perundangundangan Perkawinan Di Indonesia Dan Yaman”. Skripsi S1,
Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2017.
tafsirQ. “Surat An-Nisa' Ayat 4”. dalam https://tafsirq.com/index.php/4-an-
nisa/ayat-4, 04 Mei 2021.
tafsirQ. “Surat An-Nisa' Ayat 34”. dalam https://tafsirq.com/index.php/34-an-
nisa/ayat-34, 04 Mei 2021.
Wawai.id. “Makalah Mahar Dalam Pernikahan” dalam http://wawai.id/syiar/
makalah-mahar-dalam-pernikahan/, 04 Mei 2021.

14

Anda mungkin juga menyukai