Anda di halaman 1dari 9

Maqashid Syari’ah Mahar

Disusun Oleh:

Ahmad Zadulhaq Zen

ahmadzadulhaqzen@mhs.iaibafa.ac.id

NIM: 2021.126.02.03.00283

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kuliah

Matkul:

Maqashid Syari’ah

Dosen Pengampu:

Moch. Nurcholis, M.H.

FAKULTAS SYARIAH PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

INSITUT AGAMA ISLAM BANI FATTAH TAMBAK BERAS JOMBANG


2023

Abstrak

Mahar dalam al Quran disebut dengan istilah bervariasi. Istilah mahar yang variatif ini
mengandung maksud dan tujuan tertentu (maqashid syari’ah). Untuk mengetahui maqashid
syari’ah mahar perlu dilakukan kajian komprehensif terhadap ayat- ayat al Quran yang
menjelaskan mahar. Di atanra ayat al Quran yang menjelaskan mahar antara lain QS. Annisa
4 dan 20 dan QS. Al Baqarah 237. Maqashid al Syariah sebagai suatu konpsepsi dalam
memahami maksud dan tujuan syari’at Islam perlu dijadikan dasar analisis dalam melakukan
kajian yang komprehensif. Dalam maqashid al syari’ah Ibnu Asyur, ada tiga langkah yang
bisa dilakukan dalam melakukan analisis maqashid, pertama, istiqra’ (pengamatan) terhadap
dalil-dalil syar’I. Kedua, pengkajian komprehensif terhadap dalil-dalil yang memiliki
kesamaan topik. Ketiga, penggunaan hadis mutawatir sebagai daya dukung dalam melakukan
analisis. Hasil pengaplikasian maqashid al syari’ah Ibnu Asyur terhadap dalil tentang mahar
menunjukkan bahwa hukum pemberian mahar bertujuan untuk memberikan perlindungan
agar perkawinan dapat dilaksanakan serta untuk memberikan perlindungan terhadap hidup
seorang istri dalam rumah tangga. Selain itu, pemberian mahar perlu memperhatikan
kedudukan perempuan dalam kontruksi sosial.

Kata Kunci: Maqashid al-syari’ah, Mahar perkawinan

Pendahuluan

Sebagai entitas yang sangat penting dalam perkawinan, mahar merupakan pemberian
wajib dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan. Dalam praktik perkawinan
banyak masyarakat mengasumsikan mahar sebagai bagian dari rukun atau syarat yang
menentukan sah atau tidaknya perkawinan. Anggapan ini kemudian mendorong praktik
pemberian mahar yang mengabaikan aspek penting lainnya yaitu terkait bentuk dan kadar
mahar. Sebab masyarakat menganggap perkawinan itu sah dengan adanya mahar. Persoalan
bentuk dan kadar mahar dianggap tidak begitu penting karena tidak mempengaruhi sahnya
perkawinan. Praktik pemberian mahar semacam ini bisa dikatakan mengabaikan aspek
maqashid al-syari’at dalam hal bentuk dan kadar mahar.

Pembahasan

Mahar Dalam Al-Quran


Para ulama Fiqh‟ telah menyepakati bahwa hukum memberi mahar atau maskawin itu
adalah wajib. Hal ini berdasarkan pada dalil Dalam surah an-nisa’ ayat 4 disebutkan:

‫صد ُٰقتِ ِه َّن نِحْ لَةً ۗ فَا ِ ْن ِط ْبنَ لَ ُك ْم ع َْن َش ْي ٍء ِّم ْنهُ نَ ْفسًا فَ ُكلُوْ هُ هَنِ ۤ ْيـًٔا َّم ِر ۤ ْيـًٔا‬
َ ‫َو ٰاتُوا النِّ َس ۤا َء‬
Artinya:
“Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) Sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan.kemudian jika mereka Menyerahkan kepada kamu
sebagian dari maskawin itu dengan senang Hati, Maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang Sedap lagi baik akibatnya”.
Dilihat dilalah dari ayat di atas bahwa Allah Swt telah Memerintahkan, pada
suami-suami untuk membayar mahar pada istrinya. Karena perintah tersebut tidak
disertai dengan qarinah yang menunjukkan Kepada hukum sunat atau mubah, maka ia
menghendaki kepada makna Wajib. Jadi mahar wajib bagi suami untuk diberikan
kepada istrinya, karena Tidak ada qarinah yang menyimpang dari makna wajib kepada
makna yang Lain.
Dari segi lain, nihlah dalam ayat di atas juga bermakna Al-Faridhah Al-Wajibah
(ketentuan yang wajib). Dengan begitu, makna ayat Adalah: “Dan berikanlah kepada
wanita (istri-mu) mahar sebagai sebuah Ketentuan yang wajib”.1

Dalam menafsirkan al Quran, Ibnu Asyur mempertimbangkan aspek lain diluar makna
yang ada di balik teks. Menurutnya, kata shaduq dan nihlah berkedudukan sejajar dalam ayat
tersebut. Sehingga dalam memaknai kata shaduq harus memperhatikan posisi kata nihlah
sebagai kata yang menerangkan kata sebelumnya. Dengan demikian, kata shaduq dan nihlah
dimaknai sebagai suatu pemberian wajib tanpa mengharap balasan sebagai bentuk
penghormatan Dan memuliakan perempuan.2

Pendapat ‘Ulama

Di kalangan ulama mazhab terdapat perbedaan pendapat mengenai batas minimal mahar
dalam pernikahan. Menurut ulama Hanafiyah kadar minimal mahar adalah sepuluh dirham.
Sedangkan bagi ulama Malikiyah kadar minimal mahar adalah tiga dirham perak atau
seperempat dinar emas atau yang senilai dengannya. Berbeda halnya dengan ulama Syafiiyah

1
Nur Azizah, Mahar Dalam Perspektif Hadits, (Skripsi, 2011), 15,
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/5589
2
Akhmad Maimun, MAQOSHID AL SYARI’AH DALAM HUKUM MAHAR PERKAWINAN, ALADALAH:
Jurnal Politik, Sosial, Hukum dan Humaniora, (Vol.1, No.1 Januari 2023), 137,
https://doi.org/10.59246/aladalah.v1i2.197
dan Hanabilah yang menyatakan bahwa tidak ada kadar minimal dari mahar. Setiap sesuatu
yang bernilai harta pantas dijadikan mahar, meskipun jumlahnya sedikit.3

Adapun faktor penyebab perbedaan pendapat tentang kadar (ketentuan mahar) di


kalangan ulama madzhab ada dua macam sebagaimana disebutkan oleh Ibn Rusyd, yaitu:

1. Ketidakjelasan akad nikah itu sendiri antara kedudukannya sebagai salah satu jenis
pertukaran, karena yang dijadikan adalah kerelaan menerima ganti, baik sedikit
maupun banyak, seperti halnya dalam jual beli dan kedudukannya sebagai ibadah
yang sudah ada ketentuannya. Demikian itu kalau ditinjau dari segi bahwa dengan
mahar itu laki-laki dapat memiliki jasa wanita itu selamanya, maka perkawinan itu
mirip dengan pertukaran. Tetapi ditinjau dari segi adanya larangan mengadakan
persetujuan untuk meniadakan mahar, maka mahar itu mirip dengan ibadah.
2. Adanya pertentangan antara qiyas yang menghendaki adanya pembatasan mahar
dengan mafhum hadits yang tidak menghendaki adanya pembatasan. Qiyas yang
menghendaki adanya pembatasan mahar adalah seperti pernikahan itu ibadah,
sedangkan ibadah itu sudah ada ketentuannya.4

Selain itu menurut para fuqaha diperbolehkan menyegerakan pemberian mahar


seluruhnya ataupun mengakhirkan penyerahan seluruhnya. Dibolehkan juga menyegerakan
sebagian mahar dan mengakhirkan sebagian lainnya. Akan tetapi jika Dalam akad nikah tidak
dijelaskan apakah mahar tersebut akan dibayarkan dengan segera atau tidak, maka hal itu
diserahkan kepada adat kebiasaan setempat yang berlaku saat itu. Adapun jika tidak ada
kebiasaan yang terkait dengan hal itu, maka yang ditetapkan adalah mahar tersebut harus
dibayar segera. Termasuk hal yang diperbolehkan juga jika suami menggauli isterinya meski
maharnya belum ditentukan atau tidak ada mahar dalam akad nikah. Oleh karena itu suami
tersebut harus membayar mahar mitsil.5

Tujuan Disyariatkannya Mahar

1. Memberi hak kepemilikan harta kepada perempuan

3
Apriyanti, Historiografi Mahar Dalam Pernikahan, An Nisa’a: Jurnal Kajian Gender dan Anak, (Volume 12,
Nomor 02, Desember 2017), 172, http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/annisa
4
Putra Halomoan, PENETAPAN MAHAR TERHADAP KELANGSUNGAN PERNIKAHAN DITINJAU
MENURUT HUKUM ISLAM, JURIS Volume 14, Nomor 2 (Juli-Desember 2015), 113,
http://dx.doi.org/10.31958/juris.v14i2.301
5
Apriyanti, Historiografi Mahar Dalam Pernikahan, An Nisa’a: Jurnal Kajian Gender dan Anak, (Volume 12,
Nomor 02, Desember 2017), 172, http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/annisa
Salah satu daripada usaha Islam dalam mengangkat kedudukan dan martabat wanita
adalah dengan memberikannya hak dalam pemilikan dan pengurusan harta. Salah
satu daripada hak pemilikan tersebut ialah dengan sebab perkawinan, yaitu hak
menerima, memiliki dan mengurus mahar. Pada zaman pra-Islam, wali atau penjaga tidak
memberikan hak kepada wanita untuk menguruskan harta apatah lagi memilikinya.
Pensyariatan mahar telah menzahirkan prinsip dan sistem Islam yang adil dan telus
berbanding amalan masyarakat zaman Jahiliyyah yang menafikan hak wanita dalam
aspek pemilikan harta (mahar). Dalam memastikan wanita mendapat manfaat daripada
pensyariatan mahar, para fuqaha menegaskan bahwa mahar mestilah daripada mal
mutaqawwam yaitu harta yang bernilai, laku dan sesuatu yang boleh diambil manfaatnya
oleh si pemilik seperti emas, perak, tanah dan seumpamanya. Mereka bersepakat bahwa
sekiranya mahar yang diberikan tidak bermanfaat, maka ia tidak diterima.6

2. Memberi Perlindungan Sosio-Ekonomi Kepada Wanita

Islam mengiktiraf mahar bukan sahaja sebagai lambang kasih sayang, bahkan
sebagai pelindung kepada wanita dalam rumah tangga karena ia juga berpotensi
mengelakkan berlakunya perceraian dengan mudah. Dicatatkan dalam kebanyakan kes
wanita di Eropa yang meminta mahar yang tinggi adalah bertujuan sebagai jalan untuk
menghalang perceraian berlaku dengan mudah. Mahar yang kebiasaannya diterima
dalam nilai yang tinggi seperti sebuah kereta dan wang 20.000 U.S.D. dan dalam keadaan
bertangguh dilihat berperanan sebagai pelindung kepada hubungan rumahtangga. Ini kerana,
suami tidak sewenang-wenangnya memperlakukan isterinya atau menceraikannya
dengan mudah kerana sekiranya terjadinya perceraian, suami terpaksa menyerahkan
keseluruhan mahar kepada isterinya yang kebiasaannya dalam jumlah dan kadar yang tinggi.

Mahar adalah nafkah awal berbentuk material sebelum nafkah rutin berikutnya yang
dipertanggungjawabkan ke atas suami. Ia juga adalah jaminan atas perpindahan
tanggung jawab seorang wanita daripada ayahnya kepada seorang lelaki yang telah menjadi
suaminya. Secara tidak langsung, mahar merupakan aset yang berpotensi sebagai satu
bentuk perlindungan awal dan sekuriti ekonomi wanita. Dengan pemilikan mahar yang
bernilai tinggi, wanita akan merasa terjamin untuk meneruskan kehidupannya
6
Muh. Ali, H., & Azahari, R. (2017). Objektif Syariah Dalam Pemberian Mahar. Jurnal Fiqh , 10, 67, 71
https://doi.org/10.22452/fiqh.vol10no1.3
terutamanya apabila berlaku kejadian yang tidak diduga seperti kematian suami atau
berlakunya perceraian. Tambahan pula, tidak semua wanita memiliki kemampuan dan
kemandirian ekonomi. Dengan pemilikan mahar yang produktif, ia bukan sahaja
berpotensi sebagai satu bentuk jaminan sosio-ekonomi di tempat baharu, bahkan boleh
dijadikan modal perniagaan atau dilaburkan ke mana-mana institusi kewangan untuk
tujuan perniagaan dan sebagainya. Hal ini dilihat sekali gus berpotensi meningkatkan
status sosio-ekonomi wanita sama ada dalam kalangan mereka yang mempunyai
pekerjaan atau tidak .

3. Memberi Kemuliaan Kepada Wanita

Pensyariatan mahar juga menjadi bukti Islam sangat memuliakan wanita. Perletakan
tanggung jawab memberikan mahar hanya kepada lelaki menunjukkan keadilan dan
keprihatinan Islam dalam memuliakan wanita. Falsafah ini telah membedakan pemberian
mahar dengan pemberian dan bayaran perkawinan yang lain seperti dowry yang dilihat
mendiskriminasi kaum wanita dengan mewajibkan mereka menyediakan wang dan
mengorbankan hartanya semata-mata untuk dikawini.

Pensyariatan mahar juga telah menolak diskriminasi ke atas kaum wanita. Malah,
kedudukan wanita sejak kedatangan Islam lebih terjamin berbanding status dan
kedudukan wanita ketika zaman Jahiliyyah. Melihat kepada amalan masyarakat Jahiliyyah,
mahar hanya dianggap sebagai harga kepada wanita semata-mata. Sementara wanita
dianggap sebagai aset dan sumber kekayaan keluarga. Ini karena, apabila seorang anak
perempuan dilahirkan, masyarakat sekelilingnya akan mengucapkan tahniah kepada ayah si
bayi dengan mengatakan, “selamat, semoga ia menjadi sumber Mahar kekayaan untukmu.”
Hal ini adalah satu petanda bahwa ayahnya akan mendapat kekayaan ketika mengawinkannya
dengan orang lain, karene mahar yang diterima akan menjadi hak milik ayahnya. Mereka
menganggap bayaran perkawinan tersebut sebagai upah dan kos membesarkan wanita, seperti
dalam konsep bride-price. Pensyariatan mahar bukan sahaja melambangkan penghormatan,
bahkan bertujuan memberi kegembiraan dan membahagiakan hati isteri agar merasa
dihargai, dimuliakan dan bersedia untuk menjalani kehidupan bersama suami. Secara tidak
langsung, ia menzahirkan kasih sayang suami terhadap isteri kerana mahar adalah nihlah,
iaitu pemberian, hadiah mahupun hibah. Bukannya sebagai bayaran kepada wanita seperti
mana amalan masyarakat Jahiliyyah.7

7
Ibid, 72-73
Tujuan kehadiran Islam salah satunya adalah mengangkat dan memuliakan derajat kaum
perempuan. Untuk mewujudkan hal itu, maka cara yang ditempuh khususnya dalam
pernikahan adalah dengan mensyariatkan mahar. Mahar merupakan pemberian wajib
suami kepada isterinya saat akad nikah berupa harta atau sesuatu yang bernilai, di mana
besarannya disesuaikan menurut kemampuan dan tradisi setempat. Jadi dalam islam,
pada dasarnya mahar bukan sebagai harga seorang perempuan sehingga isteri bisa
dimiliki seperti barang. Namun mahar merupakan bukti keseriusan laki-laki kepada
perempuan untuk membina kehidupan rumah tangga. Hal ini berarti suami dan isteri
merupakan partner yang akan menjalani kehidupan secara bersama-sama demi
mewujudkan keluarga yang samara.8

Kesimpulan

Dari pembahasan tentang mahar di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum mahar
memiliki tujuan (maqashid syari’ah) yang sangat mulia. Tujuan tersebut bisa kita pahami dari
bahasa mahar yang digunakan di dalam al Quran. Maqashid syari’ah dari praktik pemberian
mahar shaduq-nihlah bertujuan untuk memberikan keringanan kepada pihak laki laki yang
berkewajiban memberikan mahar. Selain itu, penentuan mahar atas dasar suka rela akan
memunculkan rasa kasih sayang di antar kedua mempelai. Sebab penentuan mahar shaduq-
nihlah atas dasar kesesuaian antara permintaan pihak perempuan dan kemampuan mempelai
laki laki. Yang tak kalah pentingnya lagi bahwa, praktik pemberian mahar shaduq- nihlah
bertujuan untuk mempermudah perkawinan dilaksanakan Hal ini merupakan langkah
preventih syari’at Islam untuk mencegah terjadinya perzinahan.

Maqashid mahar tidak hanya persoalan kesederhanaan pemberian sehingga perkawinan


tetap dilaksanakan, akan tetapi mahar juga bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada
kehidupan istri dalam berumah tangga. Hal ini bisa kita pahami dari mahar yang diistilahkan
dengan kata qinthar. Nilai fantastis dari mahar qinthar ini merupakan bentuk antisipasi
syari’at Islam untuk menjaga hidup seorang istri dalam berumah tangga, khususnya pasca
terjadi perceraian selain itu, mahar juga menjadi hak ekonomi perempuan dalam rumah
tangga, oleh karenanya, dalam praktik pemberian mahar perlu memperhatikan kedudukan
perempuan dalam kontruk sosial masyarakat, serta tingkat kebutuhan dan perkembangan
ekonomi dalam suatu masyarakat.
8
Apriyanti, Historiografi mahar dalam pernikahan, An Nisa’ a: Jurnal kajian gender dan anak, Vol: 12, No. 2,
Desember, 2017, 175-176, http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/annisa
Daftar Pustaka

Apriyanti, Historiografi Mahar Dalam Pernikahan, An Nisa’a: Jurnal Kajian Gender dan
Anak, (Volume 12, Nomor 02, Desember 2017),
http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/annisa

Azizah Nur, Mahar Dalam Perspektif Hadits, (Skripsi, 2011),


http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/5589

Halomoan Putra, PENETAPAN MAHAR TERHADAP KELANGSUNGAN PERNIKAHAN


DITINJAU MENURUT HUKUM ISLAM, JURIS Volume 14, Nomor 2 (Juli-Desember
2015), http://dx.doi.org/10.31958/juris.v14i2.301

Maimun Akhmad, MAQOSHID AL SYARI’AH DALAM HUKUM MAHAR


PERKAWINAN, ALADALAH: Jurnal Politik, Sosial, Hukum dan Humaniora, (Vol.1, No.1
Januari 2023), https://doi.org/10.59246/aladalah.v1i2.197

R, Azahari. & H, Ali Muh. (2017). Objektif Syariah Dalam Pemberian Mahar. Jurnal Fiqh ,
10, 67, https://doi.org/10.22452/fiqh.vol10no1.3

Anda mungkin juga menyukai