Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

MAHAR ATAU EMAS KAWIN


MATA KULIAH : HADITS AHKAM

DOSEN PEMBIMBING Dr. Muhammad Sabir, M.Ag.

OLEH :

ASHABUL KAHFI ASYARID (11000121044)

KELAS B

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

2021

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb

Dengan mengucap rasa syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa karena atas
rahmatnya dan nikmat serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah
ini untuk memenuhi tugas mata kuliah HADIST AHKAM yang diampu oleh bapak Dr.
Muhammad Sabir, M.Ag.

Saya menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini kami banyak kekurangan,
penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu kami mengharapkan kritik dan sarandemi kesempurnaan tugas yang akan datang.
Saya menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
terlibat dalam penyusunan makalah ini. Semoga hal yang kami sampaikan dapat
memberikan manfaat bagi pembaca.

Waalaikumsalam Wr.Wb

Makassar, 16 maret 2022

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. I


DAFTAR ISI ............................................................................................................ II

BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................................ 2


A. Latar Belakang ........................................................................................ 3
B. Rumusan Masalah ................................................................................... 4

BAB 2 PEMBAHASAN

A. Pengertian shidaq .................................................................................... 4


B. Hukum Shidaq dan Dasar Hukumnya .....................................................7
C. Macam - Macam Mahar ..........................................................................11
a. Mahar musamma ...............................................................................11
b. Mahar mitsil ......................................................................................13
c. Mahar tunai atau kredit .....................................................................16
D. Syarat – Syarat Mahar .............................................................................19

BAB III PENUTUP ...................................................................................................22

A. Kesimpulan ..............................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mahar merupakan suatu hal yang urgen dalam pernikahan yang dilaksanakan
di Indonesia, bahkan di dunia. Mahar merupakan perwujudan hadiah yang diberikan
oleh sang suami kepada istrinya. Mahar dapat berupa uang, pakaian, emas, bahkan
sepasang sendal pun bisa dijadikan sebagai mahar.

Berbagai macam bentuk mahar yang diketahui dirumuskan oleh para ulama-
ulama Islam, menjadi dua pembahagian jenis mahar, yaitu mahar musamma dan
mitsil. Mahar musamma merupakan mahar yang diminta oleh isteri dengan bentuk
barang yang diminta sesuai dengan apa yang dimintanya, maka sang suami wajib
memberikannya sesuai dengan yang diminta tersebut. Seperti ia meminta emas
seberat 1 gram, maka suami wajib memberikannya senilai dengan itu. Kemudian,
mahar mitsil adalah mahar yang disamakan dengan ukuran dari wanita yang sesuia
dengannya, artinya mahar disesuaikan dengan mahar yang biasa digunakan oleh
wanita lain yang sederajat dan setingkat dengan wanita itu. Namun kita juga
mengenal mahar yang dibayarkan sewaktu akad dilaksanakan, dan ada pula
pembayaran mahar dilain waktu akad nikah. Ini diperbolehkan didalam agama Islam.

Maka dari itu dalam pembahasan makalah ini, akan dibahas tentang seputar
hal-hal yang berkaitan dengan mahar, baik itu berupa pengertiannya, jenis-jenisnya,
hukum dan dasar hukumnya, serta hikmah yang terkandung dalam mahar.

B. Rumusan dan Batasan Masalah

Adapun rumusan dan batasan masalah yang membantu dalam penyususnan


pembahasan makalah ini adalah:

a. Bagaimanakah pengertian mahar itu?


b. Bagaimanakah hukumdan dasar hukum mahar tersebut?
c. Bagaimanakah jenis-jenis mahar tersebut?

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Shidaq

Shidhaq secara bahasa memiliki beberapa nama yang banyak, diantaranya


adalah mahar (‫)مهر‬, dapat dikatakan: (‫)مه@@رت الم@@رأة ِأذا أعطيته@@ا المهر‬aku telah
memberikan mahar kepada seorang wanita jika aku telah memberikannya berupa
sebuah mahar. Dan juga ada disebutkan dengan Shadaq ( ‫صدق‬
َ ) dengan menfathahkan
huruf shad. Dan yang lain juga disebutkan dengan cara mengkasrahkan hrurf shad
bersamaan dengan menfathahkan huruf dal.1

Dan juga Shidaq juga disebut dengan ( ‫)صدقة‬, dengan menfathahkan huruf
shad dan mendhammahkan huruf dal.( ‫)صدقة و صدقة‬dengan mensukunkan huruf dal
padanya dan menfathahkan huruf shad dan mendhammahkannya, dia adalah bentuk
asal yang terambil dari kata (‫)الصدق‬.2

Shidaq ini memiliki sepuluh nama yang memiliki arti yang sama, antara lain:
Mahar (‫)مهر‬, shidaq atau shadaqah (‫)ص@@داق أو ص@@دقة‬, nihlah (‫)نحلة‬, ajrun (‫)أجر‬,
faridhah (‫)فريضة‬, hiba’ (‫)حباء‬, ‘uqrun (‫)عقر‬, Thaulun (‫)طول‬, nikah (‫)نكاح‬.3

Sedangkan mahar itu secara istilah adalah sebuah harta yang berhak istri
memilikinya atas sang suaminya dengan melalui akad atau dengan caradukhul
dengannya secara hakikat.4 Kemudian Shahib Al-‘Inayah ‘ala Hamisy Al-Fath
memberikan pengertian tentang mahar, yaitu :“mahar adalah harta yang wajib
dalam akad nikah atas suami dalam penerimaan persetubuhan adapun dengan
penamaan atau dengan akad.”5 Selanjutnya sebahagian dari ulama golongan

1
‘Abdurrahman Al-Jaziry,Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah), hal
89
2
Ibid, hal 49
3
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamiy wa adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr), hal 2758
4
ibid, hal 2758
5
‘inayah bi Hamisy fathu Al-qadir dalam Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamiy wa adillatuhu, (Damaskus:
Dar al-Fikr), hal 2758

5
Hanafiyah juga memberikan pengertian mahar, yaitu: “apa-apa yang wanita berhak
dengan akad nikah atau wath’u (bersetubuh)”6. Kemudian ulama dari kalangan
Malikiyah juga memberikan pengertian mahar, yaitu: “hal-hal yang suami
menjadikannya untuk isteri dalam hal unutk bersetubuh dengannya”. 7 Ulama dari
kalangan Syafi’iyah juga memberikan pengertian mahar, yaitu: “hal-hal yang wajib
dengan nikah atau bersetubuh atau menerima untuk bersetubuh dengan cara
paksaan.”8 Ulama dari kalangan Hanabilah juga memberikan pengertian tentang
mahar, yaitu: “ganti dalam menikah, sama dan dinamakan dalam akad setelahnya
dengan reda antara dua belah pihak atau hakim, ganti disini dalam hal nikah seprti
wath’u”.9

Maka dari pembahasan itu dapat diketahui bahwa mahar itu diwajibkan atas
laki-laki kepada wanita yang akan dinikahinya. Adapun mahar itu merupakan bentuk
penerimaan untuk dukhul melalui akad nikah. Mahar merupakan suatu bentuk
pemebrian dari suami untuk isterinya baik itu dalam bentuk benda taupun dalam
bentuk lainnya.

Adapun jenis benda-benda yang dapat dijadikan untuk mahar adalah dapat
diketahuai dari bebrapa hadits nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam berikut
ini:

Dari Jabir bahwa Rasulullah bersabda:

‫صداقا@ ملء يديه طعاما كانت له حالال‬


َ ‫لو ان رجال أعطى ِأمرأة‬
Jikalau bahwa seorang laki-laki memberi mahar kepada seorang wanita
berbentuk makanan sepenuh dua tangannya, maka halal baginya. (HR.
Ahmad)

6
Wahbah Zuhaili,op-cit, hal 2758
7
Ibid, hal 2758
8
Ibid, hal 2758
9
Ibid, hal 2758

6
Hadits diatas menunjukkan bahwa apa saja yang bernilai material walaupun
sedikit, sah menjadi mahar. Seperti hadits yang diriwayatkan bahwa Nabi bersabda
kepada seseorang yang ingin menikah:

‫أنظر ولو خاتما من حديد‬

“Lihatlah walaupun sebuah cincin dari besi” (Bukhariy dan Muslim)

Teks-teks hadits diatas menunjukkan secara tegas bahwa tidak ada batas
minimal dalam mahar, tetapi segala sesuatu yang dinilai material patut menjadi
mahar.

Fuqaha sepakat bahwa harta yang berharga dan maklum patut dijadikan
mahar. Oleh karena itu emas, perak, uang, takaran, timbangan, uang kertas, dan lain-
lain sah dijadikan mahar karena ia bernilai material dalam pandangan syara’. Mereka
juga sepakat bahwa sesuatu yang tidak ada nilai material dalam pandangan syara’
tidak sah untuk dijadikan mahar, seperti babi, bangkai, dan khamr.

Para fuqaha berbeda pendapat tentang jasa atau manfaat, apakah sah jika
dijadikan mahar, seperti seseorang menikahi seorang perempuan dengan mahar talak
istrinya atau diajarkan Al-Quran. Dalam contoh pertama, ulama Syafiiyah dan
Hanabilah berpendapat bahwa sah dengan mahar tersebut karena bolehnya
mengambil pengganti. Sedangkan dalam contoh kedua, ulama Syafi’iyah dan Ibnu
Hazm memperbolehkannya.

Dalam hal ini Asy-Syairazi berpendapat, diperbolehkan mahar dengan sesuatu


yang bermanfaat seperti pengabdian, pengajaran Al-Quran, dan lain-lain dari hal yang
bermanfaat dan diperbolehkan berdasarkan firman Allah:

“Berkatalah ia (syu’aib): “sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu


dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja
denganku delapan tahun.” (QS. Al-Qhashash:27)

7
‫ْأ‬ َ ‫ال ِإنِّ ٓى ُأ ِري ُد َأ ْن ُأن ِك َح‬
‫ج ۖ فَِإ ْن‬ ٍ ‫ى ٰهَتَي ِْن َعلَ ٰ ٓى َأن تَ ُج َرنِى ثَ ٰ َمنِ َى ِح َج‬ َّ َ‫ك ِإحْ َدى ٱ ْبنَت‬ َ َ‫ق‬
‫ْك ۚ َستَ ِج ُدنِ ٓى ِإن َشٓا َء ٱهَّلل ُ ِم َن‬
َ ‫ق َعلَي‬ َّ ‫ك ۖ َو َمٓا ُأ ِري ُد َأ ْن َأ ُش‬
َ ‫ت َع ْشرًا فَ ِم ْن ِعن ِد‬ َ ‫َأ ْت َم ْم‬
‫ين‬
َ ‫صلِ ِح‬ َّ ٰ ‫ٱل‬

Dalam ayat diatas pengembalaan dijadikan mahar. Nabi juga pernah


menikahkan seorang wanita yang menghibahkan dirinya kepada peminangnya dengan
ayat-ayat Al-Quran yang dihafal.10

B. Hukum Shidaq dan Dasar Hukumnya

Diantara pemeliharaan Islam terhadap wanita dan memuliakannya adalah


dengan pemberian mahar dalam menikah, bahwa sang suami meberikan haknya untuk
memilikinya.11Hukum mahar adalah atas suami, bukan wajib terhadap si isteri. Wajib
seperti yang ditunjukkan dalam ta’rif-ta’rif dengansalah satu dari dua urusan, apabila
wath’u dalam lingkungan islam tidak sunyi dari ( ‫)عَقر‬12 atau (‫)عُقر‬, untuk
memuliakan aspek-aspek kemanusiaan bagi wanita.13

Adapun dasar wajibnya hukum mahar tersebut adalah berdasarkan firman


Allah Subhaanahu wa ta’ala dalam surah An-Nisa’ ayat 4 yang berbunyi:

َ ‫َو ٰاتُوا النِّ َس ۤا َء‬


ُ‫ص ُد ٰقتِ ِه َّن نِحْ لَةً ۗ فَاِ ْن ِطب َْن لَ ُك ْم َع ْن َش ْي ٍء ِّم ْنهُ نَ ْفسًا فَ ُكلُ ْوه‬
‫هَنِ ۤ ْيـًٔا َّم ِر ۤ ْيـًٔا‬
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan.kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu

10
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul WahhabSayyed, FiqhMunakahat, Jakarta, BumiAksara, 2011,
hlm 183
11
Sayid sabiq, Fiqh As-Sunnah,(Lebanon: Al-Maktabah Al-‘Ashriyyah), hal 106
12
‫ عَقر‬dalam konteks ini adalah had, sedangkan ‫ عُقر‬di dalam konteks ini diartikan sebagai mahar
13
Wahbah Zuhaili,op-cit, hal 6759

8
sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

Dan juga dalam ayat lain juga menerangkan tentang wajibnya mahar adalah salam
surah An-Nisa’ ayat 24 yang berbunyi:

‫ب هّٰللا ِ َعلَ ْي ُك ْم ۚ َواُ ِح َّل لَ ُك ْم َّما‬ ْ ‫ت ِم َن النِّ َس ۤا ِء اِاَّل َما َملَ َك‬
َ ‫ت اَ ْي َمانُ ُك ْم ۚ ِك ٰت‬ ُ ‫ص ٰن‬َ ْ‫َو ْال ُمح‬
‫صنِي َْن َغي َْر ُم ٰسفِ ِحي َْن ۗ فَ َما ا ْستَ ْمتَ ْعتُ ْم بِ ٖه ِم ْنه َُّن‬ ِ ْ‫َو َر ۤا َء ٰذلِ ُك ْم اَ ْن تَ ْبتَ ُغ ْوا بِا َ ْم َوالِ ُك ْم ُّمح‬
َ ‫اض ْيتُ ْم بِ ٖه ِم ۢ ْن بَ ْع ِد ْالفَ ِر ْي‬
‫ض ۗ ِة‬ َ ‫اح َعلَ ْي ُك ْم فِ ْي َما تَ َر‬َ َ‫ضةً َۗواَل ُجن‬ َ ‫فَ ٰاتُ ْوهُ َّن اُج ُْو َرهُ َّن فَ ِر ْي‬
‫ان َعلِ ْي ًما َح ِك ْي ًما‬ َ ‫اِ َّن هّٰللا َ َك‬
“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-
budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya
atas kamu.dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-
isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang
telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka
maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa
bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah
menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana.”

Selanjutnya dditeruskan pada ayat berikutnya yang juga mempertegas ayat


sebelumnya, ayat itu berbunyi:

‫ت‬ ِ ‫ت ْال ُمْؤ ِم ٰن‬


ْ ‫ت فَ ِم ْن َّما َملَ َك‬ ِ ‫ص ٰن‬َ ْ‫َو َم ْن لَّ ْم يَ ْستَ ِط ْع ِم ْن ُك ْم طَ ْواًل اَ ْن يَّ ْن ِك َح ْال ُمح‬
‫ْض فَا ْن ِكح ُْوهُ َّن‬ ۢ
ٍ ۚ ‫ض ُك ْم ِّم ْن بَع‬ ُ ‫ت َوهّٰللا ُ اَ ْعلَ ُم ِباِ ْي َمانِ ُك ْم ۗ بَ ْع‬
ِ ۗ ‫اَ ْي َمانُ ُك ْم ِّم ْن فَتَ ٰيتِ ُك ُم ْال ُمْؤ ِم ٰن‬
ِ ‫ت َّواَل ُمتَّ ِخ ٰذ‬
‫ت‬ ٍ ‫ت َغي َْر ُم ٰسفِ ٰح‬ ٍ ‫ص ٰن‬َ ْ‫ف ُمح‬ ِ ‫بِاِ ْذ ِن اَ ْهلِ ِه َّن َو ٰاتُ ْوهُ َّن اُج ُْو َرهُ َّن بِ ْال َم ْعر ُْو‬
‫ت ِم َن‬ َ ْ‫ف َما َعلَى ْال ُمح‬
ِ ‫ص ٰن‬ ُ ْ‫اح َش ٍة فَ َعلَ ْي ِه َّن نِص‬ ِ َ‫ص َّن فَاِ ْن اَتَي َْن بِف‬ ِ ْ‫اَ ْخ َدا ٍن ۚ فَاِ َذآ اُح‬
‫ت ِم ْن ُك ْم ۗ َواَ ْن تَصْ بِر ُْوا َخ ْي ٌر لَّ ُك ْم ۗ َوهّٰللا ُ َغفُ ْو ٌر َّر ِح ْي ٌم‬ َ َ‫ك لِ َم ْن َخ ِش َي ْال َعن‬ َ ِ‫ب ٰذل‬ِ ۗ ‫ْال َع َذا‬

“Dan Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup
perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh
mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah
mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain,
karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin
mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara

9
diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai
piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian
mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman
dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini
budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri
(dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu.dan
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. An-Nisa’ 25)

Dan juga dalam hadist Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yang menerangkan
tentang pentingnya mahar dalam pernikahan, sebagaimana hadits tersebut berbunyi:

:‫ م‬. ‫ فق@@ال رس@@ول@ هّللا ص‬,‫أن ام@@رأة من ب@@ني ف@@زارة ت@@زوّجت على نعلين‬
ّ ‫فعن ع@@امر بن ربيع@@ة‬
‫و‬,‫ الترمي ذي‬,‫ أبن ماج ة‬,‫ " رواه أحمد‬.‫ فأجازه‬,‫ نعم‬:‫ فقالت‬. ‫"أرضيت عن نفسك و مالك بنعلين؟‬
14
‫وص ّححه‬
“Dari ‘Amir bin rabi’ah, bahwa sesungguhnya seorang wanita dari bani Fizarah
telah menikah dengan maskawin sepasang sandal. Maka Rasulullha Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “apakah engkau redho terhadap dirimu, dan hartamu
dengan sepasang sandal?”. Maka wanita itu menjawab: “ya, maka aku
membolehkannya”.

،‫ ي ا رس ول هّللا ِأ ّني وهبت نفس ي ل ك‬: ‫ م جاءت ه ِأم رأة نفق الت‬.‫عن سهيل بن سعد أنّ النبي ص‬
‫ فق ال‬,‫ ي ا رس ول هللا زوّ جنيه ا ِأن لم يكن ل ك به ا حاج ة‬: ‫ فق ال‬،‫ فقام رج ل‬،‫فقامت قياما طويال‬
‫ فق ال‬,‫ م ا عن دي ِأالّ ِأزاري ه ذا‬:‫ فق ال‬. ‫وهل عندك من ش يء تص دقها ِأ ّي اه؟‬:‫ م‬.‫رسول هللا ص‬
:‫ م ا أج د ش يأ فق ال‬:‫ فق ال‬,‫ ف التمس ش يًأ‬,‫ أن أعطيتها ِأزارك جلس ت ال ِأزار ل ك‬:‫ م‬.‫النذبيّ ص‬
‫ هل معك من القرأن شيء؟‬: ‫ م‬.‫ فقال النبي ص‬, ‫ فلتمس فلم يجد شيأ‬.‫ِألتمس ولو خاتما من حديد‬
‫ قد زوّ جتكما بما معك من‬: ‫م‬.‫ فقال النبيّ ص‬,‫ لسورة يسمِّيها‬,‫ و سورة كذا‬,‫ سورة كذا‬,‫ نعم‬:‫فقال‬
15
.‫ روواه البخاري و مسلم‬.‫القرأن‬
“Dari Suhail bin Sa’ad, bahwa sesungguhnya Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam
didatangi oleh seorang wanita, maka wanita tersebut berkata: wahai rasulullah,
sesungguhnya aku telah menghibahkan diriku untukmu, dia berdiri dengan waktu
yang lama, maka kemudian berdiri seorang laki-laki, dia berkata: “wahai
Rasulullah kawinkanlah akau dengannya jika engkau tidak mempunyai hajat
menikah dengannya, kemudia Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallah menjawab:
apakah engkau memiliki sesuatu untuk diberikan kepadanya?. Maka ia menjawab:

14
Ahmad, Ibnu Majah, dan Tirmidzi dalam Fiqh As-Sunnah,(Lebanon: Al-Maktabah Al-‘Ashriyyah), hal
107.
15
Bukhariy dan Muslim dalam Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, hal 107. Dan juga dalam riwayat lain yang
shahih dengan menggunakan kalimat “ ‫ ”علّموها من القر أن‬dan juga dalam riwayat Abu Hurairah
memberikan batasan ayat pada saat itu dengan sejumlah 20 ayat.

10
aku tidak memilikinya kecuali sarungku ini, maka nabi berkata: jika engaku
memberikan sarung ini kepadanya maka engaku duduk dengan tanpa menggunakan
sarung, maka berikanlah sesuatu, maka dia menjawab: aku tidak mendapatkan
sesuatu tersebut. Maka Nabi berkata: “berikanlah walaupun dari cincin yang
terbuat dari besi”. Maka dia mencarinya dan tidak mendapatkannya, maka nabi
berkata kepadanya: “ apakah kamu memiliki sesuatu dari Al-Quran?”. Dia
menjawab: “ ya, surah ini dan surah itu, surah yang menyamainya, maka nabi
berkata : “sungguh aku telah menikahkan kalian berdua dengan apa-apa yang ada
dari Al-Quran”. (hadits diriwayatkan oleh Bukhariy dan Muslim)

Suami gugur dari kewajiban membayar mahar seluruhnya jika perceraian


sebelum terjadinya senggama datang dari pihak isteri, misalnya karena isteri keluar
dari islam, atau minta di fasakh karena suami miskin, cacat, atau karena isteri cacat.
Kemudian suami meminta dibatalkan, atau karena perempuan setelah dewasa
menolak untuk bersuami dengan lelaki yang dipilihkan oleh walinya sebelum
balighnya. Bagi isteri yang seperti itu hak maharnya gugur, karena ia telah menolak
sebelum suaminya menerima sesuatu daripadanya. Dengan demikian mahar sebagai
ganti rugi gugur seluruhnya. Sebagaimana halnya hukum seorang penjual yang tidak
jadi menyerahkan barangnya kepada pembelinya.

Begitu juga mahar gugur apabila perempuan belum diseggamai melepaskan


maharnya atau menghibahkan kepadanya. Dalam hal ini, gugurnya mahar
dikarenakan perempuannya sendiri yang menggugurkannya. Dan mahar sepenuhnya
ada dalam kekuasaan perempuan.16

C. Macam-macam Mahar

Mahar atau Shidaq merupakan sebuah hal yang wajib dalam


pernikahan.Mahar tersebut diberikan kepada calon isteri oleh calon suaminya. Mahar
itu sendiri dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu:

a. Mahar Musamma (‫)مهر مس ّمى‬

16
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Bandung, PT Alma’arif, 1981, hlm. 72

11
Wahbah Az-Zuhailiy memberikan penjelasan tentang pengertian dari mahar
Musamma sebagaimana yang telah dinukilkan pada karangannya, yang berbunyi:

‫ ف@رض للزوج@ة بع@ده‬,‫@ ب@أن اتف@ق علي@ه ص@راحة في العق@د‬,‫ما سمي في العق@د أو بع@ده بالتراض@ي‬
ّ ‫ (وقد فرضتم‬:‫ لعموم قوله تعالى‬,‫ أو فرضه الحاكم‬,‫بالتراضي‬
‫ فنص @ف@ م@@ا‬,‫لهن فريض@@ة‬
‫ ما يقدمه الزوج عرفا لزوجته قبل الزفاف@ أو‬: ‫ و يعد من المهر المس ّمى في العقد‬.17 )‫فرضتم‬
ّ ,‫ كثياب الزفاف أو هدية الدخول أو بعده‬,‫بعده‬
‫ألن المع@@روف@ بين الن@@اس كالمش@@روط في العق@@د‬
18
.‫ و يجب ّألحاقه بالعقد‬,‫لفظا‬
“Hal-hal yang disebutkan dalam akad atau setelahnya dengan keredhaan,
dengan sepakatnya atasnya itu secara sharih dalam akad. Wajib suami
memberikannya kepada isteri atau hakim yang mewajibkannya, karena
umumnya firman Allah (dan sungguh engkau wajib memberikan kewajiban
itu, maka itu setengah dari hartamu). Dan juga mahar musamma disebutkan
dalam akad, yaitu hal-hal yang ditawarkan seorang suami kepada istrinya
sebelum menggauli isterinya atau setelahnya, sperti pakaian-pakaian atau
hadiah yang lainnya, karena yang ma’ruf antara manusia seperti yang
disyaratkan secara lafadz, dan wajib menggabugkan antara keduanya.”

Mahar musamma adalah suatu mahar yang disepakati oleh pengantin laki-laki
dan perempuan yang disebutkan dalam redaksi akad. Para ulama` madzhab sepakat
bahwa tidak ada jumlah maksimal dalam mahar tersebut, karena sesuai dengan firman
allah yang berbunyi:

‫ج َّو ٰاتَ ْيتُ ْم اِحْ ٰدىه َُّن قِ ْنطَارًا فَاَل تَْأ ُخ ُذ ْوا‬
ٍ ۙ ‫ان َز ْو‬
َ ‫ج َّم َك‬ َ ‫َواِ ْن اَ َر ْدتُّ ُم ا ْستِ ْب َد‬
ٍ ‫ال َز ْو‬
‫ِم ْنهُ َش ْيـًٔا ۗ اَتَْأ ُخ ُذ ْونَهٗ بُ ْهتَانًا َّواِ ْث ًما ُّمبِ ْينًا‬
“Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain , sedang kamu
telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka
janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu
akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan
(menanggung) dosa yang nyata ?”19

17
Lihat Al-Quran Surah Al-Baqarah Ayat 237
18
Wahbah Az-Zuhaili, op-cit, hal 6774
19
Lihat Surah An-Nisa’ ayat 20

12
Mahar musamma sebaiknya diserahkan langsung secara tunai pada waktu
akad nikah supaya selesai pelaksanaan kewajiban. Meskipun demikian, dalam
keadaan tertentu dapat saja tidak diserahkan secara tunai, bahkan dapat membayarnya
secara cicilan.20

Bila mahar tidak dalam bentuk tunai kemudian terjadi putus perkawinan
setelah melakukan hubungan kelamin, sewaktu akad maharnya adalah dalam bentuk
musamma, maka kewajiban suami yang menceraikan adalah mahar secara penuh
sesuai dengan bentuk dan jumlah yang ditetapkan dalam akad. Demikian pula
keadaannya bila salah seorang diantara keduanya meninggal dunia; karena meninggal
dunia itu telah berkedudukan sebagai telah melakukan hubungan kelamin. Namun
bila perceraian terjadi sebelum berlangsung hubungan kelamin, sedangkan jumlah
mahar sudah ditentukan, maka kewajiban mantan suami hanyalah separuh dari jumlah
yang ditetapkan waktu akad, kecuali bila yang separuh itu telah dimaafkan oleh
mantan istri atau walinya21, hal ini dijelaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 237, yang
berbunyi:

َ ‫َواِ ْن طَلَّ ْقتُ ُم ْوهُ َّن ِم ْن قَب ِْل اَ ْن تَ َمس ُّْوهُ َّن َوقَ ْد فَ َرضْ تُ ْم لَه َُّن فَ ِر ْي‬
ُ ْ‫ضةً فَنِص‬
‫ف‬

ِ ‫َما فَ َرضْ تُ ْم آِاَّل اَ ْن يَّ ْعفُ ْو َن اَ ْو يَ ْعفُ َوا الَّ ِذيْ بِيَ ِد ٖه ُع ْق َدةُ النِّ َك‬
ُ‫اح ۗ َواَ ْن تَ ْعفُ ْٓوا اَ ْق َرب‬
‫هّٰللا‬
ِ َ‫لِلتَّ ْق ٰو ۗى َواَل تَ ْن َس ُوا ْالفَضْ َل بَ ْينَ ُك ْم ۗ اِ َّن َ بِ َما تَ ْع َملُ ْو َن ب‬
‫ص ْي ٌر‬
“Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka,
Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah
seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu
mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan
pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan
keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang
kamu kerjakan.”

Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang batas minimalnya.Imam


Syafi`I dan Imam Hambali berpendapat bahwa tidak ada batas minimal dalam
20
Amir syarifuddin,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana), hlm. 89
21
Ibid, 90

13
mahar.Segala sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli boleh dijadikan
mahar sekalipun hanya satu qirsy.Sementara Imam Hanafi mengatakan bahwa
jumlah minimal mahar adalah sepuluh dirham.Jika suatu akad dilakukan dengan
mahar kurang dari itu maka akad tetap sah, dan wajib membayar mahar sepuluh
dirham.Imam Maliki berpendapat, jumlah minimal mahar adalah tiga dirham.Jika
akad dilakukan dengan mahar kurang dari jumlah tersebut, kemudian terjadi
percampuran, maka suami harus membayar tiga dirham.Apabila belum mencampuri,
dia boleh memilih antara membayar tiga dirham (dengan melanjutkan perkawinan)
atau mem-faskh akad, lalu membayar setengah mahar musamma.22

b. Mahar Mitsil (‫)مهر المثل‬

Ulama dari kalangan Hanafiyah memberikan pengertian tentang mahar ini,


yaitu:

‫ في بلدها و‬,‫ كأختها و ع ّمتها و بنت ع ّمها‬,‫أنّه مهر ِأمرأة تماثل الزوجة وقت العقد من جهة أبيها‬
23
.‫عصرها‬
“Yaitu mahar wanita yang menyerupai istri lain di waktu akad lain dari segi
bapaknya, seperti saudarinya, bibinya, dan anak perempuan dari pamannya,
di negrinya dan zamannya.”

Para ulama tersebut juga menjelaskan persamaan dalam sifat yang disukai tersebut
adalah:

1. Harta (‫)المال‬
2. Kecantikan (‫)الجمال‬
ّ
3. Usia (‫)السن‬
4. Akal atau kepandaian (‫)العقل‬
5. Agama (‫)الدين‬

Maka dari itu mahar dapat berbeda-beda disebabkan berbedanya wilayah dan daerah,
dengan berbedanya tingkat harta, kecantikan, usia, akal, dan agama. Maka mahar
22
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, (Jakarta: Lentera basritama), halaman 364.
23
Hanafiyah dalam Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamiy wa adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr),hal
6775.

14
wanita tersebut bertambah karena bertambahnya harta, kecantikan, kepandaian,
agama, dan usianya.Oleh karena itu mestilah menyamai mahar antara dua wanita
dalam persoalan sifat-sifat ini, agar supaya wajib baginya mahar mitsil untuk
perempuannya.Jika tidak didapati persamaan dari sisi bapaknya, maka mahar mitsil
dipandang dari sisi wanita yang menyerupai keluarga ayahnya dalam kedudukan
masyarakat.Namun apabila tidak didapatkan, maka perkataan dari pihak suami yang
dipegang.24

Mahar mitsil memiliki arti atau makna tergantung pada situasi yang telah
diberlakukan padanya.

Imam Hanafi dan Imam Hambali berpendapat bahwa manakala salah satu
diantara mereka meninggal dunia sebelum terjadi percampuran, maka ditetapkan
bahwa istri berhak atas mahar mitsil secara penuh sebagaimana ketentuan yang
berlaku bila suami telah mencampuri istrinya.

Kemudian Imam Maliki mengatakan bahwa tidak ada keharusan untuk


membayar mahar manakala salah seorang diantara kedua pasangan itu meninggal
dunia sebelum terjadi percampuran.25

Apabila akad dilaksanakan dengan mahar yang tidak sah dimiliki, semisal
khamr dan babi, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.Percampuran syubhat
(wath`I syubhat), secara sepakat mengharuskan dibayarkannya mahar mitsil. Yang
dimaksud dengan mencampuri karena syubhat (wath`I syubhat) adalah mencampuri
seorang wanita yang sebenarnya tidak berhak dicampuri karena ketidak tahuan
pelakunya bahwa pasangannya itu tidak berhak untuk dicampuri, misalnya ada
seorang laki-laki yang mengawini seorang wanita yang tidak ia ketahui bahwa wanita
tersebut adalah saudara perempuan sesusuannya, dan baru diketahui dikemudian.
Atau mencampurinya hanya karena wanita tersebut mewakilkan perkawinannya
kepada orang lain dan si laki-laki pun melakukan hal yang sama, karena menganggap

24
Wahbah Zuhaili,op-cit, hal 6775.
25
Muhammad Jawad Mughniyah, 0p-cit, hal 367.

15
bahwa perwakilan semata dapat menghalalkan percampuran. Dengan kata lain, yang
disebut syubhat itu adalah terjadinya percampuran diluar pernikahan yang sah,
disebabkan loleh sesuatu hal yang dimaafkan oleh syar`I, yang melepaskannya dari
hukuman had.26

Imam Syafi`I dan Imam Hambali berpendapat bahwa barang siapa yang
memperkosa seorang wanita, maka ia harus membayar mahar mitsil, tetapi bila
wanita tersebut bersedia melakukannya (dengan rela), maka laki-laki tersebut tidak
harus membayar mahar apapun.

Apabila seorang laki-laki mengawini seorang wanita dengan syarat tanpa


mahar, maka menurut kesepakatan seluruh madzhabkecuali Imam Maliki
berpendapat bahwa akad tersebut hukumnya sah. Sementara pendapat Imam Maliki,
akad tersebut harus dibatalkan sebelum terjadi percampuran.Tetapi bila telah terjadi
percampuran, akad tersebut dinyatakan sah dengan mahar mitsil.

Imam Hanafi berpendapat bahwa, apabila terjadi suatu akad yang fasid, dan
disebutkan bersamanya mahar musamma lalu terjadi percampuran, maka jika mahar
yang disebut kurang dari mahar mitsil, maka hak si wanita adalah mahar
musamma.Karena wanita tersebut telah rela dengan itu.Tetapi kalau mahar yang
disebutkan tersebut lebih besar nilainya dibanding mahar mitsil, maka haknya adalah
mahar mitsil.Karena, dia tidak berhak lebih dari itu.27

Menurut Imam Hanafi, mahar mitsil dtetapkan berdasarkan keadaan wanita


yang serupa dari pihak suku ayah, bukan suku ibunya. Tetapi menurut Imam Maliki,
mahar tersebut ditetapkan berdasarkan keadaan wanita tersebut baik fisik maupun
moralnya.Sedangkan Imam Syafi`I, menganalogikannya dengan istri dari anggota
keluarga, yaitu istri saudara dan paman, kemudian dengan saudara perempuan, dan
seterusnya. Kemudian bagi Imam Hambali, hakim harus menentukan mahar mitsil

26
Ibid, halaman 367
27
Ibid, halaman 367

16
dengan menganalogikannya pada wanita-wanita yang menjadi kerabat wanita
tersebut, misalnya ibu dan bibi.28

c. Mahar tunai atau kredit (‫)المأجّل و المعجّل‬

Dalam fiqih mahar dipandang sebagai hak yang wajib diberikan kepada istri,
hanya suami tidak harus segera menyerahkan mahar istrinyapada saat suksesnya akad
pernikahan. Akan tetapi boleh menurut kesepakatan apakah itu tunai atau tidak. Baik
penangguhan itu dalam waktu yang lama, baik penangguhan itu dalam waktu tertentu
atau waktu terdekat dari dua masa. Semuanya tergantung kepada kesepakatan dari
dua belah pihak. Jika mahar yang disebutkan secara mutlak dan keduanya tidak ada
kesepakatan apakah tunai atau tidak maka dikembalikan kepada ‘urf pada suatu
wilayah dimana ditempati.29

Mengetahui pembayaran mahar itu tunai mempunyai dampak bahwa isteri


mempunyai hak mencegah penyerahan dirinya kepada suami sehingga mahar segera
dibayar seluruhnya. Jika mahar diutangkan, suami tidak ada hak mencegah karena
kehalalan tempo sebelum penyerahan dirinya, isteri tidak memiliki hak mencegah.30

Para ulama fiqih membolehkan melunasi mahar secara langsung dan boleh
juga menangguhkan mahar. Para ulama dari kalangan Hanafiyah mengungkapkan
bahwa sah mahar itu walaupun dalam keadaan lunas ataupun ditangguhkan semuanya
atau sebahagiannya hingga waktu yang dekat atau jauh atau pada dua waktu yang
paling dekat (wafat dan cerai) diamalkan dengan ‘urf suatu negri dan kebiasaannya
pada setiap negri islam. Dan akan tetapi dengan syarta tidak mengandung
penangguhan kekejian.31

Apabila tidak ada disana itu pengetahuan untuk pelunasan dan penangguhan,
mahar itu sendiri seharusnya segera pada saat akad, karena hukum yang diam itu

28
Ibid, halaman 368
29
Abdul Aziz Muhammad Azzam, dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. Fikih Munakahat. (Jakarta:
Amzah, 2011) halaman 190.
30
Ibid, halaman 191
31
Wahbah Zuhaili, op-cit, halaman 6787

17
adalah hukum untuk langsung melunasi. Karena asal pada mahar itu adalah wajib
pada sempurnanya akad.32 Imam Hasan, Hamad bin Abi Sulaiman, Sufyan Atsauri,
dan Abu ‘Ubaidah berpendapat, bahwa penangguhan mahar karena tidak
diketahuinya batasan dalam penangguhan, karena mahar itu harus ada pada waktu
akad.33

Para ulama dari kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah, penangguhan mahar


seluruhnya atau sebahagiannya karena keadaan yang dimaklumi itu boleh. Ulama
Malikiyah juga berpendapat bahwa jika mahar itu ada dan jelas pada suati negri,
seperti rumah, pakaian, dan hewan, wajib bagi wanita yang akan dinikahi itu
menerima mahar itu pada hari akad dilaksanakan. Dan tidak bleh mengakhirkannya di
waktu akad. Walaupun si wanita rela dengan penangguhan mahar itu. Fasad akad
kecuali apabila penangguhan itu dalam waktu yang dekat, seperti dakam waktu dua
hari atau lebih. Dan boleh bagi wanita itu mengakhirkan mahar tanpa bersyarat, dan
bahwa dalah lunasnya mahar itu haknya.34

Adapun syarat diperbolehkannya penangguhan mahar itu adalah:

1. Bahwa dalah penangguhan itu diketahui, maka jika mahar itu tidak
diketahui waktunya, sepertu wafat atau cerai, maka rusaklah akad. Wajib
berpisah, kecuali si laki-laki telah menggauli istrinya, maka wajib pada
saat itu memberikan mahar mitsil
2. Bahwa penangguhan itu tidak emncakup waktu yang sangat lama, seperti
50 tahun atau lebih, karena itu adalah batasan dalam gugurnya mahar, dan
dukhul atas gugurnya mahar adalah fasad bagi suami.35

Sebagai bentuk penghormatan kepada Ummu Salamah RadhiyallahuAnha,


Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Salam menyamakan maharnya dengan istri-istri
32
Ibid, halaman 6787
33
Ibnu Qyyim Al-Jauziyyah, Jami’ Al-Fiqh. (kairo : Dar Al-Wafa’) halaman 187
34
Wahbah Zuhaili, op-cit, hal 6788
35
Ibid, halaman 6789

18
beliau sebelumnya tanpa mengurangi sedikitpun. Beliau bersabda, “ketahuilah, aku
tidak akan memberikan maharmu kurang sedikit pun dari mahar yang aku berikan
kepada saudaramu fulanah, dua alat penggiling, dua bejana besar, dan bantal kulit
yang isinya serabut.”(HR. Ahmad dan Abu Ya’la)

Ibnu Hisyam menyebutkan, “ketika menikah dengan Ummu Salamah


RadhiyallahuAnha, beliau memberikan maharnya berupa kasur dari serabut, panci,
piring dan alat penggiling. As-Suyuthi menambahkan “mangkok besar”.36

Dalam kitab Zaadul Ma’ad, Ibnu Qayyim menyebutkan, telah ditegaskan


dalam kitab Shahih Muslim, dari Aisyah Radhiyallahu Anha, Abu Salamah
menceritakan:

“Aku pernah bertanya kepada Aisyah, ‘Berapakah mahar Nabi Shallallahu Alaihi
wa Sallam?’ Aisyah menjawab, ‘Mahar beliau untuk para isterinya adalah sebanyak
12 uqiyah dan satu nasy,’ lalu Aiysah bertanya, ‘Tahukah engkau berapa satu nasy
itu?’ Aku menjawab, ‘Tidak’ Aisyah menjawab, ‘Dua puluh dirham.’”

Satu uqiyah sama dengan 40 dirham dan satu nasy sama dengan 20 dirham.
Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu berkata, “Aku tidak pernah mengetahui
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menikahi seorangpun dari istrinya, juga
tidak pula menikahkan seorangpun putrinya dengan mahar yang kurang dari 12
uqiyah.” Tirmidzi mengemukakan, “Hadits ini hasan shahih.”37

D. Syarat-syarat Mahar

Adapun syarat-syarat mahar itu menurut ulama fiqih adalah:

a. Bahwa ada mahar yang diberikan itu memiliki nilai, maka tidak boleh dengan
harta yang tidak memiliki nilai, seperti sebuah biji gandum, dan tidak ada
batasan untuk batas maksimalnya.38

36
Hishah Abdul Karim, UmmuSalamah, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2010, hlm. 97
37
SyaikhHasanAyyub, FikihKeluarga, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2001, hlm. 67
38
Abdurrahman Al-Jaziriy, op-cit, hal 90.

19
Para ulama Hanafiyah mereka berpendapat, bahwa batas minimal mahar itu
adalah 10 dirham, sama dengan 40 qirsy. seperti nisabnya pencurian untuk dipotong
tangannya karena untuk kehati-hatian dalam denda. Dan sah juga mahar itu dari hasil
penjualan. Atau hasil perdagangan yang sama nilainya dengan 10 dirham.39

Kemudian ulama dari kalangan Malikiyah berpendapat bahwa batas minimum


mahar adalah 3 dirham dari perak yang murni. Atau hasil dagangan yang senilai
dengan 3 dirham.40

b. Bahwa ada benda yang dijadikan mahar itu suci dan memberikan manfaat,
maka tidak sah mahar itu dengan khamar, babi, darah, dan bangkai. Karena
benda-benda ini tidak memiliki nilai dalam pandangan syari’at.41

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa apabila menikahi seorang wanita


dengan mahar babi, khamar, dan sebagainya dari hal hal-hal yang tidak dapat
diperjual belikan maka akadnya rusak. Dan fasakh sebelum dukhul . namun apabila
telah dukhul , maka wajib mahar mitsil. Benda-benda yang tidak dapat diperjual
belikan itu maksudnya adalah kulit hewan qurban dan kulit bangkai yang telah
disamak.42

c. Bahwa benda yang dijadikan mahar itu bukan dari hasil pencurian. Apabila
barang tersebut digunakan untuk mahar, maka tidak sah mahar, dan akad tetap
sah, akan tetapi itu menjadi mahar mitsil.

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa mahar yang diperoleh dari hasil curian
dan kedua belah pihak sudah mengetahui, dan mereka memiliki kemampuan akal
yang baik, maka gugurlah akad, dan berpisah sebelum dukhul, maka pada saai tu
ditetapkan sebagai mahar mitsil. Namun apabila keduanya tidak memilkiki
kemampuan akal yang baik, maka mahar itu dipandang dari walinya. 43

39
Ibid, hal 90
40
Ibid, hal 91.
41
Ibid,hal 91
42
Ibid, hal 91
43
Ibid, hal 96

20
Kemudian ulama Hanafiyah berpendapat bahwa apabila menggunakan harta
yang berasal dari gashab, seperti dia menikahinya atas kecantikan, atau atas kebun
ini, atau atas hamba ini, akan tetapi itu semua bukan kepemilikan sendiri. Mak
sesungguhnya akad tetap sah. Dan peneybutannya dalam akad, sah. Sama dengan
apabila barng itu diketahui kedudukannya atau tidak. Kemudian apabila si pemilik
harta itu membolehkan itu, maka baginya itu mahar yang Musamma, apabila si
pemilik tidak membolehkan, maka baginya niali yang musamma, maka tidaklah
mahar mitsil. Maka dari itu Syafi’iyah dan Hanabilah sepakat akan permasalahan
ini.44

d. Bahwa mahar itu tidak boleh yang tidak diketahui wujudnya.

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa, apabila ia menikahinya dengan mahar


yang tidak diketahui wujudnya, tidak sunyi dengan penyebutan jenis dari barang
tanpa kaitan jenis. Dan menyebutkannya jenis berkaitan dengan macamnya. Akan
tetapi tidak mensifati dengan sifta yeng membedakannya dengan yang lain.45

Kemudian ulama Malikiyah berpendapat apabila menggunakan benda yang


tidak jelas, seperti menikahi seorang wanita dengan sebuah buah yang belum tumbuh
untuk memanennya hingga ditebang, maka itu tidak sah. Maka itu jatuh kepada akad
yang fasid, memfasakh sebelum dukhul dan ditetapkan apabila ia sudah melakukan
dukhul dengan mahar mitsil.46

Ulama Hanabilah juga berpendapat tentang kasus ini, mereka berpendapat


apabila ia menggunakan mahar yang tidak jelas itu, seperti rumah yang tidak jelas
kepemilikannya, atau hewan yang dikeragui, dan juga seperti burung-burung yang
dilangit, maka mahar tidak sah. Apabila bercerai sebelum dukhul, maka maka bagi I
istri setengah dari mahar.47

44
Ibid, hal 96
45
Ibid, hal 96
46
Ibid, hal 96
47
Ibid, hal 97

21
Maka tidak disyaratkan bahwa ada mahar itu dikhususkan dalam bentuk emas
dan perak, akan tetapi juga sah mahar itu berasal dari hasil dagangan dan hal-hal yang
lain seperti hewan, tanah, rumah, dan hal-hal lain yang memiliki nilai. Seperti sah
mahar dengan benda-benda sah dengan manfaat saja, seperti manfat dari rumah,
hewan, pangajaran Al-Quran, dan lain-lainya.48

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan mengenai hal mahar yang telah dijelaskan pada


pembahasan sebelumnya, maka daat ditarik beberapa kesimpulan:

a. Mahar adalah suatu hal yang wajib diberikan kepada istri oleh suami dlam
pernikahan. Mahar juga dapat dipahami sebagai sebuah harta yang diberikan
kepada istri, atas persetujuan dalam wath’iy dengannya.
b. Hukum mahar adalah wajib, walaupun mahar itu sendiri bukan merupakan
syarat atau rukun dalam pernikahan. Wajibnya pemberian mahar ini
berdasarkan firman Allah pada surah An-Nisa’ ayat 4, yang menerangkan
disana perintah untuk memberikn mahar kepada wanita yang akan dinikahi.
c. Mahar terbagi atas 2 bentuk, yaitu: mahar musamma, dan mitsil, mahar
musamma adalah suatu mahar yang disepakati oleh pengantin laki-laki dan
perempuan yang disebutkan dalam redaksi akad, sedangakn mahar mitsil
adalah mahar yang disamakan nilainya dengan mahar wanita lain yang
sederajat atau setingkat dengan wanita yang akan dinikahi. Dan juga ada pula
mahar yang dilunasi seketika akad dan ada pula mahar yang ditangguhkan
pembayarannya, itu diperbolehkan dalam agama

48
Ibid, hal 98.

22
DAFTAR PUSTAKA

Sabiq, Sayyid, Fiqhu As-Sunnah, jilid ke 2, Beirut: Al-Maktabah


Al-‘Ashriyyah, 2011.

23
Al-jaziry, ‘Abdurrahman, Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, jilid ke 4,
Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 2011.

Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqhu Al-Islamiy wa Adillatuhu, jilid ke 9,


Damaskus: Dar Al-Fikri, 2006.

Al-Jawziyyah, Ibnu Qayyim, Jami’ Al-Fiqh, jilid ke 5,Kairo: Dar Al-Wafa’,


2005.

Muhammad Azzam, Abdul Aziz dan Sayeed Hawwas, Fiqh Munakahat, ed.
Abdul Majid Khon, Al-Usratu wa Ahkamuha fi At-Tasyri’ Al-Islamiy, Jakarta:
Amzah, 2011. Cetakan ke dua.

Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih


Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2007, cetakan ke 2.

Jawad Mughniyah, Muhammad, Fiqih Lima Madzhab, Jakarta: Lentera


Basritama, 1996, Cetakan ke-Dua.

Hasil observasi mahar masyarakat Kepanjen, yang dilakukan pada tanggal 21


Maret 2014 yang turut terlampir.

Data kuisioner yang dilaksanakan pada tanggal 22 Maret 2014.

24

Anda mungkin juga menyukai