PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pernikah yang telah di atur sedemikian rupa dalam agama dan Undang-undang ii
memiliki tujuan dan hikmah yang sangat besar bagi manusia sendiri. Tak lepas dari aturan
yang diturunkan oleh Allah, pernikahan memiliki berbagai macam hukum dilihat dari
kondisi individu yang akan melaksanakannya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa hukum memberikan mas kawin, berapa jumlah dan dalam bentuk apa?
2. Bagaimana hukumnya memberikan mas kawin dalam bentuk kitab suci Al-Qur’an?
3. Apa hukum perayaan pernikahan?
4. Hukum mengundang nyanyian dan musik?
5. Hukum menghadiri walimah?
6. Hukum menikah dengan wanita yang telah ditinggalkan suaminya 3 tahun?
C. TUJUAN MASALAH
1. Untuk mengetahui apa hukum memberikan mas kawin, berapa jumlah dan dalam
bentuk apa
2. Untuk mengetahui bagaimana hukumnya memberikan mas kawin dalam betuk
kitab suci Al-Qur’an
3. Untuk mengetahui apa hukum perayaan pernikahan
4. Untuk mengetahui hukum mengundang nyanyian dan musik
5. Untuk mengetahui hukum mengahadiri walimah
6. Untuk mengetahui hukum menikah dengan wanita yang telah ditinggalkan
suaminya selama 3 tahun
1
BAB II
PEMBAHASAN
Ditinjau dari segi etimologi kata As-shadaq yang memiliki arti mahar/maskawin
bagi istri.1Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Shadaqadalah pemberian khusus
laki-laki kepada seorang wanita (calon isteri) pada waktu akad nikah.Secara umum,
kata lain yang biasa digunakan untuk mahar dalam Al-Quran adalahkata ajryang berarti
penghargaan atau hadiah yang di berikan kepada pengantin wanita.2Sesungguhnya kata
ajritu merupakan sesuatu yang tidak dapat hilang.
Dalam tradisi Arab sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih, mahar
itu meskipun wajib, namun tidak mesti diserahkan waktu berlangsungnya akad nikah
dalam arti boleh diberikan waktu akad nikah dan boleh pula sesudah berlangsungnya
akad nikah itu.Bila pemberian itu dilakukan secara sukarela diluar akad nikah tidak
disebut mahar atau dengan arti pemberian biasa, baik sebelum akad nikah atau
setelahselesainya pelaksanaan akad nikah. Demikian pula pemberian yang diberikan
mempelai laki-laki dalam waktu akad nikah namun tidak kepada mempelai perempuan,
tidak disebut mahar.
Ketika al-Qur’an datang pranata mahar tetap dilanjutkan, hanya saja konsepnya
mengalami perubahan. Sebelum Islam mahar dibayarkan kepada orang tua calon istri,
maka sekarang mahar tersebut diperuntukkan bagi calon istri. Dengan demikian
2
menurut Nasaruddin Umar, al-Qur’an mengubah status perempuan dari sebuah
“komoditi” barang dagangan menjadi subyek yang ikut terlibat dalam suatu kontrak3,
bahkan menunjukkan Syariat Islam mempunyai sistem mahar tersendiri berdasarkan
prinsip keadilan dan maslahah.4 Murtadha Muthahhari (1919-1979) berpendapat
bahwa mahar adalah milik perempuan an sich, bukan milik ayah atau saudara laki-
lakinya, karena mahar disebut sebagai sa}duqat yang merupakan pemberian penuh
kerelaan kepada perempuan5, disebutkan dalam QS. An-Nisa ayat 4:
Perintah untuk memberikan mahar kepada istri adalah hak istimewa yang
diberikan Tuhan kepada perempuan. Dengan diberikannya hak mahar sebagai hak
eksklusif perempuan di mana pihak lain tidak turut campur, mengisyaratkan prinsip
bahwa perempuan mampu bertanggung jawab atas apa yang menjadi haknya. Namun
sangat disayangkan, masih ada kecenderungan dari masyarakat zaman sekarang pihak
keluarga mempelai perempuan membelanjakan mahar untuk membeli barang dan alat
rumah tangga. Hal tersebut boleh saja asalkan atas persetujuan dari mempelai
perempuan.
3
Ayat ini berpesan kepada semua orang , khususnya para suami dan wali yang
sering mahar yang dalam perwaliannya, untuk tidak mengambil hak dari calon istri
tersebut kecuali ada ijin dari calon istri untuk menggunakannya atau calon istri tersebut
menyerahkan mahar itu dengan sukarela.
Landasan hukum juga terdapat dalam hadits Nabi SAW, yang memperkuat
statmen tentang kewajiban memberikan mahar kepada calon istri yaitu:
Firman Allah Swt dan hadits Nabi SAW di atas menunjukkan bahwa mahar
sangat penting meskipun bukan sebagai rukun nikah, namunsetiap suami wajib
memberi mahar sebatas kemampuannya. Ayat tersebut juga menjadi indikasi bahwa
agama Islam sangat memberi kemudahan dan tidak bersifat memberatkan.
Syariat Islam tidak memberikan batas minimal ataupun maksimal ukuran mahar
karena ada perbedaan manusia antara kaya dan miskin, lapang dan sempit. Setiap
tempat memiliki kebiasaan dan tradisi yang berbeda pula sehingga tidak ada batasan
tertentu agar setiap orang dapat menunaikannya sesuai kemampuan, kondisi ekonomi
dan adat keluarganya. Maka dibiarkanlah setiap calon suami menentukan jumlah mahar
yang dianggap wajar, berdasarkan kesepakatan antara kedua keluarga dan sesuai
dengan kemampuan dan keadaan keuangan dan kebiasaan di masing-masing tempat.
Yang penting dalam hal ini adalah bahwa mahar tersebut haruslah sesuatu yang dapat
diambil manfaatnya, baik berupa uang, atau sebentuk cincin atau berupa makanan, atau
bahkan pengajaran tentang al-Qur’an dan sebagainya, sepanjang telah disepakati
bersama antara kedua pihak. Maskawin terkadang berupa cincin besi, seuntai bunga
mawar, atau kalung intan, sesuai dengan kadar kemampuan sang suami, berdasarkan
QS al-Thalaq ayat 7 : Mahar istri-istri Rasulullah saw. lima ratus dirham. Mahar juga
berupa sebentuk cincin besi, izar (sarung) atau mengajari perempuan beberapa ayat al-
Qur’an.
4
Jadi, mahar (maskawin) menurut al-Qur’an bukan sebagai harga dari seorang
perempuan. Oleh karena itu, tidak ada ukuran atau jumlah yang pasti. Ia bisa besar dan
biasa kecil. Dalam sebuah hadith justru dikatakan bahwa sebaiknya jumlah maskawin
tidak terlalu besar. Nabi saw mengatakan :
Mahar adalah sesuatu yang diberikan oleh suami kepada istrinya dengan sebab
pernikahan. Mahar itu bisa berbentuk harta benda atau jasa. Allah Azza wa Jalla berfirman,
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian
dengan penuh kerelaan.” (QS. An-Nisa: 4).
Mahar termasuk syarat sah pernikahan. Adapun dalil mahar berupa harta benda atau
jasa, disebutkan dalam hadis berikut ini:
5
Dari Sahl bin Sa’ad radhiallahu’anhu, ia mengatakan, “Seorang wanita mendatangi
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam lalu menyatakan bahwa dia menyerahkan dirinya untuk
Allah dan rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian nabi menjawab, ‘Aku
(sekarang ini) tidak membutuhkan istri.’ Maka seorang laki-laki mengatakan,
‘Nikahkanlah aku dengannya.’ Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Berikan
sebuah baju untuknya.’ Laki-Laki itu menjawab. ‘Aku tidak punya.’ Nabi melanjutkan,
‘Berikanlah sesuatu walaupun cincin dari besi.’ Laki-laki itu pun kembali menyatakan dia
tidak punya. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Apa yang engkau hapal dari
Alquran?’ Laki-laki itu menjawab, ‘Surat ini dan surat ini.’ Nabi shalallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, ‘Kami telah menikahkanmu dengan wanita itu dengan Alquran yang ada
padamu.’ (HR. Bukhari, no. 5029).
Di dalam hadis ini Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan laki-laki tersebut
memeberikan barang kepada wanita tersebut. Hal ini sebagai dasar argumentasi
dibolehkannya memberikan mahar berupa barang kepada calon mempelai. Karena laki-laki
tersebut tidak memiliki materi untuk ia berikan maka nabi memerintahkannya untuk
memeberikan mahar berupa hapalan Alquran yang bisa ia ajarkan. Intinya mahar adalah
sesuatu yang memiliki harga di masyarakat, baik berupa barang atau jasa.
Mengajarkan Alquran adalah sesuatu yang bisa mendatangkan materi. Adapun Alquran
itu sendiri, kalau seandainya bisa dijual lagi atau bisa memberikan nilai tukar dan bisa
dihargai maka Alquran bisa dijadikan mahar. Namun, apabila di suatu masyarakat Alquran
secara zatnya tidak bisa dihargai atau ditukar dengan materi, maka tidak bisa dikatakan ia
bisa menjadi mahar.
6
Dari Anas,ia berkata:”Rasulullah Saw. belum pernah mengadakan walimah untuk istri-
istrinya, seperti beliau mengadakan walimah untuk zainab,beliau mengadakan walimah
untuknya dengan seekor kambing.”(HR Bukhari dan Muslim).
Pendapat pertama mengatakan wajib dengan berlandaskan pada hadist diatas, dimana
Rosulullah SAW memerintahkan Abdurrahman bin Auf R.A mengadakan
Walimah meskipun hanya menyembelih seekor kambing (Riwayat Bukhari Dan Muslim).
Yang dijadikan dalil sunnahnya walimah itu adalah ucapan imam syafi’I :” saya tidak
mengetahui walimah itu diperintahkan kecuali kepada Abdurrahman bin ‘auf, dan saya juga
tidak mengetahui rosulullah SAW. Meninggalkan walimah itu.” Ucapan syafi’I itu di
riwayatkan oleh al-baihaki. Lalu ucapan beliau dijadikan landasan bahwa walimah itu tidak
wajib. Maksud ucapan itu jelas.
Hadist yang menunnjukkan diwajibkan nya walimah (kenduri untuk penganten) itu
diperkuat oleh abu syaikh dan at-tabhrani dari abu hurairoh yang bersambung nasabnya
hingga Rosulullah, rosulullah bersabda:
َ سنَّةٌ فَ َم ْن د ُ ِع
َ ي َولَ ْم يَ ِجدْ فَقَدْ َع
ص ُ اَ ْل َو ِل ْي َمةُ َح ٌّق َو
Artinya:”waliamh itu kewajiban dan kebiyasaan yang sudah berlaku, barang siapa
yang di undang dan dia tidak memenuhinya, maka dia sudah maksiat (meninggalkan
kewajiban)”. Jadi dzahir dari kata “”ح ٌّق
َ itu berarti kewajiban.[2]
Beberapa hadist menunnjukkan bahwa walimah itu boleh diadakan dengan makanan
apa saja, sesuai kemampuan. hal itu di tunjukan oleh Nabi Saw, bahwa perbedaan-
perbedaan walimah beliau bukan membedakan atau melebihkan salah satu dari yang
lain,tetap semata-mata disesuaikan denagan keadaan ketika sulit atau lapang.
7
Jumhur ulama’ berpendapat mengenai hukumnya walimah sunnah muakkad. hal
ini berdasarkan pendapat asy-syafi’I Rahimahullah". Tiada perbedaan pendapat di antara
ahli ilmu,bahwasannya hukum walimah di dalam majlis perkawinan adalah sunnah dan di
syariatkan (sangat di tuntut), bukan wajib.
Dalam walimah nikah terdapat maksud untuk memberitahukan pernikahan dan hal
tersebut sunnah hukumnya, hal tersebut berdasarkan pada hadist :
Hiburan tersebut maksudnya adalah pada batasan-batasan yang Islami, akan tetapi,
bila mengeksploitasi kekejian yang mengandung birahi dalam hiburan dan nyanyiannya
maka haram hukumnya1.
Di Indonesia telah menjadi hal wajar apabila terdapat sepasang kekasih yang akan
menjalin hubungan menuju jenjang pernikahan diadakanlah sebuah acara yang meriah,
mengundang penyanyi dangdut terkenal serta mengundang banyak orang untuk hadir
keacara pernikahannya.
1
Tihami, Sohari Sahrani. Fiqih Munakahat:Kajian Fikih Nikah Lengkap. (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada 2009) hlm.145
8
Di Kabupaten Gowa, Kecamatan Bontomarannu, setiap ada sepasang kekasih yang
akan menikah wajib hukumnya untuk mengundang penyanyi dangdut, paling minim sekali
itu menyewa soundsystem yang besar yang bertujuan untuk memberikan kabar
bahwasanya ditempat itu ada acara pernikahan.
Sebenarnya tujuannya baik dan sesuai dalam ajaran Islam, namun caranya yang kurang
tepat. Dan itu berlaku untuk semua kalangan, tidak peduli kondisi kaum menengah
kebawah. Apabila difikirkan lebih jauh, untuk apa kita melakukan acara yang seharusnya
membuat kita senang tetapi hanya berlaku sesaat? seperti hal diatas, dengan mengundang
penyanyi dangdut, seharian kita dihiburnya namun setelah acara berakhir sudah, hilang
semuanya, bahkan berubah menjadi duka dengan tanggungan utang dimana-dimana
karena ketidak sanggupan untuk memenuhinya. Sebenarnya ada cara-cara yang bisa
mengundang orangorang tanpa harus mengeluarkan dana yang besar, seperti
menggunakan masjid sebagai tempat berlangsungnya acara walimah kemudian berlanjut
dirumah yang bersangkutan untuk menyantap makanan dan berbincang-bincang.2
Sejujurnya tidak ada masalah dengan penyewaan gedung saat acara walimah, namun
disisipkan pemahaman-pemahaman agar tidak menjadi kecemburuan sosial nantinya,
salah satunya dengan mengundang orang-orang menengah kebawah dan merangkul
mereka.
Namun yang menjadi permasalahan, banyak hiburan yang diadakan pada pesta
perkawinan sekarang ini kurang atau tidak sesuai dengan ajaran Islam, dimana cenderung
mengarah pada perbuatan dosa seperti nyanyian-nyanyian dan musik yang
membangkitkan nafsu berahi disertai tarian dan goyangan tubuh yang bersifat erotis dan
2
Abdullah Nashih „Ulwan. Tata Cara Meminang dalam Islam. (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm 141
9
berbaur antara laki-laki dan perempuan serta perbuatanperbuatan lain yang merusak
moral. Di daerah Gowa ini kebanyakan pesta dimeriahkan dengan hiburan seperti
goyangan, pakaian, nyanyian dan musik yang melanggar ajaran syariat Islam.
Sebenarnya acara hiburan yang terdapat dalam Walimah al-urs tersebut diadakan tidak
hanya sebagai hiburan semata tetapi lebih kepada kebanggaan bagi orang yang
mengadakan walimah. Kebanggan disini lebih bersifat kepada gengsi dari yang
mengadakan pesta.
Dalam prakteknya, sering kita dapati orang begitu bersemangat untuk mengadakan
walimah sehingga terkadang sampai melewati batas kewajaran dan mulai memasuki
wilayah yang sebenarnya tidak lagi sesuaidengan rambu-rambu syariah. Ada saja
beberapa orang yang melakukan walimah (resepsi pernikahan) tujuannya hanya sekedar
gengsi dan ingin dianggap sebagai orang yang mampu. Padahal keadaan sebenarnya tidak
terlalu mampu atau mudah mengadakan walimah dengan berhutang.
Jika ingin menyelenggarakan walimah, tidak perlu mengejar gengsi atau sebutan
orang, dan juga jangan merasa menjadi dianggap pelit oleh orang lain. Keluarkanlah harta
untuk walimah semampunya dan sesanggupnya saja. Apabila tidak ada, tidak perlu diada-
adakan. Sebab yang penting acara walimahnyabisa berjalan walaupun secara sederhana,
karena memang anjuran dari Rasulullah saw. Sebagaimana biasanya dalam penyelenggara
pesta pernikahan kerap menyuguhkan hiburan organ tunggal untuk menghibur para tamu
dan undangan.
عرس فليجب
ٍ َ اذَ د ُ ِع
ي احدكم الى الوليمة
10
Jika seseorang menghadiri acara walimah di anjurkan untuk menyantap jamuan yang
sudah di sediakan, tidak wajib.[4] Jika kebetulan orang tersebut berpusa sunnat dan tuan
rumah tidak keberatan maka menyempurnakan puasa lebih afdhal baginya. Akan
tetepi jika dengan berpuasa membuat tuan rumah keberatan maka berbuka lebih afdhal.
Berangkat dari kesamaan wanita dan pria, wanita juga wajib memenuhi undangan
asalkan dia tidak datang dengan pria lain selain suaminya ( non muhrim ). Bagi wanita,
perlu di perhatikan agar dirinya bebas dari fitnah dan ikhtilath. Kewajiban menghadiri
undangan ini adalah sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
Dalam riwayat lain dari pada Abu Khurairah, Rasulullah bersabda:“Sesiapa yang tidak
memenuhi undangan, berarti dia telah mendurhakai Allah dan Rasul-Nya”.Pendapat yang
menegaskan kewajiban menghadiri undangan walimah adalah pegangan jumhur ulama
yang turut di pegang oleh Imam Asy-Syafi’i, imam Ahmad, Ibnu Hazm, imam An-
Nawawi.
Dan juga undangan ke majlis walimah boleh ditinggalkan sekiranya memiliki uzur. Ini
adalah sebagaimana penjelasan berikut:
Ini adalah sebagaimana hadis ˜Ali radhiyallahu anhu, beliau berkata: Aku membuat
makanan, lalu aku mengundang Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam, kemudian
beliau tiba, lalu beliau pun segera pulang. Aku pun segera bertanya, Wahai Rasulullah,
11
Ibu dan Bapakku sebagai tebusan, apakah yang membuatkan engkau pulang? Beliau
menjawab: Sesungguhnya di dalam rumah ada kain penutup yang bergambar, dan
sesungguhnya para malaikat tidak akan memasuki ke dalam sesebuah rumah yang di
dalamnya Terdapat Gambar-gambar. (Hadis Riwayat Ibnu Majah,) Juga hadis dari
Umar al-Khaththab radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam
bersabda:“Sesiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka janganlah duduk di
meja makan yang di sana dihidangkan minuman keras” (khamar).(Hadis Riwayat
Ahmad dan at-Tirmidzi).
Di antara uzur lain yang dibenarkan untuk tidak hadir ke undangan walimah adalah
seperti uzur yang dengannya seseorang boleh meninggalkan solat Jumaat, seperti terjadinya
hujan yang sangat lebat, jalan yang bermasalah, kerana takutkan musuh, takut hilangnya
harta, dan yang lain yang seumpama
Dasar hukum wajibnya menghadiri undangan walimah adalah hadist Nabi Saw, sebagai
berikut:
Dari Abu hurairah r.a. bahwa Rosulullah Saw. telah bersabda, “Barang siapa tidak
menghadiri undangan,sesungguh ia telah durhaka kepada Allah dan Rasulnya.”(HR
Bukhari).
12
Jika undangan itu bersifat umum, tidak tertuju kepada orang-orang tertentu, maka tidak
wajib mendatangi, tidak juga sunnuh. Misalnya orang yang mengundang berkata,”Wahai
orang banyak, datangilah setiap orang yang kamu temui.”
Sementara itu, jika ada dua undangan walimah atau lebih dalam waktu yang bersamaan
maka harus diutamakan pihak yang terlebih dahulu mengundang. Selain itu, dahulukan pula
pihak yang lebih dekat jarak rumahnya, karena ini adalah bentuk pergaulan sosial
kemasyarakatan diantara para tetangga.
Jika undangan lebih dari satu tempat pada waktu yang sama, Rasul memberikan
tuntunan yang didatangi adalah yang paling dekat ". Al-Syaukani memberikan penjelasan
paling dekat dalam hadis Rasul itu dapat saja kedekatan tempat dan kedekatan hubungan.
Jika kedekatannya sama dan tidak mungkin menghadiri semua, maka yang didahulukan
adalah yang lebih dahulu mengundang. Jika waktu mengundangnya sama, maka dilakukan
pengundian untuk menentukan undangan mana yang akan dihadiri. Hal ini sesuai dengan
sabda Rasulullah SAW:.”jika ada dua orang yang mengundang maka hadirilah yang paling
dekat jarak rumahnya,Jika salah seorang diantara keduanya telah mendahului maka
hadirilah yang lebih dahulu.”(HR Abu Dawud).
Jika walimah dalam pesta perkawinan hanya mengundang orang-orang kaya saja
,hukumnya adalah mahruh.dalam riwayat disebutkan: “sesunggunya Abu Hurairah
berkata,”sejelek-jeleknya makanan ialah makanan walimah yang hanya mengundang
orang-orang kaya akan tetapi meninggalkan orang-orang miskin.” (HR Bukhari).
Hukum menghadiri walimah bagi orang yang berpuasa, mereka tetap diwajibkan
memenuhinya, sekiranya ia tetap hadir ke undangan tersebut ia memiliki dua pilihan yaitu
dia yang berbuka dan sunnah makan bersama-sama atau boleh terus melaksanakan puasa
sunnahnya dan mendoakan untuk orang yang mengadakan majlis walimah tersebut.
Artinya:”tidak ada alasan yang dapat dijadikan dasar untuk tidak menghadirinya,
meskipun dalam keadaan puasa,” secara jelas Rasul menyatakan bahwa, Di samping
perintah menghadiri walimah, keharusan menghadiri undangan itu juga dinyatakan Rasul
dengan memberikan ancaman bagi orang yang tidak mau datang.
13
Dalam riwayat yang telah disebut di awal, bahwa orang yang tidak menghadiri
undangan walimah berarti telah mendurhakai Allah dan Rasul-Nya.
Jika pernikahan yang pertama sudah di-fasakh (dibatalkan oleh qadhi/ KUA) dengan
sebab suaminya tidak menafkahinya dan juga telah selesai masa iddah-nya, lalu wanita
tersebut menikah yang kedua kali maka nikahnya sah. Namun jika pernikahn kedua itu
sebelum pernikahan pertamanya di-fasakh maka pernikahan keduanya batal.
14
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pernikahan adalah akad nikah (ijab qabul) antara laki-laki dan perempuan yang bukan
muhrimnya sehingga menimbulkan kewajiban dan hak di antara keduanya melalui kata-
kata secara lisan, sesuai dengan peraturan-peraturan yang diwajibkan secara islam.
Pernikah merupakan sunnah Rasulullah Saw. Sebagaimana yang dijelaskan oleh
Rasulullah: “nikah itu sunnahku, barang siapa yang membenci pernikahan, maka ia
bukanlah umadku”, hadis lain Rasulullah bersabda: “nikah itu adalah setengah iman”
Maka pernikahan yang dianjurkan kepada umat Rasulullah, tetapi yang mengikuti
aturan yang dianjurkan oleh ajaran agama islam. Adapun cakupan pernikahan yang
dianjurkan dalam islam yaitu adanya Rukun Pernikahan, Hukum Pernikahan, Syarat
Pernikahan, Perminangan dan dalam pemilihan calon suami/istri. Islam sangat membenci
sebuah perceraian, tetapi dalam pernikahan itu sendiri terkadang ada hal-hal yang
menyebabkan kehancuran dalam sebuah rumah tangga. Islam secara terperinci menjelaskan
mengenai perceraian yang berdasarkan hukumnya dan dalam islam pun dijelaskan
mengenai fasakh, khuluk, rujuk dan masa iddah bagi kaum perempuan.
15