Anda di halaman 1dari 7

MAHAR

Disusun Oleh:

Abrar arisyad m.ali (220106041)

Program Studi Ilmu Hukum

Fakultas Syariah Dan Hukum

Universitas Islam Negri Banda Aceh

2022/2023
A. PENGERTIAN MAHAR

Mahar (‫( صداق‬secara etimologi artinya maskawin. Secara terminologi, mahar


ialah “ Pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan
hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada
calon suaminya”1.

Mahar adalah harta yang berhak didapatkan oleh seorang istri yang harus
diberikan oleh sang suami; baik karena akad maupun persetubuhan hakiki2.

Dalam kamus Al-Munawir, kata mahar artinya maskawin 3. Dalam kamus


besar bahasa Indonesia mahar adalah pemberian wajib berupa uang atau barang
dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad
nikah4.

Mahar merupakan suatu pemberian dalam perkawinan dari mempelai lelaki


kepada mempelai perempuan dan khusus menjadi harta miliknya sendiri.
B. DASAR HUKUM BERLAKUNYA MAHAR

Hukum Islam mendudukkan perempuan sebagai makhluk terhormat dan


mulia, maka diberikan hak untuk menerima mahar, bukan pihak yang sama-
sama memberi mahar. Mahar merupakan salah satu bentuk hadiah yang
diberikan seorang pria sebagai ungkapan kesetiaan cintanya kepada calon
istrinya.

Ekualitas laki-laki dan perempuan bukan diimplementasikan dengan cara


pemberian mahar. Karena mahar bukan lambang jual-beli, tetapi lambang
penghormatan terhadap perempuan sekaligus sebagai lambang kewajiban
tanggung jawab suami memberi nafkah kepada istri, selain lambang cinta kasih
sayang suami terhadap istri, sebagaimana dikemukakan ulama Syafi’yah.

Di dalam surat AN-Nisa>’: 4 Allah SWT. Berfirman:

Artinya: berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)


sebagai pemberian yang wajib. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada
kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka gunakanlah
(makanlah) pemberian itu dengan sedap dan nikmat.
C. HUKUM MAHAR DAN KADARNYA

Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah


maksimum dari maskawin. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan
kemampuan manusia dalam memberikannya. Orang yang kaya mempunyai
kemampuan untuk memberi maskawin yang lebih besar jumlahnya kepada
calon istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada yang hampir tidak mampu
memberinya. Oleh karena itu, pemberian mahar diserahkan menurut
kemampuan yang bersangkutan disertai kerelaan dan persetujuan masing-
masing pihak yang akan menikah untuk menetapkan jumlahnya. Hanya saja,
memang ada anjuran untuk mempermudah mahar. Artinya, mahar yang mudah
dijangkau oleh mempelai pria itulah yang dianjurkan sebagaimana sabda
Rasulullah SAW : ”Sesungguhnya pernikahan yang paling besar pahalanya
adalah yang paling ringan biayanya.”

Imam Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan Fuqaha Madinah dari kalangan
Tabi’in berpendapat bahwa mahar tidak ada batas minimalnya. Segala sesuatu
yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan mahar.
Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari kalangan pengikut Imam
Malik.

Sebagian fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya.
Imam Malik dan para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit
seperempat dinar emas murni, atau perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan
barang yang sebanding berat emas perak tersebut.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu adalah
sepuluh dirham. Riwayat yang lain ada yang mengatakan lima dirham, ada lagi
yang mengatakan empat puluh dirham.

Pangkal silang pendapat ini, menurut Ibnu Rusydi, terjadi karena dua hal, yaitu :

1. Ketidak jelasan akad nikah itu sendiri antara kedudukannya sebagai salah
satu jenis pertukaran, karena yang dijadikan adalah kerelaan menerima
ganti, baik sedikit maupun banyak, seperti halnya dalam jual beli dan
kedudukannya sebagai ibadah yang sudah ada ketentuan. Demikian itu,
karena ditinjau dari segi bahwa dengan mahar itu laki-laki dapat memiliki
jasa wanita untuk selamanya, maka perkawinan itu mirip dengan
pertukaran. Tetapi, ditinjau dari segi adanya larangan mengadakan
persetujuan untuk meniadakan mahar, maka hal itu mirip dengan ibadah.

2. Adanya pertentangan antara qiyas yang menghendaki adanya pembatasan


mahar dengan mahfum hadis yang tidak menghendaki adanya
pembatasan. Qiyas yang menghendaki adanya pembatasan adalah seperti
pernikahan itu ibadah, sedangkan ibadah itu sudah ada ketentuannya.

Mereka berpendapat bahwa sabda Nabi Saw, “nikahlah walaupun hanya dengan
cincin besi” adalah dalil bahwa mahar itu tidak mempunyai batasan
terendahnya. Karena, jika memang ada batas terendahnya tentu beliau
menjelaskannya.
PENUTUP
A. Kesimpulan

Mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai
ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang
istri kepada calon suaminya.Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon
suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa
(memerdekakan, mengajar, dan lain sebagainya).

Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah


maksimum dari maskawin. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan
kemampuan manusia dalam memberikannya. Orang yang kaya mempunyai
kemampuan untuk memberi maskawin yang lebih besar jumlahnya kepada
calon istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada yang hampir tidak mampu
memberinya.

Mahar boleh dilaksanakan dan diberikan dengan kontan atau utang,


apakah mau dibayar kontan sebagian dan utang sebagian. Kalau memang
demikian, maka disunahkan membayar sebagian.
DAFTAR PUSTAKA

Azzam A.A., Muhammad, dan Hawwas A.W., Sayyed, 2009. Fiqh Munakahat. Jakarta.

Amzah.

Aminuddin, dan Abidin Slamet, 1999. Fiqih Munakahat. Bandung. Pustaka Setia.

Fatwa-fatwa Ulama Ahlus Sunnah Seputar Pernikahan, Hubungan Suami Istri dan
Perceraian. Purwokerto. Qaulan Karima.

Muhktar Kamal, 1994. Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan. Jakarta. Bulan Bintang.

Ghazali Abd Rahman. 2003. Fiqih Munakahat. Jakarta. Prenada Media.

Tihami H.M.A., dan M. Sohari M., 2009. Fiqih Munakahat, Kajian Fiqh Nikah Lengkap.
Jakarta. Rajawali Pers

Hawwas A.W., 2007. Kunikahi Engkau Secara Islami. Bandung : Pustaka Setia

Mujid Abdul, 1995. Kamus Istilah Fikih. Jakart. Pustaka Firdaus.

Ash-Shiddieqi Hasbi, 1989. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta. Departemen Agama RI.

Anda mungkin juga menyukai