Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Ahwal Syakhshiyyah Kontemporer
Oleh:
MARET 2022
PEMBAHASAN
Pernikahan merupakan akad suci yang membentuk suatu ikatan penghalalan
hubungan antara pria dan wanita yang nantinya muncul hak dan kewajiban yang
yang harus dipenuhi antar keduanya. Mengenai pelaksanaan pernikahan, idealnya
harus memenuhi rukun dan syarat sah dari nikah itu sendiri, seperti adanya
kejelasan mengenai status mempelainya, wali, saksi, dan juga ijab qabul. Dalam
menikah juga harus dilakukan secara terang-terangan tanpa harus ditutup-tutupi.
Namun, ada fenomena pernikahan yang mana pernikahan itu sudah dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan syariat tetapi di dalamnya pengantin pria membuat syarat
bahwasanya si pengantin wanita tidak akan mendapatkan hak-haknya menjadi
seorang istri ketika menikah dengan si pria tersebut. Fenomena pernikahan tersebut
dinamakan nikah Misyar. Pernikahan ini sangat menimbulkan polemik bagi
masyarakat. Maka dari itu, tema ini sangat menarik untuk dikaji. Makalah ini akan
membahas mengenai definisi dari nikah Misyar, tradisi nikah Misyar, syarat dan
rukun nikah Misyar, Perbedaan dan persamaan nikah Misyar dengan nikah Sirri dan
Nikah Mut'ah, dan Pendapat Ulama mengenai Hukum Nikah Misyar.
A. Definisi Nikah Misyar
Menurut Bahasa Nikah Misyar Berasal dari bahasa Arab (sudah berjalan,
sedang berjalan) sedangkan menurut istilah pernikahan yang dihukumi sah, yaitu
dengan mencakup rukun akan yang disyaratkan oleh aturan Islam ( ijab, qabul,
saksi, dan wali) namun yang membedakan pihak perempuan tidak mendapatkan
haknya sebagaimana mestinya atau secara penuh, seperti yang diatur dalam akad
nikah, maka seorang istri tidak mendapatkan nafkah, hak untuk hidup bersama dan
tidak mendapatkan tempat tinggal.1
Tradisi Nikah Misyar pada dasarnya pernikahan ini biasanya dilakukan oleh
perempuan kaya yang tidak menikah, sehingga memberi keringanan terhadap
suaminya untuk menikahinya tanpa beban dengan memberinya nafkah, dalam hal
lain yang menjadikan alasan pasangan untuk memilih pernikahan Misyar adalah
karena realita dan keterjepitan kondisi pada sebagian masyarakat, seperti halnya di
Arab Saudi telah mengesahkan peraturan yaitu membolehkan melangsungkan
pernikahan Misyar. 3
Wanita yang setuju untuk dinikahkan Misyar tersebut telah menerima haknya
dari laki-laki yang mau menikahinya namun tidak seutuhnya seperti pernikahan
normal, pada pernikahan Misyar wanita tersebut hanya menuntut nafkah batin saja.
Perkawinan seperti ini telah menjadi masalah yang serius pada negara tertentu,
seiring berkembangnya zaman maka faktor lain juga disebabkan oleh perubahan
perubahan yang terjadi dalam kehidupan. Pada masa kini, pernikahan Misyar
menjadikan pengaruh dari semakin cepatnya gerakan transportasi antar negara dan
daerah daerah di dunia. Pernikahan Misyar dilakukan dengan memberikan kabar
kepada khalayak ramai, namun disini yang menjadi perdebatan salah satunya
adalah tidak mencatatkan pada pegawai sipil sehingga bisa dikatakan tidak sah pada
negara tertentu.4
Pendapat Yusuf Qardhawi terkait nikah Misyar yaitu, ahli agama siapapun
dilarang tidak memperbolehkan seorang perempuan melakukan pernikahan jenis
nikah misyar apabila mereka melakukannya atas dasar murni niatnya hanya untuk
kebaikan dirinya sendiri. Contohnya sebagaimana apa yang dilakukan oleh istri
Rasulullah Saw, yaitu Saudah binti Zam'ah. Alasannya muncul karena beberapa
5
Agus Salim, Hukum Perkawinan, Jakarta: Pustaka Amani 2002, hlm. 138
faktor kekhawatiran dari Saudah, akhirnya beliau rela memberikan haknya untuk
istri Rasulullah Saw yang lain, yaitu Aisyah R.A, adanya hal ini Rasulullah juga
sangat berterima kasih kepada Saudah telah memberikan keringanan tersebut.
Sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa syarat semacam itu tidak pantas
dilakukan, akan tetapi apabila sudah terjadi maka akadnya tetap sah dan hanya saja
syarat-syaratnyalah yang batal. Pendapat yang mengemukakan ini adalah Abu
Hanifah dalam kitabnya al-Muqni’ yang diriwayatkan dari Imam Ahmad. Ibnu Aqil
yang berkata di dalam kitab Mufrodat-nya yaitu, Abu Bakar menjelaskan
bahwasanya akad yang di dalamnya terdapat syarat-syarat untuk tidak boleh
melakukan senggama, tidak memberikan nafkah atau jika keduanya berpisah, maka
apa yang telah dinafkahkan suami akan diambil kembali masih tetap dianggap sah.6
Apabila merujuk kepada dasaran ini secara tidak langsung si istri memiliki hak
untuk meminta kembali jatahnya kepada si suami. Ibnu Taimiyah mempunyai
argumen mengenai sah syaratnya seorang suami untuk tidak memberi nafkah yaitu
beliau menjelaskan bahwa, “seandainya seorang suami mengalami kesulitan dalam
hal ekonomi dan sang istri menerima segala bentuk kondisi tersebut, maka seorang
istri tidak harus menuntut suami untuk memberikan nafkah.”7 (Yusuf Qardhawi,
Zawajul Misyar Haqiqatuhu wa Hukmuhu, hlm. 12) Beliau mengatakan juga bahwa
akad nikah akan batal karena ada persyaratan untuk tidak membayar mahar dan
pendapat ini telah disepakati oleh sekelompok ulama besar salaf. Jadi, ketika para
wanita yang menghendaki menikah dengan jenis pernikahan Misyar, maka salah
satu solusinya yaitu harus pandai dalam memilih laki-laki yang budi pekertinya
benar-benar baik dan juga saling meridhai satu sama lain.
D. Perbedaan dan persamaan nikah Misyar dengan nikah Sirri dan Nikah Mut'ah
1. Perbedaan Nikah Misyar dengan Nikah Sirri
Nikah Misyar dan nikah Sirri keduanya memiliki perbedaan dan
persamaan. Nikah Sirri merupakan pernikahan yang dilakukan dengan cara
memenuhi syariat, namun tidak tercatatkan dalam administrasi negara sehingga
6
Yusuf Qaradhawi, "Zawaj al-Mis-yar Ḣaqẏqatuhu wa Ḣukmuhu", terj. Adi Irfan Jauhari, Nikah Mis-yār
(Nikah Lawatan), Fenomena Baru dalam Sejarah Perjodohan Manusia, Bekasi :Noen, 2005, hlm. 11
7
Ibid. , hlm. 12
tidak memiliki bukti mengenai pernikahan tersebut.8 Nikah Sirri sama halnya
dengan nikah seperti biasanya, yaitu suami memiliki tanggungjawab kepada
istrinya memberikan nafkah baik lahir maupun batin dan juga tempat tinggal.
Pernikahan ini identik dengan menikah secara sembunyi-sembunyi dan tidak
ada pemberitahuan kepada khalayak umum. Sedangkan, nikah Misyar
pernikahan ini sama-sama tidak dicatatkan di pegawai pencatatan nikah dan si
suami tidak mempunyai tanggungjawab kepada istrinya untuk memberikan
nafkah baik lahir maupun batin dan juga tempat tinggal. Pernikahan Misyar
dalam pelaksanaannya harus ada pemberitaan atau pemberitahuan kepada
khalayak umum.
2. Perbedaan Nikah Misyar dengan Nikah Mut’ah
Nikah Misyar dan nikah Mut'ah mempunyai perbedaan diantaranya
yaitu, nikah Mut'ah dibatasi oleh waktu dan imbalannya ditentukan secara jelas.
Umumnya, mahar atau imbalan yang diberikan pihak laki-laki kepada pihak
perempuan disesuaikan dengan jangka waktu kontrak yang telah disepakati
antar kedua belah pihak. Apabila waktu yang ditentukan sudah mencapai masa
tenggatnya, maka secara otomatis pernikahan ini telah berakhir meskipun tidak
ditalak, difasakh ataupun lainnya. Dalam nikah ini waktu menjadi kunci yang
tak terpisahkan dari suatu akad. Jadi, apabila waktunya sudah habis maka
kesepakatan itu juga akan berakhir dengan sendirinya. Sedangkan, nikah misyar
mengenai persoalan waktu pernikahannya tidak dibatasi dan sifatnya bisa untuk
selamanya. Akad ini akan berakhir apabila ada talak maupun fasakh. 9
Pernikahan Misyar ketika pelaksanaan pernikahan menghadirkan wali, saksi,
dan mahar. Namun, di pernikahan Mut’ah ketika pelaksanaan pernikahan tidak
menhadirkan wali, saksi, dan juga mahar.
E. Pendapat Ulama mengenai Hukum Nikah Misyar
Para ulama tidak sama pendapat tentang aturan nikah misyar, pada hal ini
terbagi pada dua kelompok ulama yang mempunyai pandangan aturan yang tidak
sama, yaitu:
8
Ibid.. hlm. 399
9
Ibid...hlm. 115
Pertama, kelompok yang membolehkan nikah misyar dominan ulama pada masa
ini sudah mengeluarkan fatwa bahwa nikah misyar adalah pernikahan syar’i yang
absah hukumnya, meskipun demikian sebagian mereka yang membolehkan nikah
misyar menegaskan bahwa nikah ini bukanlah suatu penganjuran, sedangkan
sebagian lagi menyatakan bahwa hukumnya makruh meskipun absah. Dengan
demikian aturan-aturan menjadi konsekuensi pernikahan tadi berlaku, begitupula
dampaknya, lantaran pencabutan istri terhadap sebagian haknya dan pengajuan hal
itu menjadi kondisi pada pernikahan nir mensugesti keabsahan pernikahan, selama
pernikahan tadi sudah memenuhi rukun-rukun dan persyaratannya.10
Diantara ulama yang membolehkan nikah misyar merupakan shaykh Abd al-
Aziz bin Baz, Shaykh Abd al-Aziz Alu al-Shaykh (Mufti kerajaan Arab Saudi
waktu ini), Yusuf al-Qardhawi, syaikh ali Jum’ah al-Shafi, Wahbah Zuhayli, 11
Ahmad al-Hajj al-Kurdi, Shaykh Su’ud al-Syuraym, Shaykh Yusuf al-Duraywish,
dan beberapa ulama lainnya.
Menurut al-Qardhawi nikah misyar dibolehkan lantaran sebagaimana pernikahan
da’im (pernikahan konvensional), nikah misyar juga mewujudkan maslahat syari’at,
dimana pasangan suami istri menerima kepuasan batin juga adanya kehidupan
keluarga yang dibangun atas dasar kemuliaan. Secara aturan nikah misyar absah
adanya lantaran memenuhi seluruh rukun dan kondisi nikah yang absah, terdapat
ijab qabul, saling meridhoi antara kedua mempelai, wali, saksi, kedua mempelai
sepadan dan terdapat mahar yang sudah disepakati. Setelah akad nikah keduanya
resmi sebagai suami istri yang dikemudian hari punya hak, hak keturunan, hak
waris, hak iddah, hak talak, hak meniduri, hak tempat tinggal, hak biaya hidup, dan
lain sebagainya. Tetapi pada pernikahan misyar keduanya saling meridhai dan
putusan bulat bahwa terdapat tuntutan bagi istri terhadap suami buat tinggal beserta
istrinya, begitu juga menggunakan hak mengembangkan giliran, karena semuanya
tergantung pada suami, kapan saja suami mau menziarahi istrinya maka dia akan
menjumpainya pada sembarang jam baik siang juga malam.
10
Moh. Nurhakim, Tinjauan Sosiologis Fatwa Ulama Kontemporer tentang Status Hukum Nikah Misyar,
Volume 14 Nomor 2 Juli, Desember 2011
11
Wahbah Zuhayli, Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, Cet. Ke-3 (Damaskus:Dar al-Fikr, 1984), 134-135.
Pendapat ini merogoh sebuah hadis menjadi dalil sahnya nikah misyar, yaitu
hadis mengenai bolehnya istri menggugurkan hak hari gilirannya pada istri lain: Al-
Qardhawi menyatakan bahwa nikah misyar sebagai solusi bagi wanita -wanita
yang tidak bersuami, perawan-perawan yang sudah lewat masa nikahnya, tentunya
dengan memilih pria yang baik budi pekertinya, dan antara kedua pihak sudah
sama-sama ridho. Maka tidak sepatutnya orang menghalangi jalan yg dihalalkan
sang syara’, tetapi demikian al-Qardhawi menegaskan bahwa dirinya bukanlah
menjadi orang yang menyukai dan menganjurkan pernikahan misyar.12
Ulama lain yang mendukung dibolehkannya nikah misyar merupakan Yusuf al-
Duraysh, menurutnya pendapat yang menyatakan tidak sahnya nikah misyar
lantaran adanya upaya menyembunyikan dan merahasiakan pernikahan itu, baik
sang saksi, wali, juga kedua mempelai, tidaklah membuahkan pernikahan itu tidak
absah. Pendapat inilah yang menurutnya sinkron menggunakan pendapat jumhur
ulama, selain itu dipandang menurut perwujudan tujuan-tujuan besar sebuah
pernikahan, memang benar bahwa nikah misyar bukan bentuk pernikahan yang
ideal, namun bukan berarti kosong menurut pembentukan tujuan-tujuan utamanya
secara keseluruhan.13
Menurut Syaikh Wahbah Zuhayli, Dosen Syari’ah pada Universitas Damsyiq,
Suriah “ pernikahan disyariatkan Allah swt buat merealisasikan beberapa tujuan”
antara lain merupakan:
1. Untuk menambah keturunan & memelihara kelangsungan keturunan
2. Adalah buat mendatangkan kebahagiaan
3. Memelihara diri menurut terjebak ke kancah maksiat dan zina
4. Mewujudkan kerjasama dan keserasian hayati antara laki-laki dan perempuan
buat kehidupan berumahtangga
5. Pernikahan ini merupakan untuk mewujudkan kebahagiaan, dan kenyamanan
diantara suami dan istri selain bertujuan buat mendidik anak-anak menggunakan
didikan yang sempurna
12
Yusuf al-Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta: Gema
Insani, 2002), h. 397
13
Al-Duraywish, al-Zawaj, 143. Pandangan ini diperkuat oleh dewan fatwa ulama Arab Saudi dalam
majalah al-Dakwah, edisi 1843, h. 56
Pernikahan misyar juga merealisaskan sebagian menurut tujuan-tujuan
pernikahan meskipun tidak semuanya, nikah misyar absah hukumnya namun
makruh, beliau berpendapat nikah ini merupakan absah namun tidak disukai pada
syara’, lantaran kurang menacapai tujuan syariat Islam pada menikah, terkait itu
kenyamanan jiwa, bimbingan terhadap keluarga, anak dan perhatian terhadap
keluarga menggunakan sempurna. Hal ini tidak akan didapat melalui nikah misyar
lantaran perempuan tidak berhak menuntut suaminya atas seluruh itu. Ulama pada
masa ini yang membolehkan nikah misyar selanjutnya adalah Abd al-Aziz bin Baz,
mengenai pernikahan ini beliau berpendapat bahwa tidak mengapa apabila akadnya
memenuhi syarat yang sudah disepakati secara syar’i : wali, kesepakatan calon
suami-istri, disaksikan 2 saksi yang adil, dan, hal tadi tidak akan membatalkan akad
nikah selama pernikahan tadi diumumkan dan tidak dirahasiakan. 14 Tetapi
selesainya melihat banyaknya defleksi yang dilakukan sebagian orang yang
melampaui batas dan memperturutkan hawa nafsunya, misalnya bermunculan agen-
agen yang memasang tarif buat mengadakan pernikahan ini, keluarnya wali-wali
palsu, dan aplikasi secara membisu. Maka Abd al-Aziz bin Baz pada lain
kesempatan waktu ditanya mengenai nikah misyar dia menjawab:
Wajib bagi setiap muslim buat menikah menggunakan pernikahan syar’i dan
hendaknya dia berhati-hati menggunakan apa yang menyelisihi hal itu, sama saja
apakah dia dinamakan nikah misyar atau selainnya. Termasuk kondisi pernikahan
syar’i merupakan diumumkannya pernikahan itu, bila suami istri tadi
menyembunyikannya, maka tidak absah, lantaran apa yang tidak disebutkan itu
menyerupai perbuatan zina.
Kedua, kelompok yang mengharamkan nikah misyar, sejumlah ulama pada masa
ini antara lain merupakan Nasiruddin Albani, Muhammad Zuhayli, Ali Qurah Daqi,
dan Ibrahim Fadhil, diantara argumen mereka adalah karena menonjolnya upaya
menyembunyikan dan merahasiakan pernikahan semacam ini, karenanya dia adalah
jalan kerusakan dan perbuatan kemunkaran. Orang-orang yang telah rusak
14
Chomim Tohari, Fatwa Ulama tentang Hukum Nikah Misyar Persfektif Maqasid Syari’ah, al-Tahrir,
Vol. 13, No. 2 November 2013
pribadinya mampu saja menjadikannya kendaraan buat merealisasikan tujuan
mereka, karena segala sesuatu yang menyeret pada kasus haram maka hukumnya
diharamkan, larangan ini juga ditunjukan buat kepentingan mengatur ummat
manusia. Dampak tidak baik ini bisa dipastikan ada dan umumnya sebagai
kenyataan, bukan sekedar pada batas prediksi-prediksi, imajinasi belaka.
Adapun ulama pada masa ini yang termasuk kelompok yang mengharamkan
nikah misyar merupakan Syeikh Abdul Sattar al-Jubali, beliau berargumen bahwa
nikah misyar mengakibatkan suami tidak punya rasa tanggungjawab keluarga,
akibatnya suami akan gampang menceraikan istrinya semudah beliau menikahinya,
15
Busyro, Menyoal Hukum Nikah Misyar dalam Potensinya Mewujudkan Maqasid al-Asliyyah dan AL-
Tab’iyyah dalam Perkawinan Umat Islam, al-Manahij, Vol. XI No. 2 Desember 2017
belum lagi praktek nikah misyar yang lebih banyak dilakukan secara membisu tanpa
wali, semua ini akan membuahkan akad nikah sebagai bahan permainan orang-orang
pengagum seks dan pecinta perempuan , lantaran tidak terdapat tujuan lain selain
supaya nafsu seksnya terpenuhi tanpa terdapat tanggungjawab sedikitpun. Belum
lagi anak-anak yang terlahir nantinya akan merasa asing dengan bapaknya lantaran
jarang dikunjungi, dan hal ini akan memperburuk pendidikan dan akhlak anak-anak.
Selain itu al-Jubali jua membantah argumen ulama yang membolehkan nikah misyar
bahwa ditimbulkan dalil yang digunakan oleh pendapat pertama sangat tidak pas,
Al-Jubali juga menolak argumen yang dikemukakan oleh pendapat yang
membolehkan nikah misyar, bahwa nikah misyar meminimalisir perawan-perawan
tua yang kaya raya dan tidak butuh biaya suami. Menurutnya alasan ini perlu
ditela’ah lebih jauh, bahwa perawan-perawan tua lagi kaya itu hanya sedikit
jumlahnya, maka solusi itu justru akan banyak menelantarkan perawan-perawan tua
miskin yang jumlahnya lebih banyak.
Syekh Abu Malik Kamal al-Sayyid Salim berargumen bahwa pendapat yang
rajih mengenai nikah misyar merupakan bahwa yang sebagai pangkal perselisihan
terletak dalam pengajuan kondisi buat menggugurkan kewajiban menafkahi dan
tinggal bersama istri, dan pengaruhnya terhadap keabsahan akad. Beliau menyatakan
bahwa akad nikah misyar permanen absah dan perkawinannya sah tetapi syaratnya
gugur, dengan demikian perkawinan ini tetap mengimplikasikan pengaruh syari’at
berupa penghalalan senggama, kepastian nasab, kewajiban nafkah dan pembagian
yang adil (apabila poligami), pada hal ini istri berhak menuntut tetapi tidak masalah
apabila dia menggunakan sukarela melepaskan hak-hak ini tanpa syarat, karena itu
adalah haknya.16
Ketiga, kelompok yang tawaqquf terhadap aturan nikah misyar, sebagian ulama
menentukan buat tawaqquf (abstain) mengenai hukumnya karena berdasarkan
mereka esensi pernikahan misalnya ini baik dalil yang dipakai mendukung juga
menolak tampak belum jelas, mereka menyatakan bahwa sangat krusial buat
dilakukan pengkajian mendalam dan pencermatan ekstra tentang nikah misyar ini,
16
Ibid
diantara ulama pada masa ini yang merogoh posisi ini merupakan Syeikh
Muhammad bin Salih al-Uthaymin. Pembahasan diatas memperlihatkan bahwa para
ulama sampai sekarang belum mencapai konvensi mengenai aturan nikah misyar,
lantaran nikah misyar adalah kasus baru dan belum ditemukan dasar aturan yang
kuat buat menghukuminya.
KESIMPULAN
Nikah misyar adalah seorang laki-laki menikah dengan wanita dengan akad yang
sesuai dengan syari’at, rukun dan syaratnya pun sempurna, akan tetapi wanita tadi
merelakan sebagian haknya, seperti: tempat tinggal, nafkah dan giliran bermalam.
Tradisi Nikah Misyar pada dasarnya pernikahan ini biasanya dilakukan oleh
perempuan kaya yang tidak menikah, sehingga memberi keringanan terhadap
suaminya untuk menikahinya tanpa beban dengan memberinya nafkah.
Nikah misyar jika syarat-syarat nikah yang benar terpenuhi, seperti ijab qabul,
walinya setuju, kedua saksi dan diumumkan, maka akad tersebut adalah sah. Akad
jenis ini boleh dilakukan oleh laki-laki atau wanita yang berada pada kondisi
tertentu yang menuntut untuk menikah dengan jenis ini.
Nikah Misyar dan nikah Sirri keduanya memiliki perbedaan dan persamaan.
Nikah Sirri merupakan pernikahan yang dilakukan dengan cara memenuhi syariat,
namun tidak tercatatkan dalam administrasi negara sehingga tidak memiliki bukti
mengenai pernikahan tersebut. Sedangkan, nikah Misyar pernikahan ini sama-sama
tidak dicatatkan di pegawai pencatatan nikah dan si suami tidak mempunyai
tanggungjawab kepada istrinya untuk memberikan nafkah baik lahir maupun batin
dan juga tempat tinggal. Nikah Misyar dan nikah Mut'ah mempunyai perbedaan
diantaranya yaitu, nikah Mut'ah dibatasi oleh waktu dan imbalannya ditentukan
secara jelas. Umumnya, mahar atau imbalan yang diberikan pihak laki-laki kepada
pihak perempuan disesuaikan dengan jangka waktu kontrak yang telah disepakati
antar kedua belah pihak. Sedangkan, nikah misyar mengenai persoalan waktu
pernikahannya tidak dibatasi dan sifatnya bisa untuk selamanya.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum nikah misyar ini, dari mulai boleh,
boleh tapi makruh sampai ada yang mengatakan dilarang.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Duraywish, al-Zawaj, 143. Pandangan ini diperkuat oleh dewan fatwa ulama Arab
Saudi dalam majalah al-Dakwah, edisi 1843, h. 56
Al-Qardhawi, Yusuf, Fatwa Mu‟asirah, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002)