Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

FIQIH MUNAKKAHAT

“MEMAHAMI KETENTUAN MAHAR DAN PERMASALAHANYA


DALAM ISLAM”

Dosen pengampu :Dr.Muhammad Hrfin Zuhdi M.A.

Disusun Oleh :

Rifki Saeful (200204081)

Zzenal Abidin Irfan Hadi (200204062)

FAKULTAS SYARI’AH

JURUSAN ILMU FALAK DAN ASTRONOMI ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM


KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT. yang telah melimpahkan berkah, rahmat,
taufik, serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul
“Memahami ketentuan mahar dan permasalahanya dalam islam”serta salam semoga
senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. yang telah membimbing
kami dari jalan kegelapan menuju jalan yang terang benderang yakni agama Islam.

Makalah ini memuat pendahuluan, pembahasan, penutup, dan daftar pustaka. Makalah ini
kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah”FIQIH MUNAKKAHAT” semester 3 Jurusan
Ilmu Falak dan Astronomi Islam Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Mataram.

Dengan menggunakan makalah ini semoga kegiatan belajar dalam memahami materi ini
dapat lebih menambah sumber-sumber pengetahuan. Kami sadar dalam penyusunan makalah ini
belum bisa dikatakan mencapai tingkat kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran tentu Saya
butuhkan. Mohon maaf apabila ada kesalahan cetak atau kutipan-kutipan yang kurang berkenan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

Penulis

Mataramr,27,September; 2021
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................2

DAFTAR ISI...................................................................................................................................3

BAB I...............................................................................................................................................4

PENDAHULUAN...........................................................................................................................4

A.Latar belakang..........................................................................................................................4

B.Perumusan Masalah..................................................................................................................4

C.Tujuan.......................................................................................................................................4

BAB II.............................................................................................................................................6

PEMBAHASAN..............................................................................................................................6

1.Pengertian Mahar......................................................................................................................6

2.Kedudukan Mahar dalam Pernikahan.......................................................................................6

3.Kadar dan Macam-macam Mahar.............................................................................................8

4. Syarat-Syarat Mahar..............................................................................................................11

BAB III..........................................................................................................................................12

PENUTUP.....................................................................................................................................12

1.Kesimpulan.............................................................................................................................12

2.Keritik dan Saran....................................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................14
BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar belakang
Mahar merupakan pemberian yang dilakukan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai
perempuan yang hukumnya wajib, tetapi tidak ditentukan bentuk dan jenisnya, besar dan
kecilnya, baik dalam al-Qur’an maupun al-Hadis.Dalam bahasa Arab, terma mahar jarang
digunakan. Kalangan ahli fiqh lebih sering menggunakan kata shidaq dalam kitab-kitab fiqhnya.
Sebaliknya, di Indonesia terma yang paling sering digunakan adalah terma mahar dan maskawin.
Para ulama menyatakan bahwa tidak ada perbedaan mendasar antara term as-shidaq dan al-
mahr.Mahar yang diberikan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan bukan
diartikan sebagai pembayaran, seolah-olah perempuan yang hendak dinikahi telah dibeli seperti
barang. Pemberian mahar dalam syariat Islam dimaksudkan untuk mengangkat harkat dan derajat
kaum perempuan yang sejak zaman Jahiliyah telah diinjak-injak harga dirinya. Dengan adanya
pembayaran mahar dari pihak mempelai laki-laki, status perempuan tidak dianggap sebagai
barang yang diperjualbelikan. Pada zaman Jahiliyah, hak-hak perempuan dihilangkan dan disia-
siakan, sehingga perempuan tidak berhak memegang harta bendanya sendiri atau walinya pun
dengan semena-mena menghabiskan hak-hak kekayaannya. Dalam syariat Islam, wanita
diangkat derajatnya dengan diwajibkannya kaum laki-laki membayar mahar jika menikahinya.
B.Perumusan Masalah

a. Apa itu mahar? :


b. Bagaimana kedudukan mahar dalam pernikahan?
c. Bagaimana kadar dan macam-macam mahar?
d. Apa sajakah syarat-syarat mahar?
C.Tujuan
a.untuk mengetahui apa itu mahar.
b. untuk mengetahui kedudukan mahar dalam pernikahan.
c. untuk mengetahui kadar dan macam-macam mahar.
d. mengetahui syarat-syarat mahar.
BAB II

PEMBAHASAN

1.Pengertian Mahar
Mahar atau maskawin adalah harta yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki (atau
keluarganya) kepada mempelai perempuan (atau keluarga dari mempelai perempuan) pada
saat pernikahan. Istilah yang sama pula digunakan sebaliknya bila pemberi mahar adalah pihak
keluarga atau mempelai perempuan. Secara antropologi, mahar sering kali dijelaskan sebagai
bentuk lain dari transaksi jual beli sebagai kompensasi atas kerugian yang diderita pihak
keluarga perempuan karena kehilangan beberapa faktor pendukung dalam keluarga seperti
kehilangan tenaga kerja, dan berkurangnya tingkat fertilitas dalam kelompok.
Mahar juga kadang-kadang diartikan sebagai pengganti kata biaya atas kompensasi terhadap
proses pengajaran ilmu ataupun kesaktian dari seorang guru kepada orang lain.
Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki
kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya[3].

Jika istri telah menerima maharnya, tanpa paksaan, dan tipu muslihat, lalu ia memberikan sebagian
maharnya maka boleh diterima dan tidak disalahkan. Akan tetapi, bila istri dalam memberi maharnya
karena malu, atau takut, maka tidak halal menerimanya. Allah Swt. Berfirman:

‫ج َو َءاتَ ْيتُ ْم اِحْ َده َُّن قِ ْنطَارًا فَالَ تَأْ ُخ ُذوْ ا ِم ْنهُ َش ْيئُا اَتَأْ ُخ ُذوْ نَهُ بُ ْهتَنًا َواِ ْث ًما ُمبِ ْينًا‬ ٍ ْ‫َوإِ ْن اَ َر ْدتُ ْم اِ ْستِ ْبدَا َل زَ و‬
ِ ْ‫ج َّم َكانَ زَ و‬
Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan seseorang
diantara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang
sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan
(menanggung) dosa yang nyata? (Q.S AL-NISA[4]: 20).

2.Kedudukan Mahar dalam Pernikahan


Kantor Urusan Agama (KUA) dalam melaksanakan akad nikah berpedoman pada dua
pertimbangan hukum, yakni hukum perkawinan Islam yang dijelaskan melalui fiqhmunakahat
dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Kedudukan mahar menjadi syarat sahnya perkawinan
karena tidak ada hukum perkawinan dan undang-undang yang menyatakan bahwa perkawinan
sah walaupun tanpa mahar. Kedua hukum yang berlaku menyatakan bahwa mahar harus ada
secara mutlak dalam perkawinan.Keharusan adanya mahar dalam perkawinan disebabkan oleh
dua hal.
Pertama: Adanya firman Allah SWT. dan hadis yang mewajibkan calon suami memberi mahar
kepada calon istrinya, sebagaimana dalam surat An-Nisa ayat 4:

)٤:‫(النساء‬٠‫صد ُٰقتِ ِهنَّنِحْ لَ ۗۃًفَا ِ ْن ِط ْبنَلَ ُك ْم َع ْن َش ْي ٍء ِم ْنهُنَ ْفسًافَ ُكلوْ ﻩُهَ ٓنِ ْيٸًا َّم ِر ْيٸًا‬
َ ‫لنِّ َسٓا َء‬١١‫تُو‬١ٰ‫َو‬

Artinya:“Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian
dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan
senanghati.” (Q. S. An-Nisa:4)
Dengan demikian, tidak ada perselisihan pendapat di kalangan ulama mengenai kedudukan
mahar dalam perkawinan, sebagaimana pengucapannya dalam ijab qabul perkawinan. Bertitik
tolak dari dalil tersebut, KUA apabila memfasilitasi pernikahan salah satunya menanyakan
kepada mempelai pria tentang mahar yang akan diberikan kepada calon mempelai perempuan.
Kemudian, apabila telah diketahui jenis dan jumlah maharnya, pihak wali nikah akan
mengucapkan dengan jelas dalam kalimat ijab, yang akan dijawab pula dengan jelas oleh pihak
mempelai pria dengan jelas, yang disebut dengan qabul.

Kedua: Adanya hadis Rasulullah SAW. yang menyatakan bahwa laki-laki wajib memberi mahar
kepada calon istrinya, jika perlu sebelum melakukan dukhul.

َ ً‫قاَلَلَوْ أَنَّ َر ُﺟﻼًأَ ْعطَىا ِ ْم َرأَة‬٠‫م‬٠‫َع ْن َجابِ ِر ْبنِ َع ْب ِدﷲِٲَنَّ َرسُوْ َلﷲِص‬
٠ً‫صدَاقًا ِماْل َيَ َد ْي ِهطَعاَماًكاَنَ ْتلَهُ َحالَال‬

(‫))رواهاحمدوأبوداود‬

Artinya:“Dari Jabir, sesungguhnya Rasulullah SAW. telah bersabda, ‘Seandainya seorang laki-
laki memberi makanan sepenuh dua tangannya saja untuk maskawin seorang perempuan,
sesungguhnya perempuan itu halal baginya.’” (H.R. Ahmad dan Abu Dawud).

Ketiga: Pelaksanaan akad nikah melalui ijab qabul dengan pengucapan yang jelas diperintahkan
oleh hukum perkawinan Islam dan KHI. Sebagaimana Sayyid Sabiq (1992:74) bahwa sighat
yang dipergunakan dalam akad nikah harus jelas, diucapkan tidak terputus dan tidak dibenarkan
terputus-putus. Oleh karena itu, apabila terdapat kekeliruan, pengucapannya harus diulang.
Demikian pula, dalam KHI Pasal 27 dikatakan bahwa ijab dab qabul antara wali dengan calon
mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu. Kekeliruan penyebutan mahar
sama dengan “tidak jelas” dalam mengucapkan ijab qabul yang akan merusak sighat akad nikah
secara keseluruhan, sehingga wajib untuk diulang.

Dengan tiga alasan dan pertimbangan yuridis di atas, dalam perspektif fiqhmunakahat,
pelaksanaan akad nikah dalam konteks kedudukan mahar dalam perkawinan yang dilaksanakan
di KUA adalah sebagai tindakan yang berhati-hati dalam melaksanakan hukum Islam dan
undang-undang yang berlaku. Disebabkan perkawinan merupakan perjanjian yang sakral yang
harus diakadkan secara sempurna dengan dan atas nama Allah SWT. dengan tidak memandang
sepele terhadap kekeliruan yang terdapat dalam kalimat ijab dan qabul.

3.Kadar dan Macam-macam Mahar

-. Kadar Mahar

Mengenai besarnya mahar, para fuqaha telah sepakat bahwa bagi mahar itu tidak ada batas
tertinggi. Kemudian mereka berselisih pendapat tentang batas terendahnya.

Imam syafii, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan Fuqaha Madinah dari kalangan Tabi’in berpendapat
bahwa mahar tidak ada batas minimalnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu
yang lain dapat menjadikan mahar. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari
kalangan pengikut Imam Malik.

Sebagian fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya. Imam Malik dan
para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar emas murni, atau
perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang yang sebanding berat emas perak tersebut.

-.Macam-macam Mahar

Mengenai kewajiban pembayaran mahar, para fuqaha telah sepakat bahwa mahar wajib
diberikan oleh seorang mempelai laki-laki kepada mempelai wanita. Waktu pemberian mahar
biasa dilakukan pada waktu akad pernikahan. Mahar yang dimaksudkan terdiri dari beberapa
macam :
a. Mahar Musamma

Mahar musamma adalah mahar yang telah ditetapkan bentuk dan jumlahnya dalam shighat akad.
Mahar musamma ada dua macam, yaitu :

– Mahar musammamu’ajjal, yakni mahar yang segera diberikan oleh calon suami

kepada calon istrinya. Menyegerakan pemberian mahar hukumnya sunnat.

– Mahar musammaghairmu’ajjal, yaitu mahar yang pemberiannya ditangguhkan.Dalam


kaitannya dengan pemberian mahar, wajib hukumnya membayar mahar musamma apabila terjadi
dukhul, apabila salah seorang dari suami atau istri meningal dunia sebagaimana disepakati oleh
para ulama, apabila telah terjadi khalwat (bersepi-sepi), suami wajib membayar mahar (Kamal
Mukhtar, 1990:86).

Mahar tidak termasuk rukun dan syarat pernikahan. Hanya saja, menjadi kewajiban suami untuk
membayarnya. Apabila salah seorang suami meninggal dunia, sementara dia belum membayar
mahar kepada istrinya, pembayarannya diambil dari harta peninggalannya dan dibayarkan oleh
ahli warisnya. Hal itu disebabkan mahar yang belum dibayar termasuk ke dalam utang-piutang.
Apabila istrinya membebaskan utang mahar tersebut, tidak ada kewajiban ahli waris untuk
membayarnya.

Suami yang menalak istrinya sebelum dukhul wajib membayar setengah dari mahar yang telah
diakadkan, sebagaimana disebutkan dalam al-Quran suroh Al-Baqarah ayat 237:

ْ ‫ضةًفَنِصْ فُ َمافَ َرضْ تُ ْما ِ ۤالَّ ۤاَ ْنيَ ْعفُوْ نَاَوْ يَ ْعفُ َواالَّذ ْيبِيَ ِد ٖه ُع ْق َدةُالنِّكا َ ۗ ِح َواَ ْنتَ ْعفُوْ ۤااَ ْق َربُلِلتَّ ْق ٰو ۗى َوالَتَ ْن َس ُو‬
َ‫االفَضْ ل‬ َ ‫َواِ ْنطَلَّ ْقتُموْ هُنَّ ِم ْنقَ ْباِل َ ْنتَ َمسُوْ هُنَّ َوقَ ْدفَ َرضْ تُ ْملَهُنَّفَ ِر ْي‬
ٰ
٠‫ص ْي ُر‬ِ َ‫بَ ْينَ ُك ّۗ ّْ¡ْۗماِنَّاللّهَبِ َماتَ ْع َملوْ نَب‬

Artinya:“Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu sentuh (campuri), padahal kamu
sudah menentukan maharnya, maka (bayarlah) seperdua dari yang telah kamu tentukan, kecuali
jika mereka (membebaskan) atau dibebaskan oleh orang yang akad nikah ada di tangannya.orang
yang memegang ikatan pembebasan itu lebih dekat kepada taqwa. Dan janganlah kamu lupa
pada kebaikan di antara kamu. Sungguh, Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.”

(Q.S. Al-Baqarah:237)
Mahar Mitsil

Mahar mitsil ialah mahar yang jumlahnya ditetapkan menurut jumlah yang biasa diterima oleh
keluarga pihak istri, karena pada waktu akad nikah, jumlah mahar itu belum ditetapkan
bentuknya. Allah SWT. berfirman dalam surat An-Nisa ayat 236, yang artinya:“Tidak ada dosa
bagimu jika kamu menceraikan istri-istrimu yang belum kamu sentuh (campuri) atau belum
kamu tentukan maharnya. Dan hendaklah kamu beri mereka mut’ah bagi yang mampu menurut
kemampuannya dan bagi yang tidak mampu menurut kesanggupannya, yaitu pemberian dengan
cara yang patut, yang merupakan kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Q.S. Al-
Baqarah :236)

Menurut Imam Malik dan para pengikutnya, berdasarkan ayat di atas, seorang suami boleh
memilih salah satu dari tiga kemungkinan. Apakah ia menceraikan istrinya tanpa menentukan
maharnya atau ia menentukan mahar mitsilnya. Sebagaimana pada ayat di atas dijelaskan secara
rinci pada kalimat, “hendaklah kalian berikan suatu mut’ah menurut kemampuanmu.”

Adapun kemungkinan yang kedua dipandang akan memberatkan pihak bekas suami, sedangkan
pihak istri dapat meminta mahar yang tinggi. Kemungkinan ketiga, yaitu membayar mahar mitsil
dipandang lebih adil dan bijaksana, karena hal itu didasarkan kepada kemampuan pihak suami
dengan mengacu pada mahar serupa yang biasa diterima oleh pihak istri.

Kaitannya dengan penundaan pembayaran mahar, para fuqaha berbeda pendapat. Sebagian
fuqaha melarang menunda pembayaran mahar, sementara sebagian ulama membolehkan. Imam
Malik menegaskan bahwa boleh menunda pembayaran mahar, tetapi apabila suami hendak
menggauli istrinya, hendaknya ia telah membayar separuhnya. Cara penundaan pembayaran
mahar harus tentu waktunya dan tidak terlalu lama ditunda-tunda. Oleh karena itu, batas
waktunya harus disepakati oleh kedua belah pihak (Ibnu Rusyd,1990:394).

Dianjurkan untuk menunda pembayaran mahar dengan batas waktu yang jelas dan tidak
sampai tibanya ajal salah satu pihak, baik pihak suami atau istrinya. Al-Auza’i (1990:394)
berpendapat bahwa menunda pembayaran mahar dibolehkan meskipun sampai kematian atau
terjadinya perceraian. Penundaan pembayaran mahar tidak terbatas sebagaimana dalam jual beli
karena penundaan pembayaran mahar bersifat badah. Yang penting, suami tetap wajib
membayar.
4. Syarat-Syarat Mahar

Mahar yang diberikan kepada calon istri tidak boleh sembarangan, melainkan harus
memenuhi syarat-syarat tertentu. Melansir dari Al-Fiqh ‘ala Madzahibal-Arba’ah karya
Abdurrahman Al-Jaziri, berikut ini adalah syarat mahar:

 Harta berharga. Sesuatu yang tidak berharga tidak sah sebagai mahar. Jika mahar sedikit
namun bernilai, maka barang tersebut tetap sah disebut mahar. Sejatinya, tidak ada
ketentuan banyak atau sedikitnya maskawin.

 Barangnya suci dan bermanfaat. Oleh sebab itu jika mahar berupa khamar, babi, atau hal
lainnya yang dianggap haram dalam ajaran Islam dan yang tidak berharga, maka
hukumnya tidak sah.

 Bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya
namun tidak bermaksud memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya kelak.
Mahar dari hasil ghasab tidak sah, tetapi akadnya tetap sah.

 Bukan barang yang tidak jelas keadaannya. Jika barang tidak jelas keadaannya atau tidak
disebutkan jenisnya, maka barang tersebut tidak boleh dijadikan mahar.
BAB III

PENUTUP

1.Kesimpulan
Mahar merupakan pemberian yang dilakukan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai
perempuan yang hukumnya wajib, tetapi tidak ditentukan bentuk dan jenisnya, besar dan
kecilnya, baik dalam al-Qur’an maupun al-Hadis.Dalam bahasa Arab, terma mahar jarang
digunakan. Kalangan ahli fiqh lebih sering menggunakan kata shidaq dalam kitab-kitab fiqhnya.
Sebaliknya, di Indonesia terma yang paling sering digunakan adalah terma mahar dan maskawin.
Para ulama menyatakan bahwa tidak ada perbedaan mendasar antara term as-shidaq dan al-mahr.

Mahar yang diberikan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan bukan diartikan
sebagai pembayaran, seolah-olah perempuan yang hendak dinikahi telah dibeli seperti barang.
Pemberian mahar dalam syariat Islam dimaksudkan untuk mengangkat harkat dan derajat kaum
perempuan yang sejak zaman Jahiliyah telah diinjak-injak harga dirinya. Dengan adanya
pembayaran mahar dari pihak mempelai laki-laki, status perempuan tidak dianggap sebagai
barang yang diperjualbelikan. Pada zaman Jahiliyah, hak-hak perempuan dihilangkan dan disia-
siakan, sehingga perempuan tidak berhak memegang harta bendanya sendiri atau walinya pun
dengan semena-mena menghabiskan hak-hak kekayaannya. Dalam syariat Islam, wanita
diangkat derajatnya dengan diwajibkannya kaum laki-laki membayar mahar jika menikahinya.

2.Keritik dan Saran


Mungkin inilah yang kami wacanakan sebagai penulis pada penulisan ini meskipun penulisan
ini jauh dari sempurna munimal para pembaca dapat mengimplementasikan tulisan ini. Selain
itu, makalah ini masih banyak memiliki kesalahan dari segi pnulisan, sumber materi, dan
lainnya, karena penulis juga merupakan manusia yang adalah tempat salah dan dosa: dalam
hadits “al insanuminal khotto’ wan nisyan”, dan juga kami butuh saran serta kritik agar bisa
menjadi motivasi untuk masa depan yang lebih baik daripada masa sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA

-https://id.m.wikipedia.org › wiki
Hasil web
Mahar - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
-konsep mahar dalam perspektif fikih dan perundang-undangan
https://jurnal.komisiyudisial.go.id
-https://kumparan.com › syarat-d...
Syarat dan Jenis Mahar dalam Islam yang Perlu Diketahui Sebelum ...
-https://media.neliti.com › mediaPDF
Hasil web
KEDUDUKAN DAN HIKMAH MAHAR DALAM PERKAWINAN
-http://repository.unej.ac.id › handle
Hasil web
tinjauan yuridis perkawinan tanpa ucapan mahar (mahar mitsil ...
-https://www.republika.co.id › k...
Kenali Dua Jenis Mahar dalam Islam | Republika Online

Anda mungkin juga menyukai