Oleh kelompok 09
FAKULTAS SYARIAH
OKTOBER 2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas segala Puji syukur kehadirat Allah SWT
atas segala rahmatNya sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami
mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
untuk para pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca
praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kami yakin masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami punya. Untuk itu kami sangat mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Oleh
karena itu pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Fathor
Rahman, SH.I, M.Sy. sebagai dosen pengampu mata kuliah fiqih muamalah semoga ilmu
yang beliau berikan dapat bermanfaat dan barokah bagi kita semua.
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN.............................................................................................
A. LATAR BELAKANG............................................................................
B. RUMUSAN MASALAH........................................................................
C. TUJUAN.................................................................................................
BAB II
PEMBAHASAN...............................................................................................
BAB III
PENUTUP.........................................................................................................
KESIMPULAN.................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Akad jialah, ju’l secara bahasa adalah sesuatu yang disiapkan untuk diberikan
kepada seseorang yang berhasil melakukan suatu pekerjaan tertentu, akad jialah
adalah komitmen memberi imbalan atas sesuatu pekerjaan yang telah dilakukan oleh
orang tersebut1.
Definisi ji’alah bisa diartikan sebagai imbalan atau komisi yang diberikan
kepada seseorang yang melakukan suatu hal yang tidak bisa dilakukan oleh orang
yang meminta untuk melakukan hal tersebut, dia tidak bisa melakukan suatu hal,
maka dari itu ia meminta tolong orang lain yang bisa melakukan hal tersebut dan akan
diberi upah. Didalam akad ji’alah terdapat syarat-syaratnya.
Jialah merupakan pemberian upah atau bisa disebut dengan hadiah atas suatu
hal yang bermanfaat yang dilakukan atau dikerjakan oleh orang yang melaksanakan
hal tersebut dan diduga bakal terwujud. Jialah tidak bisa dibatalkan transaksinya
secara sepihak.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa hukum akad ji’alah
2. Apa shighah akad ji’alah
3. Apa syarat-syarat akad ji’alah
4. Bagaimana bentuk akad ji’alah dan waktu penyerahan upah
5. Apa perbedaan ji’alah dengan ijarah
1
Prof. DR. Wahbah Az-Zuhaili, fiqh islam wa adillatuhu hlm. 432
BAB II
PEMBAHASAN
2
Maksud kabur disini adalah perginya seorang budak dengan melawan, baik kabur dari
yangmenyewanya, atau dari yang di titipkannya , atau dari yang meminjamnya,maupun dari yang
mewasiatkannya.
3
Bidayatul Mujtahid,vol. II, hlm. 223; al-Qawaaniin al-Fiqhiyah,loc. cit.; ary-Syarhut Kabiin toc. cit.;
Mughnit Muhtaa1, vol. tl, hlm. 429;al-Mughni, voL V hlm. 656; Kasyaaf al-Qinaaivol.lV hlm.225; al-
Muhadzdzab, voL l, hIm.411.
fuga berdasarkan hadits yang menceritakan tentang orang yang mengambil
upah atas pengobatan dengan surah al-Faatihah, yang diriwayatkan oleh famaah
kecuali Imam Nasa'i dari Abu Sa'id al-Khudri. Diriwayatkan bahwa beberapa orang
sahabat Rasulullah sampai pada satu kampung badui tapi mereka tidak dijamu. Pada
saat demikian tiba-tiba kepala suku badui disengat kalajengking.
Penduduk kampung itu pun bertanya, 'Apakah di antara kalian ada yang bisa
mengobati?" Para sahabat menjawab, "Kalian belum menjamu kami. Kami tidak akan
melakukannya kecuali jika kalian memberi kami upah."
Maka mereka menyiapkan sekawanan domba. Lalu seorang sahabat membaca
surah alFaatihah dan mengumpulkan air ludahnya kemudian meludahkannya sehingga
kepala suku itu pun sembuh. Penduduk kampung itu pun lalu memberi domba yang
dijaniikan kepada para sahabat. Para sahabat itu berkata, "Kami tidak akan
mengambilnya hingga kami tanyakan dahulu kepada Rasulullah." Kemudian para
sahabat itu menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah, maka beliau pun tertawa dan
berkata, "Tidakkah kalian tahu? Surah al-Faatihah itu adalah obat. Ambilah domba itu
dan berikan kepadaku satu bagien."4
Terdapat dalil aqli (rasio) yang juga menguatkan dibolehkannya akad ii'alah,
yaitu kebutuhan masyarakat yang menuntut diadakannya akadii'alah ini, seperti untuk
mengembalikan binatang ) yang hilang budak yang lari atau kabur, dan pekerjaan
yang tidak bisa dilakukan sendiri. Maka boleh mengeluarkan upah seperti akad ijarah
dan mudharabah, hanya saja pekerjaan dan waktu yang belum jelas dalam ji'alah tidak
merusak akad itu, berbeda halnya dalam ij a r ah. HaI itu karena akad f'aIah sifatnya
tidak mengikat, sedangkan akad ijarah mengikat dan memerlukan kepastian waktu
untuk mengetahui jumlah manfaat yang akan digunakan. Selain itu, karena akad
ji'alah adalah sebuah keringanan (rukhshah) berdasarkan kesepakatan ulama, karena
mengandung ketidakjelasan, dan dibolehkan karena ada izin dari Allah.
memenuhinya. Apabila seseorang pelaksana akad ('amil) memulai pekerjaan ji'alah
tanpa izin dari pemberi upah , atau ia memberi izin kepada seseorang tapi yang
mengerjakannya adalah orang lain, maka orang itu ('amil) tidak berhak mendapatkan
apa-apa. Hal itu karena pada kondisi pertama orang itu bekerja dengan sukarela; dan
pada kondisi kedua orang itu tidak melakukan apa-apa. Tidak disyaratkan bagi ja'il
harus seorang pemilik barang dalam ji'alah, sehingga dibolehkan bagi selain pemilik
4
Noilul Authaar,vol.S, hlm. 289
barang untuk memberikan upah dan orang yang dapat mengembalikan sesuatu itu
berhak menerima upah tersebut.
Juga tidak disyaratkan adanya ucapan qabul [penerimaan) dari'amil
(pelaksana), sekalipunya'il telah mengkhususkan orang itu untuk melaksanakan akad
ji'alah tersebut, karena akad ini merupakan komitmen dari satu pihak sebagaimana
telah dijelaskan di atas. Akad jfalah dibolehkan dikhususkan untuk orang tertentu saja
atau untuk umum. Seorangya'i/ juga dibolehkan untukmemberikan bagi orangkhusus
imbalan tertentu dan bagi orang lain imbalan yang berbeda.
5
Mughnit Muhtaaj, vol.ll,hlm.429 dan seterusnya ; al-Muhadzdzab, vol. I, hlm. 41 l; at-Mughni, vol. V
hlm. 658; asy-Syarhush Shaght ir, vol. lV hlm. 81; asy-Syarhul Kabiin voLlV, hlm. 60.
C. SYARAT-SYARAT AKAD JI’ALAH
7
Bidoryotut Mujtahid, vol. II, hlm. 233; ary-Syarhut Kabiir karya Dardi4, vol. IV hlm. 60i Mughnit Muhtaaj,
vol. II, hlm. 433; atMuhadzdzab,vol.l,hlm.4l2; Kasyaaf al-Qinaa', vol. IV hlm.228; al-Mughni, voL V hlm. 657.
8
Al-qo*ooniin al-Fiqhiyah,hlm.2TS; asy-Syarhul Kabiir vol IV hlm.6l; Mughnit Muhtaaj,vol.ll,
hlm.433; at-Muhadzdzab,vol. l, hlm. 412; Kasyaaf al-Qinaa',vol.IV hlm.225; al-Mughni, vol. Y hlm.658.
9
Mughnit Muhtaaj, vol.ll, hlm. 431.
Jika yang mengembalikan barang itu dua orang secara bersama-sama, maka
keduanya berhak mendapatkan upah secara bersama pul4 karena barang tersebut
dikembalikan oleh mereka berdua secara bersama-sama.10
Jika 'amil mengembalikan barang yang dijadikan objek ji'alah, maka dia tidak
boleh menahannya untuk mengambil upah. Ia juga tidak boleh menahannya untuk
mengambil biaya yang terpakai dengan seizin pemilik, karena upah hanya bisa
didapatkan dengan menyerahkan barang tersebut, dan tidak menahannya sebelum
memperoleh upah.11
Amil tidak berhak mendapatkan upah kecuali dengan izin yang memiliki
pekerjaan itu dan dengan menyelesaikan pekerjaannya. Sehingga, jika'amil bekerja
tanpa seizin pemilik pekerjaan itu, maka dia tidak berhak mendapatkan apa pun. Dan
jika 'amil belum menyelesaikan pekerjaannya, seperti menyembuhkan orang sakit,
mengajar membaca dan menulis, maka dia tidak berhak mendapatkan upah.
Sementara itu, ulama Syafi'iyah dan Hanabilah berpendapat 12 bahwa boleh
bagi ja'il menambah atau mengurangi upah, karena 7i1 alah adalah akad yang tidak
mengikat, maka boleh menambah atau mengurangi upah seperti dalam akad
mudharaboh. Hanya saja ulama Syafi'iyah membolehkan yang demikian itu sebelum
pekerjaannya selesai, baik sebelum dimulai maupun sesudahnya, seperti jika dia
berkata, "Barangsiapa yang dapat mengembalikan barangmiliksaya, maka dia akan
mendapatkan sepuluh." Kemudian dia berkata lagi, "Dia akan mendapatkan lima,"
atau sebaliknya. Faedah masalah ini terlihat setelah dimulainya suatu pekerjaan, maka
ketika itu wajib memberikan upah yang berlaku secara umum, karena perubahan
dengan menambah atau mengurangi itu merupakan pembatalan (fasakh) atas
pengumuman yang dahulu. Pembatalan dariia'il menyebabkan akad itu dikembalikan
pada ketentuan upah umum. Adapun ulama Hanabilah membatasi perubahan ini
dengan sebelum dimulainya pekerjaan, maka perubahan ini boleh dan berlaku.
10
6Ary-Syorhut Kabiir,vol.lY hlm. 61; Mughnit Muhtaal, vol. II, hlm. 4 3L; al-Mughni,vol V hlm. 658.
11
Mughnit Muhtaaj, vol.ll, hlm. 434.
12
Mughnit Muhtaaj, vol.ll, hlm. 433 dan seterusnya; al-Muhadzdzab, vol.l,hlm.4l2, Kasyaaf at-
Qinaa',vol.lV,hlm.229.
jasa (upah-mengupah), yaitu mengambil manfaat tenaganya manusia, ada juga yang
menerjemahkan sewa-menyewa, yaitu mengambil manfaat dari barang13
Akad dalam ji’alah tdak berhak mendapatkan upah sedikitpun kecuali
pekerjaannya sudah selesai semua, sedangkan ijarah berhak mendapatkan upah
meskipun masih mengerjakan sebagian pekerjaan atau bisa dibilang pekerjaannya
belum tuntas semua.
Akad ji’alah sifatnya tidak mengikat, maka bisa membatalkannya, sedangkan
ijarah akad sifatnya mengikat maka dari itu tidak boleh membatalkannya14.
KESIMPULAN
- Ji’alah menurut ulama hanafiyah hukumnya tidak boleh karena ketidakjelasan
waktu dan pekerjaannya, namun menurut ulama malikiyah, syafi’iyah, dan
hanabilah akad ji’alah diperbolehkan karena ada dalilnya yaitu pada surah
yusuf;72
- Akad ji’alah merupakan komitmen atas kehendak sepihak, maka ji’alah tidak akan
terjadi tanpa adanya sighah, sighah ini berisi izin untuk melaksanakan
permintaan , menyyebutkan berapa atau berupa apa imbalannya.
- Syarat-syarat akad ji’alah itu ada 4, yaitu ahliyyatut ta’aqud (diperbolehkannya
melakukan akad), upah dalam akad harus diketahui, manfaat didalamnya harus
bisa diketahui, ulama malikiyah tidak memperbolehkan adanya batasan waktu,
sedangkan sebagian dari mereka berpendapat boleh menyebutkan waktu yang
diinginkan
- Ulama sepakat bahwa akad ini tidak mengikat, berbeda dengan ijarah. Upah hanya
bisa didapat ketika menyerahkan barang atau menyelesaikan permintaan ja’il .
Wajib bagi ja’il memberi upah jika si ja’il membatalkan akad ji’alah ketika si amil
sedang melakukan pekerjaannya, dan si ja’il memberi sesuai dengan apa yang si
amil lakukan (ini mmenurut ulama syafi’iyah)15
- Ji’alah adalah akad yang tidak mengikat, sedangkan ijarah adalah akad yang
mengikat
DAFTAR PUSTAKA
13
Prof.DR.H.Rachmat Syafe’i,M.A, Fiqih Muamalah, Halaman 122
14
Prof. DR. Wahbah Az-Zuhaili, fiqh islam wa adillatuhu hlm. 435
15
Prof. DR. Wahbah Az-Zuhaili, fiqh islam wa adillatuhu hlm. 438
Prof. DR. Wahbah Az-Zuhaili, fiqh islam wa adillatuhu jilid 5