Anda di halaman 1dari 13

JIALAH

Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah Fiqih Muamalah

Pembimbing Dosen Fathor Rahman, SH.I, M.Sy.

Oleh kelompok 09

Sa’ida Nur Azizah 222102020057

Rizka Ayu 222102020055

Rofik Maulana 222102020056

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

KIAI HAJI ACHMAD SIDDIQ JEMBER

FAKULTAS SYARIAH

OKTOBER 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas segala Puji syukur kehadirat Allah SWT
atas segala rahmatNya sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami
mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.

Kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
untuk para pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca
praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Kami yakin masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami punya. Untuk itu kami sangat mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Oleh
karena itu pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Fathor
Rahman, SH.I, M.Sy. sebagai dosen pengampu mata kuliah fiqih muamalah semoga ilmu
yang beliau berikan dapat bermanfaat dan barokah bagi kita semua.
DAFTAR ISI

BAB I

PENDAHULUAN.............................................................................................

A. LATAR BELAKANG............................................................................
B. RUMUSAN MASALAH........................................................................
C. TUJUAN.................................................................................................

BAB II

PEMBAHASAN...............................................................................................

A. HUKUM AKAD JI’ALAH.....................................................................


B. SIGHAH AKAD JI’ALAH.....................................................................
C. SYARAT-SYARAT AKAD JI’ALAH
D. BENTUK AKAD JI’ALAH DAN WAKTU PENYERAHAN UPAH
E. PERBEDAAN JI’ALAH DENGAN IJARAH.......................................

BAB III

PENUTUP.........................................................................................................

KESIMPULAN.................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Akad jialah, ju’l secara bahasa adalah sesuatu yang disiapkan untuk diberikan
kepada seseorang yang berhasil melakukan suatu pekerjaan tertentu, akad jialah
adalah komitmen memberi imbalan atas sesuatu pekerjaan yang telah dilakukan oleh
orang tersebut1.
Definisi ji’alah bisa diartikan sebagai imbalan atau komisi yang diberikan
kepada seseorang yang melakukan suatu hal yang tidak bisa dilakukan oleh orang
yang meminta untuk melakukan hal tersebut, dia tidak bisa melakukan suatu hal,
maka dari itu ia meminta tolong orang lain yang bisa melakukan hal tersebut dan akan
diberi upah. Didalam akad ji’alah terdapat syarat-syaratnya.
Jialah merupakan pemberian upah atau bisa disebut dengan hadiah atas suatu
hal yang bermanfaat yang dilakukan atau dikerjakan oleh orang yang melaksanakan
hal tersebut dan diduga bakal terwujud. Jialah tidak bisa dibatalkan transaksinya
secara sepihak.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa hukum akad ji’alah
2. Apa shighah akad ji’alah
3. Apa syarat-syarat akad ji’alah
4. Bagaimana bentuk akad ji’alah dan waktu penyerahan upah
5. Apa perbedaan ji’alah dengan ijarah

C. 1. Mengetahui Apa hukum akad ji’alah


2. Mengetahui Apa shighah akad ji’alah
3. Mengetahui Apa syarat-syarat akad ji’alah
4. Mengetahui Bagaimana bentuk akad ji’alah dan waktu penyerahan upah
5. Mengetahui Apa perbedaan ji’alah dengan ijarah

1
Prof. DR. Wahbah Az-Zuhaili, fiqh islam wa adillatuhu hlm. 432
BAB II

PEMBAHASAN

A. HUKUM AKAD JI’ALAH


Menurut ulama Hanafiyah akad ji’alah tidak diperbolehkan karena didalamnya
terdapat unsur penipuan (gharar) yaitu tidak jelasnya pekerjaan dan waktunya. Ini
disebabkan karena hal ini diqiyaskan pada seluruh akad ijarah (sewa) yang
disyaratkan adanya kejelasan pekerjaan, upah, dan waktunya. Namun, diperbolehkan
jika dengan dalil istihsan yaitu dengan memberikan hadiah kepada orang yang dapat
mengembalikan budak yang lari atau kabur, 2 dari jarak perjalanan tiga hari atau lebih,
walaupun tanpa syarat. fumlah hadiah itu sebesar'empat puluh dirham untuk menutupi
biaya selama perjalanan.
Jika dia mengembalikan budak itu kurang dari jarak perjalanan tersebut, maka
hadiah disesuaikan dengan jarak perjalanan tersebut sesuai sedikit dan banyaknya
perjalanan. Misalnya, jika dia mengembalikan budak dalam jarak perjalanan dua hari,
maka dia mendapat upah dua pertiganya; dan bila mengembalikannya dalam jarak
perjalanan satu hari, maka dia mendapat upah sepertiganya. Barangsiapa yang dapat
mengembalikannya kurang dari satu hari atau menemukannya di daerahnya, maka dia
mendapat upah disesuaikan dengan kadar pekerjaannya. Sebab, untukberhak
mendapatkan upah adalah dapat mengembalikan budak kepada pemiliknya. Dengan
demikian, pemberian upah tersebut adalah sebuah cara bagi pemiliknya untuk
menjaga hartanya.
Sedangkan menurut ulama Malikiyah, Syafi'iyah dan Hanabilah, 3 akad ji'alah
dibolehkan dengan dalil firman Allah dalam kisah Nabi Yusuf as. bersama saudara-
saudaranya.
"Mereka menjawab,'Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh (bahan makanan seberat) beban onta, dan aku
jamin itu."'(Yusuf: 72).

2
Maksud kabur disini adalah perginya seorang budak dengan melawan, baik kabur dari
yangmenyewanya, atau dari yang di titipkannya , atau dari yang meminjamnya,maupun dari yang
mewasiatkannya.
3
Bidayatul Mujtahid,vol. II, hlm. 223; al-Qawaaniin al-Fiqhiyah,loc. cit.; ary-Syarhut Kabiin toc. cit.;
Mughnit Muhtaa1, vol. tl, hlm. 429;al-Mughni, voL V hlm. 656; Kasyaaf al-Qinaaivol.lV hlm.225; al-
Muhadzdzab, voL l, hIm.411.
fuga berdasarkan hadits yang menceritakan tentang orang yang mengambil
upah atas pengobatan dengan surah al-Faatihah, yang diriwayatkan oleh famaah
kecuali Imam Nasa'i dari Abu Sa'id al-Khudri. Diriwayatkan bahwa beberapa orang
sahabat Rasulullah sampai pada satu kampung badui tapi mereka tidak dijamu. Pada
saat demikian tiba-tiba kepala suku badui disengat kalajengking.
Penduduk kampung itu pun bertanya, 'Apakah di antara kalian ada yang bisa
mengobati?" Para sahabat menjawab, "Kalian belum menjamu kami. Kami tidak akan
melakukannya kecuali jika kalian memberi kami upah."
Maka mereka menyiapkan sekawanan domba. Lalu seorang sahabat membaca
surah alFaatihah dan mengumpulkan air ludahnya kemudian meludahkannya sehingga
kepala suku itu pun sembuh. Penduduk kampung itu pun lalu memberi domba yang
dijaniikan kepada para sahabat. Para sahabat itu berkata, "Kami tidak akan
mengambilnya hingga kami tanyakan dahulu kepada Rasulullah." Kemudian para
sahabat itu menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah, maka beliau pun tertawa dan
berkata, "Tidakkah kalian tahu? Surah al-Faatihah itu adalah obat. Ambilah domba itu
dan berikan kepadaku satu bagien."4
Terdapat dalil aqli (rasio) yang juga menguatkan dibolehkannya akad ii'alah,
yaitu kebutuhan masyarakat yang menuntut diadakannya akadii'alah ini, seperti untuk
mengembalikan binatang ) yang hilang budak yang lari atau kabur, dan pekerjaan
yang tidak bisa dilakukan sendiri. Maka boleh mengeluarkan upah seperti akad ijarah
dan mudharabah, hanya saja pekerjaan dan waktu yang belum jelas dalam ji'alah tidak
merusak akad itu, berbeda halnya dalam ij a r ah. HaI itu karena akad f'aIah sifatnya
tidak mengikat, sedangkan akad ijarah mengikat dan memerlukan kepastian waktu
untuk mengetahui jumlah manfaat yang akan digunakan. Selain itu, karena akad
ji'alah adalah sebuah keringanan (rukhshah) berdasarkan kesepakatan ulama, karena
mengandung ketidakjelasan, dan dibolehkan karena ada izin dari Allah.
memenuhinya. Apabila seseorang pelaksana akad ('amil) memulai pekerjaan ji'alah
tanpa izin dari pemberi upah , atau ia memberi izin kepada seseorang tapi yang
mengerjakannya adalah orang lain, maka orang itu ('amil) tidak berhak mendapatkan
apa-apa. Hal itu karena pada kondisi pertama orang itu bekerja dengan sukarela; dan
pada kondisi kedua orang itu tidak melakukan apa-apa. Tidak disyaratkan bagi ja'il
harus seorang pemilik barang dalam ji'alah, sehingga dibolehkan bagi selain pemilik

4
Noilul Authaar,vol.S, hlm. 289
barang untuk memberikan upah dan orang yang dapat mengembalikan sesuatu itu
berhak menerima upah tersebut.
Juga tidak disyaratkan adanya ucapan qabul [penerimaan) dari'amil
(pelaksana), sekalipunya'il telah mengkhususkan orang itu untuk melaksanakan akad
ji'alah tersebut, karena akad ini merupakan komitmen dari satu pihak sebagaimana
telah dijelaskan di atas. Akad jfalah dibolehkan dikhususkan untuk orang tertentu saja
atau untuk umum. Seorangya'i/ juga dibolehkan untukmemberikan bagi orangkhusus
imbalan tertentu dan bagi orang lain imbalan yang berbeda.

B. SIGHAH AKAD JI’ALAH

Akad ji’alah adalah komitmen berdasarkan kehendak satu pihak , sehingga


akad ji’alah tidak terjadi kecuali dengan adanya sighah 5 dari yang akan memberi upah
(ja’il) dengan sighah-sigha dalam definisi diatas dan yang sejenisnya. Sighah ini
berisi izin untuk melaksanakan dengan permintaannya yang jelas, menyebutkan
imbalan yang jelas dan yang diinginkan secara umum serta adanya komitmen untuk
itu memenuhinya. Apabila seseorang pelaksana akad ('amil) memulai pekerjaan ji'alah
tanpa izin dari pemberi upah (o'iI), atau ia memberi izin kepada seseorang tapi yang
mengerjakannya adalah orang lain, maka orang itu ('amil) tidak berhak mendapatkan
apa-apa. Hal itu karena pada kondisi pertama orang itu bekerja dengan sukarela; dan
pada kondisi kedua orang itu tidak melakukan apa-apa. Tidak disyaratkan bagi ja'il
harus seorang pemilik barang dalam ji'alah, sehingga dibolehkan bagi selain pemilik
barang untuk memberikan upah dan orang yang dapat mengembalikan sesuatu itu
berhak menerima upah tersebut.

Juga tidak disyaratkan adanya ucapan qabul (penerimaan) dari'amil


(pelaksana), sekalipunya'il telah mengkhususkan orang itu untuk melaksanakan akad
ji'alah tersebut, karena akad ini merupakan komitmen dari satu pihak sebagaimana
telah dijelaskan di atas. Akad jfalah dibolehkan dikhususkan untuk orang tertentu saja
atau untuk umum. Seorangya'i/ juga dibolehkan untukmemberikan bagi orangkhusus
imbalan tertentu dan bagi orang lain imbalan yang berbeda.

5
Mughnit Muhtaaj, vol.ll,hlm.429 dan seterusnya ; al-Muhadzdzab, vol. I, hlm. 41 l; at-Mughni, vol. V
hlm. 658; asy-Syarhush Shaght ir, vol. lV hlm. 81; asy-Syarhul Kabiin voLlV, hlm. 60.
C. SYARAT-SYARAT AKAD JI’ALAH

Dalam akad ji'alah disyaratkan beberapa syarat sebagai berikut.6

1. Ahliyyatut ta'aqud (dibolehkan melakukan akad). Menurut ulama Syafi'iyah dan


Hanabilah, seorangyofl baik pemilik maupun bukan, harus memiliki kebebasan dalam
melakukan akad (balig berakal dan biiaksana). Maka tidak sah akad seorang ja'il yang
masih kecil, gila dan yang dilarang membelanjakan hartanya karena bodoh atau idiot.
Adapun'amil jika sudah ditentukan pihak yang akan melakukannya, maka disyaratkan
baginya kemampuan untuk melakukan pekerjaan, sehingga tidak sah 'amil yang tidak
mampu melakukan pekerjaan, seperti anak kecil yang tidak mampir bekerja karena
tidakada manfaatnya. Dan jika'amil itu bersifat umum (tidak ditentukan orang yang
melakukannya), maka cukup baginya mengetahui pengumuman mengenai akad ji'alah
itu. Sedangkan menurut ulama Malikiyah dan Hanafiyah, akadii'alah sah dikerjakan
oleh anak yang mumaryz, adapun sifat taklif (pembebanan kewajiban) itu adalah
syarat keterikatan kepada akad.
2. Upah dalam akad ji'alah haruslah harta yang diketahui. fika upah itu tidak diketahui,
maka akadnya menjadi batal disebabkan imbalan yang belum jelas. Seperti jika
seseorang mengatakan, "Barangsiapa yang menemukan mobil saya maka dia akan
mendapatkan pakaian", atau, "Maka saya merelakannya", dan sebagainya. Dalam
keadaan ini, maka orang yang menemukannya atau mengembalikannya berhak
mendapatkan upah umum yang berlaku (ujratul mits[). Akad ini diserupakan dengan
akad, ijarah yang rusak (ijaaroh faasidah). Dan jika upah itu berupa barang haram,
seperti khamar atau barang yang ter-ghashab (diambil oleh orang lain tanpa hak),
maka akadnya juga batal karena kenajisan khamar dan ketidakmampuan untuk
menyerahkan barang yang ter -ghashab.
3. Manfaat yang diminta dalam akad, ji'olah harus dapat diketahui dan dibolehkan secara
syara. Oleh karena itu, tidak boleh akad ji'alah untuk mengeluarkan jin dari tubuh
seseorang dan melepaskan sihir; karena tidak mungkin mengetahui apakah jin tersebut
sudah benar-benar keluar atau belum, atau apakah sihir itu sudah benarbenar terlepas
atau belum. Akad ji'alah juga tidak boleh untuk sesuatu yang diharamkan manfaatnya,
seperti menyanyi, meniup seruling, meratapi dan semua hal yang diharamkan. Kaidah
yang berkaitan dengan ini adalahl021 bahwa sesuatu yang dibolehkan mengambil
6
Al-qorooriin al-Fiqhiyah, h\m.276, Mughnil Muhtaaj, vol.ll,hlm. 430 dan seterusnya , al-
MuhadzdzaD, vol. I, hlm. 411, al-Mughni, vol. V hlm. 656 dan seterusnya hal. 665, Kasyaaf al-Qinaa', vol. IV
hlm. 225-228, asy-Syarhul Kabiir l
imbalan darinya dalam akad ijarah, dibolehkan mengambil imbalan darinya dalam
ji'alah. Hal ini berdasarkan firman Allah, "Dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan permusuhan." (al-Maa- 'idah:2)
4. Ulama Malikiyah tidak membolehkan adanya batas waktu tertentu dalam akad.Ti'-
a/ah. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa dibolehkan menyebutkan waktu dan
pekerjaan yang diinginkan, seperti jika seorang j a'il berkata, "Barangsiapa yang bisa
menjahit pakaian buat saya dalam satu hari, maka dia akan mendapatkan upah
sekian." jika ada seseorangyang mampu mengerjakannya pada waktu yang telah
ditentukan, maka dia berhak mendapatkan upah dan tidak berkewajiban melakukan
hal yang lainnya. Dan jika dia tidak dapat mengerjakannya pada waktu yang telah
ditentukan, maka dia tidak berhak mendapatkan apa pun. Hal ini berbeda dengan akad
ijarah.

Dan sebagian ulama Malikiyah, yaitu alQadhi Abdul Wahab-berbeda dengan


pendapat Ibnu Rusyd-, menambahkan syarat kelima, yaitu bahwa dalam akad ji'alah
hendaknya pekerjaan yang diminta adalah ringan, meskipun pekerjaannya banyak,
seperti mengembalikan sejumlah onta yang lari atau kabur. Dan sebagaimana telah
disebutkan, para ulama Malikiyah mengharuskan tidak adanya syarat pemberian upah
ji'alah secara kontan. Jika disyaratkan tunai, maka akad ji’alah itu menjadi tidak sah,
karena hal itu seperti akad pinjaman yang menarik manfaat meskipun masih berupa
kemungkinan. Sedangkan menyegerakan upah dengan tanpa syarat dalam akad maka
tidak membuat akad tersebut tidak sah.

D. BENTUK AKAD JI’ALAH DAN WAKTU PENYERAHAN UPAH


Ulama yang membolehkan akad ji'alah7 bersepakat bahwa akad ini adalah
akad yang tidak mengikat, berbeda dengan akad ijarah. Oleh karena itu, dibolehkan
bagiia'il (pembuat akad) dan 'amil (pelaksana akad) membatalkan akad ji'alah ini.
Akan tetapi, para ulama tersebut berbeda pendapat tentang waktu dibolehkannya
pembatalan itu. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa boleh membatalkan akad j i'
alah sebelum pekerjaannya dimulai. Menurut mereka, akad ini mengikat atas ja'il-
bukan 'amil-dengan dimulainya pekerjaan itu. Adapun bagi 'amil yang akan diberikan
upah, akad ini tidak mengikat atasnya dengan sesuatu apa pun, baik sebelum bekerja
atau sesudahnya, maupun setelah dimulai pekerjaan.
Ulama Syafi'iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa boleh membatalkan akad
ji'alah kapan saja sesuai dengan keinginan ja'il dan 'amil khusus [yang ditentukan).
Hal ini seperti akad-akad yang bersifat tidak mengikat lainnya, seperti akad syarikah
danwakalah, sebelum selesainya pekerjaan yang diminta itu. Jika yang membatalkan
akad adalahTafl atau'amil khusus sebelum dimulainya pekerjaan yang diminta, atau
yang membatalkannya adalah 'amil sesudah pekerjaannya dimulai, maka'amil tidak
berhak mendapatkan apa pun dalam dua keadaan tersebut. Hal itu karena pada
keadaan pertama dia belum mengerjakan apa pun, dan pada keadaan yang kedua
belum tercapai maksud ja'il dalam akad itu. Adapun jika ja'il membatalkannya setelah
pekerjaan itu dimulai, maka dia wajib memberikan upah pada'amil sesuai dengan
pekerjaannya menurut ulama Syafi'iyah dalam pendapat yang paling benar (al-
ashahh), karena itu adalah pekerjaan yang berhak mendapatkan imbalan dan ja'il
belum menyerahkan pada'amil upah kerjanya. Hal ini sama seperti jika pemilik harta
membatalkan akad mudharabah setelah pekerjaannya dimulai dan 'amil berhak
mendapatkan upah atau upah tertentu dengan selesainya pekerjaan itu. Namun,
jika'amil membatalkannya sebelum pekerjaannya selesai, maka dia tidak berhak
mendapatkan apa pun.8
jika ja'il menentukan tempat untuk mengembalikan barang yang hilang, dan
'amil mengembalikannya di suatu tempat yang dekat dengan tempatyang sudah
ditentukan itu, maka dia berhak mendapatkan bagiannya dari upah tersebut,
sebagaimana pendapat ulama Syafi'- iyah. 9

7
Bidoryotut Mujtahid, vol. II, hlm. 233; ary-Syarhut Kabiir karya Dardi4, vol. IV hlm. 60i Mughnit Muhtaaj,
vol. II, hlm. 433; atMuhadzdzab,vol.l,hlm.4l2; Kasyaaf al-Qinaa', vol. IV hlm.228; al-Mughni, voL V hlm. 657.
8
Al-qo*ooniin al-Fiqhiyah,hlm.2TS; asy-Syarhul Kabiir vol IV hlm.6l; Mughnit Muhtaaj,vol.ll,
hlm.433; at-Muhadzdzab,vol. l, hlm. 412; Kasyaaf al-Qinaa',vol.IV hlm.225; al-Mughni, vol. Y hlm.658.
9
Mughnit Muhtaaj, vol.ll, hlm. 431.
Jika yang mengembalikan barang itu dua orang secara bersama-sama, maka
keduanya berhak mendapatkan upah secara bersama pul4 karena barang tersebut
dikembalikan oleh mereka berdua secara bersama-sama.10
Jika 'amil mengembalikan barang yang dijadikan objek ji'alah, maka dia tidak
boleh menahannya untuk mengambil upah. Ia juga tidak boleh menahannya untuk
mengambil biaya yang terpakai dengan seizin pemilik, karena upah hanya bisa
didapatkan dengan menyerahkan barang tersebut, dan tidak menahannya sebelum
memperoleh upah.11
Amil tidak berhak mendapatkan upah kecuali dengan izin yang memiliki
pekerjaan itu dan dengan menyelesaikan pekerjaannya. Sehingga, jika'amil bekerja
tanpa seizin pemilik pekerjaan itu, maka dia tidak berhak mendapatkan apa pun. Dan
jika 'amil belum menyelesaikan pekerjaannya, seperti menyembuhkan orang sakit,
mengajar membaca dan menulis, maka dia tidak berhak mendapatkan upah.
Sementara itu, ulama Syafi'iyah dan Hanabilah berpendapat 12 bahwa boleh
bagi ja'il menambah atau mengurangi upah, karena 7i1 alah adalah akad yang tidak
mengikat, maka boleh menambah atau mengurangi upah seperti dalam akad
mudharaboh. Hanya saja ulama Syafi'iyah membolehkan yang demikian itu sebelum
pekerjaannya selesai, baik sebelum dimulai maupun sesudahnya, seperti jika dia
berkata, "Barangsiapa yang dapat mengembalikan barangmiliksaya, maka dia akan
mendapatkan sepuluh." Kemudian dia berkata lagi, "Dia akan mendapatkan lima,"
atau sebaliknya. Faedah masalah ini terlihat setelah dimulainya suatu pekerjaan, maka
ketika itu wajib memberikan upah yang berlaku secara umum, karena perubahan
dengan menambah atau mengurangi itu merupakan pembatalan (fasakh) atas
pengumuman yang dahulu. Pembatalan dariia'il menyebabkan akad itu dikembalikan
pada ketentuan upah umum. Adapun ulama Hanabilah membatasi perubahan ini
dengan sebelum dimulainya pekerjaan, maka perubahan ini boleh dan berlaku.

E. PERBEDAAN JI’ALAH DENGAN IJARAH


Menurut etimologi, ijarah adalah bai’ul manfa’ah (menjual manfaat). Begitu
juga arti menurut terminologi. Ada juga yang menerjemahkan, ijarah adalah jual-beli

10
6Ary-Syorhut Kabiir,vol.lY hlm. 61; Mughnit Muhtaal, vol. II, hlm. 4 3L; al-Mughni,vol V hlm. 658.
11
Mughnit Muhtaaj, vol.ll, hlm. 434.
12
Mughnit Muhtaaj, vol.ll, hlm. 433 dan seterusnya; al-Muhadzdzab, vol.l,hlm.4l2, Kasyaaf at-
Qinaa',vol.lV,hlm.229.
jasa (upah-mengupah), yaitu mengambil manfaat tenaganya manusia, ada juga yang
menerjemahkan sewa-menyewa, yaitu mengambil manfaat dari barang13
Akad dalam ji’alah tdak berhak mendapatkan upah sedikitpun kecuali
pekerjaannya sudah selesai semua, sedangkan ijarah berhak mendapatkan upah
meskipun masih mengerjakan sebagian pekerjaan atau bisa dibilang pekerjaannya
belum tuntas semua.
Akad ji’alah sifatnya tidak mengikat, maka bisa membatalkannya, sedangkan
ijarah akad sifatnya mengikat maka dari itu tidak boleh membatalkannya14.

KESIMPULAN
- Ji’alah menurut ulama hanafiyah hukumnya tidak boleh karena ketidakjelasan
waktu dan pekerjaannya, namun menurut ulama malikiyah, syafi’iyah, dan
hanabilah akad ji’alah diperbolehkan karena ada dalilnya yaitu pada surah
yusuf;72

‫َق ا ُل وا َن ْف ِق ُد ُص َو اَع ا ْل َم ِلِك َو ِل َم ْن َج ا َء ِب ِه ِح ْم ُل َبِع ي ٍر َو َأ َنا ِب ِه َز ِع ي ٌم‬


Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku
menjamin terhadapnya".

- Akad ji’alah merupakan komitmen atas kehendak sepihak, maka ji’alah tidak akan
terjadi tanpa adanya sighah, sighah ini berisi izin untuk melaksanakan
permintaan , menyyebutkan berapa atau berupa apa imbalannya.
- Syarat-syarat akad ji’alah itu ada 4, yaitu ahliyyatut ta’aqud (diperbolehkannya
melakukan akad), upah dalam akad harus diketahui, manfaat didalamnya harus
bisa diketahui, ulama malikiyah tidak memperbolehkan adanya batasan waktu,
sedangkan sebagian dari mereka berpendapat boleh menyebutkan waktu yang
diinginkan
- Ulama sepakat bahwa akad ini tidak mengikat, berbeda dengan ijarah. Upah hanya
bisa didapat ketika menyerahkan barang atau menyelesaikan permintaan ja’il .
Wajib bagi ja’il memberi upah jika si ja’il membatalkan akad ji’alah ketika si amil
sedang melakukan pekerjaannya, dan si ja’il memberi sesuai dengan apa yang si
amil lakukan (ini mmenurut ulama syafi’iyah)15
- Ji’alah adalah akad yang tidak mengikat, sedangkan ijarah adalah akad yang
mengikat
DAFTAR PUSTAKA

Prof.DR.H.Rachmat Syafe’i,M.A, Fiqih Muamalah, penerbit pustaka setia bandung

13
Prof.DR.H.Rachmat Syafe’i,M.A, Fiqih Muamalah, Halaman 122
14
Prof. DR. Wahbah Az-Zuhaili, fiqh islam wa adillatuhu hlm. 435
15
Prof. DR. Wahbah Az-Zuhaili, fiqh islam wa adillatuhu hlm. 438
Prof. DR. Wahbah Az-Zuhaili, fiqh islam wa adillatuhu jilid 5

Anda mungkin juga menyukai