Anda di halaman 1dari 6

AKAD JI’ALAH

Andi Martina Kamaruddin,Lc., M.Si

1. DEFINISI JI’ALAH

Akad ji’alah Jul atau juliyah secara bahasa dapat diartikan sebagai :

a. sesuatu yang disiapkan untuk diberikan kepada seseorang yang berhasil melakukan
perbuatan tertentu,
b. sesuatu yang diberikan kepada seseorang karena telah melakukan pekerjaan tertentu.
c. Menurut para ahli hukum akad jialah dapat dinamakan janji memberikan hadiah baik itu
bonus komisi atau upah tertentu maka jialah adalah akad atau komitmen dengan kehendak
satu pihak.

Sedangkan menurut syariat akad ji’alah adalah :

a. komitmen memberikan imbalan yang jelas atas suatu pekerjaan tertentu, atau tidak tertentu
yang sulit diketahui .
b. Ulama malikiyah mendefinisikan akad ji’alah sebagai akad sewa atas manfaat yang diduga
dapat tercapai. hal ini seperti perkataan seseorang barang siapa yang bisa mengembalikan
binatang tunggangan saya yang kabur atau lari , atau barang milik saya yang hilang , atau
yang bisa mengurus kebun saya ini, atau menggali sumur untuk saya hingga saya
menemukan air, atau menjahit baju, atau kemeja untuk saya maka dia akan mendapatkan
sekian.
2. CONTOH AKAD JI’ALAH

Diantara contoh akad ji’alah adalah hadiah yang khusus diperuntukkan bagi orang-orang berprestasi,
atau para pemenang dalam sebuah Perlombaan yang diperbolehkan, atau hadiah dengan jumlah
tertentu, atau bagian harta rampasan perang tertentu, diberikan oleh panglima perang kepada
orang yang mampu menembus benteng musuh, atau dapat menjatuhkan pesawat-pesawat.

Termasuk dalam akad jialah juga komitmen membayar sejumlah uang pada dokter yang dapat
menyembuhkan penyakit tertentu, atau pada guru yang bisa membimbing anaknya menghafal
Alquran.

3. LANDASAN HUKUM

Menurut ulama hanafiyah akad jialah tidak diperbolehkan, karena didalamnya terdapat unsur
penipuan atau ghoror, yaitu ketidakjelasan pekerjaan dan waktunya hal ini diqiyaskan pada seluruh
akad ijarah sewa yang disyaratkan adanya kejelasan dalam pekerjaan itu sendiri baik upah dan
waktunya, akan tetapi mereka hanya membolehkan dengan dalil istihsan.

Sedangkan menurut ulama malikiyah, Syafi'iyah dan, hanabilah akad jialah dibolehkan dengan dalil
dalam firman Allah dalam kisah Nabi Yusuf bersama saudara-saudaranya Salam surat yusuf ayat 72

Juga berdasarkan hadits yang menceritakan tentang Orang yang mengambil upah atas pengobatan
dengan Surah al-fatihah yang diriwayatkan oleh jamaah kecuali Imam Nasa’i dari Abu Sa’id al-khudri,
diriwayatkan bahwa, beberapa orang sahabat Rasulullah sampai pada satu kampung Baduy tapi
mereka tidak dijamu pada saat demikian, tiba-tiba kepala suku Baduy disengat kalajengking
Penduduk kampung itu pun bertanya, apakah Diantara Kalian ada yang bisa mengobati? para
sahabat menjawab kalian belum menjamu kami, kami tidak akan melakukannya kecuali jika kalian
memberi upah kami. maka mereka menyiapkan kawanan domba lalu seorang sahabat membaca
surat al-fatihah dan mengumpulkan air ludahnya kemudian meludahkannya sehingga kepala suku itu
pun sembuh, penduduk kampung itu pun lalu memberi domba yang dijanjikan kepada para sahabat.
Para sahabat itu berkata Kami tidak akan mengambilnya hingga kami bertanya dahulu kepada
Rasulullah, kemudian para sahabat itu menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah maka beliau pun
tertawa dan berkata Tidakkah kalian tahu surat al-fatihah itu adalah obat Ambillah domba itu dan
berikan kepadaku satu bagian.

Terdapat dalil aqli yang juga menguatkan dibolehkannya Ji’alah yaitu kebutuhan masyarakat untuk
menuntut diadakannya akad Ji’alah ini seperti untuk mengembalikan binatang yang hilang budak
yang lari atau kabur dan pekerjaan yang tidak bisa dilakukan sendiri maka boleh mengeluarkan upah,
seperti akad ijarah dan mudharabah hanya saja pekerjaan dan waktu belum jelas, berbeda halnya
dalam ijarah Hal ini karena ji’alah sifatnya tidak mengikat, sedangkan tijarah mengikat dan
memerlukan kepastian waktu untuk mengetahui jumlah manfaat yang akan digunakan Selain itu
karena akad ji’alah adalah sebuah keringanan atau rukhsoh, Berdasarkan kesepakatan ulama karena
mengandung ketidakjelasan dan dibolehkan karena ada izin dari Allah

4. SIGHAH AKAD JI’ALAH

Akad jialah adalah komitmen berdasarkan kehendak satu pihak sehingga j’alah tidak terjadi kecuali
dengan adanya shigah dari yang akan memberi upah (jail) dengan shigah -shigah dalam definisi
diatas dan yang sejenisnya.

Shigah ini berisi izin untuk melaksanakan dengan permintaan yang jelas menyebutkan imbalan yang
jelas dan diinginkan Secara umum, serta adanya komitmen untuk memenuhinya apabila seorang
pelaksanaan akad (Amil ) memulai pekerjaan jialah tanpa izin dari pemberi upah (jail) atau ia
memberi izin kepada seseorang, tapi yang mengerjakannya adalah orang lain maka orang itu tidak
berhak mendapatkan apa-apa. hal itu karena pada kondisi pertama orang itu bekerja dengan
sukarela dan pada kondisi kedua orang itu tidak melakukan apa-apa

Juga tidak disyaratkan adanya ucapan qobul penerimaan dari (Amil) pelaksana sekalipun jail telah
mengkhususkan orang itu untuk melaksanakan akad jialah tersebut. karena akad itu merupakan
komitmen dari satu pihak Sebagaimana telah dijelaskan di atas maka ji’alah dibolehkan, dikhususkan
untuk orang tertentu saja atau untuk umum seorang ja’il juga dibolehkan untuk memberikan bagi
orang khusus imbalan tertentu dan bagi orang lain imbalan-imbalan yang berbeda.

Perbedaan antara akad ji’alah dan akad ijarah atas pekerjaan

Akad ji’alah berbeda dengan akad ijarah atas pekerjaan tertentu seperti membangun gedung
menjahit pakaian dan membawa sesuatu pada tempat tertentu perbedaan ini dapat dilihat dari 4
hal:

1. Ja’il tidak mendapatkan manfaat akad ji’alah kecuali jika pekerjaan telah diselesaikan semuanya,
seperti mengembalikan binatang yang hilang dan menyembuhkan orang sakit,
sedangkan dalam akad ijarah penyewa dapat mengambil manfaatnya sesuai dengan pekerjaan
yang telah diselesaikan oleh guru atau orang, dengan kata lain manfaat dalam akad ji’alah tidak
bisa didapatkan kecuali jika pekerjaan yang telah diselesaikan semuanya, sedangkan manfaat
dalam ijarah bisa didapatkan oleh penyewa dengan sebagian pekerjaan yang telah dikerjakan
oleh karena itu amil dalam akad ji’alah tidak berhak mendapatkan upah kecuali setelah
pekerjaannya selesai semua. sedangkan buruh atau orang upahan dalam ijarah jika telah
melakukan sebagian pekerjaan maka dia berhak mendapatkan upah sebesar pekerjaan yang
telah dikerjakan.

2. Ji’alah adalah akad yang mengandung unsur ketidakjelasan atau ghoror, akad ini dibolehkan
meskipun pekerjaan dan waktu yang belum jelas, berbeda halnya dengan ijarah pekerjaan
dalam akad ji’alah kadang sudah jelas dan kadang belum jelas seperti mengembalikan binatang
yang hilang dan menggali sumur sampai air keluar.
jika ji’alah dibolehkan meskipun pekerjaannya kadang sudah jelas dan kadang belum jelas maka
demikian juga dibolehkan akad ji’alah meskipun waktunya Tidak jelas. sedangkan dalam akad
ijarah pekerjaannya harus sudah diketahui seperti menjahit pakaian dan membangun bangunan,
dan waktunya juga harus diketahui apabila waktu dalam ijarah sudah ditentukan maka buruh
wajib mengerjakannya dalam waktu itu dan tidak boleh melebihinya, sedangkan dalam ji’alah
yang penting pekerjaan itu diselesaikan tanpa terikat dengan waktu.

3. dalam akad jialah tidak boleh mendahulukan upah, berbeda halnya dengan akad Ijarah

4. akad ji’alah adalah akad yang tidak mengikat maka boleh membatalkannya berbeda halnya
dengan akad tijarah yang bersifat mengikat dan tidak boleh membatalkannya.

5. SYARAT-SYARAT AKAD JI’ALAH


Dalam Akad Ji’alah di syaratkan berapa syarat sebagai berikut:
1. Ahliyatut taaqud
Dibolehkan melakukan akad menurut ulama Syafi’iyah dan hanabilah seorang ja’il baik
pemilik maupun bukan, harus memiliki kebebasan dalam melakukan akad
a. baligh
b. berakal dan
c. bijaksana

maka tidak sah akad seorang ja’il yang masih kecil,gila,dan dilarang membelanjakan
hartanya karena bodoh atau idiot maupun amil jika sudah ditentukan pihak yang akan
melakukannya maka disyaratkan baginya kemampuan untuk melakukan pekerjaan.
sehingga tidak sah amil yang tidak mampu melakukan pekerjaan seperti anak kecil yang
tidak mampu bekerja, karena tidak ada manfaatnya dan jika Amil itu bersifat umum
tidak ditentukan orang yang melakukannya, maka cukup baginya mengetahui
pengumuman mengenai akad ji’alah itu

sedangkan menurut ulama malikiyah dan hanafiyah akad jialah sah dikerjakan oleh anak
yang mumayyiz Adapun sifat taklif (pembebanan) kewajiban itu adalah syarat terikat
kepada akad.

2. Upah dalam akad ji’alah haruslah harta yang diketahui, jika upah itu tidak diketahui
maka akad nya menjadi batal disebabkan imbalan yang belum jelas.

seperti Jika seorang mengatakan Barang siapa yang menemukan mobil saya maka dia akan
mendapatkan pakaian, atau maka saya merelakannya dan sebagainya. Dalam keadaan ini
maka orang yang menemukannya atau mengembalikannya berhak mendapatkan upah
umum yang berlaku, akad ini diserupakan dengan akad tijarah yang rusak, dan jika upah itu
berupa barang haram seperti khamar dan barang curian maka akad juga batal karena
kenajisan khamar dan ketidakmampuan untuk menyerahkan barang yang bukan miliknya.

3. Manfaat yang diminta dalam akad ji’alah harus dapat diketahui dan dibolehkan secara
syara.

Oleh karena itu tidak boleh akad ji’alah untuk mengeluarkan jin dari dalam tubuh seseorang
dan melepaskan sihir karena tidak mungkin mengetahui apakah jin sebut sudah keluar atau
belum, atau Apakah Sirih itu sudah benar-benar terlepas atau belum,

Ji’alah juga tidak boleh untuk sesuatu yang diharamkan manfaatnya seperti menyanyi,
meniup Seruling,meratap dan semua hal yang diharamkan

kaidah yang berkaitan dengan ini adalah bahwa sesuatu yang dibolehkan mengambil
imbalan darinya dalam akad tijarah dibolehkan mengambilnya imbalannya dalam akad
ji’alah, dan sesuatu yang tidak di bolehkan mengambil imbalan darinya dalam akad ijarah,
tidak di bolehkan mengambil imbalan darinya dalam akad ji’alah Hal ini berdasarkan firman
Allah

“ dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan “ . Al Maidah ayat 2

4. Ulama malikiyah tidak membolehkan adanya batas waktu tertentu dalam akad ji’alah.

sebagian dari mereka berpendapat bahwa dibolehkan menyebutkan waktu dan pekerjaan
yang diinginkan, seperti Jika seorang ja’il berkata “barangsiapa yang bisa menjahit pakaian
buat saya dalam 1 hari maka dia akan mendapatkan upah sekian” . jika ada seorang yang
mampu mengerjakannya pada waktu yang telah ditentukan maka dia berhak mendapatkan
upah dan tidak berkewajiban melakukan hal-hal yang lainnya dan jika dia tidak dapat
mengerjakan pada waktu yang telah ditentukan maka dia tidak berhak mendapatkan apapun
hal ini berbeda dengan akad Ijarah.

Dan Sebagian ulama malikiyah yaitu Al qodhi Abdul Wahab, berbeda dengan pendapat
Ibnu Rusd , menambahkan syarat kelima yaitu Bahwa dalam akad ji’alah hendaknya
pekerjaan yang diminta adalah ringan meskipun pekerjaannya banyak seperti,
mengembalikan sejumlah unta yang lari dan kabur dan Sebagaimana telah disebutkan
para ulama malikiyah mengharuskan tidak ada syarat pemberian upah ji’alah secara
kontan, jika disyaratkan tunai maka akad ji’alah itu menjadi tidak sah, karena hal itu
seperti adanya Pinjaman yang menarik manfaat meskipun masih berupa kemungkinan,
sedangkan menyegerakan upah dan dengan tanpa syarat dalam akad maka tidak
membuat akad tersebut tidak sah.

6. BENTUK AAKA JI’ALAH DAN WAKTU PENYERAHAN UPAH


Ulama yang membolehkan akad ji’alah bersepakat bahwa akad ini adalah akad yang
tidak mengikat, berbeda dengan akad ijarah Oleh karena itu dibolehkan bagi ja’il
(pembuat akad) dan Amil (pelaksanakan) untuk membatalkan akad ji’alah ini, akan
tetapi para ulama tersebut berbeda pendapat tentang waktu dibolehkannya pembatalan
itu.
a. ulama malikiyah berpendapat bahwa boleh membatalkan akad ji’alah sebelum
pekerjaan dimulai, menurut mereka akad ini mengikat atas ja’il bukan Amil, dengan
dimulainya pekerjaan itu adapun bagi Amil yang diberikan upah akad itu tidak
mengikat atasnya dengan suatu apapun, baik sebelum bekerja atau sesudahnya
maupun setelah dimulai pekerjaan.

b. Ulama Syafi’iyah dan hanabilah berpendapat bahwa boleh membatalkan akad ji’alah
kapan saja sesuai dengan keinginan ja’il dan Amil khusus yang ditentukan. hal ini
seperti akad-akad yang bersifat tidak mengikat lainnya seperti akad ijarah dan
wakalah sebelum selesainya pekerjaan yang diminta itu, jika yang membatalkan
akad adalah jail atau Amil khusus sebelum dimulainya pekerjaan yang diminta, atau
yang membatalkan adalah amil sesudah pekerjaannya dimulai, maka amil tidak
berhak mendapatkan apapun dalam 2 keadaan tersebut. Hal ini karena, pertama dia
belum mengerjakan apapun dan pada keadaan yang kedua mail belum mencapai
maksud ja’il dalam akad itu adapun jika membatalkan setelah pekerjaan itu dimulai,
maka dia wajib memberikan upah pada amil sesuai dengan pekerjaan menurut
ulama Syafi’iyah dan pendapat yang paling benar. Karena itu adalah pekerjaan yang
berhak mendapatkan imbalan dan Ja’il belum menyerahkan kepada Amil upah
kerjanya, hal ini sama seperti jika Pemilik harta membatalkan akad mudharabah
setelah pekerjaannya dimulai, dan Amil berhak mendapatkan upah atau upah
tertentu dengan selesainya pekerjaan itu. Namun jika Amil membatalkan sebelum
pekerjaan yang selesai maka dia tidak berhak mendapatkan apapun.
Jika ja’il menentukan tempat untuk mengembalikan barang yang hilang dan Amil
mengembalikan di suatu tempat yang dekat dengan tempat yang sudah ditentukan
itu, maka berhak mendapatkan bagian dari upah tertentu sebagaimana pendapat
ulama Syafi’iyah.
c. Jika yang mengembalikan barang itu 2 orang secara bersama-sama maka keduanya
berhak mendapatkan upah secara bersamaan pula karena barang tersebut
dikembalikan oleh mereka berdua secara bersama-sama
d. Amil tidak berhak mendapatkan upah kecuali dengan izin yang memiliki pekerjaan
itu dengan menyelesaikan pekerjaannya sehingga jika Amil bekerja tanpa seijin
pemilik pekerjaan itu, maka dia tidak berhak mendapatkan apapun, dan jika amil
belum menyelesaikan pekerjaannya seperti menyembuhkan orang sakit, mengajar
membaca dan menulis, maka dia tidak berhak mendapatkan upah.
e. Sementara itu ulama Syafi’iyah dan hanabilah berpendapat bahwa Boleh bagi ja’il
menambah atau mengurangi upah karena ji’alah adalah akad yang tidak mengikat,
maka boleh menambahkan dan mengurangi upah seperti dalam akad mudharabah.
Hanya saja ulama Syafi’iyah membolehkan yang demikian itu sebelum pekerjaannya
selesai baik sebelum dimulai maupun sesudahnya, seperti Jika dia berkata “
barangsiapa yang dapat mengembalikan barang milik saya maka dia akan
mendapatkan 10 dinar, kemudian dia berkata Dia akan mendapatkan 5 dinar atau
sebaliknya. Faedah masalah ini terlihat setelah dimulainya suatu pekerjaan maka
ketika itu wajib memberikan upah yang berlaku secara umum karena perubahan,
dengan menambah dan mengurangi itu merupakan pembatalan atas pengumuman
yang terdahulu.

7. HUKUM PERSELISIHAN PEMILIK DAN AMIL


Jika terjadi perselisihan antara pemilik akad ji’alah yaitu ja’il dan Amil, siapakah yang
dibenarkan sumpahnya?
dalam kasus ini perlu ada penjelasan dengan rinci jika mereka berdua berselisih dalam
masalah asal persyaratan upah misalkan salah satunya mengingkari persyaratan
tersebut maka orang yang mengingkari itu yang dibenarkan sumpahnya, seperti jika
Amil berkata “kamu syaratkan memberi upah kepada saya” tapi si pemilik
mengingkarinya, maka sebab itu dibenarkan dengan sumpahnya hal itu karena asalnya
tidak ada persyaratan upah.

Dan jika mereka berdua berselisih dalam jenis pekerjaan seperti mengembalikan mobil
yang hilang atau barang yang hilang atau berselisih tentang siapa yang mengerjakannya
maka yang dibenarkan adalah yang melaksanakan pekerjaan yaitu Amil tersebut dengan
sumpahnya, karena Amil mengaku sesuatu yang asalnya tidak ada, maka orang yang
mengingkarinya dibenarkan dengan sumpahnya demikian juga orang yang mengingkari
dibenarkan jika mereka berselisih dalam usaha yang dilakukan Amil. Misalkan si pemilik
berkata “aku bukan yang mengembalikannya tapi dia, binatang itu atau barang yang
datang atau kembali sendiri” maka itu dibenarkan karena asalnya tidak ada
pengembalian dan jika mereka berdua berselisih tentang besarnya upah atau jauhnya
jarak atau tempat yang telah diperkirakan adanya barang yang hilang, maka ulama
malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa keduanya disumpah dan dan akad ji’alah
dibatalkan. Khusus pemilik wajib memberikan upah yang umum berlaku, hal ini seperti
terjadi perselisihan dalam akad tijarah.
Sedangkan ulama hanabilah berpendapat bahwa ucapan yang dibenarkan adalah ucapan
si pemilik dengan sumpahnya, karena alasannya tidak ada tambahan yang
diperselisihkan, juga karena ucapan yang dibenarkan adalah ucapan si pemilik dalam ada
tidaknya imbalan.

8. PERBEDAAN-PERBEDAAN ANTARA JIALAH DAN IJARAH

Akad ji’alah berbeda dengan akad ijarah dalam 5 hal berikut :


1. Akad ji’alah sah dikerjakan oleh amil umum, tidak tertentu, sedangkan ijarah tidak
sah dilakukan oleh orang yang belum jelas.
2. Akad ji’alah dibolehkan pada pekerjaan yang belum jelas sedangkan ijarah tidak sah
kecuali pada pekerjaan yang sudah jelas.
3. Dalam ji’alah tidak disyaratkan adanya qobul (penerimaan) dari Amil karena ji’alah
adalah akad dengan kehendak satu pihak. Sedangkan dalam akad tijarah wajib
adanya qabul dari buruh yang mengerjakan pekerjaan itu, karena ijarah adalah akad
dengan kehendak dua belah pihak.
4. Ji’alah adalah akad yang tidak mengikat sedangkan ijarah adalah akad yang mengikat
dan salah satu pihak tidak boleh membatalkannya kecuali dengan kerelaan dan
persetujuan pihak lainnya.
5. Dalam ji’alah Amil tidak berhak mendapatkan upah kecuali setelah menyelesaikan
pekerjaannya Jika ia mencatatkan agar upahnya didahulukan maka akad ji’alahnya
batal sedangkan dalam ijarah boleh mensyaratkan upah didahulukan.

Anda mungkin juga menyukai