Anda di halaman 1dari 19

JUAL BELI GHARAR (Tinjauan terhadap Proses dan Obyek Transaksi Jual Beli) Oleh: Akhmad Nur Zaroni

Abstract: Islam has urged its follower to seek sustenance through trading. As a matter of fact, the Prophet is a role model of a successful trader and so did many of the Prophets companion e.g. Abu Bakar, Umar Ibn Khattab, Utsman Ibn Affan, Abdurrahman Ibn Auf and so forth. When urging the trading, Islam has given guidelines of what is allowed and prohibited. One of them is the prohibition of gharar because it involves uncertainty (betting or gambling) in doing business. This article is to discuss the concept of gharar in Islamic business law. Accordingly, there are two types of gharar i.e. uncertainty in contract and uncertainty in object of contract. Kata Kunci: Gharar, Madharat, Transaksi, Obyek Transaksi. Pendahuluan Islam adalah agama yang mudah dan syamil (menyeluruh) meliputi segenap aspek kehidupan termasuk masalah jual beli. Dalam mengatur kehidupan, Islam selalu memperhatikan berbagai maslahat dan menghilangkan segala bentuk madharat. Termasuk dalam maslahat tersebut adalah sesuatu yang Allah syariatkan dalam jual beli dengan berbagai aturan yang melindungi hak-hak pelaku bisnis dan memberikan berbagai kemudahan- kemudahan dalam pelaksanaannya. Di samping membahas masalah ibadah-ibdah ritual yang bersifat mahdah, Islam juga membahas permasalahan jual beli secara mendetail. Dalam Islam tidak mengenal dikotomi antara aktivitas duniawi dengan ukhrawi. Setiap aktivitas dunia senantiasa berkaitan erat dengan aktivitas akhirat sehingga harus berada dalam bingkai ajaran Islam. Islam mendorong ummatnya berusaha mencari rizki supaya kehidupan mereka menjadi baik dan menyenangkan. Allah SWT menjadikan langit, bumi, laut dan apa saja untuk kepentingan dan manfaat manusia.

Penulis adalah Dosen Tetap STAIN Samarinda Jurusan Syariah

Akhmad Nur Zaroni, Jual Beli Gharar

69

Dan Kami jadikan malam sebagai pakaian. Dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan. Dalam ayat tersebut Allah mengajarkan keseimbangan antara mencari rizki untuk kehidupan dan beristirahat (leisure). Malam hari untuk beristirahat dan mengumpulkan tenaga dan siang hari bekerja mencurahkan tenaga, berbisnis berdagang untuk mencari rizki. Dalam beberapa hadist Rasulullah SAW memberikan dorongan kepada ummatnya untuk mencari rizki dengan berusaha dan berdagang. Rasulullah sendiri adalah contoh seorang pedagang yang sukses. Ketika masih kecil beliau telah menemani pamannya Abu Thalib berdagang ke Syam, bahkan beliau sendiri menjalankan bisnis milik Siti Khadijah ke Syam dan kembali dengan keuntungan yang besar. Ini adalah bukti kemampuan, kepercayaan dan amanah beliau sebagai pedagang. Para sahabat Rasul juga banyak yang menjadi pengusaha dan bussinessman yang sukses. Diantaranya adalah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, dan lain-lain. Rasulullah SAW bersabda :

Pedagang yang amanah dan benar kelak di hari kiamat bersama-sama dengan para nabi para shiddiqin dan para syuhada.1 Tidak ada makanan yang lebih baik yang dimakan oleh seseorang daripada yang dihasilkan oleh tangannya sendiri.2 Walaupun Islam mendorong ummatnya untuk berdagang, bukan berarti dapat dilakukan sesuka dan sekehendak manusia, seperti lepas kendali. Adab dan etika bisnis dalam Islam harus dihormati dan dipatuhi jika para pedagang dan pebisnis ingin termasuk dalam golongan para Nabi, Syuhada dan Shiddiqien. Ummat Islam dalam kiprahnya mencari kekayaan dan menjalankan usahanya diharuskan menjadikan Islam sebagai
1

Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, (Beirut: Dar Ihya al-Turas al-Arabi, tt), h.

120. Imam Bukhari, Shahih Bukhari Jilid II, trj. H. Zainuddin Hamidy, dkk, Cet. 13 (Jakarta : Widjaya, 1992), h. 254
2

70

, Vol. IV, No. 1, Juni 2007

dasarnya dan ridha Allah sebagai tujuan akhir dan utama. Mencari keuntungan dalam melakukan perdagangan merupakan salah satu tujuan, tetapi tidak boleh mengalahkan tujuan utama. Dalam pandangan Islam bisnis merupakan sarana untuk beribadah kepada Allah dan merupakah fardlu kifayah, oleh karena itu bisnis dan perdagangan tidak boleh lepas dari peran Syariah Islamiyah. Sistem Islam melarang setiap aktivitas perekonomiantak terkecuali jual beli (perdagangan)yang mengandung unsur paksaan, mafsadah (lawan dari manfaat), dan gharar (penipuan). Sedangkan, bentuk perdagangan Islam mengijinkan adanya sistem kerja sama (patungan) atau lazim disebut dengan syirkah. Pengertian Gharar secara bahasa berarti khatar (resiko, berbahaya), dan tahgrir berarti melibatkan diri dalam sesuatu yang gharar. Dikatakan gharrara binafsihi wa malihi taghriran berarti aradahuma lilhalakah min ghairi an yarif (jika seseorang melibatkan diri dan hartanya dalam wilayah gharar maka itu berarti keduanya telah dihadapkan kepada suatu kebinasaan yang tidak diketahui olehnya). Lafal gharar dari segi tata bahasa merupakan isim (kata benda). Gharar dalam terminologi para ulama fiqh memiliki beragam difinisi, antara lain: Gharar dikategorikan dan dibatasi terhadap sesuatu yang tidak dapat diketahui antara tercapai dan tidaknya suatu tujuan, dan tidak termasuk di dalamnya hal yang majhul (tidak diketahui). Seperti definisi yang dipaparkan oleh Ibn Abidin yaitu, gharar adalah keraguan atas wujud fisik dari obyek transaksi. Gharar dibatasi dengan sesuatu yang majhul (tidak diketahui), dan tidak termasuk di dalamnya unsur keraguan dalam pencapaiannya. Definisi ini adalah pendapat murni mazhab Dhahiri. Ibn Haz mengatakan unsur gharar dalam transaksi bisnis jual beli adalah sesuatu yang tidak diketahui oleh pembeli apa yang ia beli dan penjual apa yang ia jual. Kombinasi antar kedua pendapat tersebut di atas, yaitu gharar meliputi dalam hal yang tidak diketahui pencapaiannya dan juga atas sesuatu yang majhul (tidak diketahui). Contoh dari definisi ini adalah yang dipaparkan oleh Imam Sarkhasi: gharar adalah sesuatu yang akibatnya tidak dapat diprediksi. Ini adalah pendapat mayoritas ulama fiqh.

Akhmad Nur Zaroni, Jual Beli Gharar

71

Sedang menurut Ibnu Taimiyah, gharar adalah yang tidak jelas hasilnya (majhul al aqibah), menurut Syaikh As-Sadi al-gharar adalah al-Mukhatarah (pertaruhan) dan al Jahalah (ketidak jelasan), perihal ini masuk dalam kategori perjudian. Dari beberapa definisi di atas dapat diambil pengertian, yang dimaksud jual beli gharar adalah, semua jual beli yang mengandung ketidakjelasan, seperti pertaruhan atau perjudian karena tidak dapat dipastikan jumlah dan ukurannya atau tidak mungkin diserah terimakan.3 Hukum Jual Beli Gharar Jual beli gharar dilarang dalam Islam berdasarkan al Quran dan Hadis Nabi. Larangan jual beli gharar dalam al Quran didasarkan kepada ayat-ayat yang melarang memakan harta orang lain dengan cara batil, sebagaimana tersebut dalam firman-Nya: Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.4 Dalam surat lain Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha penyayang kepadamu.5 Alasan pelarangan jual beli gharar menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah selain karena memakan harta orang lain dengan cara batil, juga merupakan transaksi yang mengandung unsur judi, seperti menjual burung di udara, onta dan budak yang kabur, buah-

Ghufran A. Masadi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 133 4 QS. Al Baqarah: 188. 5 QS. An Nisa: 29.

72

, Vol. IV, No. 1, Juni 2007

buahan sebelum tampak buahnya, dan jual beli hashah. Sedang judi dalam al Quran sangat jalas pengharamannya.6 Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.7 Adapun larangan jual beli gharar dalam hadis Nabi sesuai dengan hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melarang jual beli alhashah dan jual beli gharar.8 Dalam riwayat lain yang diriwayatkan oleh jamaah tsiqat para sahabat yang terpercaya, bahwa Rasulullah saw telah melarang seluruh transaksi jual beli gharar. Hadis tersebut diriwayatkan dari Abu Hurairah, Ibn Umar, Ibn Abbas, Abi Said, serta Anas dengan tambahan redaksi pada beberapa riwayat. Hadis ini dijumpai dalam shahih Muslim dengan syarah oleh Nawawi 3/156, Sunan Ibn Majah 6/10, Sunan Abu dawud 3/346, jamiu shahih Imam Tirmidzi 3/532, Sunan Nasai dengan syarah Suyuti 8/262. Adapun Imam Bukhari meskipun belum pernah meriwayatkan dalam shahihnya hadis tentang larangan bisnis jual beli yang mengandung gharar secara tekstual akan tetapi beliau menyebutkan dalam penjelasannya. Dalam hadis yang yang melarang tentang jual beli habl al hablah 3/70 yang merupakan salah satu jenis dari bisnis jual beli yang mengandung unsur gharar, dan beliau menyebutkan gharar dalam maknanya yang umum kemudian diikuti dengan habl al hablah, maka metode athaf (pengikutan) makna khusus kepada makna yang umum adalah untuk menjelaskan, bahwa macammacam jual beli gharar sangat banyak bentuknya. Oleh karena itu Bukhari tidak menyebutkan dalam riwayatnya kecuali tentang habl al hablah, hal ini dimaksudkan untuk tanbih (perhatian) dengan metode makhsus (sesuatu yang dikhususkan) malul (memiliki tanda
Ibn Taimiyyah, Mukhtashar Al-Fatawa Al-Mishriyyah, tahqiq: Abdul Majid Sulaim, (Kairo: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, tt), h. 342. 7 QS. Al-Maidah: 90 8 Imam Muslim, Shahih Muslim, ter. Mamur Daud, jilid III, Kitabul Buyu, (Jakarta: Widjaya, 1993), h. 139
6

Akhmad Nur Zaroni, Jual Beli Gharar

73

atau argumentasi hukum) dengan illat dalam setiap jenis dan macam-macam bentuk jual beli gharar.9 Kesimpulan hukum dari hadis tersebut adalah: Pertama, pengharaman melakukan transaksi bisnis jual-beli yang mengandung unsur gharar, karena sighat nahy (bentuk larangan dalam hadis) menunjukkan atas haramnya sesuatu dengan mengacu kepada yang dipilih oleh para ahli ushul fiqh. Kesimpulan ini tidak dapat dipakai argumentasi atas yang lainnya kecuali dalam sighat majaz.10 Kedua, rusaknya transaksi bisnis jual beli yang mengandung unsur gharar, atau tidak berpengaruhnya transaksi tersebut terhadap transaksi yang dilakukan adalah menurut pendapat mayoritas ulama. Petunjuk umum tentang haram dan rusaknya setiap transaksi bisnis jual beli yang mengandung unsur gharar, menurut pendapat yang mengatakan, bahwa perkataan sahabat mengenai larangan Nabi saw tentang sesuatu, maka hal hal tersebut berlaku secara umum.11 Bentuk-Bentuk Gharar dalam Jual Beli Gharar dalam Akad 1. Baiataini fii Baiah. Rasulullah melarang melakukan dua kesepakatan dalam satu transaksi (baiataini fii baiah). Para ulama ahli fiqh sepakat dengan hadis ini secara umum dan mereka melarang seseorang untuk mengadakan dua transaksi dalam satu kesepakatan. Diantara hadis tersebut adalah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra.

; ( )
Dari Abu Hurairah ra: telah bersabda Rasulullah SAW Barang siapa yang menjual dua penjuaan dalam satu barang, maka baginya kerugian atau riba.12 Akan tetapi dalam memahami hadis ini mereka berselisih interpretasi, baik dalam variasi bentuk transaksi yang bersifat
9

Husain Syahatah dan Siddiq Muh. Al-Amin Adh-Dhahir, Transaksi dan Etika Bisnis Islam, terj. Saptono Budi Satryo dan Fauziah R., (Jakarta: Visi Insani Publishing, 2005), h. 142 10 Lihat, Muhammad Khudhuri, Ushul Fiqh, (al Jamaliyah, 1329 H.), h. 240 11 Husain Syahatah dan Siddiq Muh. Al-Amin Adh-Dhahir, Op.cit., h. 143 12 Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Nail al Authar,. Jilid V,( Syirkah Ikatiddin, 1979),h.172

74

, Vol. IV, No. 1, Juni 2007

mutlak ataupun yang sifatnya tidak mutlak. Beberapa interpretasi tersebut adalah : a. Bahwa yang dimaksud hadits tersebut adalah jual beli inah, yaitu seorang yang membeli barang dengan kredit, kemudian ia jual kembali kepada orang yang menjual tadi secara tunai dengan harga yang lebih murah pada waktu itu juga.13 b. Ada pula yang menafsirkan seseorang meminjamkan satu dinar kepada orang lain selama satu bulan dengan ketentuan dibayar satu takar gandum. Kemudian setelah datang waktu yang ditentukan dan gandum itu telah dimintanya, maka orang yang pinjam itu berkata: Juallah gandum itu kepadaku dengan tempo pembayaran dua bulan, yang akan saya bayar dengan dua takar. Maka inilah bentuk dua macam penjualan dalam satu penjualan, karena penjualan kedua ini telah masuk dalam pada penjualan pertama.14 c. Menurut Imam SyafiI itu artinya adalah seorang penjual berkata : Aku jual rumahku kepada engkau dengan syarat kamu jual kudamu kepadaku.15 d. Tafsiran yang lain adalah seorang penjual mengatakan aku jual barang seharga 1000 dengan cara tunai dan 2000 dengan tempo satu tahun, dan pembeli menjawab saya terima, tanpa menjelaskan harga mana yang ia ambil. Dan inilah yang menjadi masalah (barang tersebut diterima dengan harga mubham). Jika pembeli mengatakan aku terima barang ini dengan harga 1000 kontan atau harga 2000 dengan tempo maka jual beli tersebut akan sah. Beberapa penafsiran di atas semuanya menunjukkan adanya unsur gharar dalam transaksi atau sighat akad terkait dengan dua kesepakatan dalam satu transaksi, dan inilah yang menjadi illat mengapa hukumnya dilarang dilakukan dalam transaksi bisnis. 2. Bai Urban Bai Urban adalah seseorang membeli sebuah komoditi dan sebagian pembayaran diserahkan kepada penjual sebagai uang muka (DP). Jika pembeli jadi mengambil komoditi maka uang
Ibnu Rusdy, Bidayatul Mujtahid Wa NihayatulMuqtasid, (Beirut: Dar Al Fikr, Tt.), h. 102 14 Muhammad bin Ali Asy-Syaukani,.Op.Cit,.h. 172 15 Wahbah Al-Zuhaily, Op.Cit., h.471
13

Akhmad Nur Zaroni, Jual Beli Gharar

75

pembayaran tersebut termasuk dalam perhitungan harga. Akan tetapi jika pembeli tidak mengambil komoditi tersebut maka uang muka tersebut menjadi milik penjual.16 Berkaitan dengan bai urban terdapat dua hadis yang melarang dan yang membolehkan. Hadis yang melarang adalah yang diriwayatkan oleh Imam Malik dari seorang yang tsiqah sebagaimana berikut:

Dari Amr Ibn Syuaib dari ayahnya dari kakeknya bahwasanya Rasulullah saw melarang jual beli urban.17 Adapun hadis yang membolehkan adalah yang dikeluarkan oleh Abdul Razak dalam mushanifnya sebagaimana berikut:

Dari Zaid Ibn Aslam bahwasanya ia telah bertanya kepada Rasulullah saw tentang jual beli urban maka Rasulullah saw membolehkannya.18 Meskipun terdapat dua hadis yang berbeda, namun mayoritas ulama hadis menerima dan mensahihkan hadis yang melarang jual beli urban dan menolak hadis yang membolehkannya. Kelompok ulama yang melarang adalah mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, Syiah Zaidiyah, Abu Al-Khitab dari mazhab Hambali dan juga yang diriwayatkan dari Ibn Abas serta Hasan. Adapun yang membolehkan adalah Imam Ahmad dan telah diriwayatkan akan pembolehannya dari Umar serta anaknya, sebagian golongan tabiin diantaranya adalah Ibn Sirin, Nafi Ibn Abdul Haris, serta Zaid Ibn Aslam.19 Larangan Bai Urban yang dilakukan oleh jumhur sebagaimana dijelaskan dalam kitab Bidayah al Mujtahid adalah karena adanya unsur gharar dan resiko serta memakan harta tanpa adanya iwadh (pengganti) yang sepadan dalam pandangan

16 17

Husain Syahatah dan Siddiq Muh. Al-Amin Adh-Dhahir, Op.cit., h.154 Ibid., h. 154 18 Ibid., h. 155 19 Ibid., h. 156

76

, Vol. IV, No. 1, Juni 2007

syariah.20 Adanya unsur gharar tersebut juga karena masingmasing pihak, baik penjual maupun pembeli tidak mengetahui apakah transaksi jual beli yang telah disepakati dapat berlangsung secara sempurna atau tidak. 3. Jual Beli Jahiliyah (Bai Al-Hashah, Bai Al-Mulamasah, Bai Al-Munabadzah) Unsur gharar juga terdapat dalam tiga macam jual beli yang telah biasa dipraktekkan oleh orang-orang jahiliyah sebelum Islam. Tiga macam jual beli tersebut adalah sebagai berikut; Bai al Hashah adalah suatu transaksi bisnis dimana penjual dan pembeli bersepakat atas jual beli suatu komoditi pada harga tertentu dengan lemparan hashah (batu kecil) yang dilakukan oleh salah satu pihak kepada pihak lain yang dijadikan pedoman atas berlangsung tidaknya transaksi tersebut, atau juga meletakan batu kecil tersebut di atas komoditi, dan juga jatuhnya batu di pihak manapun yang mengharuskan orang tersebut melakukan transaksi. Bai al Mulasmasah adalah ketika kedua pihak (penjual dan pembeli) melakukan aktivitas tawar menawar atas suatu komoditi, kemudian apabila calon pembeli menyentuh komoditi tersebut (baik sengaja maupun tidak) maka dia harus membelinya baik sang pemilik komoditi tersebut rela atau tidak. Atau seorang penjual berkata kepada pembeli, Jika ada yang menyentuh baju ini maka itu berarti anda harus membelinya dengan harga sekian, sehingga mereka menjadikan sentuhan terhadap obyek bisnis sebagai alasan untuk berlangsungnya transaksi jual beli. Bai al Munabadzah adalah seorang penjual berkata kepada calon pembeli, Jika saya lemparkan sesuatu kepada anda maka transaksi jual beli harus berlangsung diantara kita, atau juga ketika pihak penjual dan calon pembeli melakukan tawar menawar komoditi kemudian penjual melemparkan sesuatu kepada calon pembeli maka ia harus membeli komoditi tersebut dan ia tidak mempunyai pilihan lain kecuali menerima transaksi tersebut, atau dengan gambaran lain seorang penjual
Abu al Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rusyd al Qurtubi, Bidayatul Mujtahid fii Nihayatil Muqtashid, (Mathbaatu al Istiamah, 1370 H.), h.162.
20

Akhmad Nur Zaroni, Jual Beli Gharar

77

berkata kepada calon pembeli, Jika saya lemparkan komoditi ini kepada anda maka itu berarti saya jual komoditi ini kepada anda dengan harga sekian. Tiga macam jual bel tersebut masuk dalam kategori jual beli gharar dan dilarang dalam Islam. Dalam sebuah hadis Nabi yang riwayatnya sahih dijelaskan bahwa Rasulullah saw melarang jual beli hashah dan jual beli gharar.21 Dalam hadis riwayat Abu Hurairah juga dijelaskan bahwa, Rasulullah saw melarang transaksi mulamasah dan munabadzah22 Unsur gharar yang terdapat dalam jual beli jahiliyah tersebut terletak pada shigat (kalimat) transaksinya. Hal ini dikarenakan pernyataan penjual bahwa lemparan batu kecil, sentuhan terhadap baju, dan lemparan komoditi dijadikan dasar dalam berlangsungnya kesepakatan jual beli. 4. Bai al-Muallaq Bai Muallaq adalah suatu transaksi jual beli dimana keberlangsungannya tergantung pada transaksi lainnya yang disyaratkan. Keberhasilan transaksi dapat terjadi dengan mengikuti instrumen-instrumen yang ada dalam taliq (syarat) tersebut. Sebagai contoh adalah ketika seorang penjual mengatakan kepada calon pembeli, Saya jual rumahku kepada anda dengan harga sekian jika si Fulan menjual rumahnya kepada saya. Kemudian calon pembeli menjawab, saya terima. Kesepakatan dalam suatu transaksi jual beli semestinya tidak dapat menerima penggantungan atau pernyataan tertentu yang dijadikan ikatan atau dasar berlangsungnya transaksi. Jika hal tersebut dilakukan maka transaksi bisnis jual beli tersebut menjadi rusak, karena ada unsur gharar. Unsur gharar pada jual beli muallaq adalah ketika kedua belah pihak (penjual dan pembeli) tidak mengetahui tercapai tidaknya masalah yang dijadikan ikatan sehingga dapat melangsungkan transaksi jual beli diantara keduanya, sebagaimana kedua belah pihak tidak mengetahui dalam kondisi yang bagaimana transaksi dapat terlaksana, karena bisa saja transaksi semacam ini terlaksana ketika keinginan pembeli atau penjual berubah seketika. Oleh karena itu jelas terdapat unsur gharar baik dari aspek terlaksana tidaknya akad, aspek waktu pelaksanaan, atau juga gharar dalam mewujudkan rasa saling
21 22

Imam Muslim, Loc.cit Imam Bukhari, jilid II, Kitabul Buyu, Op.cit., h. 275

78

, Vol. IV, No. 1, Juni 2007

rela atau tidaknya antara kedua belah pihak ketika ada syarat yang menyertainya. Menurut mazhab Hanafi taliq tersebut tergolong perjudian (qimar), sehingga jual beli semacam itu tidak diperbolehkan. Sedang Ibnu Taimiyah dan Ibnu al Qayyim berpendapat lain, bahwa taliq diperbolehkan dalam transaksi jual beli dengan syarat kedua belah pihak tidak melihat adanya unsur gharar.23 5. Bai Al-Mudhaf Bai Mudhaf adalah kesepakatan untuk melakukan transaksi jual beli untuk waktu yang akan datang, seperti perkataan penjual kepada calon pembeli, Saya jual rumahku kepada anda dengan harga sekian pada awal tahun depan.24 Unsur gharar dalam jual beli mudhaf adalah pada aspek probabilitas dari kejadian pada beberapa kondisi, yaitu hilangnya aspek maslahah di salah satu pihak (penjual dan pembeli) serta kerelaan keduanya ketika kesepakatan jatuh tempo sesuai dengan yang disepakati, sehingga sekiranya seseorang pembeli komoditi dengan akad mudhaf dan kemudian kondisi pasar serta perekonomian berubah sehingga menyebabkan turunya harga komoditi pada waktu akad telah jatuh tempo, maka dapat dipastikan pembeli tidak menyukai karena adanya selisih antara harga akad dengan kondisi real saat itu kemudian pembeli menyesal atas tindakannya. Jadi unsur gharar yang ada dalam bai al mudhaf terletak pada pelaku akadnya. Ketika mereka tidak mengetahui kondisi pasar dan harga di masa yang akan datang jika dibandingkan dengan kondisi pada waktu transaksi disepakati.25 Gharar dalam Obyek Akad Dalam hukum perjanjian Islam obyek akad dimaksudkan sebagai suatu hal yang karenanya akad dibuat dan berlaku akibatakibat hukum akad. Obyek akad dapat berupa benda, manfaat benda, jasa atau pekerjaan, atau suatu yang lain yang tidak bertentangan dengan Syariah.26
Husain Syahatah dan Siddiq Muh. Al-Amin Adh-Dhahir, Op.cit., h.159 Ibid., h. 161 25 Ibid., h. 162 26 Muhammad Sallam Madkur, al-Fiqh a-Islami: al-Madkhal wa al-Amwal wa al-Huquq wa al-Milkiyyah wa al-Aqd, (Mesir: Maktabah Abdillah Wahbah, 1955), h. 426
24 23

Akhmad Nur Zaroni, Jual Beli Gharar

79

Kedudukan obyek akad adalah sangat penting karena ia termasuk bagian yang harus ada (rukun) dalam hukum perjanjian Islam. Oleh karena keberadaannya sangat menentukan sah tidaknya perjanjian yang akan dilakukan, maka obyek akad harus memnuhi syarat-syarat sahnya seperti terbebas dari unsur-unsur gharar (ketidakjelasan). Ada beberapa gharar yang dapat terjadi dalam obyek akad dan akan mempengaruhi sah tidaknya suatu perjanjian: 1. Ketidakjelasan dalam Jenis Obyek Akad Mengetahui jenis obyek akad secara jelas adalah syarat sahnya jual beli. Maka jual beli yang obyeknya tidak diketahui tidak sah hukumnya karena terdapat gharar yang banyak di dalamnya. Seperti menjual sesuatu dalam karung yang mana pembeli tidak mengetahui dengan jelas jenis barang apa yang akan ia beli. Namun demikian terdapat pendapat dari Mazhab Maliki yang membolehkan transaksi jual beli yang jenis obyek transaksinya tidak diketahui, jika disyaratkan kepada pembeli khiyar ruya (hak melihat komoditinya).27 Begitu juga dalam mazhab Hanafi menetapkan khiyar ruyah tanpa dengan adanya syarat,28 berdasarkan hadis berikut: Siapa yang membeli sesuatu yang belum ia lihat, maka ia berhak khiyar apabila telah melihat barang itu. Akan tetapi ulama Syafiiyah mengatakan bahwa jual beli barang yang gaib tidak sah, baik barang itu disebutkan sifatnya waktu akad maupun tidak. Oleh sebab itu, menurut mereka, khiyar ruyah tidak berlaku, karena akad itu mengandung unsur penipuan (gharar).29 2. Ketidakjelasan dalam Macam Obyek Akad Gharar dalam macam obyek akad dapat menghalangi sahnya jual beli sebagaimana terjadi dalam jenis obyek akad. Tidak sahnya akad seperti ini karena mengandung unsur
Khiyar ruyah adalah hak pilih bagi pembeli untuk menyatakan berlaku atau batal jual beli yang ia lakukan terhadap suatu obyek yang belum ia lihat ketika akad berlangsung. Nasroun Haroun, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), h. 137 28 Abu al Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rusyd al Qurtubi, Op.Cit., h. 154 29 Ibid., h. 138
27

80

, Vol. IV, No. 1, Juni 2007

ketidakjelasan dalam obyeknya. Seperti seorang penjual berkata, saya jual kepada anda binatang dengan harga sekian tanpa menjelaskan binatang apa dan yang mana.30 Oleh karena itu obyek akad disyaratkan harus ditentukan secara jelas. Dasar ketentuan ini adalah larangan Nabi saw. mengenahi jual beli kerikil (bai al-Hashah) yang mirip judi dan biasa dilakukan oleh orang jahiliyyah. Yaitu jual beli dengan cara melemparkan batu kerikil kepada obyek jual beli, dan obyek mana yang terkena lemparan batu tersebut maka itulah jual beli yang harus dilakukan. Dalam hal ini pembeli sama sekali tidak dapat memilih apa yang seharusnya dinginkan untuk dibeli.31

Dari Abu Hurairah diceritakan, ia berkata: Rasulullah Saw melarang jual beli lempar krikil dan jual beli gharar. (HR. Muslim).32 3. Ketidakjelasan dalam Sifat dan Karakter Obyek Transaksii Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqh tentang persyaratan dalam menyebutkan sifat-sifat obyek transaksi dalam jual beli, akan tetapi mayoritas ulama fiqh berpendapat untuk mensyaratkannya. Diantara perbedaan itu adalah; Mazhab Hanafiyah melihat, bahwa jika obyek transaksinya terlihat dalam transaksi, baik itu komoditi ataupun uang, maka tidak perlu untuk mengetahui sifat dan karakternya. Tetapi jika obyek transaksinya tidak terlihat oleh penjual dan pembeli, maka para ulama fiqh mazhab Hanafiyah berselisih pendapat. Sebagian mensyaratkan penjelasan sifat dan karakter obyek akad, dan sebagian tidak. Mereka yang tidak mensyaratkan berpendapat bahwa ketidaktahuan sifat tidak menyebabkan perselisihan, disamping itu pembeli juga mempunyai hak khiyar ruyah. Silang pendapat di atas adalah yang berkaitan dengan komoditi bukan harga,
30

Husain Syahatah dan Siddiq Muh. Al-Amin Adh-Dhahir, Transaksi dan Etika Bisnis Islam, terj. Saptono Budi Satryo dan Fauziah, (Jakarta: Visi Insani Publishing, 2005), h. 167 31 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), h. 191 32 Imam Muslim, Loc. cit

Akhmad Nur Zaroni, Jual Beli Gharar

81

adapun tentang harga (tsaman) semua ulama sepakat untuk disebutkan sifat dan karakternya.33 Sedang Ulama Mazhab Maliki mensyaratkan penyebutan sifat dan karakter baik terhadap komoditi maupun harga (tsaman). Karena tidak adanya kejelasan dalam sifat dan karakter komoditi dan harga adalah merupakan gharar yang dilarang dalam akad.34 Begitu juga ulama mazhab Syafii mensyaratkan penyebutan sifat dan karakter komoditi dan mengatakan bahwa jual beli yang tidak jelas sifat dan karakter komoditinya hukumnya tidak sah kecuali jika pembeli diberi hak untuk melakukan khiyar ruyah. Mazhab Hambali juga tidak membolehkan jual beli yang obyek transaksinya tidak jelas sifat dan karakternya.35 4. Ketidakjelasan dalam Ukuran Obyek Transaksi Tidak sah jual beli sesuatu yang kadarnya tidak diketahui, baik kadar komoditinya maupun kadar harga atau uangnya. Illat (alasan) hukum dilarangnya adalah karena adanya unsur gharar sebagaimana para ulama ahli fiqh dari mazhab Maliki dan Syafii dengan jelas memaparkan pendapatnya.36 Contoh dari transaksi jual beli yang dilarang karena unsur gharar yang timbul akibat ketidaktahuan dalam kadar dan takaran obyek transaksi adalah bai muzabanah. Yaitu jual beli barter antara buah yang masih berada di pohon dengan kurma yang telah dipanen, anggur yang masih basah dengan zabib (anggur kering), dan tanaman dengan makanan dalam takaran tertentu. Adapun illat dari pengharamannya adalah adanya unsur riba yaitu aspek penambahan dan gharar karena tidak konkritnya ukuran dan obyek atau komoditi.37 5. Ketidaktahuan dalam Dzat Obyek Transaksi Ketidaktahuan dalam zat obyek transaksi adalah bentuk dari gharar yang terlarang. Hal ini karena dzat dari komoditi tidak diketahui, walaupun jenis, macam, sifat, dan kadarnya diketahui, sehingga berpotensi untuk menimbulkan perselisihan

33 34

Husain Syahatah dan Siddiq Muh. Al-Amin Adh-Dhahir, Op.cit., h. 168 Ibn Rusyd, Op.cit., h. 172 35 Husain Syahatah dan Siddiq Muh. Al-Amin Adh-Dhahir, Op.cit., h. 169 36 Ibid., h. 175 37 Ibn Rusyd, Op. Cit., h. 156

82

, Vol. IV, No. 1, Juni 2007

dalam penentuan. Seperti jual pakaian atau kambing yang bermacam-macam.38 Mazhab Syafii, Hambali, dan Dhahiri melarang transaksi jual beli semacam ini, baik dalam kuantitas banyak maupun sedikit karena adanya unsur gharar. Sedang mazhab Maliki membolehkan baik dalam kuantitas banyak maupun sedikit dengan syarat ada khiyar bagi pembeli yang menjadikan unsur gharar tidak berpengaruh terhadap akad. Adapun mazhab Hanafiyah membolehkan dalam jumlah dua atau tiga, dan melarang yang melebihi dari tiga.39 6. Ketidaktahuan dalam Waktu Akad Jual beli tangguh (kredit), jika tidak dijelaskan waktu pembayarannya, maka ia termasuk jual beli gharar yang terlarang.40 Seperti jual beli habl al-hablah, yaitu jual beli dengan sistem tangguh bayar hingga seekor unta melahirkan anaknya, atau hingga seekor unta melahirkan anak dan anak tersebut melahirkan juga anaknya. Jual beli semacam ini dikategorikan dalam jual beli gharar yang terlarang karena tidak ada kejelasan secara kongkrit dalam penentuan penangguhan pembayaran. 41 7. Ketidakmampuan dalam Penyerahan Komoditi. Kemampuan menyerahkan obyek transaksi adalah syarat sahnya dalam jual beli. Maka jika obyek transaksi tidak dapat diserahkan, secara otomatis jual belinya tidak sah karena terdapat unsur gharar (tidak jelas). Seperti menjual onta yang lari atau hilang dan tidak diketahui tempatnya.Nabi Saw melarang jual beli seperti ini karena mempertimbangkan bahwa barang itu tidak dapat dipastikan apakah akan dapat diserahkan oleh penjual atau tidak.42

38 39

Ibid., h. 148 Ibrahim ibn Yusuf al-Syirazi, al-Mihadzab, (Mesir: Isa al Halbi, 476H),

h. 263
40 41

Ibid., h. 209 Husain Syahatah dan Siddiq Muh. Al-Amin Adh-Dhahir, Op.cit., h. 180 42 Syamsul Anwar, Op.cit., h. 191

Akhmad Nur Zaroni, Jual Beli Gharar

83

Dari Hakim Ibn Hizam, ia berkata: Aku bertanya kepada Nabi Saw. kataku: wahai Rasulullah, seseorang datang kepadaku minta aku menjual suatu yang tidak ada padaku. Lalu aku menjualnya kepadanya, kemudian aku membelinya di pasar untuk aku serahkan kepadanya. Beliau menjawab : jangan engkau menjual barang yang tidak ada padamu. (HR. An-Nasai).43 8. Melakukan Akad Atas Sesuatu yang Madum (tidak nyata adanya). Gharar yang dapat mempengaruhi sahnya jual beli adalah tidak adanya (madum) obyek transaksi. Yaitu keberadaan obyek transaksi bersifat spekulatif, mungkin ada atau mungkin tidak ada, maka jual beli seperti ini tidak sah. Seperti transaksi jual beli anak unta yang belum lahir dan buah sebelum dipanen. Seekor unta yang mengandung bisa jadi melahirkan dan ada kemungkinan tidak (keguguran), begitu juga buah terkadang berbuah dan terkadang juga tidak ada.44 9. Tidak Adanya Hak Melihat atas Obyek Transaksi. Yaitu jual beli yang obyeknya tidak dapat dilihat oleh salah satu dari pihak penjual atau pembeli pada saat transaksi berlangsung, baik dikarenakan komoditinya tidak ada atau ada tetapi berada dalam pembungkus. Jual beli seperti ini juga sering disebut dengan jual beli ainul ghaib, yaitu komoditi dimiliki penuh oleh penjual tetapi tidak dapat dilihat oleh pembeli.45 Berkaitan dengan jual beliainul ghaib ini terdapat beberapa pendapat di kalangan ulama fiqh. Imam Syafii berpendapat tidak boleh menjual ainul ghaib secara mutlak walaupun sifat dan karakternya sudah diketahui dengan pasti. Mayoritas ulama fiqh memperbolehkan jika sifat dan karakternya diketahui.
Lihat an-NasaI, Sunan NasaI, ed. Abu al-Fath Abu Guddah (Aleppo: Maktab al-Mathbuat al Islamiyyah, 1406H), VII: 289, hadis no.4613 44 Lihat Ibrahim bin Fathi bin Abd Muqtadir, Uang Haram, terj. Ahmad Khotib dkk., (Jakarta: Amzah, 2006), h. 16 45 Husain Syahatah dan Siddiq Muh. Al-Amin Adh-Dhahir, Op.cit., h. 185
43

84

, Vol. IV, No. 1, Juni 2007

Ulama bermazhab Hanafi dan Syafii berpendapat jual beli semacam ini tidak lazim, dan pembeli memiliki hak khiyar ruyah, yaitu berhak membatalkan atau melanjutkan akad setelah melihat obyek transaksi.46 Menurut ulama bermazhab Maliki dan Hambali bahwa transaksi jual beli menjadi keharusan bagi sang pembeli jika ia mendapati komoditi sesuai dengan yang ia kehendaki, jika tidak sesuai maka pembeli memiliki khiyar untuk melanjutkan atau membatalkan.47 Penutup Islam adalah agama yang tidak hanya berisi tentang ibadah ritual saja, tetapi ia juga merupa sistem hidup yang mengatur segala aspek kehidupan manusia termasuk ekonomi. Aturan-aturan tersebut bersumber dari syariah yang tertuang dalam sumber hukum Islam baik yang nakli maupun akli yang semuanya itu dibahas dalam disiplin-disiplin ilmu yang secara mendalam dibahas oleh para ulama ahli dan menjadi kasanah keilmuan dalam studi Islam. Salah satu aturan ekonomi yang dibahas dalam fiqh muamalah adalah yang berkaitan dengan jual beli. Dalam sejarah peradaban manusia terdapat praktek jual beli yang bermacam-macam, ada yang secara syari diperbolehkan dan ada yang ditolak. Diantara jual beli yang ditolak adalah jual beli gharar. Pelarangan jual beli gharar tersebut karena mengandung ketidakjelasan, seperti pertaruhan atau perjudian, tidak dapat dipastikan jumlah dan ukurannya atau tidak mungkin diserah terimakan. Gharar dapat terjadi baik dalam sistem transaksi maupun sesuatu yang menjadi obyek transaksi. Dalam sistem transaksi misalnya, Baiataini fii Baiah, Bai Urban, Bai AlHashah, Bai Al-Mulamasah, Bai Al-Munabadzah Bai al-Muallaq, dan Bai Al-Mudhaf. Sedang dalam obyek transaksi bisa terjadi pada ketidak jelasan jenis, macam, dan karakter obyek akad, serta tidak adanya fasilitas lain bagi pembeli seperti khiyar dan yang sejenisnya.

46 47

Ibid., h. 186 Ibid., h. 187.

Akhmad Nur Zaroni, Jual Beli Gharar

85

DAFTAR PUSTAKA Anwar, Syamsul, Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam Fiqh Muamalah, Jakarta: Rajawali Pers, 2007. Bukhari, Imam, Shahih Bukhari Jilid II, trj. H. Zainuddin Hamidy, dkk, Cet. 13, Jakarta : Widjaya, 1992. Haroun, Nasroun, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000. Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Beirut: Dar Ihya al-Turas al-Arabi, tt. Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid fii Nihayatil Muqtashid, Mathbaatu al Istiamah, 1370 H. Ibn Taimiyyah, Mukhtashar Al-Fatawa Al-Mishriyyah, tahqiq: Abdul Majid Sulaim, Kairo: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, tt. Ibnu Rusdy, Bidayatul Mujtahid Wa NihayatulMuqtasid, Beirut: Dar Al Fikr, tt. Ibrahim bin Fathi bin Abd Muqtadir, Uang Haram, terj. Ahmad Khotib dkk.,Jakarta: Amzah, 2006. Khudhuri, Muhammad, Ushul Fiqh, al Jamaliyah, 1329 H. Madkur, Muhammad Sallam, al-Fiqh a-Islami: al-Madkhal wa alAmwal wa al-Huquq wa al-Milkiyyah wa al-Aqd, Mesir: Maktabah Abdillah Wahbah, 1955. Masadi, Ghufran A., Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002. Muslim, Imam, Shahih Muslim, ter. Mamur Daud, jilid III, Kitabul Buyu, Jakarta: Widjaya, 1993. NasaI, Sunan NasaI, ed. Abu al-Fath Abu Guddah, Aleppo: Maktab al-Mathbuat al Islamiyyah, 1406H Syahatah, Husain dan Siddiq Muh. Al-Amin Adh-Dhahir, Transaksi dan Etika Bisnis Islam, terj. Saptono Budi Satryo dan Fauziah R., Jakarta: Visi Insani Publishing, 2005. Syaukani, Muhammad bin Ali, Nail al Authar,. Jilid V,Syirkah Ikatiddin, 1979. Syirazi, Ibrahim ibn Yusuf, al-Muhadzab, Mesir: Isa al Halbi, 476H.

This document was created with Win2PDF available at http://www.daneprairie.com. The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.

Anda mungkin juga menyukai