(Segi Bahasa, Maqasid Syari’ah, Ta’arud dan Tarjih) KELOMPOK 10 Fhahmye Maullana (23602021002) Sultan Rafly Halim (23602021029) Muhammad Dzaki (23602021011) Pengertian Istinbat & Metodenya Secara bahasa, kata istinbat berasal dari kata istanbatha-yastanithu-istinbathan yang berarti menciptakan, mengeluarkan, mengungkapkan atau menarik kesimpulan. Dengan demikian, istinbath hukum adalah suatu cara yang dilakukan atau dikeluarkan oleh pakar hukum (fikih) untuk mengungkapkan suatu dalil hukum guna menjawab persoalan-persoalan yang terjadi. Pengertian istinbat hukum sering juga diartikan secara kurang tepat, di mana ia diartikan sebagai dalil hukum. Padahal keduanya memiliki arti yang berbeda.Secara bahasa, kata dalil berarti petunjuk kepada sesuatu yang dapat dirasa maupun yang tidak dapat dirasa, baik petunjuk yang baik maupun buruk Tujuan istinbat hukum adalah menetapkan hukum setiap perbuatan atau perkataan mukallaf dengan meletakkan kaidah-kaidah hukum yang ditetapkan. Melalui kaidah-kaidah itu kita dapat memahami hukum-hukum syara’ yang ditunjuk oleh nash, mengetahui sumber hukum yang kuat apabila terjadi pertentangan antara dua buah sumber hukum dan mengetahui perbedaan pendapat para ahli fikih dalam menentukan hukum suatu kasus tertentu. Pengertian Metode Istinbat Metode ialah suatu cara teratur atau cara kerja yang bersistem yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki, sedangkan istinbath berarti perumusan masalah. Istinbath berasal dari bahasa Arab yang artinya mengeluarkan atau menetapkan, secara terminologis istinbath adalah daya usaha yang harus diupayakan untuk merumuskan hukum syara’ berdasarkan al-Quran dan Sunnah dengan jalan ijtihad.Kemudian hukum dalam metode istinbath hukum dimaksudkan sebagai hukum syara’ atau hukum Islam, yakni hukum yang mengandung tuntutan untuk dipatuhi dan dilaksanakan oleh seorang mukalaf.Jadi, metode istinbath hukum ialah aturan atau pedoman dalam merumuskan hukum Islam (syara’). Sumber Hukum Islam ada 2 pada dasarnya
1. Sumber “tekstual” atau sumber tertulis (disebut
juga Nushush) yaitu langsung berdasarkan teks al-Quran dan Sunnah Nabi.
2. Sumber “nontekstual” atau sumber tak tertulis
(disebut juga ghairu nushush) seperti istishan dan qiyas. Meskipun sumber hukum keduanya tidak langsung mengambil dari al-Quran dan Sunnah, tapi hakikatnya digali dari (berdasarkan atau menyandar) pada al-Quran dan Sunnah. Istinbat Hukum Melalui Segi Bahasa Lafadz’amm Pembahasan lafazh ‘amm dalam ilmu ushul fiqih mempunyai kedudukan tersendiri, karena lafazh ‘amm mempunyai tingkat yang luas serta menjadi ajang perdebatan pendapat ulama dalam menetapkan hukum. Di lain pihak, sumber hukum islam pun, Al-Qur’an dan Sunah, dalam banyak hal memakai lafazh umum yang bersifat universal. Para ulama Ushul Fiqih memberikan definisi ‘amm antara lain sebagai berikut: 1. Menurut ulama Hanafiyah: “Setiap lafazh yang mencakup banyak, baik secara lafazh maupun makna.” 2. Menurut ulama Syafi’iyah, di antaranya Al-Ghazali: “Satu lafazh yang dari satu segi menunjukan dua makna atau lebih.” 3. Menurut Al-Bazdawi: “Lafazh yang mencakup semua yang cocok untuk lafazh tersebut dengan satu kata.” Untuk lebih dipahami tentang lafal ‘amm ini mari perhatikan hadist berikut:
َم ْن َألَقى ِس َال َح ُه َفُهَو آِم ٌن
“Barangsiapa meletakkan senjatanya, maka ia adalah aman.”
(HR. Muslim) Lafadz khoss
Lafadz khass itu ditentukan untuk menunjukkan
satu satuan secara peroangan seperti si Ali; atau satu satuan secara kelompok seperti laki-laki; atau beberapa satuan yang jumlahnya tidak terbatas seperti ‘kaum’; atau lafadz lain dalam bentuk satuan yang tak terbatas, tetapi tidak menunjukkan seluruh satuannya. Khusus adalah keadaan lafadz yang mencakup sebagian makna yang pantas baginya dan tidak untuk semuanya. Dengan demikian dapat dibedakan antara khass dengan khusus, meskipun dalam pengertian bahasa indonesia sering disamakan. Pengertian khass adalah apa yang sebenarnya dikehendaki dari sebagian yang dikandung oleh lafadz. Sedangkan pengertian khusus adalah apa yang dikhususkan menurut ketentuan bahasa, bukan berdasarkan kemauan. Ada pendapat yang mengatakan khass adalah apa yang mencapai kepada sesuatu yang tertentu melalui ketentuan bahasa, sedangkan khusus adalah apa yang mencapai sesuatu bukan yang lainnya, namun boleh mencapai yang lainnya itu.
Ketentuan lafadz khass dalam garis besarnya adalah:
1. Bila lafadz khass lahir dalam bentuk nash syara’(teks hukum), ia menunjukkan artimya yang khass secara qath’i al-dilalah (penunjukkan yang pasti dan meyakinkan) yang secara hakiki ditentukan untuk itu. 2. Bila ada dalil yang menghendaki (pemahaman lain) dari lafadz khass itu kepada arti lain, maka arti khass itu dapat dialihkan kepada apa yang dikehendaki oleh dalil itu. 3. Bila dalam suatu khusus hukumnya bersifat ’amm dan ditemukan pula hukum yang khusus dalam kasus lain, maka lafadz khass itu membatasi pemberlakuan hukum’amm itu. 4. Bila ditemukan benturan antara dalil khass dengan dalil ‘amm, terdapat perbedaan pendapat. Menurut ulama Hanafiyah; seandainya kedua dalil itu bersamaan masanya, maka dalil yang khass mentakhsiskan yang ‘amm karena tersedianya persyaratan untuk takhsis. Bila keduanya tidak bersamaan waktunya, di sini ada dua kemungkinan; (1) bila lafadz ‘amm terkemudian datangnya, maka lafadz ‘amm itu menasakh lafadz khass; (2) bila lafadz khass yang terkemudian datangnya maka lafadz khass itu menasakh lafadz’ amm dalam sebagian afradnya. Menurut ulama Syafi’iyah dan Ahmad, apabila pertentangan antara lafadz khass yang terdapat pada khabar ahad dengan lafadz ‘amm al-Qur’an, maka khabar ahad itu dapat mentakhsis lafadz ‘amm al-Qur’an. Lafadz Takhsis
‘Al-takhshish ialah mengeluarkan sebagian
daripada satuan-satuan yang masuk di dalam lafzh al’am dan lafzh al-‘am itu hanya berlaku bagi satuan-satuan yang masih ada (yang tidak dikeluarkan dari ketentuan dalil ‘am)sesudah ditakhsis. Al-mukhashish adalah dalil yang menjadi dasar pegangan untuk adanya pengeluaran tersebut. Berdasarkan keterangan di atas, kiranya, dapat dipahami bahwa dalil ‘am itu tetap berlaku bagi satuan- satuan yang masih ada sesudah dikeluarkan satuan tertentu yang ditunjuk oleh mukhashshish. Kaidah ushul untuk itu ialah: “Lafzh ‘am sesudah ditakhshish masih menjadi hujjah (pegangan) bagi satuan-satuan yang masih terkandung di dalamnya”. Pembagian Takhsis Takhsis terdiri dari beberapa bagian: 1. Takhsis Al Qur’an dengan Al Qur’an Seperti dalam surat berikut: “Para wanita yang diceraikan, mereka menunggu iddah (sebuah masa di mana seorang perempuan yang telah diceraikan oleh suaminya, baik diceraikan karena mati atau karena suaminya hidup) meraka harus menunggu selama tiga kali sucian (tiga bulan dan tiga kali masa haid)”. (Surat Al Baqarah ayat 282). 2. Takhsis Al Qur’an dengan Sunnah. Seperti firman Allah : “Allah mewariskan kepada kalian bahwa waris anak-anak kalian ialah bagi seorang anak laki-laki mendapatkan dua bagian anak-anak perempuan”. (An Nisa’ ayat 10). 3. Takhsis Sunnah dengan Al- Qur’an Misalnya Hadis Nabi SAW yang berbunyi: “Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kamu bila ia berhadats sampai ia berwudhu”. (Muttafaq ‘Alayh). Hadis di atas kemudian ditakhshish oleh firman Allah dalam surat Al- Maidah ayat 6: “dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih)” (Al-Maidah:6). 4.Takhsis Sunnah dengan Sunnah. Seperti hadist Nabi SAW yang Sohih : “Dalam (hasil pertanian) yang diairi dari air hujan, zakatnya adalah sepersepuluh Muthlaq dan Muqayyad
Muthlaq adalah suatu lafadz yang menunjukkan
hakikat sesuatu tanpa pembatasan yang dapat mempersempit keluasan artinya. Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan kata muthlaq dengan: “Lafadz yang menunjukkan suatu satuan tanpa dibatasi secara harfiah sengan suatu ketentuan.” Seperti lafadz raqabah yang terdapat pada firman Allah swt: َفَتْح ِر يُر َر َقَبٍة ِّم ن َقبِل َاْن َيَتَم ـآ َّسا “Wajib memerdekakan budak sebelm kedua istri itu bercampur.”(QS. Al-Mujadalah: 3) Lafadz raqabah (budak) merupakan lafadz muthlaq karena tidak dibatasi dengan sifat atau keadaan lainnya. Adapun muqayyad adalah suatu lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu dengan dibatasi oleh sifat, keadaan, atau jumlah. َو َم ْن َقَتَل ُم ْؤ ِم ًنا َخ َطًئا َفَتحِر يُر َر َقَبٍة َو ِدَيٌة ُّمَس َّلَم ٌة ِإَلى َأْهِلِه “....Dan barang siapa membunuh seorang mu’min karena salah, hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaja yang beriman dan membayar diyat kepada keluarganya....” (QS. An-Nisa: 92) Lafadz raqabah di atas adalah muqayyad karena dibatasi dengan sifat, yaitu wajib memerdekakan budak yang beriman. KESIMPULAN Istinbath adalah menggali hukum syara’ yang belum ditegaskan secara langsung oleh nash Al-Qur’an atau Sunnah. Dilihat dari segi cakupannya, ada pernyataan hukum yang bersifat umum dan ada juga yang bersifat khusus. Sasaran hukum dalam pernyataan hukum yang umum adalah tanpa pengecualian, sedangkan pernyataan khusus mengandung pengertian tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas. Ada empat teknik analisa untuk menggali hukum melalui makna suatu pernyataan hukum yaitu analisa makna terjemah, analisa pengembangan makna, analisa kata kunci dari suatu pernyataan, dan analisa relevansi makna. Secara garis besar metode istimbat dapat dibagi kepada syari’ah dan segi penyelesaian beberapa dalil yang bertentangan.adapun metode-metodenya adalah. Ta’arud dan tarjih,penetapan hukum melalui maqasaid syari’ah,dan istimbat dari segi bahasa.