Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Qaidah ushuliyah itu berkaitan dengan bahasa. Dalam pada itu, sumber hukum adalah wahyu yang
berupa bahasa. Oleh karena itu. Qaidah ushuliyah adalah sejumlah peraturan untuk menggali
hukum. Qaidah ushuliyah itu umumnya berkaitan dengan ketentuan dalalah lafadz atau
kebahasaan.
Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si mengemukakan bahwa kaidah ushuliyah itu sangat penting
karena kaidah ushuliyah itu merupakan alat untuk menggali kandungan makna dan hukum yang
tertuang dalam nash Al-Qur’an dan As-Sunnah kaidah ushuliyah merupakan modal utama
memproduk fiqh. Tanpa kaidah ushuliyah, pengamalan hukum Islam cenderung belum semuanya
mengelupas jenis-jenis hukum suatu perbuatan. Beliau juga mengemukakan pendapat Abdul
Wahhab Khallaf dan Abdul Hamid Hakim yang mengatakan bahwa penetapan hukum perintah,
larangan, dan sebagainya, berikut penggalian dalil-dalil yang dijadikan hujjah syar’iyyah dalam
hukum Islam merupakan fungsi utama dari kaidah ushuliyah. Oleh karena itu penting bagi seorang
mujtahid maupun calon mujtahid untuk menggali sebuah hokum.
Rumusan Masalah
1. Mengerti dan memahami pengertian Qawa’id Ushuliyah
2. Mengetahui jenis-jenis Qawa’id Ushuliyah serta kaidah-kaidahnya
Tujuan Penulisan
Untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Ushul Fiqih, selanjutnya agar kita semua dapat
memahami dan mengerti tentang qowa’id al-ushuliyah serta menjadikan pengetahuan yang baru

BAB II
PEMBAHASAN
QAWA’ID AL-USHULIYYAH
A. Qaidah Ushuliyyah
1. Pengertian Qaidah Ushuliyyah
Qaidah ushuliyah merupakan gabungan dari kata Qaidah dan ushuliyah, kaidah dalam bahasa
Arab ditulis dengan qaidah, artinya patokan, pedoman dan titik tolak. Ada pula yang mengartikan
dengan peraturan. Bentuk jamak qa’idah (mufrad) adalah qawa’id. Adapun ushuliyah berasal dari
kata al-ashl, artinya pokok, dasar, atau dalil sebagai landasan. Jadi, qaidah ushuliyah adalah
pedoman untuk menggali dalil syara’, titik tolak pengambilan dalil atau peraturan yang dijadikan
metode penggalian hukum, kaidah ushuliyah disebut juga sebagai kaidah Istinbathiyah atau ada
yang menyebut sebagai kaidah lughawiyah, kaidah ushuliyah adalah dasar-dasar pemaknaan
terhadap kalimat atau kata yang digunakan dalam teks atau nash yang memberikan arti hukum
tertentu dengan didasarkan kepada pengamatan kebahasaan dan kesusastraan Arab.
Dalil syara’ itu ada yang bersifat menyeluruh, universal dan global (kuli dan mujmal) dan ada
yang hanya di tujukan bagi suatu hukum tertentu dari suatu cabang hukum tertentu pula. Dalil
yang besifat menyeluuh itu di sebut pula qaidah ushuliyyah. Dari pengetian ushul fiqih yang telah
di kemukakan di atas terkandung maksud bahwa objek bahasan ushul fiqih antara lain adalah
qaidah penggalian hukum dari sumbenya. Dengan demikian yang di maksud dengan qaidah
ushuliyyah adalah sejumlah peraturan untuk menggali hukum. Qaidah ushuliyah itu umumnya
berkaitan dengan ketentuan dalalah lafadz atau kebahasaan.(Rachmat Syafi’i: 147: 1999)
Dr. Jailany mendefinisikan sebagai:” hukum kulli (bersifat umum) yang berdiri diatasnya furu’
fiqhiyah yang di bentuk dengan bentuk umum dan akurat”. Defenisi ini belum maani’ karena
kaidah-kaidah fiqh masih masuk didalamnya.
Kaidah-kaidah ushuliyah menurut Prof. Dr. Muhammad Syabir adalah sebagai suatu perkara kulli
(kaidah-kaidah umum) yang dengannya bisa sampai pada pengambilan kesimpulan hukum
syar’iyyah al-Far’iyyah dan dalil-dalilnya yang terperinci.
Dari beberapa pengertian mengenai kaidah ushuliyah di atas penulis simpulkan bahwa kaidah
ushuliyah itu merupakan sejumlah peraturan untuk menggali dalil-dalil syara’ sehingga didapatkan
hukum syara’ dari dalil-dalil tersebut.
Seperti disebutkan diatas, bahwa qaidah ushuliyah itu berkaiatan dengan bahasa. Dalam pada itu,
sumber hokum adalah wahyu yang berupa bahasa. Oleh karena itu qaidah ushuliayah berfungsi
sebagai alat untuk menggali ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu.
Mengetahaui qaiadah ushuliayh dapat mempermudah faqih untuk mengetahuai hukum allah dalam
setiap peristiwa yang dihadapinya.
Adapun contoh-contoh qaidah ushuliyyah yang dipaparkan oleh prof. Dr. Rachmat Syafe’i,MA.
adalah sebagai berikut:
Kaidah :
‫ﺍﻠﻌﺒﺭﺓ ﺒﻌﻤﻭﻡ ﺍﻠﻠﻔﻅ ﻻﺒﺨﺼﻭﺹ ﺍﻠﺴﺒﺏ‬
Artinya: “Yang dipandang dasar (titik talak) adalah petunjuk umum dasar lafazh bukan sebab
khusus (latar belakang kejadian).
Kaidah :
‫ﺍﺫﺍ ﺍﺠﺘﻤﻊ ﺍﻠﻤﻘﺘﻀﻰ ﻭﺍﻠﻤﺎﻨﻊ ﻗﺩﻡ ﺍﻠﻤﺎﻨﻊ‬
Artinya : “Bila dalil yang menyuruh bergabung dengan dalil yang melarang maka didahulukan
dalil yang melarang.”
Kaidah :
‫ﻻﻋﺒﺭﺓ ﻠﻠﺩﻻﻠﺔ ﻔﻲ ﻤﻘﺎﺒﻠﺔ ﺍﻠﺘﺼﺭﻴﺢ‬
Artinya: “Makna implisit tidak dijadikan dasar bila bertentangan dengan makna eksplisit.”
Kaidah :
‫ﺍﻠﻨﻜﺭﺓ ﻔﻲ ﻤﻘﺎﻡ ﺍﻠﻨﻔﻲ ﺘﻔﻴﺩ ﺍﻠﻌﻤﻭﻡ‬
Artinya : “Lafazh nakirah dalam kalimat negatif (nafi) mengandung pengertian umum.”
Kaidah :
‫ﺍﻠﻨﺹ ﻤﻘﺩﻡ ﻋﻠﻰ ﺍﻠﻅﺎﻫﺭ‬
Artinya : “Petunjuk nash didahulukan daripada petunjuk zahir.”
Kaidah :
‫ﺍﻻﻤﺭ ﻴﻔﻴﺩ ﺍﻠﻭﺠﻭﺏ‬
Artinya : “Petunjuk perintah (amr) menunjukan wajib.”
Kaidah :
‫ﻻﻤﺴﺎﻍ ﻠﻼ ﺠﺘﻬﺎﺩ ﻔﻰ ﻤﻭﺭﻭﺩ ﺍﻠﻨﺹ‬
Artinya : “Tidak dibenarkan berijtihad dalam masalah yang ada nash-nya.”
Kaidah :
‫ﺍﻠﻤﻁﻠﻕ ﻴﺤﻤﻝ ﺍﻠﻤﻘﻴﺩ‬
Artinya : “Dalalah lafazh mutlak dibawa pada dalalah lafazh muqayyah.”
Kaidah :
‫ﺍﻻﻤﺭ ﺒﺎﻠﺸﻴﺊ ﻨﻬﻲ ﻋﻥ ﻀﺩﻩ‬
Artinya : “Perintah terhadap sesuatu berarti larangan atas kebalikannya.
2. Perbedaan antara qawa’id al-ushuliyyah dan qaidah fiqih:
Ø Kaidah ushul pada hakikatnya adalah qa’idah istidlaliyah yang menjadi wasilah para mujtahid
dalam istinbath (pengambilan) sebuah hukum syar’iyah amaliah. Kaidah ini menjadi alat yang
membantu para mujtahid dalam menentukan suatu hukum. Dengan kata lain, kita bisa memahami,
bahwa kaidah ushul bukanlah suatu hukum, ia hanyalah sebuah alat atau wasilah kepada
kesimpulan suatu hukum syar’i. Sedangkan, kaidah fiqih adalah suatu susunan lafadz yang
mengandung makna hukum syar’iyyah aghlabiyyah yang mencakup di bawahnya banyak furu’.
Sehingga kita bisa memahami bahwa kaidah fiqih adalah hukum syar’i. Dan kaidah ini digunakan
sebagai istihdhar (menghadirkan) hukum bukan istinbath (mengambil) hukum (layaknya kaidah
ushul). Misalnya, kaidah ushul “al-aslu fil amri lil wujub” bahwa asal dalam perintah menunjukan
wajib. Kaidah ini tidaklah mengandung suatu hukum syar’i. Tetapi dari kaidah ini kita bisa
mengambil hukum, bahwa setiap dalil (baik Qur’an maupun Hadits) yang bermakna perintah
menunjukan wajib. Berbeda dengan kaidah fiqih “al-dharar yuzal” bahwa kemudharatan mesti
dihilangkan. Dalam kaidah ini mengandung hukum syar’i, bahwa kemudharatan wajib
dihilangkan.
Ø Objek qawaid ushuliyyah adalah dalil hukum, sedangkan qaidah fiqih adalah perbuatan
mukallaf.
Ø Ketentuan qawaid ushuliyyah berlaku bagi seluruh juziyyah, sedangkan qaidah fiqih berlaku
pada sebagian besar (aghlab) juziyyah.
Ø Qawaid ushuliyyah, sebagian saran istinbath hukum. Sedangkan qawaid fiqih sebagian usaha
menghimpun dan ketentuan hukum yang sama untuk memudahkan pemahaman fiqih.
Ø Qawaid ushuliyyah biasa bersifat prediktif. Sedangkan qawaid fiqih bersifat wujud setelah
ketentuan furu’.
Ø Qawaid ushuliyyah bersifat kebahasaan dan qawaid fiqih bersifat ukuran. (Rachmat Syafi’i,
254-255. )
Ø Kaidah-kaidah ushul lebih umum dari kaidah-kaidah fiqh.
Kaidah ushuliyah merupakan mediator untuk meng-istinbath-kan hukum syara’ amaliyah,
sedangkan kaidah fiqhiyah adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa diikat oleh kesamaan
‘illat atau kaidah fiqhiyah yang mencakupnya dan tujuannya taqribu al-masa’il –alfiqhiyawa
tashiliha
B. JENIS-JENIS QAWA’ID USHULIYAH
1. Amr dan Nahi
a. Amr
1) Pengertian Amr
Menurut jumhur ulama ushul, definisi amr adalah lafadz yang menunjukkan tuntutan dari atasan
kepada bawahannya untuk mengerjaan suatu pekerjaan
Amar menurut bahasa berarti perintah. Sedangkan menurut istilah adalah,
‫” ﻁﻠىىب ﺍلﻔﻌىىل مأىىن ﺍلﻋﻠىىﻰ إلىىﻰ ﺍلﺩنىىىﺎلمأر‬amr adalah perbuatan meminta kerja dari yang lebih tinggi
tingkatannya kepada yng lebih rendah tingkatannya.”
atau dapat didefinisikan, ‫ﺍلﻠﻔظ ﺍلدﺍﻝ ﻋﻠﻰ ﻁﻠب ﺍلﻔﻌل ﻋﻠﻰ جﻬﺔ ﺍلسإﺘﻌﻼءا‬
Suatu tuntutan (perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya
kepada pihak yang lebih rendah kedudukannya.
2) Kaidah dalam ’Amr.
Apabila dalam nash syara’ terdapat salah satu dari bentuk perintah, maka ada beberapa kaidah
yang mungkin bisa diberlakukan. Kaidah pertama, ‫ﺍلصأل ﻗﻰ ﺍلمأر لﻠوجوﺏ‬, meskipun suatu perintah
bisa menunjukkan berbagai pengertian, namun pada dasarnya suatu perintah menunjukkan hukum
wajib dilaksanakan kecuali bila ada indikasi atau dalil yang memalingkannya.
Contoh perintah yang terbebas dari indikasi yang memalingkan dari hukum wajib adalah QS. An-
Nisa (4) : 77
”Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: Tahanlah tanganmu (dari
berperang), Dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat!…”
Ayat tersebut menunjukkan hukum wajib mendirikan sholat lima waktu dan menunaikan zakat.
Adapun contoh perintah yang disertai indikasi yang menunjukkan hukum selain wajib, QS. Al-
Baqarah (2) : 283
”Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.
b. Nahi
1) Pengertian Nahi
Mayoritas ulama Ushul Fiqh mendefinisikan nahi sebagai
‫ﻫﺔ ﺍلسإﺘﻌﻼءا بﺎلﺴﻴغﺔ ﺍلدﺍﻝ ﻋﻠﻴطﻠب ﺍلﻜف ﻋن ﺍلﻔﻌل ﻋﻠﻰ ج‬
Larangan melakukan suatu perbuatam dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang
lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan atas hal itu.
Jika lafal khusus yang terdapat dalam nash syara’ berbentuk nahi atau bentuk berita yang
nermakna larangan, maka berarti haram. Yaitu menuntut untuk tidak melakukan yang dilarang
secara tetap dan pasti.
Menurut ulama ushul, definisi nahi adalah kebalikan amr, yakni lafad yang menunjukkan tuntutan
untuk meninggalkan sesuatu (tuntutan yang mesti di kerjakan) dari atasan kepada bawahan.
Namun, para ulama ushul sepakat bahwa nahyi itu seperti juga amr dapat digunakan dalam
berbagai arti.
2) Kaidah yang berhubungan dengan Nahi
Kaidah, ‫ﺍلصأل فﻰ ﺍلﻨﻬﻰ لﻠﺘﺤريم‬, pada dasarnya suatu larangan menunjukkan hukum haram melakukan
perbuatan yang dilarang kecuali ada indikasi yang menunjukkan hukum lain.
Contohnya ayat 151 surat al-An’am. “dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan
Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar“
Contoh larangan yang disertai indikasi yang menunjukkan hukum selain haram, dalam Surat Al-
Jum’ah (62) : 9. “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih
baik bagimu jika kamu Mengetahui.
2. Aam dan Khas
a. Aam
1) Pengertian Aam
‘Am menurut bahasa artinya merata, yang umum; dan menurut istilah adalah " Lafadz yang
memiliki pengertian umum, terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafadz itu. Dengan
pengertian lain, ‘am adalah kata yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang
terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas.
Menurut istilah ‘am yaitu suatu lafadz yang dipergunakan untuk menunjukkan suatu makna yang
pantas (boleh) dimasukkan pada makna itu dengan mengucapkan sekali ucapan saja.Seperti lafadz
“arrijal” maka lafadz ini meliputi semua laki-laki.
Disamping pengertian ‘am diatas ada beberapa pengertian ‘am menurut ulama’ lainnya antara lain:
a) Hanafiah yaitu “Setiap lafazh yang mencakup banyak, baik secara lafazh maupun makna”.
b) Al-Ghazali yaitu “Suatu lafazh yang dari suatu segi menunjukkan dua makna atau lebih”
c) Al-Bazdawi yaitu “Lafazh yang mencakup semua yang cocok untuk lafazh tersebut dalam
satu kata”
d) menurut Uddah ( dari kalangan ulama' Hanbali )" suatu lafadz yang mengumumi dua hal
atau lebih".
2) Kaidah yang menunjukkan pada umum yang melengkapi dan melingkupi semua yang
khusus, misalnya kaidah :
‫ﺍﻠﻌﻤﻭﻡ ﻤﻥ ﻋﻭﺍﺭﺽ ﺍﻻﻠﻔﺎﻅ‬
Artinya: “Keumuman itu yang dimaksudkan adalah lafazhnya.”
‫ﺍﻠﻌﻤﻭﻡ ﻻﻴﺘﻭﺼﺭ فﻲﺍﻻﺤﻜﺎﻡ‬
Artinya: “Keumuman itu tidak dapat menggambarkan suatu hukum.”
‫ﺍﻠﻌﺎﻡ ﻋﻤﻭﻤﻪ ﺸﻤﻭﻠﻲ ﻭﻋﻤﻭﻡ ﺍﻠﻤﻁﻠﻕ ﺒﺩﻠﻲ‬
Artinya: “Al-‘Am itu umumnya bersifat menyeluruh, sedangkan lafazh umum yang mutlak hanya
bersifat sebagian.”
b. Khas atau Khusus
1) Pengertian Khas
Khas ialah lafadz yang menunjukkan arti yang tertentu, tidak meliputi arti umum, dengan kata
lain, khas itu kebalikan dari `âm.
Menurut istilah, definisi khas adalah:“Al-khas adalah lafadz yang diciptakan untuk menunjukkan
pada perseorangan tertentu, seperti Muhammad. Atau menunjukkan satu jenis, seperti lelaki. Atau
menunjukkan beberapa satuan terbatas, seperti tiga belas, seratus, sebuah kaum, sebuah
masyarakat, sekumpulan, sekelompok, dan lafadz-lafadz lain yang menunjukkan bilangan
beberapa satuan, tetapi tidak mencakup semua satuan-satuan itu”
Dalam pengertian lain khas adalah lafaz yang khash itu lafaz yang diletakkan untuk menunjukkan
suatu individu yang satu perseorangannya, seperti seorang laki-laki, atau menunjuk kepada
sejumlah individu dan tidak menunjukkan terhadap penghabisan seluruh individu-individu. Atau
khas ialah lafadz yang tidak meliputi mengatakannya sekaligus terhadap dua sesuatu atau
beberapa hal tanpa menghendaki kepada batasan.
2) Kaidah yang berkaitan dengan khas atau khusus, misalnya :
‫ﺍﻥ ﺍﻠﺘﺨﺼﻴﺹ ﺍﻠﻌﻤﻭﻤﺎﺕ ﺠﺎﺌﺯ‬
Artinya: “Sesungguhnya pengkhususan lafazh umum adalah diperbolehkan.”
‫ﺍﻠﺼﻔﺔ ﻤﻥﺍﻠﻤﺨﺼﺼﺎﺕ‬
Artinya: “Sifat itu bagian dari pengkhususan.”
3. Muthlaq dan Muqayyad
a. Muthlaq
1) Pengertian Muthlaq
Mutlaq menurut bahasa adalah lepas tidak terikat,sedangkan menurut ushul fiqih adalah suatu
lafadz yang menunjukan pada makna/pengertian tertentu tanpa dibatasi oleh lafadz lainnya.
Misalnya: kata “meja”, “rumah”, “jalan” , kata-kata ini memiliki makna mutlak karena 1) secara
makna kata-kata tersebut telah menunjuk pada pengertian makna tertentu yang telah kita pahami,
2) tidak dibatasi oleh kata-kata lain.
Para ulama ushul memberikan definisi Muthlaq dengan berbagai definisi. Namun semuanya
bertemu pada suatu pengertian bahwa yang di maksud dengan muthlaq ialah suatu lafadz yang
menunjukkan hakikat sesuatu tanpa pembatasan yang dapat mempersempit keluasan artinya.
Misalnya, kata raqabah yang terdapat pada firman Allah SWT.
Lafadz tersebut termasuk mutlaq karena tidak dibatasi dengan sifat tertentu.
2) Kaidah yang berkaitan dengan mutlaq
Hukum mutlak ditetapkan berdasarkan kemutlakannya sebelum ada dalil yang membatasinya.
Ketika ada suatu lafadz mutlaq, maka makna tersebut ditetapkan berdasarkan kemutlakannya.
Misalnya dalam surat an-Nisa:23 yang menjelaskan tentang perempuan-perempuan yang haram
dinikahi laki-laki. Diantara perempuan itu adalah “ibu-ibu istrimu (mertua)”.Ayat ini sifatnya
mutlak.Keharaman menikahi ibu mertua tidak memedulikan apakah istrinya sudah digauli atau
belum.
b. Muqayyad
1) Pengertian Muqayyad
Muqoyyad menurut bahasa adalah tidak terlepas yakni terikat,sedangkan menurut ushul fiqih
adalah lafadz yang menunjukan pada makna tertentu dengan batasan kata tertentu. Misalnya:
ungkapan meja menjadi “meja hijau”, rumah menjadi “rumah sakit”,jalan menjadi “jalan raya”.
Kata-kata rumah, jalan dan meja ini sudah menjadi muqayyad karena 1) menunjukan pada
pengertian/makna tertentu dan 2) dikaitkan atau diikatkan dengan kata lainnya.
Pula para ulama memberikan definisi muqayyad dengan berbagai definisi. Namun, semuanya
bertemu pada satu pengertian, yaitu suatu lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu yang dibatasi
dengan suatu pembahasan yang mempersempit keluasan artinya.( Rachmat Syafi’i: 212: 1999)
2) Kaidah yang berkaitan dengan muqayyad
Lafadz muqoyyad tetap dihukumi muqoyyad sebelum ada bukti yang memutlakannya.
Muqoyyad berfungsi membatasi lafal-lafal yang mutlaq. Lafal muqoyyad dianggap tetap
muqoyyad selama tidak ada bukti yang menjadikannya bersifat mutlaq.Misalnya,Kifarat zihar.
Orang yang telah melakukan zihar diharuskan membayar kafarat berupa memerdekakan budak
atau puasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan sebanyak 60 orang miskin jika dua yang
pertama tidak mampu.karena kemutlakannya telah dibatasi, maka yang harus diamalkan adalah
muqoyyad-nya.
4. Mantuq dan Mafhum
a. Pengertian mantuq dan mahfum
Mantuq adalah lafal yang hukumnya memuat apa yang diucapkan (makna tersurat), dedang
mafhum adalah lafal yang hukumnya terkandung dalam arti dibalik manthuq (makna tersirat)
Menurut kitab mabadiulawwaliyah, mantuq adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz
dalam tempat pengucapan, sedangkan mafhum adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz
tidak dalam tempat pengucapan.
Jadi mantuq adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafadz di tempat pembicaraan dan mafhum
ialah pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pembicaraan, tetapi dari
pemahaman terdapat ucapan tersebut. Seperti firman Allah SWT
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” (Q.S Al-Isra’ ayat
23)
Dalam ayat tersebut terdapat pengertian mantuq dan mafhum, pengertian mantuq yaitu ucapan
lafadz itu sendiri (yang nyata = uffin) jangan kamu katakan perkataan yang keji kepada kedua
orang tuamu. Sedangkan mafhum yang tidak disebutkan yaitu memukul dan menyiksanya (juga
dilarang) karena lafadz-lafadz yang mengandung kepada arti, diambil dari segi pembicaraan yang
nyata dinamakan mantuq dan tidak nyata disebut mafhum
b. Kaidah yang berkaitan dengan mantuq dan mafhum
Kaidah yang berkaitan dengan manthuq (tersurat/tekstual) mafhum (tersirat/kontekstual).
Misalnya kaidah :
‫ﻭﺠﻤﻴﻊ ﻤﻔﺎﻫﻴﻡ ﺍﻠﻤﺨﺎﻠﻔﺔ ﺤﺠﺔ ﺍﻻ ﻤﻔﻬﻭﻡ ﺍﻠﻠﻘﺏ‬
Artinya: “Semua mafhum mukhalafah dapat dijadikan hujjah, kecuali mafhum laqab.”

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Qaidah ushuliyah merupakan gabungan dari kata Qaidah dan ushuliyah, kaidah dalam bahasa
Arab ditulis dengan qaidah, artinya patokan, pedoman dan titik tolak. Ada pula yang mengartikan
dengan peraturan. Bentuk jamak qa’idah (mufrad) adalah qawa’id. Adapun ushuliyah berasal dari
kata al-ashl, artinya pokok, dasar, atau dalil sebagai landasan. Jadi, qaidah ushuliyah adalah
pedoman untuk menggali dalil syara’, titik tolak pengambilan dalil atau peraturan yang dijadikan
metode penggalian hukum, kaidah ushuliyah disebut juga sebagai kaidah Istinbathiyah atau ada
yang menyebut sebagai kaidah lughawiyah, kaidah ushuliyah adalah dasar-dasar pemaknaan
terhadap kalimat atau kata yang digunakan dalam teks atau nash yang memberikan arti hukum
tertentu dengan didasarkan kepada pengamatan kebahasaan dan kesusastraan Arab.
Beberapa Jenis-jenis qaidah ushuliyah diantaranya amr dan nahi, aam dank has, mutlaq dan
muqoyyad serta mantuq dan mafhum, masing-masing mempunyai pengertian yang berbeda namun
pada hakikatnya sama yaitu guna menggali sebuah hukum, yang berfungsi sebagai alat menggali
sebuah hukum syara’

DAFTAR PUSTAKA
Khallaf, Abdul Wahhab. 2003. Ilmu Ushul Fiqih Kaidah Hukum Islam. Jakarta: Pustaka Amani.
Syafe’i, Rahmat. 2010. Ilmu ushul fiqih. Bandung : Pustaka Setia
http://kozam.wordpress.com/2009/II/10/kaidah-kaidah ushul fiqh/
Muchtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung, Al-
Ma’arif, 1993
Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, CV. Pustaka Setia, 2009

Anda mungkin juga menyukai