Anda di halaman 1dari 9

A.

Latarbelakang

Dewasa ini, perkembangan corak kehidupan manusia pada umumnya dan umat islam pada
khususnya telah memancing beberapa keputusan hukum yang cenderung dikondisionalkan, atau
corak kehidupan itu sendiri yang harus dikondisionalkan dengan produk hukum syara yang secara
konsep maupun konteks didesain untuk kemashlahatan manusia yang mau mengamalkannya.
Terlepas dari hal itu, saat ini kita lihat banyak sekali Mujtahid-mujtahid era modern bermunculan
dengan julukan baru Intelektual Muslim. Jika kita membandingkan, sepertinya kapasitas dan
kapabilitas mereka belum mencapai lima puluh persen para Mujtahid zaman dulu (kalau tidak sama
sekali), tetapi mereka telah berani mencetuskan hukum yang kontroversial, bahkan kadang
kontradiksi dengan hukum sebelumnya. Tentu bukan sesuatu yang bijak jika kita mengklaim mereka
sebagai Mujtahid sesat yang pendapatnya ngelantur tidak karuan, karena pada prinsipnya tujuan
mereka adalah untuk kebaikan dan kemashlahatan. Permasalahannya adalah, ketika survai
membuktikan bahwa pendapat mereka ngaco dan tidak bisa dipertanggungjawabkan, apa yang harus
kita lakukan,? Barangkali jawabannya adalah diam karena Kita belum mampu bersaing dengan
mereka. Betuul?
Memahami redaksi Al-Quran dan Al-Hadits bagaikan menyelam ke dalam samudra yang dalam lagi
luas, dibutuhkan kunci, metode dan keilmuan khusus untuk sampai ke sana sehingga kita bisa
mengetahui maksud dan tujuan nash al-Quran dan Al-Hadits baik dari sudut teks maupun dari aspek
makna. Di antara beberapa pembahasan yang berkaitan dengan hal tersebut, ada dua point penting
yang keduanya harus diketahui secara mendalam oleh seorang calon Mujtahid. Dua hal itu adalah
tentang lafadz am dan lafadz khas serta dalalahnya. Insya Allah dalam makalah sederhana ini
keduanya akan dibahas. Namun perlu diketahui bahwa rangkaian kata dan untaian kalimat yang
menjelaskan ke dua hal tersebut bukan dari penulis sendiri tetapi hasil transfer dan kutipan dari
pendapat beberapa pakar Ushul Fiqh.
Bab II
Pembahasan
a.

Istnbath syariat islam

Setiap pengambilan hukum (istinbath) dalam syariat Islam harus berpijak atas Al-Quran al-karim
dan sunnah nabi. Dengan demikian, dalil syariy ada dua bentuk yaitu; Nash dan Ghoirun Nash
(bukan Nash). Dalil-dalil yang tidak termasuk dalam katagori Nash seperti Istihsan dan Qiyas pada
dasarnya digali, bersumber dan berpedoman pada Nash. Seorang Mujtahid harus mengetahui
prosedur cara penggalian hukum (thuruq al-istinbath) dari Nash. Dalam ilmu ushul fiqh, hal tersebut
dibahas dalam metodologi khusus yang tidak akan dijabarkan secara luas di sini.
Cara penggalian hukum dari Nash ada dua macam pendekatan, yaitu:
pendekatan makna
pendekatan lafadz
pendekatan makna adalah penarikan kesimpulan hukum bukan kepada Nash secara langsung,
seperti menggunakan metode Qiyas, Istihsan, Mustalah, Dzarai dan lain sebagainya. Sedangkan
pendekatan lafadz dalam penerapannya membutuhkan beberapa paktor pendukung yang di
antaranya adalah:
Penguasaan terhadap makna (pengertian) dari lafadz-lafaz Nash serta konotasinya dari segi khusus
dan umum.
Mengetahui dalalahnya apakah menggunakan manthuq lafdzi atau menggunakan mafhum yang
diambil dari konteks kalimat.
Mengerti batasan-batasan (qoyyid) yang membatasi ibarat-ibarat Nash. Dan lain-lain.
b.

Am dan Khas serta dalalahnya

Konteks Syariyyah di dalam Al-Quran dan Al-Hadits merupakan dua sumber hukum yang redaksinya
menetapkan hukum syariy. konteks Al-Quran dan Al-Hadits tersebut bisa berupa lafadz umum atau
khusus. Lafadz yang umum atau al-aam, ketetapan hukumnya harus diartikan kepada semua
satuannya secara pasti bila di sana tidak ada dalil yang mengkhususkannya. Jika terdapat dalil yang
mengkhususkan maka mengenai arahan hukumnya apakah pasti (qothiy) atau dugaan (dzonny),
terdapat perbedaan pendapat ulama, yaitu antara golongan Ulama Jumhur (Syafiiyyah, Malikiyyah,
Hanbaliyyah) dan Hanafiyyah. Pembahasan tentang dalil takhsis (yang menghususkan) lafadz am
insya Allah akan diuraikan dalam bab Takhsis.
Nash Al-Quran dan Al-Hadits juga ada yang berupa lafadz khusus (khosh), maka hukum bisa
ditetapkan secara pasti selama tidak ada dalil yang mentakwilkan atau memindahkan dan
menghendaki arti yang lain. Dalam lafadz khosh ini terdapat lafadz mutlak yang dapat menetapkan
hukum secara absolute dengan catatan tidak ada dalil yang mengikatnya. Jika lafadz itu berbentuk
perintah (amar), maka obyek yang diperintahkannya wajib, atau berbentuk larangan (nahi) maka
obyek yang dilarang itu haram. Hal tersebut bila tidak ada dalil yang merubah dari keharusannya atau
ketidak bolehannya.
1.

a)

Am,

Definisi al-aam[1]

Lafadz al-aam ialah yang menunjukkan tercakup dan termasuknya semua satuan-satuan yang ada
dalam lafadz itu dengan tanpa menghitung ukuran tertentu dari satuan-satuan tersebut. Lafadz

( barang siapa melemparkan) dalam hadits yang berbunyi:


adadalah lafadz umum yang dapat menunjukkan
tercakupnya setiap orang yang melemparkan senjatanya, tanpa membatasi kepada perseorangan
tertentu.
Keumuman termasuk sifat lafadz karena merupakan dalalah lafadz yang di dalamnya tercakup semua
satuannya. Apabila lafadz ini hanya menunjukkan satu satuan seperti seorang laki-laki, atau dua
satuan seperti seperti dua orang laki-laki, atau kelompok beberapa satuan seperti yang dapat dihitung
seperti beberapa laki-laki, sekelompok kaum, seratus atau seribu, maka semua itu bukan termasuk
lafadz yang umum.
Terdapat perbedaan antara al-Aam dan al-Muthlaq, al-Aam menunjukkan tercakupnya semua satuan
dari seluruh satuannya, sedangkan al-Muthlaq hanya menunjukkan satuan atau beberapa satuan
yang menonjol, bukan kepada semua satuannya. Sebagaimana pendapat para ulama ushul :


keumuman al-Aam
bersifat

menyeluruh dan keumuman al-Muthlaq bersifat resperentif (mewakili). Jadi, lafadz al-Am
dapat memperoleh satuan-satuan di dalamnya sekaligus dan al-Muthlaq hanya memperoleh
satuannya yang menonjol.[2]
b)

Lafadz-lafadz al-am

Untuk mengetahui dan menentukan lafadz-lafadz Aam, diperlukan pehaman mendalam terhadap
gramatika bahasa arab terutama yang membahas morfologi pararel (shorf) dan sintaksis pararel
(nahu). Dari situ akan diketahui maksud dan tujuan nash apakah arahannya umum atau khusus.
Oleh karena itu, penting untuk dicatat bahwa mengetahui bahasa arab adalah 50% mengetahui ilmu
ushul fiqh. Patutkah orang yang tidak memahami gramatika bahasa arab menjadi mujtahid?

Hasil analisa dan pengkajian terhadap mufrodat dan ungkapan dalam bahasa arab menyimpulkan
beberapa lafadz yang arti bahasanya menunjukkan keumuman dan mencakup keseluruhannya. Dari
beberapa referensi buku ushul fiqh yang ada, tidak ada perbedaan pendapat mencolok dalam
penjelasan lafadz-lafadz al-am tersebut. Di bawah ini secara singkat akan dipaparkan
pengklasifikasian lafadz-lafadz am yang sering dipergunakan:
Lafadz-lafadz yang bermakna jamak, seperti;


:
:

Lafadz-lafadz jamak atau mufrad yang dimarifatkan dengan Al-Jinsiyyah atau idhafah, berikut
masing-masing contohnya;







Isim nakirah yang dinafikan (dicegah) atau yang disyaratkan, sperti contoh;




Isim nakirah yang mutsbat (ditetapkan), tidak mengandung pengertian umum seperti yang terdapat


kecuali bila terdapat qorinah
(tanda), contohnya
.
dalam ayat

beberapa isim maushul, di antaranya;

:
:

:
:
:

:

;Isim-isim syarat, beberapa di antaranya

:

:
:
:
:

Isim isim istifham, sebagaimana dalam contoh-contoh berikut:

:
:
:

:
Semua lafadz-lafadz dalam contoh di atas dipergunakan untuk pengertian yang bersifat umum karena
mencakup setiap kesatuan yang ada di dalamnya, jika ada lafadz am tetapi tidak mengandung
sebuah keumuman maka lafadz itu adalah bentuk aligori (majazi) yang keberadaannya membutuhkan
qorinah. Khusus mengenai permasalahan ini insya Allah akan dibahas secara panjang lebar dalam
makalah selanjutnya tentang Majaz dengan penjelasan jelas yang menjelaskan sejelas-jelasnya
sampai jelas dan tidak membutuhkan kejelasan yang lebih jelas.
c)

Al-am yang ditakhsis (dikhususkan)

Takhsis adalah mengeluarkan sebagian satuan-satuan yang masuk di dalam lafadz Aam. Mukhassis
adalah dalil yang menjadi dasar pegangan untuk adanya pengeluaran tersebut. dengan melihat
keterangan di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa dalil Aam tetap berlaku bagi satuan-satuan
yang masih ada sesudah dikeluarkan satuan tertentu yang ditunjukkan oleh mukhassis. Kaidah untuk

itu adalah
Lafadz Aam
setelah ditakhsiskan masih menjadi hujjah (pegangan) bagi satuan-satuan yang terkandung di
dalamnya.
Dalam hal mukhassis nash syariy maka antara yang ditakhsiskan dan pentakhsisnya haruslah
sederajad seperti Al Quran dengan Al Quran atau Al Quran dengan As sunnah Mutawattirah.
Demikian pula As sunnah shahihah dengan As sunnah Shahihah. Namun demikian jumhur ulama
membolehkan mentakhsis Al Quran dengan As sunnah walaupun ahad, tetapi ulama hanafiah
berpendapat hanya As sunnah Mutawattirah atau yang masyhur saja yang boleh mentakhsis Al
Quran.
Sebagian ulama seperti Hanafiyyah mensyaratkan adanya mukhassis harus muqarinan lilam
(bersamaan dengan Aam). jika tidak, maka namanya nasikh bukan mukhassis, juga harus mustaqil
(tersendiri) dari am. Pengkhususan seperti ististna yang datang setelah lafadz am menurut mereka
bukan mukhassis, tetapi dalil adanya pembatasan keumuman.
Pendapat ulama Jumhur berbeda dan tidak mensyaratkan dua hal di atas. Jadi, mukhassis bisa
berupa dalil mustaqil atau ghoir mustaqil, bersamaan dengan nash am (muqarinan linnasshil am)
atau tidak, tetapi semuanya dengan catatan tidak datang setelah pengamalan keumuman, bila
datangnya setelah pengamalan namanya nasikh.
Berikut ini pembagian dalil mukhassis menurut ulama Jumhur; Dalil-dalil yang mengkhususkan ada
dua macam; Pertama muttashil, yaitu dalil yang keberadaannya bersamaan dengan am, masih ada
kaitan makna juga bagian dari am. Kedua dalil munfashil, kebalikan dari yang pertama.
Mukhassis munfashil atau mustaqil (sempurna dengan dirinya sendiri), ada empat macam:
1)
(

Kalimat yang dapat berdiri sendiri dan bersambung dengan kalimat, seperti firman Allah:

: )

Setiap orang yang berada di bulan Ramadhan wajib berpuasa, tetapi di kecualikan orang sakit dan
musafir, dengan dalil ayat sesudahnya;



2)

Kalimat yang dapat berdiri sendiri dan terpisah dengan kalimat itu.

Contohnya firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 3 yang menjelaskan keharaman semua bangkai ,

. Tetapi dikhususkan bangkai binatang laut, dalil takhsisnya



adalah sabda Nabi
3)

Al-aqlu (nalar).

Akal bisa di jadikan dalil takhsis pada semua nash yang mengandung tuntutan syariyyah. Contohnya

, keumumannya di takhsis oleh


akal dengan mengecualikan anak kecil dan orang-orang gendeng. Contoh lainnya
dan lain-lain.
,
perintah mengerjakan shalat dalam ayat

4)

Adat dan uruf.

Point keempat ini adalah menurut madzhab Malikiyyah. contohnya sabda Rasulullah Saw.:

Artinya: Tidak dikenakan hukum potong tangan


kecuali (hasil curian itu sampai) seperempat dinar.
Bagaimana dan berapa harga tukar (kurs) dinar itu bagi Negara-negara yang tidak memakai dinar
sebagai alat pembayaran yang sah diserahkan kepada uruf atau adat setempat.
Mukhassis muttashil, dalil yang merupakan bagian dari nash disebut ghair mustaqil (tidak bisa
berdiri sendiri). Juga ada empat macam;
1)

Ististna, seperti dalam ayat


: .

Artinya: Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah ia beriman (dia pasti mendapat kemurkaan
Allah) kecuali orang yang dipaksa kafir sedangkan hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak
berdosa)
2)

Kata sifat, seperti Firman Allah:



: .
Artinya: Dan barang siapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk
mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak
yang kamu miliki. (An nisa:25)
Lafadz fatayaat adalah Aam yang dapat mencakup yang beriman atau tidak. Dengan diberikan kata
sifat al mukminat (yang beriman) maka hamba sahaya yang tidak beriman tidak termasuk lagi.
3)

Syarat, sebagaimana Firman Allah:

.



:
Artinya: Dan suami mereka berhak merujuki mereka jika mereka (suami istri) itu menghendaki islah
(Al Baqarah :228)
4)
Ghoyah, ialah penghabisan sesuatu yang mengharuskan tetapnya hukum bagi perkara-perkara
yang disebut sebelumnya sedangkan yang disebut sesudahnya tidak ada hukum tersebut. Lafadz
ghoyah adakalanya memakai hatta atau ilaa.
Contohnya Firman Allah Swt.

Artinya: Dan kami tidak akan mengazab (menyiksa) sehingga kami mengutus seorang Rasul. (Al Isra
:15)[3]
a.

Dalalah al-am

Terdapat perbedaan pendapat mengenai karakteristik dalalah al-am yang tidak mengkhususkan
semua satuannya, apakah pasti atau dugaan. Menurut sebagian ulama ushul di antaranya
Syafiiyyah- dalalah al-am tersebut menunjukkan keumuman dan bersifat dugaan, apabila
dikhususkan maka sisa satuan al-am juga dalalahnya dugaan. Ulama ushul lain, termasuk di
dalamnya Hanafiyyah berpendapat bahwa al-am yang tidak dikhususkan bersifat pasti sedangkan
sisa satuan setelah pengkhususan adalah dzanni (bersifat dugaan).
1)

Pembagian al-am

Melalui pengkajian terhadap nash-nash, al-am dibagi menjadi tiga macam;


Am yang secara pasti bermaksud keumuman, sebagaimana firman Allah:

: ) .




(
Artinya: Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi melainkan Allah pasti memberi rizkinya.
Am yang secara pasti dimaksudkan sebagai kekhususan. Seperti Firman Allah SWT:

( : ) .



Artinya: Menunaikan haji ke Baitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah.
Am yang dikhususkan, yaitu al-am al-muthlaq yang tidak disertai qorinah yang meniadakan
kemungkinan pengkhususannya atau ditiadakan dalalahnya, seperti nash yang di dalamnya terdapat
lafadz-lafadz am dan tidak ada qorinah lafadz, akal atau kebiasaan yang bias menentukan
kekhususan ataupun keumumannya sehingga keumumannya menjadi khusus sampai ada dalil yang
mengkhususkannya, contoh;

[4] perempuan-perempuan yang dithalaq itu menunggu. Menurut imam al-Syaukani,

al-am yang dimaksudkan sebagai kekhususan adalah al-am yang ketika diucapkan disertai qorinah
yang dapat menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan al-am itu ialah khusus bukan umum.

B.

Khas

1. Definisi al-khash
Lafadz khas adalah lafadz yang menunjukkan perseorangan tertentu seperti Mushtofa, satuan jenis
seperti laki-laki, atau beberapa satuan yang terbatas seperti seratus, seribu, dan lafadz-lafadz lain
yang menunjukkan beberapa bilangan beberapa satuan, tetapi tidak mencakup satuan-satuan
tersebut[5].
2. Hukum Khash
Bila ada suatu lafadz khash dalam nash syariy maka makna yang khash yang ditunjuk oleh lafadz itu
adalah qathiy (

) bukan dhonny ( )contohnya:

: .

Artinya: Dan wanita-wanita yang dithalaq suaminya itu hendaklah menunggu iddah mereka selama
tiga kali quru (haid atau suci). (Al Baqarah : 228).
Lafadz tsalatsah di situ adalah khash dan maknanya qathiy.
Seringkali lafadz khash itu terdapat secara mutlak tanpa ada batasan/ikatan apapun dan sering pula

( bertakwalah kepada Allah).


Seringkali terdapat dalam bentuk larangan perbuatan, seperti
( dan
terdapat dalam bentuk tuntutan perbuatan. Contoh:

janganlah kamu memata-matai). Jadi dalam lafadz khash itu terdapat lafadz mutlak, ikatan/batasan,
perintah dan larangan.
Hukum khash secara global ialah apabila terdapat nash syara sedang maknanya yang khusus
menunjukkan dalalah secara pasti, maka pada hakikatnya lafadz khash itu dibuat untuk itu dan
pengertiannya diambil hukum dengan pasti, tidak dengan dugaan.
Tidak ada pertentangan antara ulama ushul mengenai ketetapan hukum qothiy dari lafadz khash.
Bab III
Kesimpulan
Ketetapan hukum Sariy yang sudah digariskan oleh Al Quran dan As Sunnah harus dipahami
dengan sungguh-sungguh, untuk melangkah ke sana diperlukan kemampuan mempuni bagi caloncalon Mujtahid agar tidak terjadi produk hukum yang ngawur dan tidak bisa di pertanggung jawabkan.
Mempelajari ilmu ushul fiqh, mendalami dan sekaligus menguasainya adalah salah satu batu loncatan
untuk menjadi pencetus hukum yang handal dan diperhitungkan.

Sampai di sini semoga tulisan yang sangat sederhana dan penuh kekurangan ini bisa dimanfaatkan
dan bila terdapat kekeliruan mohon dibetulkan.
Daftar pustaka

Menurut Dr. Abdul Karim Zaidan dalam bukunya al-Wajiz hal. 305
Dr. Abdul Wahab Khalaf, Ushul Fiqh, Darul Qolam cetakan ke 12. hal. 181-182.
Dr. Abdul Karim Zaidan Al-Wajiz fi ushulul fiqhihlm. 310 317. Muassasatur Risalah cetakan ke lima
Prof.Dr. Abdul Wahab Khalaf. Ushulul fiqhihlm. 327-329
Aly Hasbullah. Ushulut tasyri al-islami, hlm. 182

Anda mungkin juga menyukai